Banner 468 x 60px

 

Tuesday, May 16, 2017

Rasulullah Tidak Dapat Membaca?

0 komentar
Rasulullah Tidak Dapat Membaca?

Dalam The History of The Qur’anic Text sang penulis Prof. Dr. M.M al A’zmi membuka tulisannya di Bab IV tentang pengajaran Al-Qur’an dengan mengutip ayat pertama yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad (Bacalah atas nama Tuhanmu yang menciptakan; QS 96:1) kemudian menjelaskan bahwa; Tak ada bukti bahwa Nabi Muhammad pernah belajar seni menulis dan umumnya orang sepakat bahwa ia buta huruf sepanjang hayat. Sepotong ayat di atas memberi isyarat bukan tentang persoalan buta huruf, melainkan penting­nya pendidikan yang sehat bagi masyarakat di masa mendatang.
Di sini penulis mengatakan bahwa Nabi Muhammad adalah Nabi yang tidak bisa menulis dan membaca selama hayatnya. Kita mungkin saja sepakat bahwa fakta sejarah tentang kehidupan Rasulullah Muhammad tidak secara eksplisit menceritakan bahwa beliau tidak dapat menulis dan membaca. Tapi benarkah demikian? Bahwa Rasulullah Muhammad sang Madinatul ‘ilm tidak dapat membaca dan menulis.
Dalam buku yang sama sang penulis sendiri seolah membantah tulisannya sendiri. Semisal dalam Bab yang sama pada sub bab 2 dan 3 dikatakan rasulullah sebagai guru dan maha guru yang membaca dan mengajarkan Al-Qur’an. Selain itu dalam pengantarnya di Bab VII dikatakan bahwa; sejak awal para pasukan tempur memiliki dialek yang berlainan dan Nabi Muhammad, di luar kemestian, telah mengajar mereka membaca AI-Qur'an dalam dialek masing-masing, karena dirasa sulit untuk meninggalkan dialeknya secara spontan. Di sini saya menggarisbawahi kata “Telah mengajar mereka membaca Al-Qur’an”. Bukankah sepenggal kalimat ini telah menegasikan apa yang ditulis pak A’zmi sebelumnya, bahwa Rasulullah Muhammad selama hidupnya tidak bisa menulis dan membaca?
Lantas bagaimana caranya Rasulullah mengajarkan para pasukan tempur untuk membaca? Jika beliau tidak dapat menulis dan membaca? Mungkin anda akan mengatakan bahwa beliau mengajar pasukan tempur tersebut tidak seperti seorang guru yang mengajarkan ilmu kepada muridnya, di mana salah satu caranya agar ilmu itu bisa sampai pada murid-muridnya maka guru tersebut menulis di papan lalu menerangkannya. Rasulullah mengajar dengan cara verbal. Namun, tetap saja terjadi ambigu di sini, yaitu kata mengajar mereka membaca. Bagaimana Rasulullah bisa mengajar mereka membaca kalau Rasulullah sendiri tidak bisa membaca?
Perlu di bedakan antara membaca dan berbicara. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berbicara diartikan dengan berkata; bercakap; berbahasa. Sedangkan membaca sendiri diartikan dengan melihat serta memahami isi dari apa yang tertulis (dengan melisankan atau hanya dalam hati). Dari pengertian ini kita dapat menyimpulkan bahwa untuk mengajarkan seseorang membaca maka ada tulisan yang ditulis barulah diajarkan cara untuk membaca.
Selain itu kalimat “mengajar mereka membaca” bukankah secara tidak langsung sudah mengatakan bahwa Rasulullah membaca? Terlepas dari ada tidaknya teks yang dibaca, kata “mengajar mereka membaca” sudah menerangkan bahwa Rasulullah membaca bukan berbicara. Berbeda jika ungkapannya adalah Rasulullah bertutur/berbicara dengan bahasa Al-Qur’an pada para pasukan tempur. Kalau ungkapannya seperti demikian maka kita tidak dapat mengklaim bahwa Rasulullah dapat membaca.
Sejarah juga sebagaimana kita ketahui bahwa setelah turunnya wahyu pertama, setelah beberapa kali Rasulullah diperintahkan oleh malaikat Zibril untuk membaca beliau pun kemudian dapat membaca. Beliaupun lalu membaca ayat pertama sampai ayat kelima surat al ‘alaq. Bukankah ini sudah secara gamblang memberitahukan bahwa Rasulullah itu dapat membaca? Pada wahyu pertama yang turun tersebutpun diperintahkan Rasulullah untuk membaca, bukan untuk berbicara. Maka jelaslah bahwa Rasulullah dapat membaca, paling tidak setelah turunnya wahyu pertama. Sehingga naif dan tidak beralasan jika sepanjang hayatnya itu Rasulullah tidak dapat membaca.
Alasan lain bahwa Rasulullah dapat membaca adalah setiap ayat yang diturunkan/diterima oleh Rasulullah, Rasulullah memerintahkan kepada para sahabatnya untuk mencatatnya/menuliskannya di kulit-kulit kayu. Jika Rasulullah tidak dapat membaca tentu akan menyisakan ruang terjadinya distorsi dari penulisan yang dilakukan oleh para sahabtnya. Karena walaupun Rasulullah ada, dia tidak dapat mengawasi penulisan ayat-ayat Al-Qur’an secara benar dan teliti, sebab keberadaannya tersebut tidak memberikan nilai apa-apa dan tidak mempengaruhi penulisan yang dilakukan oleh para sahabat. Sehingga bisa saja terjadi pemelintiran ayat Al-Qur’an.
Hal ini akan memberikan dampak yang sangat signifikan dalam pembukuan Al-Qur’an pasca wafatnya Rasulullah. Sejarah umat Islam yang kita ketahui selama ini adalah bahwa Al-Qur’an itu dibukukan di masa kepemimpinan khalifah Usman bin Affan. Akan terjadi perbedaan penulisan/redaksi bahkan terjadi distorsi ayat-ayat Al-Qur’an oleh para sahabat. Kenapa saya katakan demikian? Merujuk pada Al-Quran surat At-Taubah ayat 101 bahwa Di antara orang-orang Arab Badwi yang di sekelilingmu itu, ada orang-orang munafik; dan (juga) di antara penduduk Madinah. Mereka keterlaluan dalam kemunafikannya. Kamu (Muhammad) tidak mengetahui mereka, (tetapi) Kamilah yang mengetahui mereka. Bahkan kemunafikan orang-orang badwi dan penduduk Madinah tidak diketahui oleh Rasulullah sendiri. Artinya jika tidak adanya pengawasan yang ketat dan teliti oleh Rasulullah, tidak menutup kemungkinan orang-orang munafik ini dapat melakukan kecurangan dalam penulisan ayat-ayat Al-Qur’an. Tentu pengawasan yang ketat dan teliti ini membutuhkan minimal Rasulullah itu dapat membaca (membaca tulisan) kalaupun beliau tidak dapat menulis.
Dengan demikian saya dapat mengatakan bahwa Rasulullah itu dapat membaca, minimal pasca turunnya wahyu pertama. Karena Rasulullah adalah suri tauladan bagi masyarakat Arab kala itu dan umat manusia secara keseluruhan sehingga bagaimana mungkin ia bisa menjadi teladan jika ia sendiri tidak dapat membaca? Bagaimana mungkin ia memerintahkan orang untuk membaca jika ia sendiri tidak dapat membaca? Jika ia sendiri tidak dapat membaca, maka dengan sendirinya Al-Qur’an adalah kitab yang berisi muslihat karena mengatakan Rasulullah adalah suri tauladan padahal di satu sisi ia tidak dapat membaca sehingga tidak bisa menjadi teladan bagi manusia dalam hal membaca. Selain itu, dengan mengatakan Rasulullah tidak dapat membaca, kita juga sudah mengatakan bahwa Rasulullah tidak dapat menjalankan seluruh perintah yang diberikan oleh Allah di dalam Al-Qur’an yakni perintah sebagiamana dalam Surat Al-‘Alaq; Bacalah! Tentu kita tidak ingin hal yang demikian, bahwa Al-Qur’an berisi pesan-pesan muslihat dan Rasulullah tidak menjalankan seluruh perintah Allah di dalam Al-Qur’an.
Duhai Ilahi, sumber dari segala yang ada, aku berlindung padamu-Mu, dari mengatakan yang demikian. Duhai kotanya ilmu, dari lisanmu Tuhan bertutur pada kami, aku berlindung diri dari mengatakan bahwa engkau tidak dapat membaca dan menulis.

0 komentar:

Post a Comment

 
ZN _ LEFOKISSU © 2017