Senja di Pulau Kera |
Matinya Negara Indonesia di Pulau
Kera
Pulau Kera sebagai
salah satu dari sekian ribu pulau yang ada di bumi Nusantara. Secara geografis
pulau kecil ini masuk dalam peta Nusantara, diapit oleh dua buah pulau yakni
pulau Timor dan pulau Semau. Secara demografis ada sekitar 101 Kepala Keluarga (KK)
dan 400-an warga yang menetap di pulau ini dengan mayoritas bermata pencaharian
sebagai nelayan. Karena mayoritas penduduk yang hidup di sini ber-suku Bajo
(Suku Laut), salah satu suku yang terkenal dengan keahlian mereka dalam melaut.
Sedangkan secara administrasi pulau ini masuk dalam wilayah kabupaten Kupang.
Walaupun demikian, pemerintah kabupaten Kupang yang telah terbentuk sejak tahun
1958, baru pada tahun 2014 dibentuklah sistem pemerintahan terkecil di pulau
ini, 2 RT dan 1 RW.
Meski masuk dalam
wilayah geografis Indonesia, pulau ini dan warga yang menetap di dalamnya
seolah tidak mendapatkan pengakuan secara administratif oleh pemerintah
Indonesia dalam hal ini pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur dan pemerintah
Kabupaten Kupang. Salah satu indikasi paling mendasar adalah warga tidak
memiliki Kartu Tanda Penduduk (KTP), meski sistem pemerintahan terkecilnya
telah terbentuk. Bahkan ketua RT dan RW-nya pun tidak memiliki KTP. RT/RW yang
dibentuk pun belum memiliki “ketegasan” kejelasan desa atau kecamatan mana yang
menjadi wilayah administratif hirarkisnya. Akibatnya masyarakat Pulau Kera
mengalami kesulitan dalam memperoleh pelayanan publik, baik dari segi hukum,
pendidikan, ekonomi, kesehatan dan lain sebagainya. Masyarakat kesulitan
mengurus KTP, Akta Nikah, Kartu Keluarga, Akta Kelahiran dan hak-hak
administratif lainnya yang menjadi syarat pengakauan sebagai Warga Negara
Indonesia. Buntut dari ini juga, masyarakat tidak pernah merasakan pelayanan
pemerintah seperti bantuan Raskin, BLT, Kartu Indonesia Sehat dan sejumlah
bantuan lainnya baik dari pemerintah provinsi maupun kabupaten.
Walaupun secara
administratif geografis dan demografis belum mengalami kejelasan, namun di
setiap momentum Pemilu baik Pilbup, Pilgub, Pileg dan Pilpres masyarakat Pulau
Kera selalu dilibatkan. Demokrasi pada saat pemilu bukan lagi menjadi hak bagi
mereka, akan tetapi menjadi kewajiban. Sehingga mereka harus terlibat di
dalamnya meski mereka tidak memiliki KTP. Padahal sebenarnya ini melanggar
hukum dalam pemilu.
Sebuah ironi memang
sedang terjadi di sini, di salah satu wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Negara yang telah 70-an tahun merdeka, namun tidak bagi warga di Pulau
Kera ini. Mereka seolah ada/diakui
pada saat pemilu, setelah itu mereka dihilangkan
begitu saja. Hak suara yang mereka berikan dengan penuh harapan, kelak mereka
lebih diperhatikan, kondisi mereka saat ini dapat diperjuangkan, hak-hak mereka
dapat dipenuhi selalu bertepuk sebelah tangan. Para politisi hanya menjadikan
mereka sebagai objek untuk memenuhi hasrat kemenangan mereka.
Semenjak negara ini
merdeka, warga di sini selalu terisolir. Pendidikan yang menjadi salah satu
elemen penting untuk memajukan sebuah negara dan juga merupakan amanat UUD
1945, tidak jua mereka cicipi. Pelayanan kesehatan pun jauh dari mereka. Fasilitas
pendidikan dan kesehatan tidak pernah mereka nikmati.
Tidak cukup sampai di
situ ironi dan prahara yang terjadi. Pada tahun 2003
ada rencana pemerintah Kabupaten Kupang untuk merelokasi masyarakat Pulau Kera
dari tanah kelahiran mereka
dengan alasan Pulau Kera ingin dijadikan sebagai tempat Wisata. Namun missi
sebenarnya adalah ingin menjadikan Pulau Kera sebagai tempat PERJUDIAN dan
PROSTITUSI. Dan belakangan diketahui dalang di balik rencana perelokasian yang
mengatasnamakan Pemerintah Kabupaten Kupang adalah Perusahan PITOBY.
Salah Satu Bibir Pantai Pulau Kera |
Beberapa tempat
pun disediakan pemerintah untuk merelokasikan mereka.
Tempat yang pertama adalah Sulamu, saat itu pemerintah menjanjikan tanah seluas
1 hektar dengan fasilitas lengkap termasuk fasilitas tanah, namun itu tidak terealisasi dengan baik.
Karena masyarakat Sulamu yang memiliki tanah saat itu melakukan aksi demonstrasi penolakan
kedatangan warga baru karena menempati tanah milik mereka yang belum dibayar
oleh pemerintah kabupaten. Selanjutnya
masyarakat Pulau Kera ingin dipindahkan
lagi ke Amadoke tepatnya di Pulau Semau, dengan pertimbangan permukiman yang
akan ditempati masyarakat Pulau Kera berada sekitar 400 M dari pesisir
pantai, namun lagi-lagi masyarakat Pulau Kera dihadapkan dengan kekecewaan yang
mendalam. Pada faktanya lokasi pemukiman yang menjadi target berada sekitar 4
kilometer lebih dari bibir pantai. Tentunya masyarakat Pulau Kera tidak mau
direlokasi ke tempat itu, sebab masyarakat Pulau Kera pada dasarnya
menggantungkan hidupnya dengan laut maka tidaklah manusiawi ketika mereka
direlokasi ke pegunungan, selain itu rumah yang disediakan adalah milik TRANS
LOK yang dikontrak oleh pemerintah dengan limit waktu hanya 3 tahun lamanya.
Pembohongan terus dilakukan pihak
pemerintah kepada masyarakat Pulau Kera yang pada akhirnya membuat masyarakat Pulau
Kera jenuh terhadap pemerintah Kabupaten Kupang dan menyatakan sikapnya untuk
menolak rencana pemerintah terkait perelokasian mereka sampai-sampai keluar
pernyataan bahwa “Lebih baik mati berkalang tanah di Pulau Kera, daripada hidup
bercermin bangkai, daripada dibohongi”. Karena itulah masyarakat Pulau Kera
sampai saat ini masih menetap di Pulau Kera. Sebuah perjuangan hidup yang
begitu dilematis telah dirasakan oleh masyarakat Pulau Kera dalam
mempertahankan hak-hak mereka yang selalu digerogoti oleh pemerintah saat itu,
tragedi tahun 2003 itu berlangsung hingga tahun 2005 yang pada akhirnya
masyarakat Pulau Kera tidak jadi direlokasi.
Setelah kurang lebih 8 tahun
lamanya masyarakat Pulau Kera melewati tragedi tersebut, mereka kembali dihentakan oleh berita yang hampir
sama dengan tragedi yang terjadi pada tahun 2003. Dengan adanya berita terkait rencana perelokasian
masyarakat Pulau Kera, masyarakat seakan digiring kembali untuk merasakan duka
lama yang belum sempat diobati oleh pemerintah Kabupaten Kupang. Saat itu
perusahaan Pitoby katanya telah mengantongi izin dari pemerintah Kabupaten
Kupang untuk mendirikan Resort Internasional di Pulau Kera, tentunya masyarakat
Pulau Kera secara otomatis akan direlokasi lagi. Namun duka masa lampau
tentunya masih sangat terasa oleh masyarakat Pulau Kera. Berdasarkan kunjungan
yang dilakukan HMI Cabang Kupang pada 24 Juli dan 30 Juli 2014, masyarakat Pulau
Kera dengan tegas menyatakan bahwa mereka Tidak
Mau Direlokasi. Hal ini dikarenakan adanya bukti historis yakni tragedi
yang terjadi pada tahun 2003. Masyarakat Pulau Kera beberapa kali dibohongi
sampai pada akhirnya tidak jadi direlokasi, selain itu terkait masalah
pembangunan ini belum ada sosialisasi kepada masyarakat Pulau Kera bahwa adanya
rencana perelokasian baik dari pihak perusahan Pitoby maupun Pemerintah.
Yang terbaru,
2017, berdasarkan laporan warga Pulau Kera kepada HMI Cabang Kupang, sebagai
organisasi Kemahasiswaan yang sedari awal peduli terhadap warga Pulau Kera, mengatakan
ada rencana dari pihak Pitoby yang ingin membangun pelabuhan di sana. Pihak
pemerintah kabupaten Kupang pun kembali merencanakan relokasi warga ke desa
Sulamu. Namun, warga tetap tidak mau direlokasikan karena melihat
kebohongan-kebohongan yang telah lalu dan tuntutan warga yang tidak bisa
dipenuhi oleh pihak pemerintah Kabupaten.
HMI Cbg Kupang Menyerahkan Alquran Untuk Warga Pulau Kera |
Prahara demi prahara
terus terjadi, kebohongan demi kebohongan terus dilakukan, janji demi janji
terus ditebarkan, warga kecil pun selalu tertindas oleh ketidak adilan dan
kesewenang-wenangan. Negara sebagai institusi tempat bernaungnya masyarakat
seolah membiarkan cacat sosial (ketidak adilan dan penindasan) terus berlanjut.
Negara yang seharusnya melindungi, melayani, mengayomi, mencerdaskan kehidupan
bangsa, memajukan kesejahteraan sosial bagi penduduknya seolah kini telah mati
di Pulau Kera sehingga segala tugas, fungsi dan tujuan negara tidak di rasakan
oleh masyarakat di sana. Ibarat makhluk hidup, bagi warga Pulau Kera, Negara
Indonesia telah kehilangan ruh (entitas penggerak jasad) dan Negara Indonesia
kini tinggal bangkainya saja. Tinggal
bau busuk kebohongan dan janji-janji yang terus tercium oleh mereka. Begitupun
keadilan. Ibarat bangkai, keadilan hanya bisa dinikmati oleh anjing-anjing
serakah, lalat-lalat dan ulat-ulat menjijikan, sedang kita manusia hanya bisa
berdiri dan melihatnya hingga tiba saatnya kita pun akan mati dan disantap oleh
binatang-binatang serakah dan menjijikan itu. Itulah yang di rasakan warga
Pulau kera sejak awal tahun 2000-an hingga detik ini.
0 komentar:
Post a Comment