Banner 468 x 60px

 

Tuesday, May 23, 2017

Rapor Reformasi

0 komentar
Rapor Reformasi
(Refleksi 19 Tahun Reformasi)

Orang bijak percaya waktu adalah pendidik terbaik. Ia terus memberi pelajaran ke siapa saja yang mau dan mampu mengambil pelajaran. Ini juga berlaku untuk lingkup yang lebih luas; bangsa. Dalam setiap momennya, bangsa sebenarnya dapat menimba banyak pelajaran dan pengalaman bersama waktu yang berlalu. Bersamaan itu catatan-catatan waktu yang berlalu tersebut menjadi bahan refleksi untuk pembenahan baik itu melalui reformasi maupun revolusi. Salah satu momentum penting yang menjadi refleksi bagi perjalanan bangsa kita hari ini adalah momentum 21 Mei atau kita kenal dengan istilah Reformasi.
21 Mei adalah momentum di mana ketika pendulum kesadaran anak bangsa menemui titik baliknya. Rezim otoriter yang sudah menggurita lebih dari 30 tahun akhirnya tak kuasa melawan waktu, pun tumbang dengan gelombang kesadaran anak bangsa yang melakukan aksi perlawanan. Tahun 1998, akhirnya tidak bisa dicegah, perubahan ke arah demokrasi dan keterbukaan menjadi keniscayaan. Reformasi telah melahirkan demokrasi.
Kehidupan kebangsaan di segala lini pun akhirnya menghirup udara bebas. Seperti seekor burung yang lepas dari kungkungan sangkar yang mengurungnya selama ini. Eforia demokrasi seakan ingin terbang sekencang-kencangnya dan berteriak sekeras-kerasnya.
Namun, pasca 19 tahun reformasi kita bergulir masih begitu banyak catatan raport merah yang perlu kita telaah secara mendalam dan kritis. Bahwa, reformasi kita belumlah mampu menciptakan iklim kehidupan berbangsa yang cukup ideal. Bahkan, Buya Syafi’I Maarif pernah berkomentar kalaulah ada yang merasa puas dengan demokrasi kita hari ini berarti orang tersebut tidak normal. Begitupun oleh Komarudin Hidayat, menurutnya demokrasi kita memang sedang dalam proses bunuh diri karena tidak disertai dengan upaya penegakan hukum, etika moral, serta pemerataan pendidikan dan ekonomi.
Pada dasarnya, salah satu tujuan dari reformasi adalah mewujudkan kehidupan yang lebih demokratis. Namun, demokrasi bukanlah kehidupan yang sebebas-bebasnya tanpa batas. Demokrasi yang dewasa adalah demokrasi yang disertai dengan supremasi hukum. Demokrasi juga tidak hanya sebatas pada kebebasan mengeluarkan pendapat dan berserikat yang selama masa Orde Baru dikekang. Namun, demokrasi melingkupi segala lini, baik politik, hukum, pers, pendidikan maupun ekonomi.
Akan tetapi, demokrasi kita hari ini adalah demokrasi yang kebablasan. Democrazy, kata Sulastomo, mantan anggota MPR periode 1988-1998. Sebabnya, demokrasi yang kita lahirkan ternyata telah mengakibatkan tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara diselimuti kegalauan yang meluas.
Demokrasi Di Tangan Kapitalisme
Demokrasi pada intinya adalah hak kedaulatan di tangan rakyat. Hal ini sejalan dengan apa yang dikatakan J.J Rosseau dalam On Social Contract bahwa kekuasaan negara ada di tangan rakyat yang memberikan kebebasan negara yang pada gilirannya adalah kehendak umum. Sejauh kepentingan manusia diarahkan pada kepentingan umum bersama satu bangsa, semua kehendak itu bersatu menjadi satu kehendak, yaitu kehendak umum. Dan jika kita sederhanakan maka demokrasi semestinya adalah demokrasi kerakyatan.
Namun demokrasi kita hari ini telah dirampok oleh para elit dan penguasa yang berselimut dengan para kapitalis/pemilik modal, atau elite dan penguasa itu sendiri yang merupakan pemilik modal. Hal ini sebenarnya bukan luka baru yang dialami bangsa ini, namun ini adalah luka lama yang belum sembuh. Dan kini menjadi kian parah.
Demokrasi dan kapitalisme sering dimitoskan sebagai dua hal yang tidak bisa dipisahkan. Padahal, kapitalisme sebenarnya merupakan pembunuh bagi demokrasi itu sendiri. Karena kapitalisme adalah sistem yang akan mengkonsentrasikan kekuasaan ekonomi ke tangan segelintir orang dan mengesampingkan banyak orang, artinya cenderung tidak demokratis.
Dan menurut data yang dilansir oleh majalah Forbes tahun 2012 kekayaan Indonesia dimiliki oleh 40 orang mencapai Rp 800 triliun. Dan berdasarkan perhitungan Perkumpulan Prakarsa, kekayaan 40 orang itu setara dengan kekayaan 15 juta keluarga atau 60 juta jiwa paling miskin. Sedangkan menurut Budiman Sudjatmiko, mengutip dari Badan Pertahanan Nasional (BPN) kepemilikan aset dalam 14 tahun reformasi meningkat; 0,2 persen penduduk menguasai 56 persen aset di tanah air; artinya aset nasional bangsa ini hanya dimiliki 440 ribu orang.
Kapitalisasi Media
Tidak hanya sampai pada kapitalisasi kekayaan alam Indonesia. Kapitalisasi juga menjalar sampai pada peran media. Untuk kapitalisasi media sendiri, Ali Sodikin menuliskan bahwa Noam Chomsky melihat media era kapitalis liberal, sarat dengan persekongkolan. Gejalanya terlihat ketika bisnis media mulai diatur oleh tokoh-tokoh yang punya kekuatan politik dan uang.
Elit kekuasaan dan elit bisnis berkolaborasi mengatur isi media. Maka kebebasan pers yang dijiwai demokrasi dan liberalisme telah disusupi corong-corong propaganda segelintir orang. Setiap keping informasi telah disusupi kepentingan tertentu. Setiap suara berita telah dimodali kekuatan politik dan bisnis.
Konglomerasi dan kapitalisasi media ini terlihat misalnya, pengusaha Chairul Tanjung memiliki bisnis media seperti Trans7, DetikCom dan kini merambah CNN Indonesia. Aburizal Bakrie dengan media TVOne, ANTV, dan VivaNews grup. Hary Tanoesoedibjo dengan MNC-nya yang di dalamnya terdapat RCTI, Global TV, TPI (MNC News), Sindo TV (INews), Koran Sindo, Radio TrijayaFM, Okezonedotcom dan lain sebaginya. Surya Paloh dengan Metro TV dan Media Indonesia-nya. Kompas Media Grup dengan Harian Kompas, Kompas TV. Dan masih banyak lagi.
Dengan demikian maka bisa dibayangkan apa jadinya jika  kekuatan media sebagai produsen budaya, produsen informasi politik, dan kekuatan ekonomi hanya terkonsentrasi pada segelintir orang. Apalagi pemiliknya pemain politik sekaligus pemain bisnis kelas kakap. Wartawan pun tidak lagi independen. Semua berita hampir bisa dipastikan terjadi politisasi dan bisnisasi di dalamnya. Wartawan/pers seakan kembali meraskan duka lama dengan gaya baru.
Pers tidak hanya mengalami politisasi dan kapitalisasi. Era demokrasi seolah ditafsirkan pers sebagai era kebebasan berusara sebebas-bebasnya tanpa batas. Akhirnya berita-berita hoax dan propaganda terus berseliweran di mana-mana mempengaruhi publik. Hal ini diperparah lagi dengan para pengguna media sosial yang asal like dan share tanpa mendalami kebenaran dan dampak dari berita-berita tersebut. Sajian-sajian media pun lebih banyak yang tidak mendidik, media hanya mengejar keuntungan ekonomi. Tanpa mempedulikan kualitas siaran/berita yang di sajikan.
Mirisnya Penegakan Hukum
19 tahun sudah kita tertati dalam reformasi, namun salah satu perubahan yang belum tersentuh dan mendesak adalah reformasi penegakan hukum atau dikenal pula dengan reformasi sistem peradilan pidana. Publik punya kepercayaan yang sangat rendah terhadap institusi penegak hukum: polisi, jaksa dan hakim. Dan sementara ketiga institusi tersebut masih melihat warga negara lebih sering sebagai klien dan konsumen dalam hubungan transaksional hukum daripada warga negara, berikut martabat kewarganegaan dan hak-haknya. Sedangkan sebab lainnya adalah ketiga institusi penegak hukum tersebut pun sering menjadi sarang pelanggaran hukum, baik korupsi maupun kriminalisasi.
Aparatur penegak hukum yang seharusnya menjadi teladan justru sebaliknya melakukan pelanggaran terhadap hukum. Semisal, Ketua Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MK RI) Akil Mochtar yang tertangkap tangan oleh KPK di rumah dinasnya dengan dugaan menerima uang suap untuk memuluskan salah satu kandidat dalam konflik Pilkada di beberapa daerah.
Di aparatur kejaksaan, misalnya Kepala Kejaksaan Negeri Praya, Lombok Tengah, NTB yang bernama Subri. Ia ditangkap karena diduga menerima suap ratusan juta rupiah dalam perkara penanganan pemalsuan sertifikat tanah ribuan hektar di kawasan objek wisata Selong Blanak, Lombok Tengah, NTB.
Dan aparatur penegak hukum berikut yang terbilang paling buruk adalah kepolisian. Korupsi dalam lingkaran internal seperti korupsi dalam hal jual beli jabatan, dalam penerimaan anggota polisi, dalam seleksi masuk pendidikan lanjutan, dalam pendistribusian logistik dan penyaluran dana keuangan. Serta korupsi eksternal, yaitu korupsi yang melibatkan kepentingan masyarakat secara langsung. Salah satu kasus yang melibatkan seorang Perwira Tinggi Polri, Irjen Pol Joko Susilo terkait perkara korupsi pengadaan simulator SIM di kepolisian adalah kasus yang sangat mencoreng wajah dari korps Tribrata.
Di lingkaran kepolisian pelanggaran hukum tidak hanya semata terbatas pada kasus korupsi. Yang paling banyak adalah kasus pelanggaran HAM. Korban salah tangkap, kriminalisasi, penyiksaan, proses hukum di kepolisian, laporannya terus meningkat. Polisi yang harusnya mengayomi tapi kerap menghakimi dengan brutal.
Mahalnya Demokrasi
Kita ambil fakta paling mutakhir, betapa mahalnya biaya demokrasi yang ditanggung rakyat Indonesia pada pemilu 2014. Pemilu yang berlangsung dua tahap, tahap pertama adalah pemilihan anggota legislatif DPR RI, DPRD I, DPRD II dan DPD. Tahap berikutnya adalah Pilpres.
Pemilu ini memakan biaya yang begitu besar. Pesta demokrasi ini menghabiskan dana sebesar Rp 20 triliun. Dengan rincian pemilu legislatif  menghabiskan anggaran sekitar Rp 16 trilun. Dan biaya Pilpres sebesar Rp 4 triliun, dari anggaran yang sebelumnya disiapkan KPU sebesar Rp 7,9 triliun.
Itupun diluar daripada biaya yang harus dikeluarkan oleh para kandidat. Baik itu biaya untuk membuat iklan, banner, poster, kampanye, sewa ahli/konsultan, sewa lembaga survey, lobi-lobi politik hingga membeli suara rakyat. Akibatnya kejahatan korupsi tidak bisa dihindarkan, karena harus mengembalikan modal biaya saat kampanye. Padahal korupsi menjadi salah satu agenda reformasi yang harus diberangus.
Mahalnya demokrasi ini sering pula dibayar dengan legitimasi undang-undang pro kapitalis yang mendukung kemenangan para elit/penguasa tersebut. Undang-undang yang dilahirkan tidak lagi pro terhadap kepentingan rakyat melainkan untuk kepentingan segelintir orang pemilik modal/kapitalis.
Meredupnya Pancasila
Dalam buku Negara Paripurna (Yudi Latif, 2011), disebutkan Soekarno kerap menggunakan kiasan “menggali” dalam merumuskan Pancasila. Aktivitas menggali melibatkan bumi dan tubuh; Pancasila lahir dari jerih payah sejarah, dan seperti halnya hasil bumi, ia menawarkan sesuatu yang tetap bisa diolah lebih lanjut. Kenyataannya, pasca kemerdekaan bangsa ini dari penjajah, pancasila benar-benar menuntut aktualisasi dengan segala macam tantangan yang dihadapi.
Sayangnya, setelah disalahgunakan selama Orde Baru, pasca Reformasi, Pancasila hingga kini berada di titik nadir untuk tidak dikatakan hanya tinggal nama. Ideologi negara tandingan pun menjamur di mana-mana. Seiring lunturnya nilai-nilai Pancasila, konflik sosial khususnya atas nama agama mewarnai hari-hari perjalanan bangsa. Gereja dihancurkan, masjid disegel, monumen budaya dirubuhkan, hingga makam para leluhur pun tidak luput dari serangan. Ekspresi kebencian atas nama iman sangat telanjang di ruang publik yang sejatinya memiliki konstitusi ini. Selain tempat-tempat ibadah dihancurkan, rumah dibakar, ternak dan sumber penghasilan dibumi hanguskan, bahkan diusir dari tempat kelahiran mereka sendiri.
Kasus Sampang adalah salah satu kekejian yang mengatasnamakan agama dan hingga hari ini masih menjadi benang kusut yang belum bisa teruraikan. Intoleransi merebak ke hampir seluruh sendi-sendi kehidupan bangsa. Salah satu kasus yang paling menyita perhatian akibat intoleransi adalah apa yang menimpa Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaya Purnama atau Ahok.
Pelecehan Pancasila dengan sebutan bebek nungging, Pancasila ada di panatat, pengusungan ideologi semisal Khilafah dan masih banyak lagi menandakan ketidak hormatan dan kepatuhan generasi reformasi terhadap ideologi bangsanya. Pancasila yang semestinya sebagai landasan kebebasan beragama kian dilupakan. Serta pancasila yang semestinya menjadi alat pemersatu dan sumber toleransi sebagaimana semangat sila “Persatuan Indonesia” hanya dipandang sebelah mata.
Kembali Pada Pancasila
Setelah melihat rapor reformasi dengan jargon demokrasinya yang begitu kebablasan, lantas siapa yang mesti disalahkan dan apa yang mesti dilakukan? Pada dasarnya, demokrasi yang kebablasan dan segala ketimpangan di era reformasi merupakan kesalahan dan tanggung jawab kita bersama. Mengapa kita memilih demokrasi? Karena semua itu adalah pilihan sadar kita. Namun demikian, jika kita persentasekan siapa penanggung jawab kesalahan semua itu maka kita akan menemukan porsi terbanyaknya ada di tangan Penguasa dan para pimpinan partai yang mengendalikan proses legislasi dan kebijakan negara dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Selanjutnya, dengan melihat realitas obyektif yang terpampang nyata di hadapan kita saat ini sudah selayaknya menjadi refleksi kita untuk memperbaiki diri. Di sinilah diperlukan kejujuran sebagai langkah awal melakukan koreksi agar kita mampu memilih jalan yang benar dan tidak semakin terpuruk. Dan untuk itu, tidak bisa tidak, jalan keluar dari problema-problema itu adalah kembali kepada fitrah bangsa kita. Bangsa yang berketuhanan, berprikemanusiaan, berprikeadilan, berkesatuan, penuh musyawarah, toleran, dan gotongroyong/kebersamaan. Itulah nilai-nilai luhur yang menjadi fitrah bangsa kita, dan ia terangkum dalam Pancasila.
Dengan demikian, jalan kembali kita adalah pada Pancasila. Sudah saatnya kita kembali mengkaji dan mengamalkan Pancasila secara murni dan konsekuen, merujuk nilai-nilai yang substansif yang cenderung mendorong terwujudnya demokrasi yang mengedepankan konsensus, ekonomi pasar sosial, dan kebersamaan/kegotongroyongan.
Apabila hal itu bisa kita wujudkan, sebagaimana kita bisa belajar dari Jepang, China, atau negara-negara Skandinavia, kebersamaan itu justru memiliki nilai kompetitif yang lebih besar dibandingkan individualisme. Inilah yang mungkin terlupakan di era Reformasi. Sesungguhnya kita telah memiliki sistem sendiri yang lebih kompetitif, tetapi kita lebih mengadopsi sisitem lain yang bisa menyimpang dari tujuan untuk apa negara ini didirikan.

0 komentar:

Post a Comment

 
ZN _ LEFOKISSU © 2017