Banner 468 x 60px

 

Wednesday, May 10, 2017

Keniscayaan Perubahan; Jangan Biarkan NKRI DI-Khilafah-kan!

0 komentar
Dalam terminologi Marxist, ada yang disebut sebagai class-in-itself (kelas dalam dirinya) dan class-for-itself (Kelas untuk dirinya). Yang pertama adalah kelas yang belum sadar bahwa dalam realitas obyektifnya terjadi penindasan terhadapnya, sehingga kelas dalam pengertian ini tidaklah pernah bangkit secara utuh. Sedangkan yang kedua adalah kelas yang sudah sadar, bahwa dalam realitas obyektifnya telah terjadi penindasan. Maka dalam kelas yang kedua ini, kebangkitan sudah di ambang pintu. Oleh karena itu kita melihat perjuangan-perjuangan yang revolusioner adalah dengan mengubah kesadaran suatu class in itself menjadi class for itself. Atau kalau kita meminjam istilah Ali Syariati yaitu bahwa untuk membangkitkan orang-orang tertindas adalah dengan mengubah atau mentransformasikan realitas obyektif menjadi kesadaran subyektif.
Perubahan atau gerakan revolusioner untuk menyadarkan masyarakat dari class in itself menjadi class for itself inilah yang hari ini digunakan oleh para pejuang Khilafah di bawah naungan bendera Hijbut Tahrir Indonesia (HTI) untuk melakukan gerakan mereka. Dengan menyodorkan realitas obyektif dan kebanggaan sejarah umat Islam yang gemilang.
Sebagian besar rakyat di negeri ini miskin dan menderita. Utang negeri ini pun menggunung. Korupsi yang tetap marak dan meluas. Kenakalan remaja, pergaulan bebas, narkoba, pornografi dan aneka prilaku dekadensi moral juga semakin marak (Buletin Dakwah Al Islam HTI, edisi 854, 28 April 2017).
Ekonomi umat, bangsa dan dunia yang dibiarkan dicengkeram oleh sistem Kapitalisme-Neoliberalisme telah menciptakan jurang kemiskinan yang semakin menganga. Sumber daya alam dikeruk bangsa asing untuk kesejahteraan umat. Praktik ribawi dianggap biasa padahal itu adalah dosa besar. Kehidupan sosial umat terpuruk dalam hedonisme, perzinaan dan perselingkuhan. LGBT merebak etc (Buletin Dakwah Al Islam HTI, edisi 855, 5 Mei 2017).
Sajian-sajian realitas obyektif diatas ditambah sejarah kegemilangan umat Islam di masa lampau dan diperkuat dengan dogma-dogma agama yang kering dari penafsiran adalah panah beracun yang perlahan dilesatkan untuk melumpuhkan kepakan sayap-sayap Garuda yang sedang terbang membawa keberlangsungan Negara Kesatuan Republik Indonesia ini. Negeri yang dibangun atas dasar ke-beragam-an, kebersamaan, persamaan, kebudayaan Nusantara, semangat pembebasan dan keyakinan (feith) kepada Tuhan Yang Maha Esa; sebuah prinsip utama yang mendahului agama.
Kita mungkin menganggap cita-cita gerakan khilafah di NKRI hari ini adalah sebuah cita-cita yang utopis. Mustahil terwujud. Dengan landasan, bahwa gerakan yang memakai jubah agama serupa pernah terjadi. Bahkan pernah terjadi di saat negara kita baru merdeka; di mana negara masih dalam keadaan yang rentan (belum kuat) tetapi gerakan-gerakan itu mampu dipadamkan. Indikasinya antara lain; Pertama, pencoretan 7 kata yang memberikan porsi khusus kepada umat Islam (Piagam Jakarta). Kedua, penumpasan gerakan pemberontakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) yang dimulai dari tahun 1949-1962. Bahkan gerakan ini pernah memproklamirkan berdirinya Negara Islam Indonesia pada 7 Agustus 1949 (Sumber, Seword). Ketiga, usulan untuk kembali pada Piagam Jakarta pada amandemen konstitusi 1999 pun tidak mendapat dukungan memadai.
Pertanyaannya adalah apakah dengan fakta sejarah yang demikian, gerakan makar dengan jubah agama serupa yang sementara dikenakan oleh HTI akan bernasib serupa dan negara Indonesia tetap menjadi Negara Kesatuan Republik Indonesia? Tentu kita tidak bisa memberikan jawaban keyakinan 100% bahwa nasib serupa akan dialami oleh HTI, pun begitu sebaliknya. Namun, sebagaimana diketahui bahwa perubahan (Change) merupakan karakter esensial transformasi globalisasi. Senada dengan teori Tom Petters pakar management Amerika yang mengatakan; Di zaman ini tidak ada apapun yang konstan melainkan perubahan itu sendiri. Dan tak ada yang dapat mengendalikan dan mengarahkan dirinya dalam perubahan tersebut kecuali adanya kepercayaan dari yang mutlak.
Fakta sejarah juga telah berbicara tentang perubahan dalam dunia sosial dari keadaan yang dianggap mustahil (Utopis) menjadi kenyataan. Revolusi Tauhid oleh Rasulullah Muhammad di Jazirah Arab yang meruntuhkan kepercayaan masyarakat terhadap berhala, Revolusi Borjuis oleh Adam Smith di Prancis yang meruntuhkan monarki absolute, konsep Sosialime Karl Marx yang kemudian mengilhami Lenin, Mao dan banyak pemimpin lain untuk melakukan revolusi sosial membebaskan manusia dari belenggu penindasan akibat paham kapitalisme, Revolusi Iran oleh para cendikiawan dan Ulama yang telah membebaskan masyarakat Iran dari belenggu Syah Iran (Reza Pahlevi). Dan masih banyak lagi gerakan-gerakan sosial yang pada akhirnya mencapai tujuan akibat konstruksi kesadaran akan realitas oyektif ke dalam diri setiap individu.
Lantas pemerintah dan negara akan terus membiarkan warganya yang polos, minim pengetahuan, minim sejarah, mudah menerima dogma yang berstempel langit tanpa melakukan pengkajian dan masyarakat yang mendahulukan siapa atas apa dalam memandang kebenaran ini terkontaminasi oleh gerakan Khilafah ala HTI? Jika tidak segera ditangani dengan cepat dan baik, bukan sebuah kemustahilan 29 tahun lagi bagi Indonesia, menyandang nama NKRI adalah waktu yang lama.
Jika pemerintah dan negara tidak segera mengambil langkah konkrit terhadap gerakan-gerakan makar yang memakai jubah agama seperti HTI ini, jangan berharap kita dapat menyanyikan lagu Indonesia Raya di usianya yang seabad kelak dalam upacara Hormat bendera merah putih pada 17 Agustus 2045. Perubahan adalah sebuah keniscayaan, akan tetapi biarkan perubahan itu membawa kita pada “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia” jangan biarkan perubahan itu merubah Negara Kesatuan Republik Indonesia menjadi Negara Ke-Khilafah-an Indonesia!

0 komentar:

Post a Comment

 
ZN _ LEFOKISSU © 2017