Banner 468 x 60px

 

Monday, June 5, 2017

RAMADHAN DAN SEMANGAT TRANSFORMATIF KEMANUSIAAN

0 komentar

RAMADHAN DAN SEMANGAT TRANSFORMATIF KEMANUSIAAN

Bagi umat Islam, bulan Ramadhan merupakan siklus tahunan yang amat fundamental, baik dilihat dari sisi bahwa pada bulan Ramadhan ada perintah kepada umat Islam untuk melaksanakan ibadah puasa sebagai salah satu pilar ajaran Islam, maupun dilihat dari aspek spesifikasi Ramadhan yang didalamnya terdapat pencerahan spiritual yang tersirat atau terpancar pada wajah orang-orang yang melaksanakan ibadah puasa.
Ramadhan pada dasarnya adalah media penempaan dan reflektif diri terhadap realitas sosial yang luput dari kesadaran umat selama sebelas bulan. Bukan hanya sekedar ritual individualistik yang kering terhadap nilai-nilai kolektif. Hal inilah yang seringkali luput dan menguap dari semangat umat Islam pada saat dan pasca Ramadhan.
Pemaknaan Ramadhan seringkali hanya sebatas pada tataran fiqih. Yakni, sekedar menahan lapar, dahaga, dan hal-hal yang membatalkan-nya menurut syarat dan ketentuaan tertentu sejak terbit hingga terbenamnya matahari. Puasa kemudian hanya menjadi ritual formal, syariah oriented dan kaku, sekadar menggugurkan kewajiban sehingga pada akhirnya harapan menjadikan Ramadhan sebagai sarana pertumbuhan kearifan sosial dan proyek kemanusiaan akan gagal serta tumpul dalam implementasi.
Ramadhan yang sejatinya memiliki aspek/dampak sosial seringkali menguap bersamaan dengan segelas air yang membasuh dahaga. Bukannya menjadi sarana penentram dan penstabil kondisi sosial ekonomi kebangsaan kita yang hari ini dililit hutang serta tercoreng dengan tindakan segelintir orang yang intoleran.
Di dalam dimensi ekonomi misalnya, Ramadhan bisa kita katakan menjadi salah satu sarana kebangkrutan dan pemicu ketidakstabilan ekonomi. Sudah menjadi rahasia umum, setiap menjelang dan saat ramadhan serta menjelang akhir Ramadhan (memasuki hari lebaran) kebutuhan sembako meningkat tiga hingga empat kali lipat dari harga di bulan-bulan lain, bukannya mengalami penurunan. Dan, seharusnya Ramadhan mampu menciptakan/memberikan dampak turunnya harga sembako, karena salah satu makna puasa adalah menciptakan pribadi yang hemat dan tidak rakus. Akhirnya pemerintah pun disibukan dengan mengevaluasi stok sembako saja.
Contoh  lain yang dapat disaksikan dengan mata telanjang adalah setiap bulan puasa, penjual makanan dengan berbagai jenis memadati hampir setiap sudut kota. Dengan alasan seharian tidak makan, maka saat berbuka sering dianggap sebagai moment untuk memanjakan lidah dan perut sepuas-puasnya. Meja-meja makan dan lantai-lantai masjid sesak dipenuhi dengan aneka ragam menu.
Puasa model ini, menurut al Ghazali dalam kitab Ihya’ Ulumuddin, merupakan puasa orang awam. Alih-alih menahan, yang terjadi justeru pemborosan dan pemubaziran. Tentu puasa yang demikan tidak akan membawa dampak apa-apa, kecuali kerugian disebabkan terganggunya stabilitas sembako dan gonjang ganjingnya harga kebutuhan pokok.
Puasa juga semestinya menjadikan kita peka terhadap kondisi sosial masyarakat, merasakan lapar dan dahaga fakir miskin di bulan-bulan lain, namun yang terjadi malah absurd, nihil, tak bernilai. Yang seharusnya mendidik kita untuk hemat malah justeru sebaliknya. Makanan-makanan saat berbuka pun seringkali tidak habis dimakan dan akhirnya menjadi mubazir dan terbuang percuma.
Kalau kita lacak dalam sandaran teologisnya, ibadah puasa sarat dengan paham humanisme yang amat kental. Al-Quran sebagai sumber utama dalam menyampaikan pesan puasa mengajarkan kepada kita, bahwa hidup menyendiri tanpa memperhatikan dan peduli kepada lingkungan sosialnya tidak ada referensi Ilahiyah-nya. Hidup sendiri dan mandiri dalam ketunggalan yang mutlak, dan dalam keesaan yang tidak mengenal ketergantungan apa pun, hanyalah sifat bagi Allah semata. Dari titik tolak keimanan yang demikian ini manusia disadarkan untuk mengenal hakikat kehidupannya dan lingkungan sosialnya. Manusia yang mencapai kesadaran batin yang tinggi memandang alam semesta di sekitarnya sebagai suatu kesatuan, dimana kehadiran yang satu terkait, tergantung dan berkepentingan dengan kehadiran yang lain. Dalam hubungan ini, Al-Quran memberikan petunjuk untuk selalu memelihara kebersamaan sebagai makhluk sosial dan menempatkan nilai-nilainya ke dalam pola hubungan kemanusiaan dengan tetap saling menghormati, menjaga, melindungi, mengasihi dan menyantuni sebagaimana diatur dalam sistem ajarannya. Puasa sebagai salah satu ajaran yang mempunyai dimensi teologis dengan kekuatan pesan moralnya yang humanis, harus dijalankan berdasarkan tingkat keikhlasan yang tinggi. Kesadaran batin yang tinggi karena adanya iman yang tumbuh dan berkembang dalam menjalankan ibadah puasa mempercepat proses terwujudnya paham humanisme, khusunya kepedulian kepada sesama.
Kepekaan sosial orang yang berpuasa, yang dilatih melalui pengembaraan spiritual selama puasa, seperti menahan haus dan lapar juga menuntut diaplikasikan dalam wujud memahami perasaan kaum fakir, miskin dan orang-orang tertindas lainnya. Orang yang berpuasa akan segera ikut merasakan kepedihan yang mendalam seperti kaum (kelompok) yang setiap harinya mendapatkan kesulitan-kesulitan penghidupan.
Rentetan peristiwa demi peristiwa di bulan puasa memperlihatkan bahwa bulan ini benar-benar merupakan sarana untuk mempengaruhi iman atau memperbaharui iman. Berangkat dari peristiwa itu, satu hal yang amat substansif sesungguhnya adalah apabila kebaikan-kebaikan di bulan Ramadhan itu dilakukan secara continue oleh umat Islam, tidak hanya pada bulan Ramadhan. Sebab keharmonisan hidup merupakan pekerjaan yang harus dilakukan secara terus menerus, sebab perbutan yang telah menyakiti orang lain ataupun ketidakharmonisan kehidupan tidak mesti ditebus pada saat Ramadhan saja.
Demikian halnya dengan sikap pemurah, alangkah indahnya ketika di bulan-bulan lain umat Islam bersikap pemurah dalam rangka memberikan peluang dan kesempatan kepada kaum mustad’afin untuk berimprovisasi menentukan hidupnya secara otonom berkat pertolongan si kaya. Mereka membutuhkan makanan, pakaian dan tempat tinggal tidak hanya pada bulan Ramadhan.
Lebih lanjut, akan sangat bermanfaat ketika sikap bermurah hati itu ditunjukan buat bangsa yang sedang dilanda hutang ini. Mereka yang kaya dengan harta melimpah ruah dan sudah bisa hilir mudik menunaikan haji, sebaiknya menyisihkan kekayaan untuk membayar zakat kepada orang-orang yang membutuhkan.
Dengan sikap continue itulah, Ramadhan akan benar-benar bernuansa transformatif, yakni mengubah sikap yang tidak terpuji menjadi terpuji, mengubah sikap kikir dan rakus menjadi pemurah dan hidup sederhana, mengubah kesombongan dan keangkuhan menjadi keramahan dan kebijakan, mengubah individualistik menjadi sosialistik serta mengubah sikap intoleran menjadi toleran.
Kalaulah ruh ramadhan ini tak mampu terserap oleh individu-individu yang berpuasa; Kalaulah mutiara-mutiara hikmah ramadhan ini tak mampu terimplemenatsikan dalam ranah sosial maka sebagaimana kata Rasulullah kita berpuasa hanya mendapatkan lapar dan dahaga. Esensi puasa kosong dalam struktur kehidupan kita. Maka sebagaimana kata Al-Ghazali di atas tingkatan puasa kita tergolong sebagai tingkatan awam/kelas bawah.
Berangkat dari kecenderungan puasa awam tersebut, seharusnya kita terdorong untuk merekonstruksi makna puasa demi lahirnya kearifan sosial melalui bulan Ramadhan. Namun, hal ini sesungguhnya akan sangat ditentukan oleh pemahaman dan penghayatan puasa, yang kemudian dirasakan sepenuhnya bagi kepentingan kemanusiaan secara universal.
Padahal tuntutan pelaksanaan puasa sebagai implikasi ajaran tauhid sebagaimana yang digambarkan oleh Ali Syariati adalah suatu pandangan yang mendunia yang hidup dan penuh makna, menentang keserakahan dan bertujuan memberantas penyakit yang muncul dari penumpukan uang dan penyembahan harta. Ali Syariati menghapus stigma eksploitasi, konsumerisme dan aristokrasi. Dan inilah yang mesti kita hidupi dalam kehidupan kita sehari-hari terutama di luar bulan Ramadhan.

0 komentar:

Post a Comment

 
ZN _ LEFOKISSU © 2017