Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI) kita akhir-akhir ini diviralkan dengan gerakan
pendirian negara Khilafah oleh organisasi yang mengatasnamakan pejuang
Khilafah; Hijbut Tahrir Indonesia (HTI). Di masjid-masjid hampir setiap jumat
mereka menerbitkan Buletin Dakwah dengan label bendera ala khilafah; bendera
hitam dengan tulisan lafadz Laa ilaha illallah Muhammad Rasulullah berwarna
putih. Bendera yang menjadi lambang kelompok HTI.
Sebagaimana buletin
jumat yang mereka terbitkan pada tanggal 28 April 2017, edisi 854 diberi judul
“Khilafah; Kewajiban Syar’i Jalan
Kebangkitan Hakiki”. Pada buletin tersebut dikatakan; Menegakan khilafah adalah
kewajiban syar’i yang didasarkan pada dalil-dalil syariah. Bahkan kewajiban
menegakan khilafah yang menerapkan syariah islam secara kaffah adalah perkara
yang mujma’ ‘alaiyhi (disepakati oleh para ulama mu’tabar). Karena itu jika ada
yang menyelisihi kewajiban ini maka tidak perlu dianggap karena jelas
menyimpang.
Selanjutnya, dalam
buletin tersebut dikatakan “sebagian besar rakyat di negeri ini miskin dan
menderita. Utang negeri ini pun menggunung. Kekayaan negeri yang melimpah
dikuasai hanya oleh segelintir orang.korupsi merajalela. Kenakalan remaja,
pergaulan bebas, narkoba, pornografi, dan aneka perilaku dekadensi moral juga
semakin marak. Singkatnya dalam tulisan tersebut berkesimpulan bahwa aneka
problem di negeri ini terjadi karena penerapan sistem demokrasi.”
Lebih lanjut,
ketakwaan total hanya bisa dilaksanakan dengan naungan khilafah karena hanya
dengan khilafah seluruh syariah secara kaffah bisa diterapkan. Dengan khilafah
pula, umat ini akan bangkit. Negeri ini dan negeri-negeri islam lainnya juga
akan bangkit menjadi negara besar dan berwibawa, bahkan menjadi negara adidaya.
Pertanyaannya adalah
benarkah dengan khilafah umat islam akan mengalami kebangkitan yang hakiki?
Benarkah dengan khilafah seluruh problem yang ada di negeri ini akan teratasi?
Benarkah dengan khilafah seluruh syariah secara kaffah bisa diterapkan? Mari
kita jawab bersama-sama dengan mengkaji bagaimana khilafah yang sebenarnya itu
sehingga kita dapat menentukan sikap bahwa khilafah itu layak atau tidak untuk
diterapkan di bumi pertiwi ini dan
dunia.
Sebelum itu kita perlu
mengetahui apa itu khilafah dan organisasi yang memperjuangkannya. Khilafah
yang dimaksud adalah kepemimpinan umat dalam suatu Daulah Islam yang universal
di muka bumi ini, dengan dipimpin seorang pemimpin tunggal (Khilafah) yang
dibai’at oleh umat. Sedangkan Hijbut Tahrir Indonesia (HTI) itu sendiri
merupakan bagian dari HT, kelompok politik yang didirikan oleh Taqiyuddin An
Nabhani di AL-Quds, waktu itu bagian dari Yordania, pada tahun 1953, bertujuan
untuk mendirikan negara Khilafah Islamiyah.
Kita awali kajian
tentang khilafah ini dengan sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Muslim (salah
satu perawi hadis yang diakaui keshahiannya di kalangan umat islam mazhab
sunni). Diriwayatkan bahwa Rasulullah SAW bersabda: “Jika dibai’at dua orang
khalifah, maka bunuhlah yang terakhir dari keduanya.”
Membaca hadis ini,
kita akan terdorong untuk merefresh kembali sejarah umat islam di bawah naungan
khilafah. Dan ternyata sejarah umat islam mencatat bahwa hanya di masa khulafa
ar-rasyidin, bani Umayyah (pertama) dan awal masa Abbasiyah sajalah umat islam
berada di bawah kepemimpinan satu orang pemimpin (Khalifah). Selepas itu umat
islam berada di bawah kepemimpinan khalifah lebih dari satu. Berikut catatan
sejarah dinasti-dinasti yang pernah hadir, ada yang beridiri di masa yang
bersamaan;
§ Umayyah (661-750)
§ Abbasiyah (750-1258)
§ Umayyah II (780-1031)
§ Buyids (945-1055)
§ Fatimiyyah (909-1171)
§ Saljuk (1055-1194)
§ Ayyubid (1169-1260)
§ Mamluks (1250-1517)
§ Ottoman (1280-1922)
§ Safavid (1501-1722)
§ Mughal (1526-1857)
Selain beberapa
dinasti di atas, sebenarnya ada lagi beberapa dinasti lain yang berdiri
bersamaan kala itu. Seperti Dinasti Idrisiyah, Aghlabiyah, Samaniyah, Safariyah
etc. Dari runutan sejarah di atas terlihat jelas bahwa setelah 30 tahun
kekhalifahan bani Abbasiyah berdiri, terdapat (berdiri lagi) kekhalifahan lain
(Umayyah II). Secara tidak langsung memberitahukan kepada kita bahwa telah
terjadi dualisme kepemimpinan di tubuh umat islam pada saat itu. Bahkan seiring
berjalannya waktu kepemimpinan dalam umat islam tidak hanya satu atau dua,
bahkan lebih dari itu (khalifah) yang memimpin dalam waktu bersamaan. Lantas
kepemimpinan khalifah manakah yang sah kala itu? Manakah khalifah yang harus
dituruti? Dan jika mengacu pada hadis yang diriwayatkan oleh imam Muslim di
atas, maka khalifah manakah yang harus dipenggal kepalanya? Bukankah tujuan
berdirinya khilafah adalah untuk menegakan syariah/melaksanakan perintah Allah
dan Rasulnya? Akan tetapi realitasnya kekhilafahan yang meniscayakan pemimpin
tunggal saja dilupakan. Lalu bagaimana mereka (pejuang khilafah) berbicara
tentang islam yang kaffah?
Sejarah juga mencatat
bagaimana darah tertumpah membanjiri bumi demi mendirikan sebuah
dinasti/kekhilafahan. Tidak sampai di situ darah terus tertumpah lantaran jabatan
khalifah dalam kekhilafahan tersebut. Pertumpahan darah yang terjadi antara
kubu Ali dan Muawiyah (pendiri bani Umayyah) kala itu Ali masih menjabat
sebagai Khalifah ke-4. Muawiyah dengan Hasan (anaknya Ali) serta Yazid dan
Husein adalah sejarah kelam dan paling pahit yang pernah ditorehkan dalam sirah
perjalanan agama Muhammad. Tak cukup sampai di situ, sejarah juga mencatat
kekhalifahan islam adalah sejarah yang penuh dengan pertumpahan darah dan
peperangan.
Peperangan ini tidak
hanya terjadi antara umat islam dengan umat non islam saja bahkan antar sesama
umat islam pun terjdai pertumpahan darah dan peperangan. Pergantian kekuasaan
dalam satu dinasti, perluasan wilayah, pendirian dinasti baru adalah tiga hal
yang paling sering menimbulkan pertumpahan darah, penaklukan, penghancuran dan
peperangan.
Contoh, awal
berdirinya bani Umayyah salah satunya dimulai dengan pertumpahan darah pada
peristiwa perang shiffin antara Ali dan pendiri dinasti bani Umayyah; Muawiyah.
Peristiwa ini memunculkan pertanyaan bagi kita, mengapa Muawiyah memerangi Ali
sedangkan Ali telah dibai’at oleh kaum Muhajirin dan Anshar? Bukankah Muawiyah
harus tunduk pada pemimpinnya; Ali bin Abi Thalib sebagaimana yang pernah
dilakukannya terhadap khalifah-khalifah sebelum Ali?
Peperangan antara Ali
dan Muawiyah ini dilanjutkan oleh kedua anak mereka; Husein dan Yazid. Yang
kemudian kita kenal dengan peristiwa Karbala; di mana kepala Al Husein (cucu
kesayangan Rasulullah) di penggal dan tubuhnya berlumuran anak panah dan darah.
Begitupun tentara-tentara Al Husein memiliki, memiliki nasib yang tak jauh beda
dengannya. Mereka terbunuh (dibantai) di padang karbala oleh sesama umat islam.
Awal berdirinya
Abbasiyah (akhir dari bani Umayyah di Damascus) dimulai dengan pembunuhan
terhadap khalifah Marwan II oleh tentara Abbasiyah pada 750 M. Runtuhnya bani
Umayyah dan berdiirnya bani Abbasiyah
juga memiliki rekaman yang tak kalah mengerikan. Hal ini diceritakan oleh Abul
A’la al-Maududi dalam al khilafah wa al mulk.
Bahwa telah terjadi
pembunuhan lebih dari 50.000 nyawa, ketika terjadi penaklukan ibukota bani
Umayyah oleh tentara bani Abbas. Bahkan anak-anak dan perempuan pun dibantai
secara keji oleh mereka. Masjid Jami’ milik bani Umayyah, mereka jadikan
kandang kuda-kuda mereka selama 70 hari.
Selain peperangan dan
pertumpahan darah, kita mengetahui pergantian kepemimpinan dari satu khalifah
ke khalifah yang satu telah mengalami perubahan. Tidak lagi seperti yang pernah
dipraktikan para khulafa ar-rasyidin; akan tetapi lebih kepada cara-cara monarki.
Ulama-ulama kala itu lebih dekat dengan para penguasa, sehingga agama pun
dipolitisir demi kekuasaan.
Bukankah pembantaian,
peperangan dan pertumpahan darah adalah sebuah keburukan dan perbuatan yang
keji? Bahkan kita tahu bersama bahwa tiga dari empat khulafa ar-rasyidin itu
meninggal karena dibinuh oleh orang-orang islam sendiri yang berada di bawah
naungan kekhalifahan terbaik. Ini baru hal-hal umum yang sempat direkam
sejarah, kita tidak bisa menutup kemungkinan akan adanya problem-problem sosial
yang pernah terjadi dalam tubuh umat Islam kala itu. Semisal, korupsi,
napotisme, gaya hidup mewah (terutama para khalifah dan pejabat-pejabat
pemerintahan), kemiskinan, pergaulan bebas, perjinahan etc. Dan untuk mengurai
problem-problem sosial seperti ini tentu kita akan membutuhkan lebih banyak
lagi lembaran-lembaran kertas yang perlu kita gores atau kita baca terlebih
dahulu.
Jadi, mendirikan
khilafah tidak berarti semua problema akan hilang dan lenyap; mungkin kehidupan
tanpa problem itu hanya ada di surga saja.
Selain itu, jika
memang tujuan khilafah adalah agar supaya syariat islam dapat diterapkan secara
kaffah maka bukankah selama ini negara kita yang berdasarkan Pancasila telah
memberikan ruang bagi umat islam untuk melakukan itu semua? Bukankah, shalat,
puasa, zakat, haji, nikah, sedekah, mengaji, menuntut ilmu, makan, minum etc
itu adalah bagian dari syariat islam? Dan kita pun dapat melakukan semua itu
walaupun tanpa harus berada di bawah naungan khilafah.
Pancasila kita sendiri
sebenarnya merupakan sebuah dasar/ideologi yang mengandung nilai paling tinggi
yang pernah ada. Bahkan kesakralannya/kedudukannya tidak kalah dari Agama. Sila
pertama Ketuhanan Yang Maha Esa mengisyaratkan bahwa negara kita dan penduduk
di dalamnya memiliki kepercayaan terhadap adanya Tuhan; ontologi dari segala
yanga ada. Pancasila kita pun berbicara tentang kemanusian, keadilan, keadaban,
dan kesejahteraan. Singkatnya, Pancasila kita merupakan ideologi yang jika
diterapkan secara baik dan seksama maka akan menghantarkan negara kita ini
mencapai negara yang Madani (Baldatun Thayyibatun wa Rabbun Ghafur) sebagaimana
yang tersurat pada sila kelima; “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia”. Hal ini bisa tercapai jika kita benar-benar memahami, menghayati,
menjalankan serta memanifestasikan sila Ketuhanan Yang Maha Esa dalam setiap
gerak-gerik laku kita dalam keseharian berbangsa dan bernegara.
Mengakhiri tulisan ini
saya ingin mengajukan lagi beberapa pertanyaan untuk kita renungkan bersama;
1. 1. Jika khilafah didirikan nantinya, sistem
pemilihan khalifah seperti apa yang akan dipakai? Apakah seperti yang pernah
dilakukan di Saqifah bbani Sa’idah, penunjukan Umar oleh Abubakar, pembentukan
dewan syura oleh Umar untuk memilih Usman, bai’at masyarakat kepada Ali, atau
seperti sistem-sistem monarki yang diterapkan oleh dinasti-dinasti pasca
khulafa ar rasyidin?
2. 2.Adakah yang bisa menjamin tidak akan terjadi
perebutan kekuasaan kedudukan khalifah? Sebab kita tidak bisa memungkiri tiga
godaan besar bagi manusia yakni Harta, Wanita dan Tahta/Kekuasaan.
3. 3. Adakah yang bisa menjamin kekhalifahan nantinya
adalah kekhalifahan tunggal?
4. 4. Adakah yang bisa menjamin bahwa syariah islam
akan diterapkan secara kaffah dengan sisitem khilafah? Jikalau tidak, apa yang
mesti kita salahkan? Agama islam atau sisitem khilafahnya? Atau manusianya yang
salah? Jika manusia yang salah, mengapa tidak kita judge bahwa
problema-problema hari ini pun yang salah adalah manusianya, bukan sistem
demokrasinya atau ideologi Pancasilanya?
5. 5. Bagaimana kekhalifahan itu berdiri di sebuah
negara yang merderka seperti Indonesia?
Kita
ketahui bersama bahwa para pejuang khilafah tidak meleburkan diri ke dalam
perpolitikan negara. Sedangkan di negara kita sendiri perubahan apapun itu yang
menyangkut kemaslahatan bersama di bahas di parlemen.
6. 6. Akankah para pejuang khilafah akan menggunakan
cara lama dalam mendirikan khilafah? Yakni dengan jalan memerangi
pemimpin/kedaulatan sebuah negara? Sehingga melanjutkan tradisi peperangan yang
pernah lalu.
7. 7. Jika para pejuang khilafah (HTI) menganggap
sistem demokrasi sebagai sistem yang buruk, mengapa mereka jauh lebih
berkembang dengan sistem ini? Mengapa menjadikan keluwesan demokrasi untuk
menyuarakan sistem khilafah?
Terakhir. daripada
sibuk dengan rencana pendirian negara khilafah, alangkah baiknya para pejuang
dan pegiat khilafah menyodorkan figur yang akan dijadikan sebagai khalifah
kepada public agar diketahui, dinilai dan diuji kelayakannya apabila telah
memenuhi kelayakan dan diterima oleh umat maka akan dibaiat umat sebagai
khalifah!
0 komentar:
Post a Comment