Menelaah Hadis-Hadis Tentang
Kafirnya Paman Rasulullah; Abu Thalib
Salah satu problema
umat Islam yang mendapat diskursus yang cukup menarik adalah tentang keberIslamannya
paman Rasulullah, Abu Thalib, ayah dari baginda Ali bin Abi Thalib. Ada dua pandangan
berbeda dalam menilai status keberIslamannya paman Rasulullah ini. Pandangan
yang pro bahwa paman Rasulullah itu beriman kepada Rasulullah umumnya diwakili
oleh kelompok bermazhab Syiah dan yang kontra umumnya bermazhab Sunni dan kaum yang berpaham Wahabi.
Pada dasarnya, kaum
yang kontra, yang mengatakan bahwa paman Rasulullah itu tidak beriman kepada Nabi
Muhammad dan risalah yang dibawakannya
berdiri di atas pijakan hadis-hadis shahih, nash-nash Alqur’an dan fakta
sejarah bahwa paman Rasulullah semasa hidupnya tidak pernah mengucapkan dua
kalimat syahadat; sebuah prasyarat awal keberIslaman seseorang.
Adapun hadis-hadis
shahih yang menjadi landasan argumentasi ketidakberIslamannya paman Rasulullah
tersebut diantaranya;
Pertama, “dari Abu Hurairah ra Rasulullah saw berkata pada pamannya; ucapkannlah
laa ilaaha illallah, nanti akan kupersaksikan untukmu di hari kiamat. Abu
Thalib menjawab; kalau tidak khawatir dicela oleh orang-orang Quraisyh. Mereka
akan berkata, Abu thalib mengucapkan itu karena ia panik. Akan kuucapkan
kalimat itu sehingga membuatmu senang. Kemudian Allah menurunkan firman-Nya (Qs
Al-Qashash: 56); sesungguhnya engkau (Muhammad) tidak mampu menunjuki orang
yang engkau cintai, akan tetapi Allah-lah yang menunjuki siapa yang Dia
kehendaki.” (Riwayat Muslim dalam kitab al-Iman, bab Awwalul Iman Qawlu: Laa
Ilaaha Illallah, 25)
Kedua, “dari Said bin al-Musayyib dari ayahnya, ia berkata; menjelang wafatnya
Abu Thalib, Rasulullah saw datang menemuinya. Saat itu beliau melihat telah
hadir Abu Jahal dan Abdullah bin Abi Umayyah bin al-Mughirah. Rasulullah
berkata; wahai paman, ucapkanlah Laa Ilaha Illallah. Dengan kalimat ini, aku
akan bela engkau nanti di sisi Allah. Abu Jahal dan Abdullah bin Abi Umayyah
menanggapi; Apakah engkau membenci agamanya Abdul Muthalib? Rasulullah saw
terus menawarkan kepada pamannya, namun kedua orang itu juga terus
menimpalinya. Akhirnya Abu Thalib mengatakan kepada mereka; di atas agamanya
Abdul Muthalib, ia enggan mengucapkan Laa Ilaha Illallah. Rasulullah saw mengatakan;
demi Allah, akan kumohonkan ampun untukmu selama aku tidak dilarang. Kemudian
Allah menurunkan firmannya; tidak patut bagi seorang Nabi dan orang-orang yang
beriman untuk memohonkan ampun kepada orang-orang musyrik (Qs At-Taubah: 113).
Allah mengisahkan ayat ini tentang Abu Thalib. Dan untuk Rasulullah saw, Allah
swt berfirman (Qs Al-Qashash: 56); sesungguhnya engkau (Muhammad) tidak mampu
menunjuki orang yang engkau cintai, akan tetapi Allah-lah yang menunjuki siapa
yang Dia kehendaki.” (Diriwayatkan oleh Bukhari dalam kitab Tafsir Alqur’an,
suratu al-Qashash, 4494 dalam Fath al-Bari).
Ketiga, “Dari Abbas bin Abdul Muthalib ra, beliau bertanya kepada Nabi saw;
apakah engkau tidak bisa menolong pamanmu? Karena dia selalu melindungi kamu
dan marah karena kamu. Nabi saw menjawab; dia berada di permukaan neraka. Andai
bukan karena aku, niscaya dia berada di kerak neraka.” (HR. Ahmad dan Bukhari).
Keempat, “dari Abu Said al-Khudri ra,
suatu ketika ada orang yang menyebut tentang paman Nabi saw yaitu Abu Thalib di
samping beliau. Lalu beliau bersabda; semoga dia mendapat syafaatku di hari
kiamat, sehingga Abu Thalib diletakan di permukaan neraka yang membakar mata
kakinya namun otaknya mendidih.” (HR. Bukhari, Muslim dan yang lainnya).
Pada dasarnya banyak
hadis-hadis yang kemudian dijadikan sebagai argumentasi kekafiran/ketidakberIslamannya
Abu Thalib, namun kita cukupkan empat hadis di atas. Karena empat hadis di atas
merupakan hadis-hadis yang dianggap paling shahih di kalangan umat Islam dan
yang paling sering digunakan.
Sekarang, mari kita
telaah hadis-hadis di atas dengan tujuan memberikan pandangan kritis dan
objektif agar kita tidak salah paham terhadap keberIslaman atau tidaknya paman Rasulullah
tersebut.
Pertama, sanad pertama dari hadis pertama di atas (HR.Muslim) adalah Abu
Hurairah. Kita ketahui bersama bahwa Abu
Hurairah masuk Islam di Madinah dan di akhir-akhir masa hidupnya Rasulullah.
Sedangkan Abu Thalib wafat di Makkah sebelum Rasulullah hijrah. Dari hadis yang
diriwayatkan di atas, seolah-olah menggambarkan bahwa Abu Hurairah hadir juga
pada peristiwa wafatnya Abu Thalib sehingga tidak ada sanad pertama sebelum Abu
Hurairah. Sebuah kejanggalan di sini, bagaimana orang yang tidak hadir di suatu
tempat membicarakan kejadian di tempat itu seolah-olah ia menyaksikan kejadian
yang terjadi di tempat itu?
Kedua, pada hadis kedua di atas yang diriwayatkan oleh Bukhari menunjukan
bahwa Asbabun Nuzul Qs At-Taubah ayat 113 adalah pada saat detik-detik terakhir
wafatnya Abu Thalib. Namun, di dalam Alqur’an sendiri surat At-Taubah tergolong
dalam surat-surat Madaniyyah, yang artinya surat yang turun di Madinah.
Sedangkan wafatnya Abu Thalib di makkah. Selain itu di dalam Alqur’an juga,
surat Al-Qashash tergolong dalam surat-surat Makkiyyah, yang artinya surat ini
turunnya di Makkah. Pertanyaannya, bagaimana mungkin dua surat yang turun di
lain tempat dan waktu dimasukan dalam satu hadis yang seolah-olah dua surat itu
turun diwaktu yang relatif bersamaan dan di tempat yang sama?
Ketiga, pada hadis ketiga dan keempat di atas disampaikan bahwa sebenarnya Abu
Thalib menempati neraka paling dasar, namun berkat Rasulullah (Syafaatnya),
paman Rasulullah tersebut diangkat ke neraka paling atas (permukaan neraka).
Pertanyaannya, bukankah hal ini bertentangan dengan Qs At-Taubah ayat 113?
Bahwa; tidak patut bagi seorang Nabi dan orang-orang yang beriman untuk
memohonkan ampun kepada orang-orang musyrik. Jika memang benar paman Rasulullah
tersebut Musyrik, maka tidak ada tawar-menawar ia tetap berada di neraka paling
dalam. Sehingga jika hadis ketiga dan keempat di atas benar, maka ini menjadi
bukti keimanan Abu Thalib. Karena syafaat Rasulullah hanya diperuntukan bagi
orang-orang yang beriman.
Keempat, di dalam Qs Al-Mujaadilah ayat 22, Allah berfirman; “Kalian tidak akan mendapati kaum yang beriman pada Allah dan hari
akhirat, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan
RasulNya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak, atau
saudara-saudara ataupun keluarga mereka. Mereka itulah orang-orang yang telah
menanamkan keimanan dalam hati mereka dengan pertolongan…”
Berdasarkan catatan
sejarah, kita ketahui bahwa kasih sayang Abu Thalib terhadap Rasulullah
melebihi segalanya, bahkan melebihi kecintaannya terhadap anak-anaknya dan
dirinya sendiri. Ia senantiasa menjadi pelindung dan pembela Rasulullah dari
orang-orang Kafir Quraisy kala itu, ia rela mati demi menjaga keponakannya
tersebut. Begitupun Rasulullah, Rasulullah juga sangat mencintai pamannya
tersebut, berhari-hari Rasulullah bersedih atas meninggalnya paman beliau
tersebut. Kasih sayang keduanya pun berlanjut dengan cara Rasulullah mengasuh
Ali bin Abi Thalib, anak Abu Thalib.
Dan berdasarkan ayat
22 surat Al-Mujaadilah di atas, maka tidak mungkin Rasulullah akan saling
berkasih sayang dengan pamannya jika pamannya itu seorang yang kafir, menentang
Allah dan Rasul-Nya. Jika itu dilakukan maka Rasulullah telah melanggar amanah
yang diberikan Allah kepadanya. Sungguh sebuah perbuatan yang tidak pernah
mungkin dilakukan oleh Rasulullah.
Kelima, sebagaimana yang disampaikan oleh Zaini Dahlan; Seorang ulama terkemuka
asal Makkah (1817-1886 M) dalam bab Menetapkan
Keimanan (itsbat al-iman) yang ia kutip dari al-Barzanji bahwa iman ialah
pembenaran hati terhadap ke-Esa-an Tuhan dan risalah Nabi Muhammad saw serta percaya
bahwa semua pesan yang di bawa oleh Nabi saw adalah dari Allah.
Berdasarkan Qs
Al-Mujaadilah di atas juga, Allah mengatakan “Kalian tidak akan mendapati kaum yang beriman pada Allah dan hari
akhirat, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan
RasulNya lanjutan dari ayat tersebut Allah mengatakan Mereka itulah orang-orang yang telah menanamkan keimanan dalam hati
mereka. Bukankah ini telah menegaskan keimanan Abu Thalib?
Selain itu berkaitan dengan
Abu Thalib, tidak pernah ada dalam sejarah umat yang menuliskan tentang
keingkarannya terhadap Allah dan Rasul-Nya selain hadis-hadis di atas yang
sudah kita bantah. Beliau tidak pernah dalam sejarah disebutkan menyembah
berhala, ia mengikuti agamanya Abdul Muthalib, yaitu agama yang dibawakan Nabi
Ibrahim.
Salah satu bukti
sejarah yang tersirat akan pembenaran/keimanan beliau terhadap kerasulan
Muhammad adalah pada saat pertemuan Abu Thalib dan pendeta Buhairah. Setelah
menyaksikan tanda-tanda kenabian yang ada pada Rasulullah, pendeta Buhairah
lantas menyuruh Abu Thalib membawa kembali Rasulullah ke Makkah karena takut
jika terjadi sesuatu terhadap Rasulullah. Akhirnya Abu Thalib pun membatalkan
perjalanan dagangnya ke Syam dan pulang ke Makkah. Jika Abu Thalib tidak
percaya terhadap Kerasulan Muhammad yang disampaikan oleh pendeta Buhairah,
maka pastinya ia akan tetap melanjutkan perjalanan dagangnya ke Syam.
Selanjutnya, bukankah
masalah keimanan dan hati manusia adalah wilayah pengetahuannya Allah?
Sebagaimana firmannya, “sesungguhnya Tuhanmulah yang lebih mengetahui tentang
siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang
yang mendapat petunjuk (Qs An-Nahal: 125).
0 komentar:
Post a Comment