Syirik atau perbuatan
menyekutukan Allah seringkali diidentikan dengan obyek-obyek seperti kuburan,
ruh orang suci, benda-benda keramat peninggalan para leluhur, rumah-rumah adat,
dunia perdukunan (klenik), bahkan sampai pada yang modern yaitu gambar/foto/lukisan
baik manusia maupun binatang dan juga musik. Oleh mereka kelompok Islam
puritan; dianggap hal-hal ini adalah sumber kesyirikan, sehingga wajib untuk
dimusnahkan (dihilangkan) agar tidak menjadi batu sandungan ketauhidan mereka.
Semangat memusnahkan
situs-situs peninggalan leluhur (kuburan) ini pernah sampai juga pada wacana
penghancuran kuburan baginda Rasulullah SAW. Dikarenakan banyaknya orang yang
mengunjungi makam beliau dan berdoa di sana meminta syafaat/wasilah dan lain
sebagainya, sehingga dianggap mereka berbuat syirik (menyekutukan Allah), maka
makam ini pun harus dimusnahkan. Ini pulalah yang menjadi pijakan didirikan
organisasi Nahdatul Ulama dalam rangka menolak penghancuran makam Rasulullah
SAW oleh kelompok Islam puritan-reformis ekstrim yang menganggap diri paling
tauhid.
Tentusaja gelora
mensyirik-syirikan obyek seperti yang disebutkan di atas, oleh mereka (kaum
reformis ekstrim) ada pengecualiannya. Pengecualian ini antara lain misalnya
terhadap makam kiyai/orang-orang mereka yang dianggap suci, patung-patung di
markas TNI/Polri dan patung-patung buatan pemerintah, uang kertas maupun uang
jenis apapun yang terdapat gambar di dalamnya, bahkan tidak menutup kemungkinan
TV, Handphone sampai Internet (Facebook, Google dll).
Mereka takut merusak
patung-patung buatan pemerintah dan juga patung-patung yang ada di markas
TNI/Polri, karena tidak ingin dipenjarakan atau ditembak saat sedang merusak
patung-patung tersebut. Mereka tidak mempermasalahkan uang walaupun pada uang
tersebut tertera gambar manusia/binatang, sah-sah saja, bagi mereka tidak ada
uang sekular, uang liberal atau uang syirik. Semua uang itu halal dan religius,
sehingga tidak perlu dibuang, disobek atau dibakar. Lah, kalau dibuang, disobek,
atau dibakar, lantas mereka mau hidup dengan cara apa? Mencuri? Atau meminta?
Mereka juga tidak bisa menghalau gelombang teknologi yang terus bergulung
bersama laju waktu. TV, handphone, dan internet; penyaji gambar dan suara
(musik) ini tentu menjadi momok yang sebenarnya paling banyak menghadirkan
beragam gambar dan suara namun oleh mereka kesemuanya itu halal lagi baik
(halalan thaiyiba).
Kelompok Islam
reformis ekstrim yang tidak bergeming dari urusan syirik baik melalui
penyampaian secara lisan bahkan sampai pada level tindakan penghancuran;
seperti makam orang-orang suci; pada saat yang bersamaan, mereka justru tanpa
sadar mereka juga sedang berada dalam lingkaran kesyirikan lain, yaitu cinta
dunia. Mereka benci terhadap kuburan (objek penyadaran diri akan
ketidakabadiaan hidup dan adanya siklus perjalanan manusia; hidup-mati), namun mereka
cinta terhadap mall, hotel, supermarket dlsb. Dianggap tidak modern kalau
membeli di pasar serta menginap di hotel berbintang mendatangkan kebanggan diri
tersendiri. Objek-objek modern mereka cintai, objek-objek tradisional mereka
benci. Padahal jika salah satu ukuran kesyirikan yang mereka patok adalah
banyaknya orang yang berkunjung ke makam-makam para wali/orang suci maka
sebenarnya yang harus mereka hancurkan adalah mall, hotel bar, atau supermarket.
Karena tempat-tempat ini tiada pernah lengah dari pengunjung, dan diantaranya
menjadi wadah maksiat paling masif. Di lain sisi alih-alih meneriakan syirik,
mereka sangat patuh terhadap pemimpin/ulama mereka, terhadap kekuasaan, harta,
kekayaan dan dokter (dunia klenik modern).
Terhadap yang saya
sebutkan terakhir di atas juga sangat menarik. Mereka sangat benci terhadap
dukun, namun sangat cinta terhadap dokter dan dunia klenik. Orang yang berobat
kepada dukun dianggap syirik sedangkan orang yang berobat kepada dokter
dianggap sah-sah saja. Padahal tidak jarang tutur yang keluar dari mulut
keluarga pasien yang berobat ke dokter adalah “saya serahkan semua
keselamatan/kesembuhan (si pasien) pada dokter, berapapun yang dokter inginkan
akan saya bayar asalakan (si pasien) bisa diselamatkan”. Kekecewaan keluarga
pasien terhadap dokter terjadi ketika si pasien tidak dapat diselamatkan. Pihak
keluarga biasanya menyerang dan menyalahkan dokter terkadang hingga histeris
seolah hidup dan mati sepenuhnya adalah prerogatifnya dokter. Pertanyaannya
kemudian ialah, bukankah hal semacam ini juga merupakan perbuatan syirik?
Menggantungkan keselamatan sepenuhnya di tangan dokter.
Maka jika mempercayai
dukun dianggap sebagai menyekutukan Tuhan, bukankah hal yang sama berlaku pula
terhadap dokter? Mengapa menggantungkan diri terhadap dokter dianggap mubah
(boleh-boleh saja) bahkan wajib (suatu keharusan), sedangkan menggantungkan
hidup pada dukun dianggap tidak boleh (haram)?
Lebih lanjut, mengapa mengunjungi
klenik-klenik perdukunan/kiyai meminta didoakan kesembuhan, ziarah ke kuburan
orang-orang suci meminta wasilah/sarana penyembuhan sebuah penyakit, dianggap
sebagai tindakan syirik dan pelakunya dicap kafir, sementara mengunjungi rumah
sakit atau klenik-klenik kesehatan modern dianggap hal yang lumrah? Seharusnya,
jika mengunjungi klenik-klenik perdukunan/kiyai dan ziarah ke kuburan
orang-orang suci dianggap musyrik-kafir sehingga harus dimusnahkan maka
klenik-klenik kesehatan modern/rumah sakit pun harus dilabeli/diperlakukan hal
serupa. Karena kesemuanya memiliki substansi yang sama, yaitu sama-sama
merupakan wasilah/sarana penyembuhan.
Jikalau yang
ditakutkan dari dukun adalah ia orang yang memuja setan sehingga penyembuhannya
lebih dibantu oleh kekuatan setan, maka memang selayaknya kita tidak harus
berobat kepada dia. Namun bukan karena lantaran satu atau beberapa dukun yang
memuja setan lalu kita mengeneralisasi bahwa semua dukun itu kafir dan
melakukan syirik. Toh masih banyak juga dukun-dukun yang agamais, saleh, rajin
beribadah bahkan ada yang bergelar ustad dan kiyai sehingga penyembuhan yang
mereka lakukan pun dengan doa-doa yang ada dalam alquran ataupun al hadits. Akan
tetapi apakah dengan demikian mantra/doa-doa yang menggunakan bahasa
daerah/lokal dianggap tidak boleh? Yang boleh hanya mantra/doa-doa dalam bahasa
arab saja? Tentu tidak.
Terakhir sebenarnya perbedaan
mendasar antara dukun dengan dokter, klenik-klenik perdukunan/kiyai dan kuburan
dengan rumah sakit/klenik-klenik kesehatan modern terletak pada metode, alat
dan cara pengobatan saja, bukan pada substansi pengobatan yaitu kesembuhan.
Satu hal yang pasti ialah dunia pengobatan sedang dalam transformasi dari pengobatan
yang sifatnya abstrak (ide), ke pengobatan yang sifatnya real (material), namun
bukan berarti kita harus memandang yang satu sebagai perbuatan syirik dan yang
satunya tidak, jika satunya syirik maka seharusnya yang satunya juga dilabeli
hal yang sama; syirik kok setengah-setengah? Baik dukun ataupun dokter,
keduanya hanya sebagai washilah/sarana penyembuhan, tidaklah lebih.