Hijbut Tahrir
Indonesia (HTI) adalah salah satu sayap perjuangan Hijbut Tahrir (HT) yang ada
di Indonesia. Sebuah gerakan politik (HT) yang didirikan oleh Taqiyuddin An
Nabhani pada tahun 1953, bertujuan mendirikan negara Khilafah Islamiyah. Ia
merupakan gerakan politik non struktural dan non physical. Artinya gerakan
politik yang bekerja di luar sisitem politik yang ada dan tidak juga berjuang
dengan menggunakan kekuatan fisik (menggunakan kekerasan/senjata) sebagaimana
gerakan ISIS, Al-Qaedah atau DI/TII yang pernah ada di Indonesia. Mereka
bergerak/berjuang secara konseptual dengan menyodorkan gagasan-gagasan negara
khilafah, doktrin-doktrin agama dan menunjukan kebobrokan sebuah
sistem/ideologi yang ada di Indonesia dan dunia secara umum. Artinya juga,
mereka tidak berjuang dengan kekerasan akan tetapi mereka berjuang secara damai
tanpa pertumpahan darah.
Sebagai gerakan
politik non struktural (tanpa parpol) dan non physical tentu ia tidak begitu
berbahaya secara fisik sehingga tidak akan ada pertumpahan darah bahkan nyawa
sebagaimana hal serupa yang dilakukan oleh kelompok-kelompok lain semisal ISIS,
Al-Qaedah, PKI atau sejenisnya. Tetapi bukan berarti gerakan mereka aman
sehingga tidak perlu diawasi, diantisipasi dan dilawan. Dan tentu perlawanan
yang baik dan tepat bukanlah melawan dengan cara kekerasan ataupun
pembelengguan gerakan mereka, karena itu sama artinya kita melacuri sistem
demokrasi yang kita anut, meskipun mereka (HTI) menolak demokrasi itu sendiri.
Oleh karena itu cara yang paling tepat adalah melawan gerakan konseptual mereka
dengan gerakan konseptual pula.
Di sini saya lebih
menekankan gerakan konseptual itu dilakukan oleh negara. Karena negara
merupakan institusi yang menjadi payung bagi masyarakat yang ada di bawahnya.
Selain itu negara juga memiliki instrumen-instrumen yang dapat digunakan untuk
melakukan protect dan perlawanan. Di bawah ini akan saya uraikan salah satu
instrumen penting dalam melawan gerakan konseptual para pejuang Khilafah.
Dunia Pendidikan. Dunia pendidikan merupakan
salah satu instrumen penting yang dimiliki oleh negara baik yang dibawahi oleh
Kemendikbud, Kemenristek maupun Kemenag. Melalui ketiga lembaga kementerian
ini, negara dapat menerapkan kurikulum/materi pembelajaran yang bersifat protected. Materi-materi yang
diharapakan untuk diajarkan di sekolah-sekolah dan perguruan tinggi adalah
materi-materi yang menumbuhkan rasa nasionalisme, cinta akan Pancasila, sejarah
dan latar belakang berdirinya organisasi-organisasi radikal dan separatis,
sejarah perkembangan Islam dan Islam yang rahmatan lil ‘alamin.
Pancasila yang
diajarkan pun harus esensial yakni tentang Pancasila itu sendiri sebagaimana
adanya dan sebagaimana mestinya serta tafsir teoritis dan praktis sila-sila
yang ada di dalamnya. Karena selama ini, Pancasila yang diajarkan hanya sebatas
informasi bahwa Pancasila merupakan Ideologi, Falsafah dan dasar negara.
Bahkan, dalam buku-buku yang beredar di sekolah-sekolah, setelah dikatakan
Pancasila merupakan Ideologi, Falsafah dan dasar negara Indonesia, porsi paling
banyak yang diuraikan dalam buku-buku tersebut bukan tentang Pancasila-nya akan
tetapi tentang apa itu ideologi, apa itu falsafah menurut ini dan itu. Sehingga
esensi Pancasila pun menguap dari pengajaran. Hal ini diperparah lagi dengan jam
belajar untuk mata pelajaran Pancasila/PKN di sekolah-sekolah atau perguruan
tinggi yang begitu sedikit.
Pengajaran sejarah
perkembangan Islam pun harus diajarkan secara berimbang dan transparan.
Terutama pasca wafatnya Rasulullah dan digantikan dengan sistem pemerintahan
Kekhilafahan. Pengajaran yang berimbang dan transnparan seperti apa? Yaitu
tentang kelebihan dan kekurangan, hal-hal baik dan yang buruk. Karena ini
sejarah sehingga jangan kemudian ada yang lebih dikedepankan dan ada yang
diundurkan. Sebagaimana yang selama ini diajarkan di sekolah-sekolah dan
perguruan tinggi, lebih banyak mengenai kelebihan, keberhasilan dan
kegemilangan yang pernah diraih umat Islam. Padahal transparansi dan
keseimbangan dalam mempelajari sejarah serta pengakuan terhadapnya adalah
kebesaran jiwa. Jangan buruk wajah lalu cermin dibelah!
Islam yang diajarkan
adalah islam yang menjunjung tinggi missi rahmatan lil ‘alamin, islam yang
menjadi rahmat bagi semua tanpa ada kooptasi antar sesama manusia. islam yang
berkeadilan, berkemanusiaan dan berketuhanan. Islam yang menjunjung tinggi
kontrak sosial sebagaimana yang diajarkan Rasulullah ketika membuat piagam
Madinah. Tidak ada penghianatan dan pelanggaran atas kontrak yang dibangun.
Jika kita menanamkan
konsep lebih dini kepada para penerus bangsa (Siswa dan Mahasiswa) maka ini
akan menjadi imun dan protect bagi mereka. Jika negara terlambat melakukan ini,
membentengi kaum terdidik dengan pengetahuan yang memadai dan porsi ini diambil
alih oleh para pejuang khilafah maka yakin dan percaya akumulasi-akumulasi
gagasan konseptual yang mereka tawarkan kelak akan menciptakan gelombang
perlawanan terhadap negara. Kelak kaum terdidik yang diracuni konsep khilafah
akan meninggalkan menara gading intelektualisme dan turun untuk terlibat dalam
problem-problem real masyarakat menentang negara.
Negara harus sesegera
mungkin menciptakn kaum intelektual yang organik bukan lagi kaum intelektual
yang tradisional. Apa itu intelektual yang tradisional dan apa itu intelektual
yang organik? Menurut Antonio Gramsci Intelektual
tradisional adalah intelektual
yang berkutat pada persoalan yang bersifat otonom dan
digerakkan oleh proses produksi, sebaliknya intelektual organik adalah mereka
yang memiliki kemampuan sebagai organisator politik yang menyadari identitas
dari yang diwakili dan mewakili. Intelektual organik
itu, menurut Gramsci, tidak harus mereka yang fasih berbicara dan berpenampilan
seorang intelektual, tetapi lebih dari itu, yaitu mereka yang aktif
berpartisipasi dalam kehidupan praktis, sebagai pembangun, organisator,
penasehat tetap, namun juga unggul dalam semangat matematis yang abstrak.
Mengapa saya lebih
menekankan agar negara memperhatikan kaum intelektual/terdidik? Karena ketika
kaum intelektual ini turun ke masyarakat dengan konsep yang mereka sadur dari
para pejuang Khilafah, mereka akan merekonstruksi pemahaman masyarakat dengan
menyuntikan pemahaman yang mereka miliki. Dan pada kondisi seperti ini, mau
tidak mau negara akan menjadi negara seperti yang diinginkan masyarakat. Alasan
lainnya adalah sebagaimana yang disampaikan Ali Syari’ati, kaum intelektual merupakan para
eksponen real dari Islam (juga bangsa; penulis) yang “rasional” dan “dinamis”, dan bahwa tugas utama mereka adalah
untuk memperkenalkan suatu “pencerahan” dan “revormasi” Islam (juga
negara;penulis).
0 komentar:
Post a Comment