Banner 468 x 60px

 

Sunday, April 22, 2018

Indonesia dan Jumlah Utang Yang Membengkak

0 komentar
Menjelang akhir masa jabatan presiden dan memasuki tahun politik pilpres 2019 setelah sekian banyak isu, kini isu utang menjadi tranding topic bangsa kita hari ini. Pemerintah beserta jajaran pendukungnya pun disibukkan untuk menampik serangan isu utang ini. Tak tanggung-tanggung presiden Joko Widodo mengeluarkan pernyataan bahwa “semenjak dirinya dilantik, ia sudah diwarisi utang oleh presiden-presiden sebelumnya”.
Publik dibuat panik, seolah jumlah utang Indonesia hari ini yang mencapai 4000-an triliun tersebut membuat Indonesia dalam keadaan terpuruk. Utang sebesar itu lalu dijadikan sebagai indikator kemerosotan ekonomi bangsa kita hari ini. Bahkan utang dijadikan sebagai barometer mengukur kegagalan pemerintah Joko Widodo, yang tak mampu membawa Indonesia keluar dari jerat utang.
Jika melihat utang yang ditinggalkan oleh pemerintahan sebelumnya dan hari ini (pemerintahan Jokowi-JK), utang bukannya berkurang melainkan bertambah jumlahnya. Dalam hal ini, publik sudah selayaknya dicerahkan tentang ancaman utang terhadap keberlangsungan negara serta keharusan berutang demi menggerakan pembangunan dan memajukan negara. Publik mesti mafhum, dalam kehidupan bernegara serta dalam memajukan kesejahteraan utamanya sosial-ekonomi, utang menjadi salah satu alternatif yang tak terhindarkan. Dan utang merupakan sesuatu yang lumrah dalam hal ini. Pencerahan diperlukan agar publik menjadi sadar dan tidak terbawa narasi politik dengan mem-blow up isu utang negara sebagai sebuah kegagalan pemerintah.
Jika kita menilik sejarah utang bangsa ini, sejak Indonesia memproklamirkan dirinya bebas dari belenggu penjajahan, negara kita sudah diwarisi utang, peninggalan bangsa Belanda. Selepas dari itu, dari masa pemerintahan orde lama (Soekarno) hingga hari ini utang-utang tersebut kian bermunculan dan bertambah. Artinya utang menjadi sesuatu yang tak terhindarkan dalam proses pembangunan negara Indonesia. Siapapun pemimpinnya sejauh ini masih mengandalkan utang untuk membangun negara dan mensejahterakan rakyatnya. Tak terkecuali Soekarno juga hari ini Jokowi.
Berdasarkan data yang dilansir oleh Liputan6.com, utang negara Indonesia dari masa ke masa (dari masa Soeharto) antara lain sebagai berikut;

Jika melihat pergerakan utang di atas, besaran utang kita semakin membesar/bertambah dari satu pemerintahan ke pemerintahan lainnya. Apalagi dalam kurun waktu sekitar 13 tahun terakhir jumlah utang kita bertambah sekitar Rp 2.736,8 T. Sebuah angka yang luar biasa fantastis jika dibandingkan dengan masa pemerintahan Soeharto hingga Megawati, lebih dari dua kali lipat.
Dan kini bisa dibilang utang kita sudah memasuki ambang yang mengkhawatirkan. Secara nominal utang bangsa kita yang menyentuh angka Rp 4.000 T adalah sebuah harga yang mungkin mustahil untuk dilunasi. Bagaimana bisa melunasi utang yang begitu banyak, sedangkan utang kita yang dahulunya hanya Rp 500-an Trilun tidak mampu kita lunasi, malah semakin bertambah hingga hari ini.
Dalam hal ini, yang perlu diperhatikan bahwa masalah utang dalam perspektif ekonomi, terutama utang negara, kita tidak bisa hanya melihat dari sudut pandang besaran nominal utang semata. Kemudian menjudge bahwa negara kita dalam keadaan terpuruk dan perekonomiannya telah mengalami kolaps. Melainkan yang paling penting untuk diperhatikan adalah faktor inflasi, perubahan nilai kurs dan rasio utang terhadap PDB (produk domestik bruto) yang turut mempengaruhi besaran utang tersebut.
Inflasi merupakan suatu proses meningkatnya harga-harga secara umum dan terus menerus (continue). Sedangkan perubahan nilai kurs/nilai tukar mata uang adalah naik turunnya nilai tukar mata uang (rupiah) terhadap mata uang asing (umumnya dolar). Secara sederhana inflasi dan perubahan nilai kurs/nilai tukar mata uang (menurun) adalah melemahnya nilai mata uang suatu negara terhadap barang dan jasa serta terhadap mata uang asing. Artinya apabila nilai kurs terhadap dolar melemah maka akan berpengaruh pada nominal utang dalam hitungan Rupiah.
Misalkan, hari ini kita berutang pada AS sejumlah 1 juta dolar AS, dengan asumsi nilai kurs Rupiah terhadap dolar adalah 1$=Rp 5000. Maka secara nominal utang kita adalah Rp 5 Milyar. Namun, ternyata kemudian nilai rupiah terhadap dolar mengalami pelemahan, misalkan 1$=Rp 6000. Maka secara tidak langsung, utang kita dalam nominal Rupiah pun mengalami kenainkan. Dalam contoh ini, anda diharuskan mencetak mata uang rupiah seribu kali lebih banyak lagi untuk membeli mata uang dolar. Akibatnya juga adalah akan terjadinya inflasi, karena jumlah uang yang beredar sangat banyak sedangkan produksi tidak mengalami peningkatan.
Selain nilai tukar rupiah sangat berpengaruh terhadap besaran utang, juga sangat berdampak terhadap kegiatan perekonomian. Melemahnya nilai mata uang jelas memperlambat laju pertumbuhan ekonomi. Pelemahan rupiah menimbulkan dampak negatif di berbagai sektor. Salah satunya penurunan daya beli masyarakat terhadap barang yang diimpor dari luar negeri sehingga harga barang relativ meningkat. Contoh, harga tempe dan tahu yang meningkat akibat harga kedelai yang diimpor dari luar negeri meningkat dalam rupiah.
Lambatnya laju pertumbuhan ekonomi akibat pelemahan nilai rupiah, berdampak pada penerimaan pajak negara yang merupakan salah satu instrumen pembayaran utang. Apalagi pelemahan nilai rupiah ini juga telah membuat nominal utang bertambah, tentu negara mengalami dua maslah sekaligus.
Dan perlu juga dipahami bahwa melemahnya nilai tukar rupiah ini dipengaruhi oleh berbagai macam faktor. Baik faktor yang datang dari dalam negareri maupun dari luar, mislanya membaiknya ekonomi AS sehingga nilai tukar dolar AS menguat terhadap semua mata uang lain.
Berikutnya, faktor yang perlu juga diperhatikan dalam masalah utang negara adalah rasio utang. Rasio utang adalah rasio (perbandingan) yang digunakan untuk mengukur seberapa besar pengutang (negara/perusahaan/orang) mengandalkan utang untuk membiayai asetnya. Semakin kecil rasio utang, berarti semakin besar daya atau kapasitas dari subjek yang berutang, untuk bisa mempertanggungjawabkan atau melunasi utangnya. Begitu pula sebaliknya. Semakin besar rasio utang, berarti semakin kecil daya atau kapasitas dari subjek yang berutang dalam melunasinya. Semakin tinggi rasionya, semakin besar pula resikonya.
Rasio utang ini yang paling sering digunakan untuk mengukur seberapa mampu sebuah negara/pengutang dalam membayar utangnya. Sehingga negara tersebut layak diberi utang ataupun tidak. Di Indonesia misalnya, rasio utang dibatasi oleh Undang-undang maksimal 60% (UU No 17 tahun 2003 pasal 12 ayat 3).
Rasio utang dihitung dengan membagikan total utang dengan total aset atau pendapatan yang dimiliki. Misalnya, Si A punya pendapatan Rp 2 juta per bulan. Ia memiliki utang sebesar Rp 24 juta yang harus dilunasi dalam jangka waktu 1 tahun. Dan jika si A mencicil utangnya, ia harus membayar setiap bulannya Rp 2 juta. Dalam waktu setahun utangnya akan lunas tepat waktu. Karena total pendapatannya dalam setahun = jumlah utangnya. Atau utang si A adalah total pendapatannyanya dalam setahun. Total utang Rp 24 juta dibagi pendapatan selama setahun Rp 24 Juta (24 juta : 24 Juta) hasilnya rasionya 100 % (besar). Secara real si A dalam setahun tidak dapat berbuat apa-apa dengan gajinya tersebut dan juga bisa dibilang mustahil melunasi utangnya bila ia hanya mengandalkan gajinya. Karena ia akan dibenturkan dengan kebutuhan hidup lainnya selain harus membayar utangnya.
Permisalan kedua, si B dengan pendapatan Rp 10 juta per bulan, di mana dia memiliki utang sebesar Rp 50 juta yang harus dilunasi dalam setahun. Secara nominal, utang si B jauh lebih besar daripada utang si A. Akan tetapi jika dilihat dari perspektif sejauh mana si B mampu membayarnya/mempertanggung jawabkan utangnya, maka si B lebih mampu. Kita bisa mengukurnya dari rasio jumlah utang yang harus dibayar si B dalam kurun setahun dengan pendapatannya dalam setahun. Hasilnya, total pendapatan Rp 10 juta x 12 bulan = Rp 120 juta; lalu total utang Rp 50 juta di bagi dengan jumlah pendapatan hasilnya 41,6 % (kecil).
Secara rasio si B lebih berpeluang membayar utangnya daripada si A. Meski dalam nilai utang, si B lebih besar. Karena memiliki rasio utang yang kecil di banding si A; 100 : 41,6 %.
Nah bagaimana dengan negara kita? Di Indonesia sering yang digunakan untuk menghitung rasio utang adalah total utang terhadap pendapatan negara, umumnya adalah mengacu pada Produk Domestik Bruto (PDB). Secara berkala rasio utang negara kita dari masa pemerintahan Soeharto hingga Jokowi, sebagaimana data yang dilansir dari Liputan6.com terlihat pada gambar berikut;

Dan yang terbaru, menurut Kemenkeu Rasio utang kita per Februari 2018 adalah 29,2 dari PDB kita. Artinya bahwa sejauh ini, meski utang kita dalam nominal terbilang sangat besar tapi jika diukur dari “sejauh mana kemampuan negara kita melunasinya” tergolong aman. Karena masih setengah dari rasio yang ditetapkan undang-undang kita.
Kemudian lagi, yang perlu diketahui oleh publik adalah sejauh mana utang-utang tersebut dikelola dan bagaimana dampaknya bagi perekonomian dan kesejahteraan sosial. Artinya, jangan sampai utang-utang tersebut tidak memiliki implikasi bagi negara dan perekonomiannya. Utang tersebut hanya memiliki implikasi temporal akibatnya kita akan kesulitan dalam mencari dana tambahan untuk membayar utang-utang tersebut dalam jangka waktu yang akan datang. Utang harus bisa melahirkan keuntungan ekonomi terutama keuntungan jangka panjang yang nantinya bisa dimanfaatkan untuk melunasi utang-utang tersebut.
Sejauh ini pemerintahan Jokowi mengelolah utang-utang dengan sangat hati-hati dan proporsional. Dalam lebih dari tiga tahun memimpin, pemerintahan Jokowi menyebut telah membangun di antaranya 2.623 Km jalan aspal, sebagian besar di Papua, perbatasan kalimantan dan Nusa Tenggara Timur. Lebih dari 560 Km jalan Tol; lebih dari 25.000 meter jembatan; sejumlah bandar udara; Proyek Light Rail Transit (LRT) Jabodetabek dan Palembang; serta Mass Rapid Transit (MRT) Jakarta. Dan juga pembangunan infrastruktur lainnya di berbagai daerah.
Selain utang-utang tersebut untuk investasi infrastruktur yang sifatnya jangka menengah dan panjang, juga untuk pembangunan sumber daya manusia. Misalnya untuk pendidikan dan kesehatan. Dan dari kesemuanya itu menunjukan bahwa utang-utang tersebut dikelola untuk mempercepat pembangunan yang kelak dari pembangunan-pembangunan tersebut memberikan nilai tambah bagi perekonomian Indonesia untuk melunasi utang-utang tersebut. Kesimpulannya, sejauh ini utang-utang pemerintah masih pada titik aman dan terkendali. Ini bisa dilihat pada rasio utangnya. Serta utang-utang tersebut memiliki implikasi positif bagi pertumbuhan perekonomian negara.
Read more...

Wajah Islam Indonesia Hari Ini

0 komentar


Hari ini, Indonesia seolah mempertontontonkan drama kemunafikan segelintir umat beragama yang mengatasnamakan diri pembela Islam dengan sangat gamblang dan lugasnya. Bau pesing politik seolah menyeruak di balik jubah-jubah keagamaan dan ayat-ayat Ialhiyah. Kekonsitenan menjadi murah harganya manakala gelombang percaturan politik berubah arah. Para tokoh tidak lagi sejalan dengan klas akar rumput yang berbeda haluan politik. Maka agama seolah menjadi mainan yang bisa diutak-atik arahnya. Islam telah di frame sebagai agama yang beringas, mudah marah dan inkonsisten.
Berawal dari sebuah bibir khilaf, Ahok menjadi sasaran kemarahan Umat Islam yang mengorganisirkan diri sebagai pembela Islam dan ajaran-ajaran Muhammad. Seolah tak menghiraukan adanya kebenaran dari lidah tak bertulangnya Ahok, para pejuang itu melancarkan aksi hingga mantan Gubernur DKI itu mendekam dalam tahanan.
Manakala saat mendemo Ahok, kelompok ini kemudian membentuk sebuah aliansi yang diberi nama Gerakan Nasional Pengawal Fatwa MUI (GNPF MUI) untuk menuntut Ahok yang dinilai bersalah oleh MUI. Gerakan yang berangkat dari sebuah pemahaman bahwa keputusan (fatwa) MUI adalah sebuah keniscayaan yang harus ditaati dan diikuti serta harus dikawal. Fatwa MUI menjadi tolak ukur suara umat Islam Indonesia, bahwa Ahok bersalah, telah menistakan agama Islam dan oleh karenanya harus diadili dan dihukum sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Kata maaf yang menjadi konsekuensi kekhilafan manusia tidak lagi menjadi berarti nilainya.
Kyai Ma’ruf Amin selaku ketua MUI disanjung setinggi langit. Gambarnya ada di setiap poster, baliho, dan selebaran, bersanding dengan Rizieq Shihab. Tokoh agama semisal Abdullah Gymnastir (AA Gyim) pun turut berusara membela Kyai Ma’ruf dengan bersumpah atas nama Allah bahwasannya tak rela KH Ma’ruf Amin, guru/orang tua/ulama, pimpinan MUI direndahkan dan diancam siapapun. Semuanya pasang dada menjadi payung atas hujan kritikan yang berjatuhan di sisi Kyai Ma’ruf Amin.
Waktu terus berjalan, Ahok telah mendapatkan imbalan atas keteledoran mulutnya. Umat Islam yang tergabung dalam Gerakan GNPF-MUI pun telah bersorak sorai menyambut hasil kemenangan atas perjuangan mereka. Akan tetapi umat dan bangsa Indonesia tak pernah dibiarkan terlelap. Mata ingatan senantiasa dibirakan melek akan adanya sebuah komitmen dari kelompok-kelompok umat Islam yang siap sedia mengkawal setiap keputusan MUI. Tak perlu waktu yang lama, sang waktu kini menghadirkan kembali sebuah keputusan (fatwa) MUI atas sebuah puisi dari Ibu Sukmawati yang dinilai melecehkan agama Islam. Sebuah puisi yang seolah membuat gap antara umat islam dan kaum nasionalis.
Di sinilah ujian itu bermula. Ujian itu tentang kekonsistenan dalam mengkawal setiap keputusan yang dikelurkan oleh MUI sebagai bagian dari ikrar gerakan yang bernama GNPF-MUI. Tapi sayang, GNPF-MUI seolah keluar dari khitah perjuangan mereka sendiri. Kyai Ma’ruf Amin dicampakan, disumpahi, difitnah, dan dilecehkan. Tak ada lagi rasa hormat terhadap ulama yang dahulu dijunjung tinggi, yang suaranya bak titah Tuhan. Suaranya kini tak lagi didengarkan. Hanya karena pendapatnya berbeda dengan keinginan mereka (GNPF-MUI)
Kekonsistenan menjadi barang langka yang sulit ditemukan. Khitah pergerakan telah ditinggalkan. Umat dan bangsa Indonesia seolah diberi pelajaran oleh sang waktu tentang perbedaan antara orang yang memahami agama dengan benar dan yang mencari pembenaran dalam agama. Orang yang memahami agama dengan benar bertingkah laku atas dasar norma agama yang dipahaminya dengan tulus. Sedangkan orang yang mencari pembenaran dalam agama menentukan dulu apa yang akan dilakukan baru kemudian mencari dasar norma agama (ayat) yang pas untuk membenarkan perilakunya.
Nuansa politik sangat kental dalam narasi pergerakan sekelompok umat islam yang mengikrarkan diri sebagai pembela islam dan penyambung lidah ulama. Asal yang bersalah bukan datang dari kelompok mereka, orang itu harus diadili. Haruslah dihukum meski kata maaf telah terucap. Apalagi orang tersebut adalah lawan bagi mereka.
Agama tidak lagi menjadi rule of mode dalam politik melainkan sebuah instrumen of affirmation politik. Pahaman dan praktik-praktik yang demikian menunjukan betapa sulit tersemai watak-watak baik dan konsisten. Di sisi lain lebih memperlihatkan watak galak dan inkonsisten. Agama tidak lagi menjadi ladang menyemai keikhlasan dan kebaikan untuk kemaslahatan publik, tetapi justru lebih terlihat sebagai tameng perlindungan dan pencarian pembenaran serta pemuas hasrat belaka. Padahal dalam kehidupan politik, agama seharusnya berperan sebagai dinamisator demokratisasi dan pengawal moral politik, bukan kendaraan politik.
Kondisi ini menunjukan bahwa, agama ikut terseret dalam arus perpolitikan bangsa Indonesia hari ini. Agama tidak lagi menjadi penggerak politik itu sendiri, mengarahkan politik agar menciptakan kondisi kehidupan sosial masyarakat yang nyaman dan baik. Atau dalam artian, agama tidak lagi mampu mengarhakan politik agar terciptanya kemaslahatan bersama. Melainkan agama sebagai pembenaran atas setiap tindakan yang dilakukan. Tak jarang, atas nama agama sebuah perilaku kekerasan dan kebringasan itu dilancarkan.
Islam sebagai agama yang rahmatan lil ‘alamin, yang mengharuskan para penganutnya untuk memiliki jiwa pemaaf dan menjadi rahmat bagi umat manusia dan alam seolah tak lagi nampak akhir-akhir ini. Islam ditampakan sebagai agama yang mudah tersulut api amarah dan cepat naik pitam. Dan sering pula yang dibela dan diperjuangkan orang-orang tersebut adalah tentang simbol, bukan esensi. Kulit, bukan isi.
Inilah yang perlu disadari bersama oleh seluruh umat islam, baik dari golongan awam, ulama/tokoh/kyai dan cendikiwan. Dua golongan terakhir ini memiliki porsi yang besar untuk menyadarkan umat kelas awam untuk memahami islam pada esensinya bukan hanya sekedar simbol-simbol belaka. Upaya penyadaran ini mungkin terbilang sulit, akan tetapi menjadi sebuah keharusan. Agar umat golongan awan tidak kemudian menyeret islam ke dalam kepentingan masing-masing. Dan agar nilai-nilai islam tidak menjadi kerdil di mata umat lainnya.
Upaya penyadaran ini juga sebagai bagian proteksi umat agar tidak salah kaprah dalam membela dan memperjuangkan nilai-nilai islam yang luhur dan agung. Agar umat tidak sekadar membela islam, yang jatuhnya (ternyata) mencela islam itu sendiri. Melainkan agama islam benar-benar dihayati dan diresapi kemudian dijadikan sebagai dasar perjuangan untuk menciptakan kemaslahatan publik.
Read more...
 
ZN _ LEFOKISSU © 2017