Banner 468 x 60px

 

Wednesday, March 28, 2018

IBU

0 komentar
IBU

Tanpa jerit dan derit iba
Kau kayuh malam di bawah rembulan
Gontai langkahmu di atas karang di terpa ombak
Kala angin memanah silir dari samudra lautan
Dingin menancap tulang-tulang iga-mu
Darahmu beku di atas pelepah gubuk bambu
Kau peluk nasib masa depan anak-anakmu
Di ruas-ruas pasar
Ki cintamu memancar di bawah terik mentari
Tak pernah surut di gelap malam

Kau, Perempuanku
Samudera cinta yang tak pernah bias
Tak padam di atas lautan
Tak lekang diterpa waktu
Dekap aku bagai mentari di ujung cakrawala
Read more...

RASA

0 komentar


RASA


Lebam di sekujur malam
Kala dingin dan kantuk menyergap sepi
Antara rindu dan bosan
Rasanya makin asing
Apakah kau yang tlah lama pergi
Atau diriku yang masih menunggu di sini
Di persimpangan masa
Yang membelah jalan untuk kita
Read more...

Monday, March 19, 2018

Duet Jokowi-Prabowo; Akankah Terjadi di Pilpres 2019?

0 komentar
Pemilihan Umum Presiden (Pilpres) 2019 menyisakan waktu sekitar setahun lagi dari sekarang. Tak heran geliat politik sudah begitu terasa. Mulai dari survei tentang elektabilitas para kandidat hingga berseliwerannya spanduk dan iklan-iklan para kandidat merajalela di mana-mana. Sejauh ini, nama-nama kandidat yang muncul di antaranya, presiden saat ini, Joko Widodo (Jokowi), Prabowo Subianto, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), Gatot Nurmantyo, Muhaimin Iskandar (Cak Imin) dan Anis Rasyied Baswedan. Selain nama-nama yang masuk dalam bursa survei elektabilitas di atas, muncul nama-nama lain seperti Mahfud MD dan Anis Mata.
Berdasarkan hasil survei yang dilakukan oleh Lembaga Survei Indonesia (LSI), menempatkan elektabilitas Jokowi berada pada posisi tertinggi di banding semua calon presiden yang disimulasikan. Bahkan jika ditotalkan, calon presiden di luar Jokowi hanya menyentuh angka 41,20 %, di bawah Jokowi yang meraup angka 48,50 %.
Di sisi lain, survei yang dilakukan oleh lembaga survei Poltracking pada Februari lalu dengan simulasi lima nama capres, menempatkan Jokowi sebagai kandidat terkuat dengan mengantongi 55,9% yang sebelumnya pada November 2017 hanya 51,8%. Prabowo menempati posisi kedua dengan mengantongi 29,9 %, naik 2,9 % pada survei sebelumnya.
Sedangkan urutan tiga ditempati oleh Gubernur DKI Jakarta saat ini, Anis Rasyied Baswedan yang tidak mengalami perubahan, dengan 2,8%.  Di urutan keempat ada mantan Panglima TNI, Gatot Nurmantyo dengan 2,3% turun 0,9% pada survei November lalu. Penurunan elektabilitas juga dialami oleh Agus Harimurti Yodhoyono. Anak dari mantan presiden dua periode, SBY, ini memperoleh 2,1% dari sebelumnya 3,9%.
Menurut IndoBarometer dan SMRC, maksimal 3 (tiga) tiga calon yang akan bertarung pada pilpres nantinya. Dan besar kemungkinan 2 (dua) pasang, sebagai konsekuensi Presidential Threshold (PT) 20%. Hal ini memunculkan opini masyarakat bahwa pertarungan antara Jokowi dan Prabowo bakal terulang kembali pada pemilu 2019 mendatang. Dan jika kita berkaca pada hasil survei ini, Jokowi akan melenggang bebas keluar sebagai pemenang pada pilpres mendatang tanpa perlawanan berarti dari para kandidat lainnya.
Selain besar kemungkinan pertarungan jilid II Jokowi vs Prabowo, ada kemungkinan duet antara keduanya bisa saja terjadi. Artinya kita akan disuguhkan pasangan dwitunggal. Kemungkinan ini sebagaimana juga yang diungkapkan Menko PMK Puan Maharani bahwa tidak menutup kemungkinan duet presiden Joko Widodo dan Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto pada pilpres 2019. Menurutnya tidak ada yang tidak mungkin dalam politik.
Bukankah politik itu cair? Dalam politik, kita mengenal istilah “tidak ada musuh abadi atau teman abadi”. Yang abadi dalam jagat perpolitikan hanyalah kepentingan. Musuh hari ini bisa menjadi teman suatu waktu kelak. Begitu pula sebaliknya, teman bisa menjadi musuh bila tidak lagi sejalan. Kepentingan menjadi alat pemersatu paling tangguh dalam politik. Kepentingan demi sebuah kekuasaan ataupun demi mensejahterakan rakyat. Segalanya bisa terjadi pada detik-detik terakhir. Seperti kata Novelis Hendri Teja dalam “Tan: Sebuah Novel”. “Ini Politik. Naskah dapat ditulis, tapi segala sesuatu bisa berubah di lapangan. Detik-detik terakhirlah yang menentukan”.
Sebagaimana pula pernyataan Prabowo “Apa pun keputusannya, saya akan utamakan kepentingan rakyat, yang terbaik untuk kepentingan rakyat”, ketika ditanyakan peluangnya berduet bersama Jokowi. Artinya, Prabowo tidak menutup kemungkinan berduet bersama Jokowi. Jika demikian yang terjadi, keduanya bisa dikatakan sebagai dwitunggal. Dan bisa dipastikan dwitunggal ini akan melawan kotak kosong pada perhelatan pilpres 2019 nantinya.
Bila kita melihat kegaduhan bangsa kita hari ini, semuanya hampir tidak terlepas daripada pro-kontra terhadap dua sosok ini. Riuhnya alam bangsa ini seolah mengkrucut pada sosok Jokowi sebagai pemenang pemilu 2014 dan Prabowo yang kalah. Sebut saja yang vokal di sisi Jokowi ada PDI-P dan beberapa partai pendukung lainnya. Dan Gerindra, PAN serta PKS berada di sisi Prabowo, dengan Fadli Zon, Fahri Hamzah sebagai top vokalnya.
Untuk itu, demi menetralisir gelombang kegaduhan ini salah satu opsi terbaiknya adalah kompromi politik Jokowi-Prabowo. Duet keduanya tidak hanya menjadi duet dwitunggal, lebih dari itu adalah sebagai jalan tengah mendamaikan kedua kubu ini dan rakyat Indonesia pada umumnya. Bukankah politik itu (juga) dimaknai sebagai seni kemungkinan?
Prabowo harus merapat ke Jokowi jika ingin menang pada pilpres mendatang. Atau Jokowi harus meraih tangan Prabowo demi menjaga kestabilan bangsa ini. Dan sekali lagi, semua itu bisa dan mungkin saja terjadi dalam dunia politik. Meski keputusan yang demikian belum tentu diterima secara utuh oleh massa pendukung kedua tokoh. Mengingat massa kedua kubu yang begitu kontras satu sama lain selama ini.
Komposisi duet Jokowi-Prabowo sejatinya selain diharapkan menghadirkan kesejukan pada pemilu presiden nantinya, juga bisa berdampak kurangnya harmonisitas antara Jokowi-Prabowo selepas terpilih. Karena keduanya memiliki pengaruh yang besar di mata masyarakat dengan basis massa yang fanatik memungkinkan terjadinya “Matahri Kembar” dalam kepemimpinan. Sebagaimana yang pernah terjadi antara SBY-JK.
Istilah matahari kembar yang dipopulerkan oleh Ali Murtopo pada 1966/1967, mengatakan bahwa “matahari kembar tidak boleh dan tidak akan pernah ada di Indonesia. Ia menekankan bahwa “adanya matahari kembar di Indonesia hanya akan membawa bencana bagi bangsa Indonesia. Karena itu, matahari kembar harus dicegah dan tak boleh dibiarkan terjadi”.
Istilah matahari kembar sebenarnya bukan hal yang baru atau paling tidak semenjak digaungkan oleh Ali Murtopo. Praktek matahari kembar sejatinya juga pernah terjadi antara dwitunggal Soekarno-Hatta. Meski dilabelkan sebagai pemimpin dwitunggal serta punya kesamaan latar belakang dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia, dalam konsep pemikiran, keduanya ternyata berbeda. Misalnya dalam pembangunan ekonomi, hak asasi dan pelaksanaan demokrasi. Dwitunggal pun pecah, ketika pada 1956 Hatta mengundurkan diri sebagai wakil presiden.
Akan tetapi sekali lagi, dalam dunia politik tak bisa dielakkan terjadinya kompromi kepentingan. Misalnya Anis Baswedan yang pada pemilu presiden 2014 mendukung Jokowi dan berhadapan vis a vis dengan Prabowo. Sedang pada pemilihan Gubernur DKI lalu ia justru  membangun poros kekuatan dengan cara berafiliasi bersama Prabowo selaku Ketua Umum Partai Gerindra.
Contoh lainnya adalah pecahnya Koalisi Merah Putih (KMP). Yang sebelumnya mengusung Prabowo, beberapa partai kemudian beralih menjadi pendukung Jokowi. Hal ini dikarenakan adanya “kemungkinan” dalam dunia politik. Hasrat pribadi bisa saja luluh atau luntur demi sebuah kepentingan. Teramat banyak contoh yang bisa kita lihat di dunia ini. Sehingga kita tidak dapat menutup kemungkinan terjadinya duet Jokowi-Prabowo.
Di samping keduanya memiliki jiwa kenegaraan yang besar dan hasrat memajukan Indonesia yang tinggi, kerinduan masyarakat Indonesia untuk hidup berdampingan secara rukun pun menjadi nilai pertimbangan yang besar. Dan tentang “matahari kembar” pun bukan sesuatu yang perlu ditakuti. Selama sama-sama memiliki niatan suci membawa bangsa ini ke taraf yang lebih baik, itulah yang lebih diinginkan bangsa ini.
Karena untuk membangun sebuah bangsa yang telah merdeka jauh lebih berat daripada memperjuangkan kemerdekaannya. Sebagaimana kata bung Karno “Perjuanganku lebih mudah karena mengusir penjajah, tapi perjuanganmu akan lebih sulit karena melawan bangsamu sendiri”.



Read more...

Monday, March 5, 2018

Dagelan Ala Wakil Ketua DPR “Fadli Zon”

0 komentar
Dilansir detik.com “Pengungkapan Kasus Muslim Cyber Army, Fadly: Upaya Matikan Demokrasi” tertanggal 01 Maret 2018, wakil ketua DPR RI Fadli Zon menilai upaya pengungkapan ini terlihat seperti langkah mematikan demokrasi di Indonesia. “Ini adalah upaya untuk mematikan demokrasi. Harus betul-betul dicek apa yang dimaksud dengan hoax. Apakah ini bagian dari kebebasan berpendapat atau apa?”
Sehari sesudahnya, tanggal 02 Maret, giliran wakil Ketua Umum Gerindra ini mempolisikan sejumlah akun media sosial terkait foto hoax dirinya dengan seseorang yang disebut sebagai admin Muslim Cyber Army (MCA), dengan menyebutkan bahwa laporan dibuat agar tak ada lagi fitnah di dunia cyber. “Kan kita ingin dunia cyber kita itu tidak dipenuhi berita-berita fitnah dan hoax”.  Akun media sosial yang dilaporkan itu di antaranya Ananda Sukarlan dan makLambeTurah.
Dari kedua respon Fadli Zon tersebut di atas menunjukan ketidak-konsistenan dan kontradiksi yang begitu menganga dilakukan oleh seorang yang dipercayakan sebagai wakil rakyat. Boleh jadi, ini menunjukan degradasi moral, intelektual dan kebijaksanaan wakil rakyat kita hari ini.
Bagaimana tidak? Untuk membedakan hoax dan fakta saja tak mampu. Padahal jelas dalam butir Pancasila sila keempat, dinyatakan “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan”. Artinya para pemimpin dan waklil rakyat sepatutnya dalam mengemban amanah rakyat haruslah memiliki hikmah (ilmu) dan kebijaksanaan (mampu menilai dan mengambil tindakan yang benar dan baik)”. Akan tetapi, apa yang dipertontonkan Fadli Zon saat ini menunjukan hal sebaliknya. Bukannya memberikan pencerahan bagi rakyat malah mempertontonkan dagelan yang memuakan.
Kita ketahui bersama bahwa hoax atau fitnah adalah perbuatan yang melanggar norma agama dan kesusilaan. Di manapun dan agama apapun pasti menentang perbuatan ini, bahkan dalam dunia demokrasi-pun sejatinya hoax ditentang. Karena hoax tak lebih dari racun yang akan merusak konsolidasi demokrasi. Tak hanya sekedar merusak demokrasi,  tetapi juga merendahkan martabat manusia, mengoyak sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara serta menggrogoti persaudaraan dan persatuan umat manusia. Terlampau banyak nukilan sejarah tentang pertikaian dan kehancuran umat manusia diakibatkan hoax atau fitnah. Yang mestinya menjadi cermin untuk kita berkaca dalam membangun bangsa dan negara ini.
Jika kita melihat demokrasi di bangsa kita, sesungguhnya demokrasi kita adalah demokrasi Pancasila. Yakni demokrasi yang menjadikan nilai-nilai Ke-Tuhanan dan Kemanusiaan sebagai titik tumpu dan fokus tujuan dalam berbangsa dan bernegara. Bukan demokrasi yang bermentalkan menghalalkan segala cara ala Niccolo Machiavelli “the end justifies the means (tujuan menghalalkan segala cara). Karena demokrasi yang demikian akan sangat mudah melukai dan menghancurkan tujuan utama kita berdemokrasi, berbangsa dan bernegara. Sehingga, tidaklah benar jika hoax atau fitnah dianggap sebagai bagian dari demokrasi yang perlu dipupuk dan dipelihara terkhussunya di negara kita ini.
Saya pikir, dengan demikian tidaklah perlu kita membangun sebuah frame bahwa demokrasi kita sedang mengalami gradasi lantaran para pelaku penyebar hoax diringkus pihak kepolisian. Justru kita sedang mencoba membangun demokrasi yang bersih dan pancasilais. Demokrasi yang tidak membenarkan segala cara demi sebuah tujuan.
Beberapa pertanyaan sudah selayaknya dalam tulisan ini saya hantarkan pada pak Fadli, jika benar hoax atau fitanh adalah bagian dari kehidupan demokrasi, lantas mengapa anda harus mempolisikan sejumlah akun media sosial dengan dalih serupa yang justru bagi anda, merupakan bagian dari demokrasi (kebebasan berpendapat) dan juga sedang anda lawan? Tidakkah ini menunjukan bahwa anda sedang bermain-main dalam lingkaran kebodohan? Mempertontonkan lelucon ketakberdayaan anda kepada masyarakat Indonesia.
Lelucon ketakberdayaan anda ini akan semakin gila apabila kita sedikit menoleh ke undang-undang MD3 yang baru saja diketuk tiga kali palunya tanda persetujuan. Terlihat jelas anda dan teman-teman anda yang sedang ngerumpi di Senayan mematikan kran demokrasi kita hari ini. Anda memberikan protect terhadap diri anda dan teman-teman anda dengan undang-undang yang membungkam suara-suara rakyat yang hendak mengkritik kalian.
Pak Fadli yang terhormat, mengapa anda begitu alergi terhadap pemerintah sehingga menghalalkan hoax untuk membunuh karakter pemerintah saat ini? Mendukung hoax terhadap pemerintah, sedang anda dan teman-teman anda justru menciptakan undang-undang yang memberikan imun terhadap diri kalian. Mengapa anda justru membela demokrasi yang democrazy (demokrasi yang salah) dan hendak mematikan demokrasi yang benar? Apakah anda takut terhadap suara-suara orang-orang yang anda wakili sehingga perlu dibungkam? Apakah nalar anda sedang mengalami gradasi? Ataukah justru kemanusiaan anda yang sedang mengalami dekadensi? Sehingga hendak mematikan demokrasi yang sesungguhnya dan menghidupkan democrazy.
Saya teringat dengan guyonan mantan Presiden RI almarhum Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang menyatakan bahwa anggota DPR seperti Taman Kanak-Kanak (TK). Yaitu mereka yang asal-asalan bertindak. Tak perlu dimarahi. Tak perlu disalahkan. Dan tak perlu dikeritik. Karena mereka masih anak-anak, akal mereka masih belum berkembang selayaknya manusia dewasa.

Read more...
 
ZN _ LEFOKISSU © 2017