RAMADHAN DAN SEMANGAT TRANSFORMATIF KEMANUSIAAN
Bagi umat Islam, bulan
Ramadhan merupakan siklus tahunan yang amat fundamental, baik dilihat dari sisi
bahwa pada bulan Ramadhan ada perintah kepada umat Islam untuk melaksanakan
ibadah puasa sebagai salah satu pilar ajaran Islam, maupun dilihat dari aspek
spesifikasi Ramadhan yang didalamnya terdapat pencerahan spiritual yang
tersirat atau terpancar pada wajah orang-orang yang melaksanakan ibadah puasa.
Ramadhan pada dasarnya
adalah media penempaan dan reflektif diri terhadap realitas sosial yang luput
dari kesadaran umat selama sebelas bulan. Bukan hanya sekedar ritual
individualistik yang kering terhadap nilai-nilai kolektif. Hal inilah yang
seringkali luput dan menguap dari semangat umat Islam pada saat dan pasca
Ramadhan.
Pemaknaan Ramadhan
seringkali hanya sebatas pada tataran fiqih. Yakni, sekedar menahan lapar,
dahaga, dan hal-hal yang membatalkan-nya menurut syarat dan ketentuaan tertentu
sejak terbit hingga terbenamnya matahari. Puasa kemudian hanya menjadi ritual
formal, syariah oriented dan kaku,
sekadar menggugurkan kewajiban sehingga pada akhirnya harapan menjadikan
Ramadhan sebagai sarana pertumbuhan kearifan sosial dan proyek kemanusiaan akan
gagal serta tumpul dalam implementasi.
Ramadhan yang sejatinya
memiliki aspek/dampak sosial seringkali menguap bersamaan dengan segelas air
yang membasuh dahaga. Bukannya menjadi sarana penentram dan penstabil kondisi
sosial ekonomi kebangsaan kita yang hari ini dililit hutang serta tercoreng
dengan tindakan segelintir orang yang intoleran.
Di dalam dimensi
ekonomi misalnya, Ramadhan bisa kita katakan menjadi salah satu sarana
kebangkrutan dan pemicu ketidakstabilan ekonomi. Sudah menjadi rahasia umum,
setiap menjelang dan saat ramadhan serta menjelang akhir Ramadhan (memasuki
hari lebaran) kebutuhan sembako meningkat tiga hingga empat kali lipat dari
harga di bulan-bulan lain, bukannya mengalami penurunan. Dan, seharusnya
Ramadhan mampu menciptakan/memberikan dampak turunnya harga sembako, karena
salah satu makna puasa adalah menciptakan pribadi yang hemat dan tidak rakus.
Akhirnya pemerintah pun disibukan dengan mengevaluasi stok sembako saja.
Contoh lain yang dapat disaksikan dengan mata
telanjang adalah setiap bulan puasa, penjual makanan dengan berbagai jenis
memadati hampir setiap sudut kota. Dengan alasan seharian tidak makan, maka
saat berbuka sering dianggap sebagai moment untuk memanjakan lidah dan perut
sepuas-puasnya. Meja-meja makan dan lantai-lantai masjid sesak dipenuhi dengan
aneka ragam menu.
Puasa model ini,
menurut al Ghazali dalam kitab Ihya’ Ulumuddin, merupakan puasa orang awam.
Alih-alih menahan, yang terjadi justeru pemborosan dan pemubaziran. Tentu puasa
yang demikan tidak akan membawa dampak apa-apa, kecuali kerugian disebabkan
terganggunya stabilitas sembako dan gonjang ganjingnya harga kebutuhan pokok.
Puasa juga semestinya
menjadikan kita peka terhadap kondisi sosial masyarakat, merasakan lapar dan
dahaga fakir miskin di bulan-bulan lain, namun yang terjadi malah absurd,
nihil, tak bernilai. Yang seharusnya mendidik kita untuk hemat malah justeru
sebaliknya. Makanan-makanan saat berbuka pun seringkali tidak habis dimakan dan
akhirnya menjadi mubazir dan terbuang percuma.
Kalau kita lacak dalam sandaran teologisnya,
ibadah puasa sarat dengan paham humanisme yang amat kental. Al-Quran sebagai sumber
utama dalam menyampaikan pesan puasa mengajarkan kepada kita, bahwa hidup menyendiri
tanpa memperhatikan dan peduli kepada lingkungan sosialnya tidak ada
referensi Ilahiyah-nya. Hidup sendiri dan mandiri dalam ketunggalan yang mutlak,
dan dalam keesaan yang tidak mengenal ketergantungan apa pun, hanyalah sifat
bagi Allah semata. Dari titik tolak keimanan yang demikian ini manusia
disadarkan untuk mengenal hakikat kehidupannya dan lingkungan sosialnya.
Manusia yang mencapai kesadaran batin yang tinggi memandang alam
semesta di sekitarnya sebagai suatu kesatuan, dimana kehadiran yang satu terkait, tergantung
dan berkepentingan dengan kehadiran yang lain. Dalam hubungan ini, Al-Quran
memberikan petunjuk untuk selalu memelihara kebersamaan sebagai makhluk sosial
dan menempatkan nilai-nilainya ke dalam pola hubungan kemanusiaan dengan tetap
saling menghormati, menjaga, melindungi, mengasihi dan menyantuni sebagaimana
diatur dalam sistem ajarannya. Puasa sebagai salah satu ajaran yang mempunyai
dimensi teologis dengan kekuatan pesan moralnya yang humanis, harus dijalankan berdasarkan
tingkat keikhlasan yang tinggi. Kesadaran batin yang tinggi karena adanya iman yang
tumbuh dan berkembang dalam menjalankan ibadah puasa mempercepat proses
terwujudnya paham humanisme, khusunya kepedulian kepada sesama.
Kepekaan sosial orang yang berpuasa, yang dilatih melalui
pengembaraan spiritual selama puasa, seperti menahan haus dan lapar juga menuntut diaplikasikan
dalam wujud memahami perasaan kaum fakir, miskin dan orang-orang tertindas
lainnya. Orang yang berpuasa akan segera ikut merasakan kepedihan yang mendalam seperti kaum
(kelompok) yang setiap harinya mendapatkan kesulitan-kesulitan penghidupan.
Rentetan peristiwa
demi peristiwa di bulan puasa memperlihatkan bahwa bulan ini benar-benar
merupakan sarana untuk mempengaruhi iman atau memperbaharui iman. Berangkat
dari peristiwa itu, satu hal yang amat substansif sesungguhnya adalah apabila
kebaikan-kebaikan di bulan Ramadhan itu dilakukan secara continue oleh umat Islam, tidak hanya pada bulan Ramadhan. Sebab
keharmonisan hidup merupakan pekerjaan yang harus dilakukan secara terus
menerus, sebab perbutan yang telah menyakiti orang lain ataupun ketidakharmonisan
kehidupan tidak mesti ditebus pada saat Ramadhan saja.
Demikian halnya dengan
sikap pemurah, alangkah indahnya ketika di bulan-bulan lain umat Islam bersikap
pemurah dalam rangka memberikan peluang dan kesempatan kepada kaum mustad’afin
untuk berimprovisasi menentukan hidupnya secara otonom berkat pertolongan si
kaya. Mereka membutuhkan makanan, pakaian dan tempat tinggal tidak hanya pada
bulan Ramadhan.
Lebih lanjut, akan
sangat bermanfaat ketika sikap bermurah hati itu ditunjukan buat bangsa yang sedang
dilanda hutang ini. Mereka yang kaya dengan harta melimpah ruah dan sudah bisa
hilir mudik menunaikan haji, sebaiknya menyisihkan kekayaan untuk membayar
zakat kepada orang-orang yang membutuhkan.
Dengan sikap continue itulah, Ramadhan akan benar-benar
bernuansa transformatif, yakni mengubah sikap yang tidak terpuji menjadi
terpuji, mengubah sikap kikir dan rakus menjadi pemurah dan hidup sederhana,
mengubah kesombongan dan keangkuhan menjadi keramahan dan kebijakan, mengubah
individualistik menjadi sosialistik serta mengubah sikap intoleran menjadi
toleran.
Kalaulah ruh ramadhan
ini tak mampu terserap oleh individu-individu yang berpuasa; Kalaulah
mutiara-mutiara hikmah ramadhan ini tak mampu terimplemenatsikan dalam ranah
sosial maka sebagaimana kata Rasulullah kita berpuasa hanya mendapatkan lapar
dan dahaga. Esensi puasa kosong dalam struktur kehidupan kita. Maka sebagaimana
kata Al-Ghazali di atas tingkatan puasa kita tergolong sebagai tingkatan
awam/kelas bawah.
Berangkat dari
kecenderungan puasa awam tersebut, seharusnya kita terdorong untuk merekonstruksi
makna puasa demi lahirnya kearifan sosial melalui bulan Ramadhan. Namun, hal
ini sesungguhnya akan sangat ditentukan oleh pemahaman dan penghayatan puasa,
yang kemudian dirasakan sepenuhnya bagi kepentingan kemanusiaan secara
universal.
Padahal tuntutan
pelaksanaan puasa sebagai implikasi ajaran tauhid sebagaimana yang digambarkan
oleh Ali Syariati adalah suatu pandangan yang mendunia yang hidup dan penuh
makna, menentang keserakahan dan bertujuan memberantas penyakit yang muncul
dari penumpukan uang dan penyembahan harta. Ali Syariati menghapus stigma
eksploitasi, konsumerisme dan aristokrasi. Dan inilah yang mesti kita hidupi
dalam kehidupan kita sehari-hari terutama di luar bulan Ramadhan.