Banner 468 x 60px

 

Tuesday, May 23, 2017

Menelaah Hadis-Hadis Tentang Kafirnya Paman Rasulullah; Abu Thalib

0 komentar
Menelaah Hadis-Hadis Tentang Kafirnya Paman Rasulullah; Abu Thalib

Salah satu problema umat Islam yang mendapat diskursus yang cukup menarik adalah tentang keberIslamannya paman Rasulullah, Abu Thalib, ayah dari baginda Ali bin Abi Thalib. Ada dua pandangan berbeda dalam menilai status keberIslamannya paman Rasulullah ini. Pandangan yang pro bahwa paman Rasulullah itu beriman kepada Rasulullah umumnya diwakili oleh kelompok bermazhab Syiah dan yang kontra umumnya bermazhab Sunni dan kaum yang berpaham Wahabi.
Pada dasarnya, kaum yang kontra, yang mengatakan bahwa paman Rasulullah itu tidak beriman kepada Nabi Muhammad dan risalah yang  dibawakannya berdiri di atas pijakan hadis-hadis shahih, nash-nash Alqur’an dan fakta sejarah bahwa paman Rasulullah semasa hidupnya tidak pernah mengucapkan dua kalimat syahadat; sebuah prasyarat awal keberIslaman seseorang.
Adapun hadis-hadis shahih yang menjadi landasan argumentasi ketidakberIslamannya paman Rasulullah tersebut diantaranya;
Pertama, “dari Abu Hurairah ra Rasulullah saw berkata pada pamannya; ucapkannlah laa ilaaha illallah, nanti akan kupersaksikan untukmu di hari kiamat. Abu Thalib menjawab; kalau tidak khawatir dicela oleh orang-orang Quraisyh. Mereka akan berkata, Abu thalib mengucapkan itu karena ia panik. Akan kuucapkan kalimat itu sehingga membuatmu senang. Kemudian Allah menurunkan firman-Nya (Qs Al-Qashash: 56); sesungguhnya engkau (Muhammad) tidak mampu menunjuki orang yang engkau cintai, akan tetapi Allah-lah yang menunjuki siapa yang Dia kehendaki.” (Riwayat Muslim dalam kitab al-Iman, bab Awwalul Iman Qawlu: Laa Ilaaha Illallah, 25)
Kedua, “dari Said bin al-Musayyib dari ayahnya, ia berkata; menjelang wafatnya Abu Thalib, Rasulullah saw datang menemuinya. Saat itu beliau melihat telah hadir Abu Jahal dan Abdullah bin Abi Umayyah bin al-Mughirah. Rasulullah berkata; wahai paman, ucapkanlah Laa Ilaha Illallah. Dengan kalimat ini, aku akan bela engkau nanti di sisi Allah. Abu Jahal dan Abdullah bin Abi Umayyah menanggapi; Apakah engkau membenci agamanya Abdul Muthalib? Rasulullah saw terus menawarkan kepada pamannya, namun kedua orang itu juga terus menimpalinya. Akhirnya Abu Thalib mengatakan kepada mereka; di atas agamanya Abdul Muthalib, ia enggan mengucapkan Laa Ilaha Illallah. Rasulullah saw mengatakan; demi Allah, akan kumohonkan ampun untukmu selama aku tidak dilarang. Kemudian Allah menurunkan firmannya; tidak patut bagi seorang Nabi dan orang-orang yang beriman untuk memohonkan ampun kepada orang-orang musyrik (Qs At-Taubah: 113). Allah mengisahkan ayat ini tentang Abu Thalib. Dan untuk Rasulullah saw, Allah swt berfirman (Qs Al-Qashash: 56); sesungguhnya engkau (Muhammad) tidak mampu menunjuki orang yang engkau cintai, akan tetapi Allah-lah yang menunjuki siapa yang Dia kehendaki.” (Diriwayatkan oleh Bukhari dalam kitab Tafsir Alqur’an, suratu al-Qashash, 4494 dalam Fath al-Bari).
Ketiga, “Dari Abbas bin Abdul Muthalib ra, beliau bertanya kepada Nabi saw; apakah engkau tidak bisa menolong pamanmu? Karena dia selalu melindungi kamu dan marah karena kamu. Nabi saw menjawab; dia berada di permukaan neraka. Andai bukan karena aku, niscaya dia berada di kerak neraka.” (HR. Ahmad dan Bukhari).
Keempat,  “dari Abu Said al-Khudri ra, suatu ketika ada orang yang menyebut tentang paman Nabi saw yaitu Abu Thalib di samping beliau. Lalu beliau bersabda; semoga dia mendapat syafaatku di hari kiamat, sehingga Abu Thalib diletakan di permukaan neraka yang membakar mata kakinya namun otaknya mendidih.” (HR. Bukhari, Muslim dan yang lainnya).
Pada dasarnya banyak hadis-hadis yang kemudian dijadikan sebagai argumentasi kekafiran/ketidakberIslamannya Abu Thalib, namun kita cukupkan empat hadis di atas. Karena empat hadis di atas merupakan hadis-hadis yang dianggap paling shahih di kalangan umat Islam dan yang paling sering digunakan.
Sekarang, mari kita telaah hadis-hadis di atas dengan tujuan memberikan pandangan kritis dan objektif agar kita tidak salah paham terhadap keberIslaman atau tidaknya paman Rasulullah tersebut.
Pertama, sanad pertama dari hadis pertama di atas (HR.Muslim) adalah Abu Hurairah. Kita ketahui  bersama bahwa Abu Hurairah masuk Islam di Madinah dan di akhir-akhir masa hidupnya Rasulullah. Sedangkan Abu Thalib wafat di Makkah sebelum Rasulullah hijrah. Dari hadis yang diriwayatkan di atas, seolah-olah menggambarkan bahwa Abu Hurairah hadir juga pada peristiwa wafatnya Abu Thalib sehingga tidak ada sanad pertama sebelum Abu Hurairah. Sebuah kejanggalan di sini, bagaimana orang yang tidak hadir di suatu tempat membicarakan kejadian di tempat itu seolah-olah ia menyaksikan kejadian yang terjadi di tempat itu?
Kedua, pada hadis kedua di atas yang diriwayatkan oleh Bukhari menunjukan bahwa Asbabun Nuzul Qs At-Taubah ayat 113 adalah pada saat detik-detik terakhir wafatnya Abu Thalib. Namun, di dalam Alqur’an sendiri surat At-Taubah tergolong dalam surat-surat Madaniyyah, yang artinya surat yang turun di Madinah. Sedangkan wafatnya Abu Thalib di makkah. Selain itu di dalam Alqur’an juga, surat Al-Qashash tergolong dalam surat-surat Makkiyyah, yang artinya surat ini turunnya di Makkah. Pertanyaannya, bagaimana mungkin dua surat yang turun di lain tempat dan waktu dimasukan dalam satu hadis yang seolah-olah dua surat itu turun diwaktu yang relatif bersamaan dan di tempat yang sama?
Ketiga, pada hadis ketiga dan keempat di atas disampaikan bahwa sebenarnya Abu Thalib menempati neraka paling dasar, namun berkat Rasulullah (Syafaatnya), paman Rasulullah tersebut diangkat ke neraka paling atas (permukaan neraka). Pertanyaannya, bukankah hal ini bertentangan dengan Qs At-Taubah ayat 113? Bahwa; tidak patut bagi seorang Nabi dan orang-orang yang beriman untuk memohonkan ampun kepada orang-orang musyrik. Jika memang benar paman Rasulullah tersebut Musyrik, maka tidak ada tawar-menawar ia tetap berada di neraka paling dalam. Sehingga jika hadis ketiga dan keempat di atas benar, maka ini menjadi bukti keimanan Abu Thalib. Karena syafaat Rasulullah hanya diperuntukan bagi orang-orang yang beriman.
Keempat, di dalam Qs Al-Mujaadilah ayat 22, Allah berfirman; “Kalian tidak akan mendapati kaum yang beriman pada Allah dan hari akhirat, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan RasulNya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak, atau saudara-saudara ataupun keluarga mereka. Mereka itulah orang-orang yang telah menanamkan keimanan dalam hati mereka dengan pertolongan…”
Berdasarkan catatan sejarah, kita ketahui bahwa kasih sayang Abu Thalib terhadap Rasulullah melebihi segalanya, bahkan melebihi kecintaannya terhadap anak-anaknya dan dirinya sendiri. Ia senantiasa menjadi pelindung dan pembela Rasulullah dari orang-orang Kafir Quraisy kala itu, ia rela mati demi menjaga keponakannya tersebut. Begitupun Rasulullah, Rasulullah juga sangat mencintai pamannya tersebut, berhari-hari Rasulullah bersedih atas meninggalnya paman beliau tersebut. Kasih sayang keduanya pun berlanjut dengan cara Rasulullah mengasuh Ali bin Abi Thalib, anak Abu Thalib.
Dan berdasarkan ayat 22 surat Al-Mujaadilah di atas, maka tidak mungkin Rasulullah akan saling berkasih sayang dengan pamannya jika pamannya itu seorang yang kafir, menentang Allah dan Rasul-Nya. Jika itu dilakukan maka Rasulullah telah melanggar amanah yang diberikan Allah kepadanya. Sungguh sebuah perbuatan yang tidak pernah mungkin dilakukan oleh Rasulullah.
Kelima, sebagaimana yang disampaikan oleh Zaini Dahlan; Seorang ulama terkemuka asal Makkah (1817-1886 M) dalam bab Menetapkan Keimanan (itsbat al-iman) yang ia kutip dari al-Barzanji bahwa iman ialah pembenaran hati terhadap ke-Esa-an Tuhan dan risalah Nabi Muhammad saw serta percaya bahwa semua pesan yang di bawa oleh Nabi saw adalah dari Allah.
Berdasarkan Qs Al-Mujaadilah di atas juga, Allah mengatakan “Kalian tidak akan mendapati kaum yang beriman pada Allah dan hari akhirat, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan RasulNya lanjutan dari ayat tersebut Allah mengatakan Mereka itulah orang-orang yang telah menanamkan keimanan dalam hati mereka. Bukankah ini telah menegaskan keimanan Abu Thalib?
Selain itu berkaitan dengan Abu Thalib, tidak pernah ada dalam sejarah umat yang menuliskan tentang keingkarannya terhadap Allah dan Rasul-Nya selain hadis-hadis di atas yang sudah kita bantah. Beliau tidak pernah dalam sejarah disebutkan menyembah berhala, ia mengikuti agamanya Abdul Muthalib, yaitu agama yang dibawakan Nabi Ibrahim.
Salah satu bukti sejarah yang tersirat akan pembenaran/keimanan beliau terhadap kerasulan Muhammad adalah pada saat pertemuan Abu Thalib dan pendeta Buhairah. Setelah menyaksikan tanda-tanda kenabian yang ada pada Rasulullah, pendeta Buhairah lantas menyuruh Abu Thalib membawa kembali Rasulullah ke Makkah karena takut jika terjadi sesuatu terhadap Rasulullah. Akhirnya Abu Thalib pun membatalkan perjalanan dagangnya ke Syam dan pulang ke Makkah. Jika Abu Thalib tidak percaya terhadap Kerasulan Muhammad yang disampaikan oleh pendeta Buhairah, maka pastinya ia akan tetap melanjutkan perjalanan dagangnya ke Syam.
Selanjutnya, bukankah masalah keimanan dan hati manusia adalah wilayah pengetahuannya Allah? Sebagaimana firmannya, “sesungguhnya Tuhanmulah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk (Qs An-Nahal: 125).

0 komentar:

Post a Comment

 
ZN _ LEFOKISSU © 2017