K
|
etika
masih menjadi pelajar di bangku MTs dan MA, saya cukup banyak belajar tentang
kegemilangan yang diraih umat Islam melalui salah satu mata pelajaran saat itu
yakni Sejarah Kebudayaan Islam (SKI). Lewat penuturan guru mata pelajaran
tersebut, maupun buku-buku sejarah yang ada di perpustakaan sekolah kami
mempelajari bagaimana perjuangan Rasulullah meletakkan dasar sebuah peradaban
yang Illahiyun dan humanis. Kami
mempelajari bagaimana getar-getir umat Islam pasca wafatnya Beliau serta pasang
surut dunia Islam di era khulafaur-rasyidin.
Kami juga mempelajari tumbuh dan matinya kerajaan-kerajaan Islam yang silih
berganti, menyaksikan kegemilangan dunia Islam (the golden period of Islam). Betapa sejarah yang luar biasa.
Sayang,
sejarah kegemilangan Islam yang sudah terlukis indah di memori remaja saya
tersebut, tergerus sedikit demi sedikit oleh arus sejarah baru yang saya
temukan di bangku perkuliahan. Sejarah yang bagi saya mengotori wajah umat
Islam secara keseluruhan, seolah mematahkan segala ajaran kasih sayang yang
pernah digembar-gemborkan umat Islam itu sendiri.
Dunia
mengenalnya sebagai Tragedi Karbala. Sebuah peristiwa di mana cucu Rasulullah
SAW; orang yang paling disegani dan dicintai seluruh alam; Al Husein bin Ali
meregang nyawa di Tanah Karbala, menggadaikan kepalanya. Rasanya terperanjat,
tidak percaya. Lalu bertanya-tanyalah saya kepada orang-orang saya rasa
memiliki kapasitas pengetahuan mumpuni, termasuk pada Mr Google. Hasilnya sama,
membenarkan peristiwa tersebut.
Rentetan
pertanyaan pun muncul. Sebegitu kejamkah Orang Islam saat itu, sehingga rela
dan berani memenggal kepala yang dulu sering diciumi penuh cinta oleh
Rasulullah SAW? Sebegitu kejamkah mereka sehingga tubuh yang dulu selalu
ditimang Rasulullah mereka penuhi dengan anak panah, melumurinya dengan darah?
Bagaimana nasib orang yang memenggal kepala cucu kesayangan Rasulullah ini di
Padang Mahsyar nanti ketika menghadap Rasulullah SAW? Apakah mereka masih
memiliki cukup nyali untuk menghadap datuk dari orang yang mereka bunuh di Padang
Karbala itu?
Pertanyaan
terus berlanjut, mengapa tidak satu pun buku Sejarah Kebudayaan Islam yang
mengisahkan sejarah syahidnya cucu Rasulullah tersebut? Apa karena negara ini
adalah negara mayoritas Sunni sehingga Peristiwa Karbala yang berbau Syiah
tidak ingin diajarkan?
Padahal,
bukankah Husein bin Ali itu orang Islam, cucunya Rasulullah SAW? Mengapa kita
harus memetakan sejarah berdasarkan mazhab, karena Beliau adalah anak dari Ali
bin Abi Thalib? Bukankah Ali juga seorang yang Islam? Bahkan Beliau (Ali)
adalah sepupu sekaligus menantu Rasulullah SAW.
Padahal
lagi, jika ingin jujur, sungguh luar biasa hikmah yang terdapat pada diri Al
Husein sebelum, sesaat dan sesudah Peristiwa Karbala. Begitu besar nilai dan
pelajaran yang bisa kita petik di Tanah Karbala, seandainya saja kita
mempelajarinya semenjak dini.
Ironis
memang, sejarah seolah tak berdaya di bawah kekuasaan mayoritas. Kaum Sunni
seolah mengubur sejarah syahidnya Al Husein dengan Tanah Karbala, sehingga
jejak Beliau tidak muncul dalam buku-buku Sejarah Kebudayaan Islam yang beredar
di madrasah Indonesia, negeri kaum Sunni ini. Kita akhirnya mesti menelan satu
lagi sejarah; syahidnya Al Husein tidak lain adalah berlian di Tanah Karbala
yang terlupakan.**
0 komentar:
Post a Comment