Rapor Reformasi
(Refleksi 19 Tahun Reformasi)
Orang bijak percaya
waktu adalah pendidik terbaik. Ia terus memberi pelajaran ke siapa saja yang
mau dan mampu mengambil pelajaran. Ini juga berlaku untuk lingkup yang lebih
luas; bangsa. Dalam setiap momennya, bangsa sebenarnya dapat menimba banyak
pelajaran dan pengalaman bersama waktu yang berlalu. Bersamaan itu
catatan-catatan waktu yang berlalu tersebut menjadi bahan refleksi untuk
pembenahan baik itu melalui reformasi maupun revolusi. Salah satu momentum
penting yang menjadi refleksi bagi perjalanan bangsa kita hari ini adalah
momentum 21 Mei atau kita kenal dengan istilah Reformasi.
21 Mei adalah momentum
di mana ketika pendulum kesadaran anak bangsa menemui titik baliknya. Rezim
otoriter yang sudah menggurita lebih dari 30 tahun akhirnya tak kuasa melawan
waktu, pun tumbang dengan gelombang kesadaran anak bangsa yang melakukan aksi
perlawanan. Tahun 1998, akhirnya tidak bisa dicegah, perubahan ke arah
demokrasi dan keterbukaan menjadi keniscayaan. Reformasi telah melahirkan
demokrasi.
Kehidupan kebangsaan
di segala lini pun akhirnya menghirup udara bebas. Seperti seekor burung yang
lepas dari kungkungan sangkar yang mengurungnya selama ini. Eforia demokrasi
seakan ingin terbang sekencang-kencangnya dan berteriak sekeras-kerasnya.
Namun, pasca 19 tahun
reformasi kita bergulir masih begitu banyak catatan raport merah yang perlu
kita telaah secara mendalam dan kritis. Bahwa, reformasi kita belumlah mampu
menciptakan iklim kehidupan berbangsa yang cukup ideal. Bahkan, Buya Syafi’I
Maarif pernah berkomentar kalaulah ada yang merasa puas dengan demokrasi kita
hari ini berarti orang tersebut tidak normal. Begitupun oleh Komarudin Hidayat,
menurutnya demokrasi kita memang sedang dalam proses bunuh diri karena tidak
disertai dengan upaya penegakan hukum, etika moral, serta pemerataan pendidikan
dan ekonomi.
Pada dasarnya, salah
satu tujuan dari reformasi adalah mewujudkan kehidupan yang lebih demokratis.
Namun, demokrasi bukanlah kehidupan yang sebebas-bebasnya tanpa batas.
Demokrasi yang dewasa adalah demokrasi yang disertai dengan supremasi hukum.
Demokrasi juga tidak hanya sebatas pada kebebasan mengeluarkan pendapat dan
berserikat yang selama masa Orde Baru dikekang. Namun, demokrasi melingkupi
segala lini, baik politik, hukum, pers, pendidikan maupun ekonomi.
Akan tetapi, demokrasi
kita hari ini adalah demokrasi yang kebablasan. Democrazy, kata Sulastomo,
mantan anggota MPR periode 1988-1998. Sebabnya, demokrasi yang kita lahirkan
ternyata telah mengakibatkan tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara
diselimuti kegalauan yang meluas.
Demokrasi Di Tangan Kapitalisme
Demokrasi pada intinya
adalah hak kedaulatan di tangan rakyat. Hal ini sejalan dengan apa yang
dikatakan J.J Rosseau dalam On Social
Contract bahwa kekuasaan negara ada di tangan rakyat yang memberikan
kebebasan negara yang pada gilirannya adalah kehendak umum. Sejauh kepentingan
manusia diarahkan pada kepentingan umum bersama satu bangsa, semua kehendak itu
bersatu menjadi satu kehendak, yaitu kehendak umum. Dan jika kita sederhanakan
maka demokrasi semestinya adalah demokrasi kerakyatan.
Namun demokrasi kita
hari ini telah dirampok oleh para elit dan penguasa yang berselimut dengan para
kapitalis/pemilik modal, atau elite dan penguasa itu sendiri yang merupakan
pemilik modal. Hal ini sebenarnya bukan luka baru yang dialami bangsa ini,
namun ini adalah luka lama yang belum sembuh. Dan kini menjadi kian parah.
Demokrasi dan
kapitalisme sering dimitoskan sebagai dua hal yang tidak bisa dipisahkan.
Padahal, kapitalisme sebenarnya merupakan pembunuh bagi demokrasi itu sendiri.
Karena kapitalisme adalah sistem yang akan mengkonsentrasikan kekuasaan ekonomi
ke tangan segelintir orang dan mengesampingkan banyak orang, artinya cenderung
tidak demokratis.
Dan menurut data yang
dilansir oleh majalah Forbes tahun 2012 kekayaan Indonesia dimiliki oleh 40
orang mencapai Rp 800 triliun. Dan berdasarkan perhitungan Perkumpulan
Prakarsa, kekayaan 40 orang itu setara dengan kekayaan 15 juta keluarga atau 60
juta jiwa paling miskin. Sedangkan menurut Budiman Sudjatmiko, mengutip dari
Badan Pertahanan Nasional (BPN) kepemilikan aset dalam 14 tahun reformasi
meningkat; 0,2 persen penduduk menguasai 56 persen aset di tanah air; artinya
aset nasional bangsa ini hanya dimiliki 440 ribu orang.
Kapitalisasi Media
Tidak hanya sampai
pada kapitalisasi kekayaan alam Indonesia. Kapitalisasi juga menjalar sampai
pada peran media. Untuk kapitalisasi media sendiri, Ali Sodikin menuliskan
bahwa Noam Chomsky melihat media era kapitalis liberal, sarat dengan
persekongkolan. Gejalanya terlihat ketika bisnis media mulai diatur oleh
tokoh-tokoh yang punya kekuatan politik dan uang.
Elit kekuasaan dan
elit bisnis berkolaborasi mengatur isi media. Maka kebebasan pers yang dijiwai
demokrasi dan liberalisme telah disusupi corong-corong propaganda segelintir
orang. Setiap keping informasi telah disusupi kepentingan tertentu. Setiap
suara berita telah dimodali kekuatan politik dan bisnis.
Konglomerasi dan kapitalisasi
media ini terlihat misalnya, pengusaha Chairul Tanjung memiliki bisnis media
seperti Trans7, DetikCom dan kini merambah CNN Indonesia. Aburizal Bakrie
dengan media TVOne, ANTV, dan VivaNews grup. Hary Tanoesoedibjo dengan MNC-nya
yang di dalamnya terdapat RCTI, Global TV, TPI (MNC News), Sindo TV (INews),
Koran Sindo, Radio TrijayaFM, Okezonedotcom dan lain sebaginya. Surya Paloh
dengan Metro TV dan Media Indonesia-nya. Kompas Media Grup dengan Harian
Kompas, Kompas TV. Dan masih banyak lagi.
Dengan demikian maka
bisa dibayangkan apa jadinya jika
kekuatan media sebagai produsen budaya, produsen informasi politik, dan
kekuatan ekonomi hanya terkonsentrasi pada segelintir orang. Apalagi pemiliknya
pemain politik sekaligus pemain bisnis kelas kakap. Wartawan pun tidak lagi
independen. Semua berita hampir bisa dipastikan terjadi politisasi dan
bisnisasi di dalamnya. Wartawan/pers seakan kembali meraskan duka lama dengan
gaya baru.
Pers tidak hanya
mengalami politisasi dan kapitalisasi. Era demokrasi seolah ditafsirkan pers
sebagai era kebebasan berusara sebebas-bebasnya tanpa batas. Akhirnya
berita-berita hoax dan propaganda terus berseliweran di mana-mana mempengaruhi
publik. Hal ini diperparah lagi dengan para pengguna media sosial yang asal
like dan share tanpa mendalami kebenaran dan dampak dari berita-berita
tersebut. Sajian-sajian media pun lebih banyak yang tidak mendidik, media hanya
mengejar keuntungan ekonomi. Tanpa mempedulikan kualitas siaran/berita yang di
sajikan.
Mirisnya Penegakan Hukum
19 tahun sudah kita
tertati dalam reformasi, namun salah satu perubahan yang belum tersentuh dan
mendesak adalah reformasi penegakan hukum atau dikenal pula dengan reformasi
sistem peradilan pidana. Publik punya kepercayaan yang sangat rendah terhadap institusi
penegak hukum: polisi, jaksa dan hakim. Dan sementara ketiga institusi tersebut
masih melihat warga negara lebih sering sebagai klien dan konsumen dalam
hubungan transaksional hukum daripada warga negara, berikut martabat
kewarganegaan dan hak-haknya. Sedangkan sebab lainnya adalah ketiga institusi
penegak hukum tersebut pun sering menjadi sarang pelanggaran hukum, baik
korupsi maupun kriminalisasi.
Aparatur penegak hukum
yang seharusnya menjadi teladan justru sebaliknya melakukan pelanggaran
terhadap hukum. Semisal, Ketua Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MK RI)
Akil Mochtar yang tertangkap tangan oleh KPK di rumah dinasnya dengan dugaan
menerima uang suap untuk memuluskan salah satu kandidat dalam konflik Pilkada
di beberapa daerah.
Di aparatur kejaksaan,
misalnya Kepala Kejaksaan Negeri Praya, Lombok Tengah, NTB yang bernama Subri.
Ia ditangkap karena diduga menerima suap ratusan juta rupiah dalam perkara
penanganan pemalsuan sertifikat tanah ribuan hektar di kawasan objek wisata
Selong Blanak, Lombok Tengah, NTB.
Dan aparatur penegak
hukum berikut yang terbilang paling buruk adalah kepolisian. Korupsi dalam
lingkaran internal seperti korupsi dalam hal jual beli jabatan, dalam penerimaan
anggota polisi, dalam seleksi masuk pendidikan lanjutan, dalam pendistribusian
logistik dan penyaluran dana keuangan. Serta korupsi eksternal, yaitu korupsi
yang melibatkan kepentingan masyarakat secara langsung. Salah satu kasus yang
melibatkan seorang Perwira Tinggi Polri, Irjen Pol Joko Susilo terkait perkara
korupsi pengadaan simulator SIM di kepolisian adalah kasus yang sangat
mencoreng wajah dari korps Tribrata.
Di lingkaran
kepolisian pelanggaran hukum tidak hanya semata terbatas pada kasus korupsi.
Yang paling banyak adalah kasus pelanggaran HAM. Korban salah tangkap,
kriminalisasi, penyiksaan, proses hukum di kepolisian, laporannya terus
meningkat. Polisi yang harusnya mengayomi tapi kerap menghakimi dengan brutal.
Mahalnya Demokrasi
Kita ambil fakta
paling mutakhir, betapa mahalnya biaya demokrasi yang ditanggung rakyat Indonesia
pada pemilu 2014. Pemilu yang berlangsung dua tahap, tahap pertama adalah
pemilihan anggota legislatif DPR RI, DPRD I, DPRD II dan DPD. Tahap berikutnya
adalah Pilpres.
Pemilu ini memakan
biaya yang begitu besar. Pesta demokrasi ini menghabiskan dana sebesar Rp 20
triliun. Dengan rincian pemilu legislatif
menghabiskan anggaran sekitar Rp 16 trilun. Dan biaya Pilpres sebesar Rp
4 triliun, dari anggaran yang sebelumnya disiapkan KPU sebesar Rp 7,9 triliun.
Itupun diluar daripada
biaya yang harus dikeluarkan oleh para kandidat. Baik itu biaya untuk membuat
iklan, banner, poster, kampanye, sewa ahli/konsultan, sewa lembaga survey,
lobi-lobi politik hingga membeli suara rakyat. Akibatnya kejahatan korupsi
tidak bisa dihindarkan, karena harus mengembalikan modal biaya saat kampanye.
Padahal korupsi menjadi salah satu agenda reformasi yang harus diberangus.
Mahalnya demokrasi ini
sering pula dibayar dengan legitimasi undang-undang pro kapitalis yang
mendukung kemenangan para elit/penguasa tersebut. Undang-undang yang dilahirkan
tidak lagi pro terhadap kepentingan rakyat melainkan untuk kepentingan
segelintir orang pemilik modal/kapitalis.
Meredupnya Pancasila
Dalam buku Negara
Paripurna (Yudi Latif, 2011), disebutkan Soekarno kerap menggunakan kiasan
“menggali” dalam merumuskan Pancasila. Aktivitas menggali melibatkan bumi dan
tubuh; Pancasila lahir dari jerih payah sejarah, dan seperti halnya hasil bumi,
ia menawarkan sesuatu yang tetap bisa diolah lebih lanjut. Kenyataannya, pasca
kemerdekaan bangsa ini dari penjajah, pancasila benar-benar menuntut
aktualisasi dengan segala macam tantangan yang dihadapi.
Sayangnya, setelah
disalahgunakan selama Orde Baru, pasca Reformasi, Pancasila hingga kini berada
di titik nadir untuk tidak dikatakan hanya tinggal nama. Ideologi negara
tandingan pun menjamur di mana-mana. Seiring lunturnya nilai-nilai Pancasila,
konflik sosial khususnya atas nama agama mewarnai hari-hari perjalanan bangsa.
Gereja dihancurkan, masjid disegel, monumen budaya dirubuhkan, hingga makam
para leluhur pun tidak luput dari serangan. Ekspresi kebencian atas nama iman
sangat telanjang di ruang publik yang sejatinya memiliki konstitusi ini. Selain
tempat-tempat ibadah dihancurkan, rumah dibakar, ternak dan sumber penghasilan
dibumi hanguskan, bahkan diusir dari tempat kelahiran mereka sendiri.
Kasus Sampang adalah
salah satu kekejian yang mengatasnamakan agama dan hingga hari ini masih
menjadi benang kusut yang belum bisa teruraikan. Intoleransi merebak ke hampir
seluruh sendi-sendi kehidupan bangsa. Salah satu kasus yang paling menyita
perhatian akibat intoleransi adalah apa yang menimpa Gubernur DKI Jakarta,
Basuki Tjahaya Purnama atau Ahok.
Pelecehan Pancasila
dengan sebutan bebek nungging, Pancasila ada di panatat, pengusungan ideologi
semisal Khilafah dan masih banyak lagi menandakan ketidak hormatan dan
kepatuhan generasi reformasi terhadap ideologi bangsanya. Pancasila yang
semestinya sebagai landasan kebebasan beragama kian dilupakan. Serta pancasila
yang semestinya menjadi alat pemersatu dan sumber toleransi sebagaimana
semangat sila “Persatuan Indonesia” hanya dipandang sebelah mata.
Kembali Pada Pancasila
Setelah melihat rapor
reformasi dengan jargon demokrasinya yang begitu kebablasan, lantas siapa yang
mesti disalahkan dan apa yang mesti dilakukan? Pada dasarnya, demokrasi yang
kebablasan dan segala ketimpangan di era reformasi merupakan kesalahan dan tanggung
jawab kita bersama. Mengapa kita memilih demokrasi? Karena semua itu adalah
pilihan sadar kita. Namun demikian, jika kita persentasekan siapa penanggung
jawab kesalahan semua itu maka kita akan menemukan porsi terbanyaknya ada di
tangan Penguasa dan para pimpinan partai yang mengendalikan proses legislasi
dan kebijakan negara dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Selanjutnya, dengan
melihat realitas obyektif yang terpampang nyata di hadapan kita saat ini sudah
selayaknya menjadi refleksi kita untuk memperbaiki diri. Di sinilah diperlukan
kejujuran sebagai langkah awal melakukan koreksi agar kita mampu memilih jalan
yang benar dan tidak semakin terpuruk. Dan untuk itu, tidak bisa tidak, jalan
keluar dari problema-problema itu adalah kembali kepada fitrah bangsa kita.
Bangsa yang berketuhanan, berprikemanusiaan, berprikeadilan, berkesatuan, penuh
musyawarah, toleran, dan gotongroyong/kebersamaan. Itulah nilai-nilai luhur
yang menjadi fitrah bangsa kita, dan ia terangkum dalam Pancasila.
Dengan demikian, jalan
kembali kita adalah pada Pancasila. Sudah saatnya kita kembali mengkaji dan
mengamalkan Pancasila secara murni dan konsekuen, merujuk nilai-nilai yang
substansif yang cenderung mendorong terwujudnya demokrasi yang mengedepankan
konsensus, ekonomi pasar sosial, dan kebersamaan/kegotongroyongan.
Apabila hal itu bisa
kita wujudkan, sebagaimana kita bisa belajar dari Jepang, China, atau
negara-negara Skandinavia, kebersamaan itu justru memiliki nilai kompetitif
yang lebih besar dibandingkan individualisme. Inilah yang mungkin terlupakan di
era Reformasi. Sesungguhnya kita telah memiliki sistem sendiri yang lebih
kompetitif, tetapi kita lebih mengadopsi sisitem lain yang bisa menyimpang dari
tujuan untuk apa negara ini didirikan.
0 komentar:
Post a Comment