Dilansir
detik.com “Pengungkapan Kasus Muslim Cyber Army, Fadly: Upaya Matikan
Demokrasi” tertanggal 01 Maret 2018, wakil ketua DPR RI Fadli Zon menilai upaya
pengungkapan ini terlihat seperti langkah mematikan demokrasi di Indonesia. “Ini
adalah upaya untuk mematikan demokrasi. Harus betul-betul dicek apa yang
dimaksud dengan hoax. Apakah ini bagian dari kebebasan berpendapat atau apa?”
Sehari
sesudahnya, tanggal 02 Maret, giliran wakil Ketua Umum Gerindra ini mempolisikan
sejumlah akun media sosial terkait foto hoax dirinya dengan seseorang yang
disebut sebagai admin Muslim Cyber Army (MCA), dengan menyebutkan bahwa laporan
dibuat agar tak ada lagi fitnah di dunia cyber. “Kan kita ingin dunia cyber
kita itu tidak dipenuhi berita-berita fitnah dan hoax”. Akun media sosial yang dilaporkan itu di
antaranya Ananda Sukarlan dan makLambeTurah.
Dari kedua
respon Fadli Zon tersebut di atas menunjukan ketidak-konsistenan dan
kontradiksi yang begitu menganga dilakukan oleh seorang yang dipercayakan
sebagai wakil rakyat. Boleh jadi, ini menunjukan degradasi moral, intelektual
dan kebijaksanaan wakil rakyat kita hari ini.
Bagaimana
tidak? Untuk membedakan hoax dan fakta saja tak mampu. Padahal jelas dalam
butir Pancasila sila keempat, dinyatakan “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan”. Artinya para pemimpin dan
waklil rakyat sepatutnya dalam mengemban amanah rakyat haruslah memiliki hikmah
(ilmu) dan kebijaksanaan (mampu menilai dan mengambil tindakan yang benar dan
baik)”. Akan tetapi, apa yang dipertontonkan Fadli Zon saat ini menunjukan hal
sebaliknya. Bukannya memberikan pencerahan bagi rakyat malah mempertontonkan
dagelan yang memuakan.
Kita
ketahui bersama bahwa hoax atau fitnah adalah perbuatan yang melanggar norma
agama dan kesusilaan. Di manapun dan agama apapun pasti menentang perbuatan
ini, bahkan dalam dunia demokrasi-pun sejatinya hoax ditentang. Karena hoax tak
lebih dari racun yang akan merusak konsolidasi demokrasi. Tak hanya sekedar
merusak demokrasi, tetapi juga
merendahkan martabat manusia, mengoyak sendi-sendi kehidupan berbangsa dan
bernegara serta menggrogoti persaudaraan dan persatuan umat manusia. Terlampau
banyak nukilan sejarah tentang pertikaian dan kehancuran umat manusia
diakibatkan hoax atau fitnah. Yang mestinya menjadi cermin untuk kita berkaca
dalam membangun bangsa dan negara ini.
Jika kita
melihat demokrasi di bangsa kita, sesungguhnya demokrasi kita adalah demokrasi Pancasila.
Yakni demokrasi yang menjadikan nilai-nilai Ke-Tuhanan dan Kemanusiaan sebagai
titik tumpu dan fokus tujuan dalam berbangsa dan bernegara. Bukan demokrasi
yang bermentalkan menghalalkan segala cara ala Niccolo Machiavelli “the end justifies the means (tujuan
menghalalkan segala cara)”. Karena
demokrasi yang demikian akan sangat mudah melukai dan menghancurkan tujuan
utama kita berdemokrasi, berbangsa dan bernegara. Sehingga, tidaklah benar jika
hoax atau fitnah dianggap sebagai bagian dari demokrasi yang perlu dipupuk dan
dipelihara terkhussunya di negara kita ini.
Saya pikir,
dengan demikian tidaklah perlu kita membangun sebuah frame bahwa demokrasi kita sedang mengalami gradasi lantaran para
pelaku penyebar hoax diringkus pihak kepolisian. Justru kita sedang mencoba
membangun demokrasi yang bersih dan pancasilais. Demokrasi yang tidak
membenarkan segala cara demi sebuah tujuan.
Beberapa
pertanyaan sudah selayaknya dalam tulisan ini saya hantarkan pada pak Fadli,
jika benar hoax atau fitanh adalah bagian dari kehidupan demokrasi, lantas
mengapa anda harus mempolisikan sejumlah akun media sosial dengan dalih serupa yang
justru bagi anda, merupakan bagian dari demokrasi (kebebasan berpendapat) dan
juga sedang anda lawan? Tidakkah ini menunjukan bahwa anda sedang bermain-main
dalam lingkaran kebodohan? Mempertontonkan lelucon ketakberdayaan anda kepada
masyarakat Indonesia.
Lelucon
ketakberdayaan anda ini akan semakin gila apabila kita sedikit menoleh ke
undang-undang MD3 yang baru saja diketuk tiga kali palunya tanda persetujuan.
Terlihat jelas anda dan teman-teman anda yang sedang ngerumpi di Senayan
mematikan kran demokrasi kita hari ini. Anda memberikan protect terhadap diri anda dan teman-teman anda dengan
undang-undang yang membungkam suara-suara rakyat yang hendak mengkritik kalian.
Pak Fadli
yang terhormat, mengapa anda begitu alergi terhadap pemerintah sehingga
menghalalkan hoax untuk membunuh karakter pemerintah saat ini? Mendukung hoax
terhadap pemerintah, sedang anda dan teman-teman anda justru menciptakan
undang-undang yang memberikan imun terhadap diri kalian. Mengapa anda justru
membela demokrasi yang democrazy
(demokrasi yang salah) dan hendak mematikan demokrasi yang benar? Apakah anda
takut terhadap suara-suara orang-orang yang anda wakili sehingga perlu
dibungkam? Apakah nalar anda sedang mengalami gradasi? Ataukah justru
kemanusiaan anda yang sedang mengalami dekadensi? Sehingga hendak mematikan
demokrasi yang sesungguhnya dan menghidupkan democrazy.
Saya
teringat dengan guyonan mantan Presiden RI almarhum Abdurrahman Wahid (Gus Dur)
yang menyatakan bahwa anggota DPR seperti Taman Kanak-Kanak (TK). Yaitu mereka
yang asal-asalan bertindak. Tak perlu dimarahi. Tak perlu disalahkan. Dan tak perlu
dikeritik. Karena mereka masih anak-anak, akal mereka masih belum berkembang
selayaknya manusia dewasa.
0 komentar:
Post a Comment