Banner 468 x 60px

 

Wednesday, May 4, 2016

Berlian di Tanah Karbala yang Terlupakan

0 komentar


K
etika masih menjadi pelajar di bangku MTs dan MA, saya cukup banyak belajar tentang kegemilangan yang diraih umat Islam melalui salah satu mata pelajaran saat itu yakni Sejarah Kebudayaan Islam (SKI). Lewat penuturan guru mata pelajaran tersebut, maupun buku-buku sejarah yang ada di perpustakaan sekolah kami mempelajari bagaimana perjuangan Rasulullah meletakkan dasar sebuah peradaban yang Illahiyun dan humanis. Kami mempelajari bagaimana getar-getir umat Islam pasca wafatnya Beliau serta pasang surut dunia Islam di era khulafaur-rasyidin. Kami juga mempelajari tumbuh dan matinya kerajaan-kerajaan Islam yang silih berganti, menyaksikan kegemilangan dunia Islam (the golden period of Islam). Betapa sejarah yang luar biasa.
Sayang, sejarah kegemilangan Islam yang sudah terlukis indah di memori remaja saya tersebut, tergerus sedikit demi sedikit oleh arus sejarah baru yang saya temukan di bangku perkuliahan. Sejarah yang bagi saya mengotori wajah umat Islam secara keseluruhan, seolah mematahkan segala ajaran kasih sayang yang pernah digembar-gemborkan umat Islam itu sendiri.
Dunia mengenalnya sebagai Tragedi Karbala. Sebuah peristiwa di mana cucu Rasulullah SAW; orang yang paling disegani dan dicintai seluruh alam; Al Husein bin Ali meregang nyawa di Tanah Karbala, menggadaikan kepalanya. Rasanya terperanjat, tidak percaya. Lalu bertanya-tanyalah saya kepada orang-orang saya rasa memiliki kapasitas pengetahuan mumpuni, termasuk pada Mr Google. Hasilnya sama, membenarkan peristiwa tersebut.
Rentetan pertanyaan pun muncul. Sebegitu kejamkah Orang Islam saat itu, sehingga rela dan berani memenggal kepala yang dulu sering diciumi penuh cinta oleh Rasulullah SAW? Sebegitu kejamkah mereka sehingga tubuh yang dulu selalu ditimang Rasulullah mereka penuhi dengan anak panah, melumurinya dengan darah? Bagaimana nasib orang yang memenggal kepala cucu kesayangan Rasulullah ini di Padang Mahsyar nanti ketika menghadap Rasulullah SAW? Apakah mereka masih memiliki cukup nyali untuk menghadap datuk dari orang yang mereka bunuh di Padang Karbala itu?
Pertanyaan terus berlanjut, mengapa tidak satu pun buku Sejarah Kebudayaan Islam yang mengisahkan sejarah syahidnya cucu Rasulullah tersebut? Apa karena negara ini adalah negara mayoritas Sunni sehingga Peristiwa Karbala yang berbau Syiah tidak ingin diajarkan?
Padahal, bukankah Husein bin Ali itu orang Islam, cucunya Rasulullah SAW? Mengapa kita harus memetakan sejarah berdasarkan mazhab, karena Beliau adalah anak dari Ali bin Abi Thalib? Bukankah Ali juga seorang yang Islam? Bahkan Beliau (Ali) adalah sepupu sekaligus menantu Rasulullah SAW.
Padahal lagi, jika ingin jujur, sungguh luar biasa hikmah yang terdapat pada diri Al Husein sebelum, sesaat dan sesudah Peristiwa Karbala. Begitu besar nilai dan pelajaran yang bisa kita petik di Tanah Karbala, seandainya saja kita mempelajarinya semenjak dini.
Ironis memang, sejarah seolah tak berdaya di bawah kekuasaan mayoritas. Kaum Sunni seolah mengubur sejarah syahidnya Al Husein dengan Tanah Karbala, sehingga jejak Beliau tidak muncul dalam buku-buku Sejarah Kebudayaan Islam yang beredar di madrasah Indonesia, negeri kaum Sunni ini. Kita akhirnya mesti menelan satu lagi sejarah; syahidnya Al Husein tidak lain adalah berlian di Tanah Karbala yang terlupakan.**

0 komentar:

Post a Comment

 
ZN _ LEFOKISSU © 2017