Rasulullah Tidak Dapat Membaca?
Dalam The History of The Qur’anic Text sang
penulis Prof. Dr. M.M al A’zmi membuka tulisannya di Bab IV tentang pengajaran
Al-Qur’an dengan mengutip ayat pertama yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad (Bacalah atas nama Tuhanmu yang menciptakan;
QS 96:1) kemudian menjelaskan bahwa; Tak ada bukti bahwa Nabi Muhammad
pernah belajar seni menulis dan umumnya orang sepakat bahwa ia buta huruf
sepanjang hayat. Sepotong ayat di atas memberi isyarat bukan tentang persoalan
buta huruf, melainkan pentingnya pendidikan yang sehat bagi masyarakat di masa
mendatang.
Di sini penulis
mengatakan bahwa Nabi Muhammad adalah Nabi yang tidak bisa menulis dan membaca
selama hayatnya. Kita mungkin saja sepakat bahwa fakta sejarah tentang kehidupan
Rasulullah Muhammad tidak secara eksplisit menceritakan bahwa beliau tidak
dapat menulis dan membaca. Tapi benarkah demikian? Bahwa Rasulullah Muhammad
sang Madinatul ‘ilm tidak dapat membaca dan menulis.
Dalam buku yang
sama sang penulis sendiri seolah membantah tulisannya sendiri. Semisal dalam
Bab yang sama pada sub bab 2 dan 3 dikatakan rasulullah sebagai guru dan maha
guru yang membaca dan mengajarkan Al-Qur’an. Selain itu dalam pengantarnya
di Bab VII dikatakan bahwa; …sejak awal para
pasukan tempur memiliki dialek yang berlainan dan Nabi Muhammad,
di
luar kemestian, telah mengajar mereka membaca AI-Qur'an dalam dialek
masing-masing, karena dirasa sulit untuk meninggalkan dialeknya secara spontan. Di sini saya menggarisbawahi kata “Telah mengajar mereka membaca Al-Qur’an”.
Bukankah sepenggal kalimat ini telah menegasikan apa yang ditulis pak A’zmi
sebelumnya, bahwa Rasulullah Muhammad selama hidupnya tidak bisa menulis dan
membaca?
Lantas
bagaimana caranya Rasulullah mengajarkan para pasukan tempur untuk membaca?
Jika beliau tidak dapat menulis dan membaca? Mungkin anda akan mengatakan bahwa
beliau mengajar pasukan tempur tersebut tidak seperti seorang guru yang
mengajarkan ilmu kepada muridnya, di mana salah satu caranya agar ilmu itu bisa
sampai pada murid-muridnya maka guru tersebut menulis di papan lalu
menerangkannya. Rasulullah mengajar dengan cara verbal. Namun, tetap saja
terjadi ambigu di sini, yaitu kata mengajar
mereka membaca. Bagaimana Rasulullah bisa mengajar mereka membaca kalau
Rasulullah sendiri tidak bisa membaca?
Perlu di
bedakan antara membaca dan berbicara. Dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia berbicara diartikan dengan berkata; bercakap; berbahasa. Sedangkan membaca sendiri diartikan dengan melihat serta memahami isi dari apa yang tertulis
(dengan melisankan atau hanya dalam hati). Dari pengertian ini kita dapat
menyimpulkan bahwa untuk mengajarkan seseorang membaca maka ada tulisan yang
ditulis barulah diajarkan cara untuk membaca.
Selain itu kalimat
“mengajar mereka membaca” bukankah
secara tidak langsung sudah mengatakan bahwa Rasulullah membaca? Terlepas dari
ada tidaknya teks yang dibaca, kata “mengajar
mereka membaca” sudah menerangkan bahwa Rasulullah membaca bukan berbicara.
Berbeda jika ungkapannya adalah Rasulullah
bertutur/berbicara dengan bahasa Al-Qur’an pada para pasukan tempur. Kalau
ungkapannya seperti demikian maka kita tidak dapat mengklaim bahwa Rasulullah
dapat membaca.
Sejarah juga
sebagaimana kita ketahui bahwa setelah turunnya wahyu pertama, setelah beberapa
kali Rasulullah diperintahkan oleh malaikat Zibril untuk membaca beliau pun
kemudian dapat membaca. Beliaupun lalu membaca ayat pertama sampai ayat kelima
surat al ‘alaq. Bukankah ini sudah secara gamblang memberitahukan bahwa
Rasulullah itu dapat membaca? Pada wahyu pertama yang turun tersebutpun
diperintahkan Rasulullah untuk membaca, bukan untuk berbicara. Maka jelaslah
bahwa Rasulullah dapat membaca, paling tidak setelah turunnya wahyu pertama.
Sehingga naif dan tidak beralasan jika sepanjang hayatnya itu Rasulullah tidak
dapat membaca.
Alasan lain
bahwa Rasulullah dapat membaca adalah setiap ayat yang diturunkan/diterima oleh
Rasulullah, Rasulullah memerintahkan kepada para sahabatnya untuk
mencatatnya/menuliskannya di kulit-kulit kayu. Jika Rasulullah tidak dapat
membaca tentu akan menyisakan ruang terjadinya distorsi dari penulisan yang
dilakukan oleh para sahabtnya. Karena walaupun Rasulullah ada, dia tidak dapat
mengawasi penulisan ayat-ayat Al-Qur’an secara benar dan teliti, sebab
keberadaannya tersebut tidak memberikan nilai apa-apa dan tidak mempengaruhi
penulisan yang dilakukan oleh para sahabat. Sehingga bisa saja terjadi
pemelintiran ayat Al-Qur’an.
Hal ini akan
memberikan dampak yang sangat signifikan dalam pembukuan Al-Qur’an pasca
wafatnya Rasulullah. Sejarah umat Islam yang kita ketahui selama ini adalah
bahwa Al-Qur’an itu dibukukan di masa kepemimpinan khalifah Usman bin Affan.
Akan terjadi perbedaan penulisan/redaksi bahkan terjadi distorsi ayat-ayat
Al-Qur’an oleh para sahabat. Kenapa saya katakan demikian? Merujuk pada
Al-Quran surat At-Taubah ayat 101 bahwa Di antara orang-orang Arab
Badwi yang di sekelilingmu itu, ada
orang-orang munafik; dan (juga) di antara penduduk Madinah. Mereka keterlaluan
dalam kemunafikannya. Kamu (Muhammad) tidak mengetahui mereka, (tetapi) Kamilah
yang mengetahui mereka. Bahkan kemunafikan orang-orang
badwi dan penduduk Madinah tidak diketahui oleh Rasulullah sendiri. Artinya
jika tidak adanya pengawasan yang ketat dan teliti oleh Rasulullah, tidak
menutup kemungkinan orang-orang munafik ini dapat melakukan kecurangan dalam
penulisan ayat-ayat Al-Qur’an. Tentu pengawasan yang ketat dan teliti ini
membutuhkan minimal Rasulullah itu dapat membaca (membaca tulisan) kalaupun
beliau tidak dapat menulis.
Dengan
demikian saya dapat mengatakan bahwa Rasulullah itu dapat membaca, minimal
pasca turunnya wahyu pertama. Karena Rasulullah adalah suri tauladan bagi
masyarakat Arab kala itu dan umat manusia secara keseluruhan sehingga bagaimana
mungkin ia bisa menjadi teladan jika ia sendiri tidak dapat membaca? Bagaimana
mungkin ia memerintahkan orang untuk membaca jika ia sendiri tidak dapat
membaca? Jika ia sendiri tidak dapat membaca, maka dengan sendirinya Al-Qur’an adalah
kitab yang berisi muslihat karena mengatakan Rasulullah adalah suri tauladan
padahal di satu sisi ia tidak dapat membaca sehingga tidak bisa menjadi teladan
bagi manusia dalam hal membaca. Selain itu, dengan mengatakan Rasulullah tidak
dapat membaca, kita juga sudah mengatakan bahwa Rasulullah tidak dapat
menjalankan seluruh perintah yang diberikan oleh Allah di dalam Al-Qur’an yakni
perintah sebagiamana dalam Surat Al-‘Alaq; Bacalah! Tentu kita tidak ingin hal
yang demikian, bahwa Al-Qur’an berisi pesan-pesan muslihat dan Rasulullah tidak
menjalankan seluruh perintah Allah di dalam Al-Qur’an.
Duhai
Ilahi, sumber dari segala yang ada, aku berlindung padamu-Mu, dari mengatakan
yang demikian. Duhai kotanya ilmu, dari lisanmu Tuhan bertutur pada kami, aku
berlindung diri dari mengatakan bahwa engkau tidak dapat membaca dan menulis.
0 komentar:
Post a Comment