W
|
udhu
merupakan syarat pertama bagi seseorang yang hendak melakukan ibadah shalat.
Dalam terminologinya, wudhu adalah ritual membersihkan (menyucikan) diri dengan
membasuh muka, kepala, tangan dan kaki dengan menggunakan air bersih dan
menyucikan.
Seperti
halnya ibadah lain semisal puasa dan shalat, wudhu pun bisa dinilai batal
lantaran beberapa hal yang kita kerjakan. Begitu banyak referensi yang
menyebutkan apa-apa saja yang membatalkan wudhu, namun yang bagi saya menarik
dikaji kali ini ialah batalnya wudhu seseorang yang bersentuhan dengan orang
lain yang bukan mahramnya. Lebih khusus lagi, batalnya wudhu seorang lelaki
ketika bersentuhan dengan perempuan (yang bukan mahramnya).
Sekali
waktu dulu saat bersekolah di Madrasah Aliyah, pernah saya bertanya kepada guru
agama terkait hal ini. Sang Guru sontak memaparkan barisan dalil yang mendukung
batalnya wudhu karena bersentuhan dengan kaum hawa. Ada beberapa hadits tentang
wudhu dan hal-hal yang membatalkan wudhu, terlebih Surat Al Maidah Ayat 6 yang
salah satu kalimatnya mengharuskan kita berwudhu atau bertayamum (jika tidak
ada air) apabila kita (lelaki) “bersentuhan
dengan perempuan”. Saya ingat sempat menyanggah pendapat Sang Guru dengan
dalil (hadits) lain di mana Yang Mulia Nabi pernah dalam keadaan berwudhu
menciumi salah satu istrinya ketika hendak shalat di masjid. Nabi tidak
berwudhu lagi selepas itu, dan langsung mengerjakan shalat. Mendengar sanggahan
tersebut, guru saya memberi penjelasan tambahan bahwa boleh saja menyentuh
perempuan lain selain mahram saat berwudhu, asal tidak dengan nafsu. Dengan
segala keterbatasan dan minimnya rasa ingin tahu, sat itu saya begitu saja menerima jawaban tersebut tanpa mencoba
mengkaji lebih dalam.
Beberapa
tahun kemudian, proses belajar mengantarkan saya pada keinginan untuk mencari
tahu lebih dalam, termasuk masalah wudhu tadi. Memang ini adalah masalah
khilafiyah, di mana setiap orang dengan kedalaman berfikirnya bisa saja berbeda
dalam memaknai ayat atau hadits. Lagi-lagi tentang batalnya wudhu lelaki yang
bersentuhan dengan perempuan bukan mahram atau sebaliknya; ada yang memandang
perlu berwudhu ulang, ada yang tidak. Perbedaan seperti ini sebenarnya tidak
lantas menjadi acuan menilai seseorang kafir atau tidak. Boleh-boleh saja kita
mempraktekkannya (berwudhu ulang untuk kasus tadi) ataupun tidak. Dan terlepas
dari setuju tidak setuju, saya ingin memberikan pandangan dan hasil telaah saya
terkait masalah khilafiyah batalnya wudhu tersebut, walaupun ilmu; terutama di
bidang fikih; yang saya miliki masih teramat minim.
Berangkat
dari Ayat 6 Surat Al Maidah terkait wudhu. Dalam ayat tersebut dicantumkan
bahwa wudhu seseorang batal salah satunya jika menyentuh perempuan. Oleh jumhur
ulama, menyentuh perempuan di sini
berarti bersentuhannya kulit lelaki dan perempuan. Sementara ada sebagian
mufassir yang mengartikannya dengan bersetubuh.
Dalam
ayat ini kata perempuan tidak
dikhususkan kepada siapa-siapa, mahram ataupun bukan. Sehingga apabila kita
mengacu pada tafsiran bersentuhan kulit tadi, maka tidak peduli apakah itu ibu,
saudara perempuan, dan ataupun anak tidak boleh kita (lelaki) sentuh jika ingin
menjaga wudhu agar tidak batal.
Lebih
jauh lagi, jikalau tafsiran Ayat 6 Surat Al Maidah ini menurut jumhur ulama
yakni bersentuhan kulit secara
harafiah semata (kulit bertemu kulit), maka pengertian bersentuhan kulit di sini teramat dangkal. Coba kita lihat kisah
Sitti Maryam AS saat mempertanyakan berita kehamilannya pada Sang Malaikat
Pembawa Wahyu Jibril AS. Pada kisah tersebut, tersirat makna bersentuhan yang kontradiktif dengan
makna bersentuhannya para jumhur
ulama dalam Ayat 6 Surat Al Maidah. Pernyataan Sitti Maryam AS saat itu yakni
“Bagaimana akan ada bagiku seorang anak laki-laki, sedang tidak pernah seorang
manusia pun menyentuhku dan aku bukan
(pula) seorang pezinah (QS. Maryam : 20).” Apabila dibawa ke dalam bahasa yang
lebih kasar maka bahasa Yang Mulia Sitti Maryam tersebut yakni kurang lebih
“Bagaimana bisa aku hamil sedangkan tidak ada seorang laki-laki pun yang menyetubuhiku”. Pertanyaannya, apakah
kalimat “tak seorang pun yang menyentuhku” ini hanya sebatas sentuhan kulit? Tentu
tidak. Kita semua mafhum bahwa seorang perempuan tidak akan hamil jika hanya
bersentuhan kulit. Ia hanya akan hamil jika bersentuhan dengan laki-laki dalam
artian bersetubuh.
Selain
itu, jika kata menyentuhku dalam
pernyataan Bunda Maryam ditafsirkan sebagai bersentuhan kulit yang sesuai
dengan pendapat jumhur ulama tadi, maka siapa yang bisa menjamin
bahwasanya Ibunda Isa Almasih tersebut
selama hidupnya benar-benar bebas dari sentuhan kulit laki-laki?! Apakah ayah,
paman atau famili laki-laki Sang Bunda tidak pernah menggendong, menciumi atau
sekadar mencubitnya semasa ia masih kecil?!
Pertanyaan
selanjutnya ialah memangnya manusia itu najis sehingga jikalau kita bersentuhan
dengannya maka batal wudhu kita?
Selamat
berfikir!
0 komentar:
Post a Comment