Banner 468 x 60px

 

Thursday, May 4, 2017

Hasrat Cinta Yang Tertundadicagar Mutis II

0 komentar
Badrun, Ima, Ruslan, Syarti

Tertutup mendung terhalau pandangan. Desau angin dan rintik embun jatuh membasahi rerumputan hijau. Mentari bersembunyi di balik gunung dan pepohonan yang menjulang tinggi. Malam pun merambat merasuki cagar  Mutis dan rembulan menggantikan mentari yang telah pergi. Malam, ia menyembunyikan kepalsuan dengan gelap. Sepi pun merayapi angkasa menggantikan kebisingan siul burung-burung.
Siklus waktu, siang lalu malam biasanya dengan cerita yang sama terasa absurdnya. Siklus ruang, sana lalu sini sering dengan klise yang sama terasa nihil. Tapi, tidak demikian malam ini.
Setetes demi setetes awan gelap meluruhkan air matanya yang bening. Hujan perlahan mulai menderas. Sepertinya sangat memahami, bahwa kita saat ini sedang dilanda kemarau jiwa.
Segelas kopi kita hadirkan menjadi alasan kita bergumul, bercanda dan tawa bersama membuyarkan lamunan sang malam yang menentang dengan dinginnya. Seteguk demi seteguk ia menghangatkan dahaga. Namun, kopi itu kembali dingin. Sedingin tatapan matamu yang memanjati sudut-sudut gelap tenda. Mungkin itu cara terbaikmu menyembunyikan rasa yang sedang menghimpit jiwamu.
Jika sebelumnya, kopi adalah alasanmu menumpahkan gelak tawa, merangkai bongkahan-bongkahan memori silam, menceritakannya dengan lugas dan polos, mengapa kini kau sembunyikan kepahitan itu dalam gejolak yang pilu? Kau membungkusnya dengan rapi dan memeluknya dalam dingin.
Namun, terlanjur aku menangkap gelombang rasa itu. Rasa yang kini sedang kau selimuti dengan tubuh dan jaketmu. Sebuah harapan yang ingin kau gapai dengan kedua kaki, semangat, hati dan jiwamu. Kini harapan itu seolah lepas. Tidak. Harapan itu tidak lepas. Ia masih di sana, kau membungkusnya dengan rapi dan kau selimuti dengan hangat.
Dik, ada hal yang bisa kita capai dalam hidup ini sesuai pengharapan yang kita bentangkan. Tapi tidak sedikit jua harapan yang kita bentangkan itu harus kita gulung kembali dan mengulurkannya di lain waktu. Itulah harapan. Ia tidak akan pernah mati, bahkan tubuh dan jiwa kita ini berpisah. Ia akan diteruskan oleh jiwa-jiwa dan tubuh yang baru.
Tapi, demikianlah hidup. Kita hanya bisa menautkan harapan, mengejar dan bergerak menujunya. Selebihnya adalah sebuah misteri yang sulit kita prediksi dengan tepat kemana arah mata angin harapan bertiup. Bukankah malam ini kau telah menemukan kenyataan yang demikian? Menyaksikan arah mata angin harapan bertiup ke arah berlawanan dari harapan yang kita dedahkan. Harapan untuk sejenak menghirup udara di ketinggian puncak Mutis harus kita dedahkan kembali di lain waktu.
Dengarlah nasehat Baginda Ali bin Abi Thalib ini, “Apabila sesuatu yang kau senangi tidak terjadi, maka senangilah apa yang terjadi!”
Ini bukanlah bahasa penghiburan atau pelipur lara, dik. Tapi ajakan untuk kita senantiasa belajar mensyukuri atas segala hal yang kita alami. Bukankah Tuhan mencintai orang-orang yang senantiasa bersyukur? Lantas mengapa harus bersedih?
Komunitas Pecinta Alam
Bukankah misteri dari segala misteri adalah Tuhan itu sendiri? Bukankah Creator dari segala misteri adalah Tuhan? Dan bukankah sebaik-baik yang mengetahui misteri adalah sang Creator misteri itu? Sebabnya yang baik menurut kita, bisa jadi buruk menurut sang Creator. Maka bersyukurlah karena Tuhan; niscaya Dia akan memberikan apa yang diinginkan hatimu.

Selimutilah harapan dan gejolak rasa itu dengan kebesaran hati dan penuh kesyukuran. Ruang dan waktu selalu hadir dengan beragam misteri. Tautkan harapan dan hatimu di sini, di cagar Mutis ini hingga ruang dan waktu kembali memberikan kesempatan untuk kita ukir kisah baru lagi di sini. Di cagar dan puncak Mutis.

0 komentar:

Post a Comment

 
ZN _ LEFOKISSU © 2017