Pilkada DKI
telah berkembang ke arah yang sangat mengkhawatirkan dan berbahaya. Kini tidak
lagi menjadi persoalan yang berskala lokal (Jakarta), melainkan telah menjadi
viral dalam skala Nasional bahkan Internasional. Salah satunya bisa terlihat
dari pernyataan keras Gubernur Papua yang menyatakan; kalau Ahok tak boleh jadi
Gubernur, biarkan Papua merdeka.
Beragam
tanggapan pro kontra terhadap segala tindak tanduk Gubernur DKI, Basuki Tjahaya
Purnama alias Ahok telah menjadi titik fokus para Politisi, Agamawan, Cendikiawan,
Mahasiswa, dan seluruh lapisan kelas sosial. Hal ini dimanfaatkan dengan baik
oleh pak Basuki. Bagaimana tidak? Beliau yang terlahir sebagai keturunan
Tionghoa dan beragama katolik sudah barang tentu tergolong kaum minoritas di
Indonesia, khususnya di Ibukota Jakarta. Sebagai keturunan Tionghoa dan
berkeyakinan Katolik, Ahok menyadari betul bahwa sulit, jika tidak dikatakan
mustahil untuk memimpin ibukota DKI Jakarta yang mayoritas pribumi dan berkeyakinan
Islam bila dilakukan pemilihan secara langsung.
Maka salah
satu jalan yang mesti ditempuh oleh sang Petahana ini adalah mengubah kelemahan
yang ada pada dirinya menjadi kekuatan, memanfaatkan secara baik kekuatan serta
mengoptimalkan setiap peluang yang dimiliki, sekecil apapun itu. Dan ini
benar-benar dilakukan oleh pak Ahok.
Ahok
menyadari bahwa diantara kaum mayoritas (Islam dan Pribumi) yang ada di
Indonesia, tidak semuanya berpaham fanatik, ada juga yang bersikap rasional dan
moderat, menjunjung tinggi nilai-nilai Pancasila (Dasar Negara Indonesia).
Mereka (kaum moderat rasionalis) ini tidak lagi terpaku pada waham SARA. Bagi
mereka kaum minoritas pun memiliki hak yang sama dengan kaum mayoritas,
sehingga isu SARA tidak layak menjadi komoditi dalam panggung perpolitikan. Mereka
inilah payung yang siap menangkal hujan SARA yang siap mengguyur pak Basuki.
Mereka jugalah kekuatan bagi pak Basuki, selain kekuatan-kekuatan dari dalam
dirinya sendiri; sikap tegas, berani, jujur, dan bersih dari tindak korupsi.
Dengan
berbekal massa yang moderat rasionalis ini, Ahok melangkah dengan tenang dan
penuh keyakinan serta senyum merekah di sekujur bibirnya pada perhelatan
Pilkada DKI 2017. Walaupun beliau tahu, bahwa kelompok moderat rasionalis serta
massa pendukung yang ia miliki belumlah cukup untuk memenangkannya pada
pemilihan nanti. Karena calon lawan yang Ia hadapi nantinya bukanlah dari kaum
minoritas seperti dia, melainkan dari kaum mayoritas. Ini akan menyulitkan dia untuk bisa menjadi orang
nomor satu di DKI pada pemilihan nantinya. Isu SARA bisa saja digunakan oleh
lawan politiknya, apalagi isu tentang Agama. Kita ketahui bersama bahwa Agama
telah menjadi candu bagi masyarakat, sehingga masyarakat tidak dapat berpikir
secara objektif dan rasional, sulit menerima kebenaran dan kebaikan yang datang
dari agama atau orang lain yang tidak sekeyakinan. Agama pada umumnya telah
melahirkan sikap pasif (hanya menerima) terhadap setiap doktrin yang datang. Dengan
demikian agama rentan sebagai penyulut konfik. Inilah yang kemudian
dimanfaatkan oleh Ahok. Dalam hal ini ada tiga strategi politik yang mungkin sedang dimainkan oleh Ahok.
Pertama, dengan mengetahui adanya golongan moderat
rasionalis yang mendukungnya, Ahok menggunakan strategi melukai diri untuk mendapatkan kepercayaan musuh (orang yang tidak
mendukungnya). Sebuah strategi yang bersandar pada proposisi bahwa orang
cenderung bersimpati terhadap orang lain yang mengalami kemalangan. Ini bisa
kita lihat dari penyebaran video (yang sudah diedit) tentang pernyataan beliau
di kepulauan seribu yang mengandung unsur SARA. Video ini sontak menjadi viral
di media massa, dan mendapat berbagai beragam tanggapan; kritikan, kecaman,
cacian, bahkan sampai pada pelaporan atas tindak pelecehan terhadap agama.
Tidak membutuhkan waktu yang lama, video pernyataan pak Ahok versi asli pun
diunggah ke dunia maya, sebagai bentuk pembelaan diri dan klarifikasi atas
kegaduhan yang telah terjadi. Video versi asli ini seolah mengatakan bahwa Ahok
sementara difitnah, ia adalah korban. Juga sekaligus menjadi senjata bagi kaum
moderat rasionalis yang sempat bisu akibat video (editan) yang beredar di
masyarakat. Semakin yakin dan mantaplah bahwa Ahok adalah korban dari mayoritas
atas minoritas.
Kedua, ahok ditantang untuk meminta maaf atas
pernyataannya yang menyinggung umat Islam. Inilah strategi kedua yang dimainkan
Ahok, menangkap ikan di air keruh.
Bahwa dalam keadaan yang kacau atau semrawut, orang-orang kehilangan rasa
orientasi mereka dan mengalami kesulitan untuk membedakan yang palsu dari yang
asli dan yang baik dari yang buruk. Pada strategi pertama Ahok melukai dirinya
untuk menarik simpati lawan (musuh) dan itu dilakukan dengan sempurna oleh
beliau. Video versi asli seolah menciptakan (sebagian) rasa benci menjadi
empati. Bahkan juga menciptakan kegalauan dalam kubu lawan, galau antara terus
membenci atau berempati. Dalam keadaan yang semrawut inilah Ahok tampil sebagai
orang yang tidak sepenuhnya bersalah dan meminta maaf. Jangan kita memandang
sepeleh permintaan maaf beliau, karena permintaan maaf seorang pejabat adalah
senjata yang ampuh untuk mengembalikan kepercayaan terhadapnya serta pemulihan
nama baik di mata masyarakat. Hal ini juga ikut mempengaruhi massa pendukung
yang sementara galau dalam menentukan sikap. Satu alasan mengapa demikian
adalah, karena hanya mereka yang berjiwa besar dan teguhlah yang mampu meminta
maaf atas tindakan yang mereka lakukan, apalagi ia tidak sepenuhnya bersalah.
Di sinilah jaring pak Ahok akan menangkap ikan-ikan baru untuk dimiliki.
Ketiga, ini adalah hal yang perlu kita waspadai
bersama demi menjaga keutuhan NKRI. Negara kesatuan yang dalamnya terhimpun
perbedaan baik agama, suku, ras, bahasa, pulau dan lain sebagainya. Riak
konflik yang terjadi akibat pernyataan Ahok di kepulauan seribu bisa jadi
merupakan politik Adudomba yang coba
dimainkan oleh pak Ahok dan mungkin juga oleh orang-orang yang berdiri
dibelakangnya. Adu domba dalam kubu mayoritas yang terdiri dari kaum
fundamental Islam dan kaum Islam moderat rasional atau antara umat Islam dan
umat agama lainnya. Juga kubu mayoritas berdasarkan etnis; Indonesia dan China
(Tionghoa). Strategi melukai diri yang sudah saya uraikan di atas sedikit banyak
telah membuka peluang ini; ada umat Islam yang pro dan ada pula yang kontra
terhadap pak Ahok, serta pernyataan Gubernur Papua yang saya sebutkan di awal
tulisan ini adalah seuatu yang bisa dikatakan sebagai akibat dari politik adu
domba ini sendiri
Namun,
semoga kemungkinan untuk strategi
yang ketiga ini tidak terjadi. Dan semoga pak Ahok pun tidak sedang dalam
niatan memecahbelah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang kita cintai bersama
ini. Dan mari kita sama-sama menjaga keutuhan dan kedaulatan negara kita
tercinta ini dari orang-orang yang ingin meng-adudomba dan menghancurkan negara
yang berasaskan Pancasila ini.