Banner 468 x 60px

 

Monday, May 15, 2017

Matinya Negara Indonesia di Pulau Kera

0 komentar
Senja di Pulau Kera
Matinya Negara Indonesia di Pulau Kera

Pulau Kera sebagai salah satu dari sekian ribu pulau yang ada di bumi Nusantara. Secara geografis pulau kecil ini masuk dalam peta Nusantara, diapit oleh dua buah pulau yakni pulau Timor dan pulau Semau. Secara demografis ada sekitar 101 Kepala Keluarga (KK) dan 400-an warga yang menetap di pulau ini dengan mayoritas bermata pencaharian sebagai nelayan. Karena mayoritas penduduk yang hidup di sini ber-suku Bajo (Suku Laut), salah satu suku yang terkenal dengan keahlian mereka dalam melaut. Sedangkan secara administrasi pulau ini masuk dalam wilayah kabupaten Kupang. Walaupun demikian, pemerintah kabupaten Kupang yang telah terbentuk sejak tahun 1958, baru pada tahun 2014 dibentuklah sistem pemerintahan terkecil di pulau ini, 2 RT dan 1 RW.
Meski masuk dalam wilayah geografis Indonesia, pulau ini dan warga yang menetap di dalamnya seolah tidak mendapatkan pengakuan secara administratif oleh pemerintah Indonesia dalam hal ini pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur dan pemerintah Kabupaten Kupang. Salah satu indikasi paling mendasar adalah warga tidak memiliki Kartu Tanda Penduduk (KTP), meski sistem pemerintahan terkecilnya telah terbentuk. Bahkan ketua RT dan RW-nya pun tidak memiliki KTP. RT/RW yang dibentuk pun belum memiliki “ketegasan” kejelasan desa atau kecamatan mana yang menjadi wilayah administratif hirarkisnya. Akibatnya masyarakat Pulau Kera mengalami kesulitan dalam memperoleh pelayanan publik, baik dari segi hukum, pendidikan, ekonomi, kesehatan dan lain sebagainya. Masyarakat kesulitan mengurus KTP, Akta Nikah, Kartu Keluarga, Akta Kelahiran dan hak-hak administratif lainnya yang menjadi syarat pengakauan sebagai Warga Negara Indonesia. Buntut dari ini juga, masyarakat tidak pernah merasakan pelayanan pemerintah seperti bantuan Raskin, BLT, Kartu Indonesia Sehat dan sejumlah bantuan lainnya baik dari pemerintah provinsi maupun kabupaten.
Walaupun secara administratif geografis dan demografis belum mengalami kejelasan, namun di setiap momentum Pemilu baik Pilbup, Pilgub, Pileg dan Pilpres masyarakat Pulau Kera selalu dilibatkan. Demokrasi pada saat pemilu bukan lagi menjadi hak bagi mereka, akan tetapi menjadi kewajiban. Sehingga mereka harus terlibat di dalamnya meski mereka tidak memiliki KTP. Padahal sebenarnya ini melanggar hukum dalam pemilu.
Sebuah ironi memang sedang terjadi di sini, di salah satu wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Negara yang telah 70-an tahun merdeka, namun tidak bagi warga di Pulau Kera ini. Mereka seolah ada/diakui pada saat pemilu, setelah itu mereka dihilangkan begitu saja. Hak suara yang mereka berikan dengan penuh harapan, kelak mereka lebih diperhatikan, kondisi mereka saat ini dapat diperjuangkan, hak-hak mereka dapat dipenuhi selalu bertepuk sebelah tangan. Para politisi hanya menjadikan mereka sebagai objek untuk memenuhi hasrat kemenangan mereka.
Semenjak negara ini merdeka, warga di sini selalu terisolir. Pendidikan yang menjadi salah satu elemen penting untuk memajukan sebuah negara dan juga merupakan amanat UUD 1945, tidak jua mereka cicipi. Pelayanan kesehatan pun jauh dari mereka. Fasilitas pendidikan dan kesehatan tidak pernah mereka nikmati.
Tidak cukup sampai di situ ironi dan prahara yang terjadi. Pada tahun 2003 ada rencana pemerintah Kabupaten Kupang untuk merelokasi masyarakat Pulau Kera dari tanah kelahiran mereka dengan alasan Pulau Kera ingin dijadikan sebagai tempat Wisata. Namun missi sebenarnya adalah ingin menjadikan Pulau Kera sebagai tempat PERJUDIAN dan PROSTITUSI. Dan belakangan diketahui dalang di balik rencana perelokasian yang mengatasnamakan Pemerintah Kabupaten Kupang adalah Perusahan PITOBY.
Salah Satu Bibir Pantai Pulau Kera
Beberapa tempat pun disediakan pemerintah untuk merelokasikan mereka. Tempat yang pertama adalah Sulamu, saat itu pemerintah menjanjikan tanah seluas 1 hektar dengan fasilitas lengkap termasuk fasilitas tanah, namun itu tidak terealisasi dengan baik. Karena masyarakat Sulamu yang memiliki tanah saat itu melakukan aksi demonstrasi penolakan kedatangan warga baru karena menempati tanah milik mereka yang belum dibayar oleh pemerintah kabupaten. Selanjutnya masyarakat Pulau Kera ingin dipindahkan lagi ke Amadoke tepatnya di Pulau Semau, dengan pertimbangan permukiman yang akan ditempati masyarakat Pulau Kera berada sekitar 400 M dari pesisir pantai, namun lagi-lagi masyarakat Pulau Kera dihadapkan dengan kekecewaan yang mendalam. Pada faktanya lokasi pemukiman yang menjadi target berada sekitar 4 kilometer lebih dari bibir pantai. Tentunya masyarakat Pulau Kera tidak mau direlokasi ke tempat itu, sebab masyarakat Pulau Kera pada dasarnya menggantungkan hidupnya dengan laut maka tidaklah manusiawi ketika mereka direlokasi ke pegunungan, selain itu rumah yang disediakan adalah milik TRANS LOK yang dikontrak oleh pemerintah dengan limit waktu hanya 3 tahun lamanya.
Pembohongan terus dilakukan pihak pemerintah kepada masyarakat Pulau Kera yang pada akhirnya membuat masyarakat Pulau Kera jenuh terhadap pemerintah Kabupaten Kupang dan menyatakan sikapnya untuk menolak rencana pemerintah terkait perelokasian mereka sampai-sampai keluar pernyataan bahwa “Lebih baik mati berkalang tanah di Pulau Kera, daripada hidup bercermin bangkai, daripada dibohongi”. Karena itulah masyarakat Pulau Kera sampai saat ini masih menetap di Pulau Kera. Sebuah perjuangan hidup yang begitu dilematis telah dirasakan oleh masyarakat Pulau Kera dalam mempertahankan hak-hak mereka yang selalu digerogoti oleh pemerintah saat itu, tragedi tahun 2003 itu berlangsung hingga tahun 2005 yang pada akhirnya masyarakat Pulau Kera tidak jadi direlokasi.
Setelah kurang lebih 8 tahun lamanya masyarakat Pulau Kera melewati tragedi tersebut, mereka  kembali dihentakan oleh berita yang hampir sama dengan tragedi yang terjadi pada tahun 2003. Dengan  adanya berita terkait rencana perelokasian masyarakat Pulau Kera, masyarakat seakan digiring kembali untuk merasakan duka lama yang belum sempat diobati oleh pemerintah Kabupaten Kupang. Saat itu perusahaan Pitoby katanya telah mengantongi izin dari pemerintah Kabupaten Kupang untuk mendirikan Resort Internasional di Pulau Kera, tentunya masyarakat Pulau Kera secara otomatis akan direlokasi lagi. Namun duka masa lampau tentunya masih sangat terasa oleh masyarakat Pulau Kera. Berdasarkan kunjungan yang dilakukan HMI Cabang Kupang pada 24 Juli dan 30 Juli 2014, masyarakat Pulau Kera dengan tegas menyatakan bahwa mereka Tidak Mau Direlokasi. Hal ini dikarenakan adanya bukti historis yakni tragedi yang terjadi pada tahun 2003. Masyarakat Pulau Kera beberapa kali dibohongi sampai pada akhirnya tidak jadi direlokasi, selain itu terkait masalah pembangunan ini belum ada sosialisasi kepada masyarakat Pulau Kera bahwa adanya rencana perelokasian baik dari pihak perusahan Pitoby maupun Pemerintah.
Yang terbaru, 2017, berdasarkan laporan warga Pulau Kera kepada HMI Cabang Kupang, sebagai organisasi Kemahasiswaan yang sedari awal peduli terhadap warga Pulau Kera, mengatakan ada rencana dari pihak Pitoby yang ingin membangun pelabuhan di sana. Pihak pemerintah kabupaten Kupang pun kembali merencanakan relokasi warga ke desa Sulamu. Namun, warga tetap tidak mau direlokasikan karena melihat kebohongan-kebohongan yang telah lalu dan tuntutan warga yang tidak bisa dipenuhi oleh pihak pemerintah Kabupaten.
HMI Cbg Kupang Menyerahkan Alquran Untuk Warga Pulau Kera
Prahara demi prahara terus terjadi, kebohongan demi kebohongan terus dilakukan, janji demi janji terus ditebarkan, warga kecil pun selalu tertindas oleh ketidak adilan dan kesewenang-wenangan. Negara sebagai institusi tempat bernaungnya masyarakat seolah membiarkan cacat sosial (ketidak adilan dan penindasan) terus berlanjut. Negara yang seharusnya melindungi, melayani, mengayomi, mencerdaskan kehidupan bangsa, memajukan kesejahteraan sosial bagi penduduknya seolah kini telah mati di Pulau Kera sehingga segala tugas, fungsi dan tujuan negara tidak di rasakan oleh masyarakat di sana. Ibarat makhluk hidup, bagi warga Pulau Kera, Negara Indonesia telah kehilangan ruh (entitas penggerak jasad) dan Negara Indonesia kini tinggal bangkainya saja.  Tinggal bau busuk kebohongan dan janji-janji yang terus tercium oleh mereka. Begitupun keadilan. Ibarat bangkai, keadilan hanya bisa dinikmati oleh anjing-anjing serakah, lalat-lalat dan ulat-ulat menjijikan, sedang kita manusia hanya bisa berdiri dan melihatnya hingga tiba saatnya kita pun akan mati dan disantap oleh binatang-binatang serakah dan menjijikan itu. Itulah yang di rasakan warga Pulau kera sejak awal tahun 2000-an hingga detik ini.

0 komentar:

Post a Comment

 
ZN _ LEFOKISSU © 2017