Banner 468 x 60px

 

Monday, April 25, 2016

ANTARA SANG USTAD DAN SANG ARIF

3 komentar

Ketika sedang asyik-asyiknya menyeruput kopi, sambil menikmati cerahnya pagi di bulan maret, saya teringat sesosok insan yang begitu luar biasa dengan segala bentuk kesederhanaan dan kesahajaan yang dimilikinya. Ketulusan dan keikhlasan menjadikan ia sosok yang tiada banyak menuntut, sebagai sebuah konsekuensi atas apa yang ia dedikasikan. Kami sering menyapanya dengan kanda Anto atau bang Anto, lengkapnya Arianto Achmad.
Mengarungi luasnya samudra udara sampai ke kota karang dengan niatan tulus, menyampaikan ilmu pengetahuan. Bagi kami ilmu yang diajarkannya ialah Hikmah dan Kebijaksanaan. Namun dari semua yang ia berikan, ia tiada menuntut bayaran, tiada pula menuntut menginap di penginapan mahal, atau sekedar makan makanan mewah dan bergizi. Menginap bersama kami di secretariat komisariat kipma, dan makan bersama apa yang kami makan. Tentu servis yang kami berikan ini jauh perbandingannya dengan ilmu yang diajarkanya; sungguh tiada banding. Satu hal yang saya amati kala itu; tiada kata mengeluh, protes dan lainnya sebagainya atas pelayanan kami. Ia seolah menikmati semua kekurangan dan keterbatasan yang kami miliki. Ah, sungguh luar biasa pribadi yang luhur nan agung dan tak bisa terwakilkan oleh tiap kata dalam tulisan ini atas segala tindakan dan dedikasinya.
Setelah beberapa saat bernostalgia bersama kenangan massa lalu dengan beliau, saya teringat,  pernah ada sebuah acara tablig akbar yang diselenggarakan di masjid Nurussadah Fontein, Kupang. Seorang ustad yang tidak ingin saya sebutkan namanya, namun beliau cukup tersohor juga di balik layar kaca TV.  Ustad tersebut diundang ke kota karang (kupang) untuk memberikan ceramah pada acara tabligh akbar tersebut. Karena kedatangannya cukup diketahui masyarakata luas, karena hampir di sudut-sudut jalan kota kupang terpampang poster gambar wajah ustad tersebut. Maka saya pun lantas bertanya kepada salah satu panitia penyelenggara acara tabligh akbar, yang juga merupakan senior (abang) saya di organisasi yang saya geluti; HMI. Bang, berapa biaya yang digelontorkan oleh pihak panitia penyelenggara untuk menghadirkan ustad sekelas ini di kota kupang? Sekitar empat puluhan juta, namun itu belumlah termasuk biaya transportasi (pesawat) dan biaya penginapan jawab abangku itu.
Sejenak saya terdiam namun pikiranku seolah keheranan dan bertanya-tanya. Ah, bukankah bagi mereka (para ustad) cukuplah amal dari rabbNya sudah melebihi segalanya? Iyah, kita memang tidak bisa berpaling dari realitas kehidupan kita hari ini bahwa kita tidak bisa memisahkan diri dari lembaran-lembaran kertas yang diberi nominal. Hampir segala sesuatu membutuhkan uang, namun bukankah biaya di atas sangatlah besar? Dan bukankah konsekuensi dari menjadi seorang ustad ialah menyampaikan pesan dakwah baik ketika dibutuhkan maupun tidak sehingga tiadalah perlu bayaran yang besar seperti itu?
Saya kemudaian mencoba membandingkan dua subjek di atas, jikalau hanya sekedar memberikan ceramah dalam sejam di hargai puluhan juta, lantas berapa jutakah yang perlu kami bayar waktu itu jika saja beliaupun (kanda Anto) juga memiliki jiwa kapitalis dan materialis? Beliau mendedikasikan diri sehari hampir lebih dari dua belas jam dalam sehari; bersimpuh di lantai yang dingin untuk sekedar berbagi pengetahuannya pada kami, dan itu ia lakukan selama sepuluh hari, jika dikalkulasikan lebih kurang 120 jam yang ia habiskan untuk berbagi pengetahuan bersama kami. Tak terbayang jikalau semuanya itu kemudian dihargai dengan uang, tentu kami tak memiliki cukup rupiah yang bisa kami bayar. Terlebih lagi yang ia berikan lebih dari sekedar ceramah.
Pikiranku pun kembali bertanya-tanya, apakah para ustad dan ustadzah yang sering bercokol di balik layar kaca televisi semuanya seperti itu? Menjual belikan kalimat-kalimat Tuhannya untuk menjadi kaya?
Perlahan tanganku merangkak memegang telinga cangkir kopi yang sudah tidak lagi hangat, menyeduhnya dan menikmati pahit manisnya yang saling bertautan menciptakan kenikmatan di tiap seduhannya.

3 komentar:

Unknown said...

mantap. tulisan yg menarik dan singgungan untuk para ustad yg berorientasi kapitalis dan matrealis dalam menyampaikan ilmu Tuhan.
salam untuk kanda anto. semoga sehat selalu

Unknown said...

Salam cinta utk beliau,

Unknown said...
This comment has been removed by the author.

Post a Comment

 
ZN _ LEFOKISSU © 2017