Hari ini, Indonesia seolah mempertontontonkan drama kemunafikan segelintir umat beragama yang mengatasnamakan diri pembela Islam dengan sangat gamblang dan lugasnya. Bau pesing politik seolah menyeruak di balik jubah-jubah keagamaan dan ayat-ayat Ialhiyah. Kekonsitenan menjadi murah harganya manakala gelombang percaturan politik berubah arah. Para tokoh tidak lagi sejalan dengan klas akar rumput yang berbeda haluan politik. Maka agama seolah menjadi mainan yang bisa diutak-atik arahnya. Islam telah di frame sebagai agama yang beringas, mudah marah dan inkonsisten.
Berawal dari sebuah bibir khilaf, Ahok menjadi sasaran kemarahan Umat Islam yang mengorganisirkan diri sebagai pembela Islam dan ajaran-ajaran Muhammad. Seolah tak menghiraukan adanya kebenaran dari lidah tak bertulangnya Ahok, para pejuang itu melancarkan aksi hingga mantan Gubernur DKI itu mendekam dalam tahanan.
Manakala saat mendemo Ahok, kelompok ini kemudian membentuk sebuah aliansi yang diberi nama Gerakan Nasional Pengawal Fatwa MUI (GNPF MUI) untuk menuntut Ahok yang dinilai bersalah oleh MUI. Gerakan yang berangkat dari sebuah pemahaman bahwa keputusan (fatwa) MUI adalah sebuah keniscayaan yang harus ditaati dan diikuti serta harus dikawal. Fatwa MUI menjadi tolak ukur suara umat Islam Indonesia, bahwa Ahok bersalah, telah menistakan agama Islam dan oleh karenanya harus diadili dan dihukum sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Kata maaf yang menjadi konsekuensi kekhilafan manusia tidak lagi menjadi berarti nilainya.
Kyai Ma’ruf Amin selaku ketua MUI disanjung setinggi langit. Gambarnya ada di setiap poster, baliho, dan selebaran, bersanding dengan Rizieq Shihab. Tokoh agama semisal Abdullah Gymnastir (AA Gyim) pun turut berusara membela Kyai Ma’ruf dengan bersumpah atas nama Allah bahwasannya tak rela KH Ma’ruf Amin, guru/orang tua/ulama, pimpinan MUI direndahkan dan diancam siapapun. Semuanya pasang dada menjadi payung atas hujan kritikan yang berjatuhan di sisi Kyai Ma’ruf Amin.
Waktu terus berjalan, Ahok telah mendapatkan imbalan atas keteledoran mulutnya. Umat Islam yang tergabung dalam Gerakan GNPF-MUI pun telah bersorak sorai menyambut hasil kemenangan atas perjuangan mereka. Akan tetapi umat dan bangsa Indonesia tak pernah dibiarkan terlelap. Mata ingatan senantiasa dibirakan melek akan adanya sebuah komitmen dari kelompok-kelompok umat Islam yang siap sedia mengkawal setiap keputusan MUI. Tak perlu waktu yang lama, sang waktu kini menghadirkan kembali sebuah keputusan (fatwa) MUI atas sebuah puisi dari Ibu Sukmawati yang dinilai melecehkan agama Islam. Sebuah puisi yang seolah membuat gap antara umat islam dan kaum nasionalis.
Di sinilah ujian itu bermula. Ujian itu tentang kekonsistenan dalam mengkawal setiap keputusan yang dikelurkan oleh MUI sebagai bagian dari ikrar gerakan yang bernama GNPF-MUI. Tapi sayang, GNPF-MUI seolah keluar dari khitah perjuangan mereka sendiri. Kyai Ma’ruf Amin dicampakan, disumpahi, difitnah, dan dilecehkan. Tak ada lagi rasa hormat terhadap ulama yang dahulu dijunjung tinggi, yang suaranya bak titah Tuhan. Suaranya kini tak lagi didengarkan. Hanya karena pendapatnya berbeda dengan keinginan mereka (GNPF-MUI)
Kekonsistenan menjadi barang langka yang sulit ditemukan. Khitah pergerakan telah ditinggalkan. Umat dan bangsa Indonesia seolah diberi pelajaran oleh sang waktu tentang perbedaan antara orang yang memahami agama dengan benar dan yang mencari pembenaran dalam agama. Orang yang memahami agama dengan benar bertingkah laku atas dasar norma agama yang dipahaminya dengan tulus. Sedangkan orang yang mencari pembenaran dalam agama menentukan dulu apa yang akan dilakukan baru kemudian mencari dasar norma agama (ayat) yang pas untuk membenarkan perilakunya.
Nuansa politik sangat kental dalam narasi pergerakan sekelompok umat islam yang mengikrarkan diri sebagai pembela islam dan penyambung lidah ulama. Asal yang bersalah bukan datang dari kelompok mereka, orang itu harus diadili. Haruslah dihukum meski kata maaf telah terucap. Apalagi orang tersebut adalah lawan bagi mereka.
Agama tidak lagi menjadi rule of mode dalam politik melainkan sebuah instrumen of affirmation politik. Pahaman dan praktik-praktik yang demikian menunjukan betapa sulit tersemai watak-watak baik dan konsisten. Di sisi lain lebih memperlihatkan watak galak dan inkonsisten. Agama tidak lagi menjadi ladang menyemai keikhlasan dan kebaikan untuk kemaslahatan publik, tetapi justru lebih terlihat sebagai tameng perlindungan dan pencarian pembenaran serta pemuas hasrat belaka. Padahal dalam kehidupan politik, agama seharusnya berperan sebagai dinamisator demokratisasi dan pengawal moral politik, bukan kendaraan politik.
Kondisi ini menunjukan bahwa, agama ikut terseret dalam arus perpolitikan bangsa Indonesia hari ini. Agama tidak lagi menjadi penggerak politik itu sendiri, mengarahkan politik agar menciptakan kondisi kehidupan sosial masyarakat yang nyaman dan baik. Atau dalam artian, agama tidak lagi mampu mengarhakan politik agar terciptanya kemaslahatan bersama. Melainkan agama sebagai pembenaran atas setiap tindakan yang dilakukan. Tak jarang, atas nama agama sebuah perilaku kekerasan dan kebringasan itu dilancarkan.
Islam sebagai agama yang rahmatan lil ‘alamin, yang mengharuskan para penganutnya untuk memiliki jiwa pemaaf dan menjadi rahmat bagi umat manusia dan alam seolah tak lagi nampak akhir-akhir ini. Islam ditampakan sebagai agama yang mudah tersulut api amarah dan cepat naik pitam. Dan sering pula yang dibela dan diperjuangkan orang-orang tersebut adalah tentang simbol, bukan esensi. Kulit, bukan isi.
Inilah yang perlu disadari bersama oleh seluruh umat islam, baik dari golongan awam, ulama/tokoh/kyai dan cendikiwan. Dua golongan terakhir ini memiliki porsi yang besar untuk menyadarkan umat kelas awam untuk memahami islam pada esensinya bukan hanya sekedar simbol-simbol belaka. Upaya penyadaran ini mungkin terbilang sulit, akan tetapi menjadi sebuah keharusan. Agar umat golongan awan tidak kemudian menyeret islam ke dalam kepentingan masing-masing. Dan agar nilai-nilai islam tidak menjadi kerdil di mata umat lainnya.
Upaya penyadaran ini juga sebagai bagian proteksi umat agar tidak salah kaprah dalam membela dan memperjuangkan nilai-nilai islam yang luhur dan agung. Agar umat tidak sekadar membela islam, yang jatuhnya (ternyata) mencela islam itu sendiri. Melainkan agama islam benar-benar dihayati dan diresapi kemudian dijadikan sebagai dasar perjuangan untuk menciptakan kemaslahatan publik.
0 komentar:
Post a Comment