Dalam terminologi
Marxist, ada yang disebut sebagai class-in-itself
(kelas dalam dirinya) dan class-for-itself
(Kelas untuk dirinya). Yang pertama adalah kelas yang belum sadar bahwa dalam
realitas obyektifnya terjadi penindasan terhadapnya, sehingga kelas dalam
pengertian ini tidaklah pernah bangkit secara utuh. Sedangkan yang kedua adalah
kelas yang sudah sadar, bahwa dalam realitas obyektifnya telah terjadi
penindasan. Maka dalam kelas yang kedua ini, kebangkitan sudah di ambang pintu.
Oleh karena itu kita melihat perjuangan-perjuangan yang revolusioner adalah
dengan mengubah kesadaran suatu class in itself
menjadi class for itself. Atau
kalau kita meminjam istilah Ali Syariati yaitu bahwa untuk membangkitkan
orang-orang tertindas adalah dengan mengubah atau mentransformasikan realitas
obyektif menjadi kesadaran subyektif.
Perubahan atau gerakan
revolusioner untuk menyadarkan masyarakat dari class in itself menjadi class
for itself inilah yang hari ini digunakan oleh para pejuang Khilafah di
bawah naungan bendera Hijbut Tahrir Indonesia (HTI) untuk melakukan gerakan
mereka. Dengan menyodorkan realitas obyektif dan kebanggaan sejarah umat Islam
yang gemilang.
Sebagian besar rakyat
di negeri ini miskin dan menderita. Utang negeri ini pun menggunung. Korupsi
yang tetap marak dan meluas. Kenakalan remaja, pergaulan bebas, narkoba,
pornografi dan aneka prilaku dekadensi moral juga semakin marak (Buletin Dakwah Al Islam HTI, edisi 854, 28
April 2017).
Ekonomi umat, bangsa
dan dunia yang dibiarkan dicengkeram oleh sistem Kapitalisme-Neoliberalisme telah
menciptakan jurang kemiskinan yang semakin menganga. Sumber daya alam dikeruk
bangsa asing untuk kesejahteraan umat. Praktik ribawi dianggap biasa padahal
itu adalah dosa besar. Kehidupan sosial umat terpuruk dalam hedonisme,
perzinaan dan perselingkuhan. LGBT merebak etc (Buletin Dakwah Al Islam HTI, edisi 855, 5 Mei 2017).
Sajian-sajian realitas
obyektif diatas ditambah sejarah kegemilangan umat Islam di masa lampau dan
diperkuat dengan dogma-dogma agama yang kering dari penafsiran adalah panah
beracun yang perlahan dilesatkan untuk melumpuhkan kepakan sayap-sayap Garuda yang
sedang terbang membawa keberlangsungan Negara Kesatuan Republik Indonesia ini.
Negeri yang dibangun atas dasar ke-beragam-an, kebersamaan, persamaan,
kebudayaan Nusantara, semangat pembebasan dan keyakinan (feith) kepada Tuhan Yang Maha Esa; sebuah prinsip utama yang
mendahului agama.
Kita mungkin
menganggap cita-cita gerakan khilafah di NKRI hari ini adalah sebuah cita-cita
yang utopis. Mustahil terwujud. Dengan landasan, bahwa gerakan yang memakai
jubah agama serupa pernah terjadi. Bahkan pernah terjadi di saat negara kita
baru merdeka; di mana negara masih dalam keadaan yang rentan (belum kuat)
tetapi gerakan-gerakan itu mampu dipadamkan. Indikasinya antara lain; Pertama, pencoretan 7 kata yang
memberikan porsi khusus kepada umat Islam (Piagam Jakarta). Kedua, penumpasan gerakan pemberontakan
Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) yang dimulai dari tahun 1949-1962.
Bahkan gerakan ini pernah memproklamirkan berdirinya Negara Islam Indonesia
pada 7 Agustus 1949 (Sumber, Seword).
Ketiga, usulan untuk kembali pada
Piagam Jakarta pada amandemen konstitusi 1999 pun tidak mendapat dukungan
memadai.
Pertanyaannya adalah
apakah dengan fakta sejarah yang demikian, gerakan makar dengan jubah agama
serupa yang sementara dikenakan oleh HTI akan bernasib serupa dan negara
Indonesia tetap menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia? Tentu kita tidak
bisa memberikan jawaban keyakinan 100% bahwa nasib serupa akan dialami oleh
HTI, pun begitu sebaliknya. Namun, sebagaimana diketahui bahwa perubahan (Change) merupakan karakter esensial
transformasi globalisasi. Senada dengan teori Tom Petters pakar management
Amerika yang mengatakan; Di zaman ini tidak ada apapun yang konstan melainkan
perubahan itu sendiri. Dan tak ada yang dapat mengendalikan dan mengarahkan
dirinya dalam perubahan tersebut kecuali adanya kepercayaan dari yang mutlak.
Fakta sejarah juga
telah berbicara tentang perubahan dalam dunia sosial dari keadaan yang dianggap
mustahil (Utopis) menjadi kenyataan.
Revolusi Tauhid oleh Rasulullah Muhammad di Jazirah Arab yang meruntuhkan
kepercayaan masyarakat terhadap berhala, Revolusi Borjuis oleh Adam Smith di
Prancis yang meruntuhkan monarki absolute, konsep Sosialime Karl Marx yang
kemudian mengilhami Lenin, Mao dan banyak pemimpin lain untuk melakukan
revolusi sosial membebaskan manusia dari belenggu penindasan akibat paham
kapitalisme, Revolusi Iran oleh para cendikiawan dan Ulama yang telah
membebaskan masyarakat Iran dari belenggu Syah Iran (Reza Pahlevi). Dan masih
banyak lagi gerakan-gerakan sosial yang pada akhirnya mencapai tujuan akibat
konstruksi kesadaran akan realitas oyektif ke dalam diri setiap individu.
Lantas pemerintah dan
negara akan terus membiarkan warganya yang polos, minim pengetahuan, minim
sejarah, mudah menerima dogma yang berstempel langit tanpa melakukan pengkajian
dan masyarakat yang mendahulukan siapa
atas apa dalam memandang kebenaran
ini terkontaminasi oleh gerakan Khilafah ala HTI? Jika tidak segera ditangani
dengan cepat dan baik, bukan sebuah kemustahilan 29 tahun lagi bagi Indonesia,
menyandang nama NKRI adalah waktu yang lama.
Jika pemerintah dan
negara tidak segera mengambil langkah konkrit terhadap gerakan-gerakan makar
yang memakai jubah agama seperti HTI ini, jangan berharap kita dapat
menyanyikan lagu Indonesia Raya di usianya yang seabad kelak dalam upacara
Hormat bendera merah putih pada 17 Agustus 2045. Perubahan adalah sebuah
keniscayaan, akan tetapi biarkan perubahan itu membawa kita pada “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat
Indonesia” jangan biarkan perubahan itu merubah Negara Kesatuan Republik Indonesia
menjadi Negara Ke-Khilafah-an Indonesia!
0 komentar:
Post a Comment