Banner 468 x 60px

 

Wednesday, May 4, 2016

WUDHU dan SENTUHAN dalam TAKARAN BUNDA MARYAM

0 komentar
W
udhu merupakan syarat pertama bagi seseorang yang hendak melakukan ibadah shalat. Dalam terminologinya, wudhu adalah ritual membersihkan (menyucikan) diri dengan membasuh muka, kepala, tangan dan kaki dengan menggunakan air bersih dan menyucikan.
Seperti halnya ibadah lain semisal puasa dan shalat, wudhu pun bisa dinilai batal lantaran beberapa hal yang kita kerjakan. Begitu banyak referensi yang menyebutkan apa-apa saja yang membatalkan wudhu, namun yang bagi saya menarik dikaji kali ini ialah batalnya wudhu seseorang yang bersentuhan dengan orang lain yang bukan mahramnya. Lebih khusus lagi, batalnya wudhu seorang lelaki ketika bersentuhan dengan perempuan (yang bukan mahramnya).
Sekali waktu dulu saat bersekolah di Madrasah Aliyah, pernah saya bertanya kepada guru agama terkait hal ini. Sang Guru sontak memaparkan barisan dalil yang mendukung batalnya wudhu karena bersentuhan dengan kaum hawa. Ada beberapa hadits tentang wudhu dan hal-hal yang membatalkan wudhu, terlebih Surat Al Maidah Ayat 6 yang salah satu kalimatnya mengharuskan kita berwudhu atau bertayamum (jika tidak ada air) apabila kita (lelaki) “bersentuhan dengan perempuan”. Saya ingat sempat menyanggah pendapat Sang Guru dengan dalil (hadits) lain di mana Yang Mulia Nabi pernah dalam keadaan berwudhu menciumi salah satu istrinya ketika hendak shalat di masjid. Nabi tidak berwudhu lagi selepas itu, dan langsung mengerjakan shalat. Mendengar sanggahan tersebut, guru saya memberi penjelasan tambahan bahwa boleh saja menyentuh perempuan lain selain mahram saat berwudhu, asal tidak dengan nafsu. Dengan segala keterbatasan dan minimnya rasa ingin tahu, sat itu saya begitu saja  menerima jawaban tersebut tanpa mencoba mengkaji lebih dalam.
Beberapa tahun kemudian, proses belajar mengantarkan saya pada keinginan untuk mencari tahu lebih dalam, termasuk masalah wudhu tadi. Memang ini adalah masalah khilafiyah, di mana setiap orang dengan kedalaman berfikirnya bisa saja berbeda dalam memaknai ayat atau hadits. Lagi-lagi tentang batalnya wudhu lelaki yang bersentuhan dengan perempuan bukan mahram atau sebaliknya; ada yang memandang perlu berwudhu ulang, ada yang tidak. Perbedaan seperti ini sebenarnya tidak lantas menjadi acuan menilai seseorang kafir atau tidak. Boleh-boleh saja kita mempraktekkannya (berwudhu ulang untuk kasus tadi) ataupun tidak. Dan terlepas dari setuju tidak setuju, saya ingin memberikan pandangan dan hasil telaah saya terkait masalah khilafiyah batalnya wudhu tersebut, walaupun ilmu; terutama di bidang fikih; yang saya miliki masih teramat minim.
Berangkat dari Ayat 6 Surat Al Maidah terkait wudhu. Dalam ayat tersebut dicantumkan bahwa wudhu seseorang batal salah satunya jika menyentuh perempuan. Oleh jumhur ulama, menyentuh perempuan di sini berarti bersentuhannya kulit lelaki dan perempuan. Sementara ada sebagian mufassir yang mengartikannya dengan bersetubuh.
Dalam ayat ini kata perempuan tidak dikhususkan kepada siapa-siapa, mahram ataupun bukan. Sehingga apabila kita mengacu pada tafsiran bersentuhan kulit tadi, maka tidak peduli apakah itu ibu, saudara perempuan, dan ataupun anak tidak boleh kita (lelaki) sentuh jika ingin menjaga wudhu agar tidak batal.
Lebih jauh lagi, jikalau tafsiran Ayat 6 Surat Al Maidah ini menurut jumhur ulama yakni bersentuhan kulit secara harafiah semata (kulit bertemu kulit), maka pengertian bersentuhan kulit di sini teramat dangkal. Coba kita lihat kisah Sitti Maryam AS saat mempertanyakan berita kehamilannya pada Sang Malaikat Pembawa Wahyu Jibril AS. Pada kisah tersebut, tersirat makna bersentuhan yang kontradiktif dengan makna bersentuhannya para jumhur ulama dalam Ayat 6 Surat Al Maidah. Pernyataan Sitti Maryam AS saat itu yakni “Bagaimana akan ada bagiku seorang anak laki-laki, sedang tidak pernah seorang manusia pun menyentuhku dan aku bukan (pula) seorang pezinah (QS. Maryam : 20).” Apabila dibawa ke dalam bahasa yang lebih kasar maka bahasa Yang Mulia Sitti Maryam tersebut yakni kurang lebih “Bagaimana bisa aku hamil sedangkan tidak ada seorang laki-laki pun yang menyetubuhiku”. Pertanyaannya, apakah kalimat “tak seorang pun yang menyentuhku”  ini hanya sebatas sentuhan kulit? Tentu tidak. Kita semua mafhum bahwa seorang perempuan tidak akan hamil jika hanya bersentuhan kulit. Ia hanya akan hamil jika bersentuhan dengan laki-laki dalam artian bersetubuh.
Selain itu, jika kata menyentuhku dalam pernyataan Bunda Maryam ditafsirkan sebagai bersentuhan kulit yang sesuai dengan pendapat jumhur ulama tadi, maka siapa yang bisa menjamin bahwasanya  Ibunda Isa Almasih tersebut selama hidupnya benar-benar bebas dari sentuhan kulit laki-laki?! Apakah ayah, paman atau famili laki-laki Sang Bunda tidak pernah menggendong, menciumi atau sekadar mencubitnya semasa ia masih kecil?!
Pertanyaan selanjutnya ialah memangnya manusia itu najis sehingga jikalau kita bersentuhan dengannya maka batal wudhu kita?
Selamat berfikir!


0 komentar:

Post a Comment

 
ZN _ LEFOKISSU © 2017