Badrun, Ima, Ruslan, Syarti |
Tertutup mendung
terhalau pandangan. Desau angin dan rintik embun jatuh membasahi rerumputan
hijau. Mentari bersembunyi di balik gunung dan pepohonan yang menjulang tinggi.
Malam pun merambat merasuki cagar Mutis
dan rembulan menggantikan mentari yang telah pergi. Malam, ia menyembunyikan
kepalsuan dengan gelap. Sepi pun merayapi angkasa menggantikan kebisingan siul
burung-burung.
Siklus waktu, siang
lalu malam biasanya dengan cerita yang sama terasa absurdnya. Siklus ruang,
sana lalu sini sering dengan klise yang sama terasa nihil. Tapi, tidak demikian
malam ini.
Setetes demi setetes
awan gelap meluruhkan air matanya yang bening. Hujan perlahan mulai menderas.
Sepertinya sangat memahami, bahwa kita saat ini sedang dilanda kemarau jiwa.
Segelas kopi kita
hadirkan menjadi alasan kita bergumul, bercanda dan tawa bersama membuyarkan
lamunan sang malam yang menentang dengan dinginnya. Seteguk demi seteguk ia
menghangatkan dahaga. Namun, kopi itu kembali dingin. Sedingin tatapan matamu
yang memanjati sudut-sudut gelap tenda. Mungkin itu cara terbaikmu
menyembunyikan rasa yang sedang menghimpit jiwamu.
Jika sebelumnya, kopi
adalah alasanmu menumpahkan gelak tawa, merangkai bongkahan-bongkahan memori
silam, menceritakannya dengan lugas dan polos, mengapa kini kau sembunyikan kepahitan
itu dalam gejolak yang pilu? Kau membungkusnya dengan rapi dan memeluknya dalam
dingin.
Namun, terlanjur aku
menangkap gelombang rasa itu. Rasa yang kini sedang kau selimuti dengan tubuh
dan jaketmu. Sebuah harapan yang ingin kau gapai dengan kedua kaki, semangat,
hati dan jiwamu. Kini harapan itu seolah lepas. Tidak. Harapan itu tidak lepas.
Ia masih di sana, kau membungkusnya dengan rapi dan kau selimuti dengan hangat.
Dik, ada hal yang bisa
kita capai dalam hidup ini sesuai pengharapan yang kita bentangkan. Tapi tidak
sedikit jua harapan yang kita bentangkan itu harus kita gulung kembali dan
mengulurkannya di lain waktu. Itulah harapan. Ia tidak akan pernah mati, bahkan
tubuh dan jiwa kita ini berpisah. Ia akan diteruskan oleh jiwa-jiwa dan tubuh
yang baru.
Tapi, demikianlah
hidup. Kita hanya bisa menautkan harapan, mengejar dan bergerak menujunya.
Selebihnya adalah sebuah misteri yang sulit kita prediksi dengan tepat kemana
arah mata angin harapan bertiup. Bukankah malam ini kau telah menemukan
kenyataan yang demikian? Menyaksikan arah mata angin harapan bertiup ke arah
berlawanan dari harapan yang kita dedahkan. Harapan untuk sejenak menghirup
udara di ketinggian puncak Mutis harus kita dedahkan kembali di lain waktu.
Dengarlah nasehat
Baginda Ali bin Abi Thalib ini, “Apabila sesuatu yang kau senangi tidak
terjadi, maka senangilah apa yang terjadi!”
Ini bukanlah bahasa
penghiburan atau pelipur lara, dik. Tapi ajakan untuk kita senantiasa belajar mensyukuri
atas segala hal yang kita alami. Bukankah Tuhan mencintai orang-orang yang
senantiasa bersyukur? Lantas mengapa harus bersedih?
Komunitas Pecinta Alam |
Bukankah misteri dari
segala misteri adalah Tuhan itu sendiri? Bukankah Creator dari segala misteri
adalah Tuhan? Dan bukankah sebaik-baik yang mengetahui misteri adalah sang
Creator misteri itu? Sebabnya yang baik menurut kita, bisa jadi buruk menurut
sang Creator. Maka bersyukurlah karena Tuhan; niscaya Dia akan memberikan apa
yang diinginkan hatimu.
Selimutilah harapan
dan gejolak rasa itu dengan kebesaran hati dan penuh kesyukuran. Ruang dan
waktu selalu hadir dengan beragam misteri. Tautkan harapan dan hatimu di sini,
di cagar Mutis ini hingga ruang dan waktu kembali memberikan kesempatan untuk
kita ukir kisah baru lagi di sini. Di cagar dan puncak Mutis.
0 komentar:
Post a Comment