Banner 468 x 60px

 

Tuesday, July 26, 2016

SYIRIK KOK SETENGAH-SETENGAH?

0 komentar
Syirik atau perbuatan menyekutukan Allah seringkali diidentikan dengan obyek-obyek seperti kuburan, ruh orang suci, benda-benda keramat peninggalan para leluhur, rumah-rumah adat, dunia perdukunan (klenik), bahkan sampai pada yang modern yaitu gambar/foto/lukisan baik manusia maupun binatang dan juga musik. Oleh mereka kelompok Islam puritan; dianggap hal-hal ini adalah sumber kesyirikan, sehingga wajib untuk dimusnahkan (dihilangkan) agar tidak menjadi batu sandungan ketauhidan mereka.
Semangat memusnahkan situs-situs peninggalan leluhur (kuburan) ini pernah sampai juga pada wacana penghancuran kuburan baginda Rasulullah SAW. Dikarenakan banyaknya orang yang mengunjungi makam beliau dan berdoa di sana meminta syafaat/wasilah dan lain sebagainya, sehingga dianggap mereka berbuat syirik (menyekutukan Allah), maka makam ini pun harus dimusnahkan. Ini pulalah yang menjadi pijakan didirikan organisasi Nahdatul Ulama dalam rangka menolak penghancuran makam Rasulullah SAW oleh kelompok Islam puritan-reformis ekstrim yang menganggap diri paling tauhid.
Tentusaja gelora mensyirik-syirikan obyek seperti yang disebutkan di atas, oleh mereka (kaum reformis ekstrim) ada pengecualiannya. Pengecualian ini antara lain misalnya terhadap makam kiyai/orang-orang mereka yang dianggap suci, patung-patung di markas TNI/Polri dan patung-patung buatan pemerintah, uang kertas maupun uang jenis apapun yang terdapat gambar di dalamnya, bahkan tidak menutup kemungkinan TV, Handphone sampai Internet (Facebook, Google dll).
Mereka takut merusak patung-patung buatan pemerintah dan juga patung-patung yang ada di markas TNI/Polri, karena tidak ingin dipenjarakan atau ditembak saat sedang merusak patung-patung tersebut. Mereka tidak mempermasalahkan uang walaupun pada uang tersebut tertera gambar manusia/binatang, sah-sah saja, bagi mereka tidak ada uang sekular, uang liberal atau uang syirik. Semua uang itu halal dan religius, sehingga tidak perlu dibuang, disobek atau dibakar. Lah, kalau dibuang, disobek, atau dibakar, lantas mereka mau hidup dengan cara apa? Mencuri? Atau meminta? Mereka juga tidak bisa menghalau gelombang teknologi yang terus bergulung bersama laju waktu. TV, handphone, dan internet; penyaji gambar dan suara (musik) ini tentu menjadi momok yang sebenarnya paling banyak menghadirkan beragam gambar dan suara namun oleh mereka kesemuanya itu halal lagi baik (halalan thaiyiba).
Kelompok Islam reformis ekstrim yang tidak bergeming dari urusan syirik baik melalui penyampaian secara lisan bahkan sampai pada level tindakan penghancuran; seperti makam orang-orang suci; pada saat yang bersamaan, mereka justru tanpa sadar mereka juga sedang berada dalam lingkaran kesyirikan lain, yaitu cinta dunia. Mereka benci terhadap kuburan (objek penyadaran diri akan ketidakabadiaan hidup dan adanya siklus perjalanan manusia; hidup-mati), namun mereka cinta terhadap mall, hotel, supermarket dlsb. Dianggap tidak modern kalau membeli di pasar serta menginap di hotel berbintang mendatangkan kebanggan diri tersendiri. Objek-objek modern mereka cintai, objek-objek tradisional mereka benci. Padahal jika salah satu ukuran kesyirikan yang mereka patok adalah banyaknya orang yang berkunjung ke makam-makam para wali/orang suci maka sebenarnya yang harus mereka hancurkan adalah mall, hotel bar, atau supermarket. Karena tempat-tempat ini tiada pernah lengah dari pengunjung, dan diantaranya menjadi wadah maksiat paling masif. Di lain sisi alih-alih meneriakan syirik, mereka sangat patuh terhadap pemimpin/ulama mereka, terhadap kekuasaan, harta, kekayaan dan dokter (dunia klenik modern).
Terhadap yang saya sebutkan terakhir di atas juga sangat menarik. Mereka sangat benci terhadap dukun, namun sangat cinta terhadap dokter dan dunia klenik. Orang yang berobat kepada dukun dianggap syirik sedangkan orang yang berobat kepada dokter dianggap sah-sah saja. Padahal tidak jarang tutur yang keluar dari mulut keluarga pasien yang berobat ke dokter adalah “saya serahkan semua keselamatan/kesembuhan (si pasien) pada dokter, berapapun yang dokter inginkan akan saya bayar asalakan (si pasien) bisa diselamatkan”. Kekecewaan keluarga pasien terhadap dokter terjadi ketika si pasien tidak dapat diselamatkan. Pihak keluarga biasanya menyerang dan menyalahkan dokter terkadang hingga histeris seolah hidup dan mati sepenuhnya adalah prerogatifnya dokter. Pertanyaannya kemudian ialah, bukankah hal semacam ini juga merupakan perbuatan syirik? Menggantungkan keselamatan sepenuhnya di tangan dokter.
Maka jika mempercayai dukun dianggap sebagai menyekutukan Tuhan, bukankah hal yang sama berlaku pula terhadap dokter? Mengapa menggantungkan diri terhadap dokter dianggap mubah (boleh-boleh saja) bahkan wajib (suatu keharusan), sedangkan menggantungkan hidup pada dukun dianggap tidak boleh (haram)?
Lebih lanjut, mengapa mengunjungi klenik-klenik perdukunan/kiyai meminta didoakan kesembuhan, ziarah ke kuburan orang-orang suci meminta wasilah/sarana penyembuhan sebuah penyakit, dianggap sebagai tindakan syirik dan pelakunya dicap kafir, sementara mengunjungi rumah sakit atau klenik-klenik kesehatan modern dianggap hal yang lumrah? Seharusnya, jika mengunjungi klenik-klenik perdukunan/kiyai dan ziarah ke kuburan orang-orang suci dianggap musyrik-kafir sehingga harus dimusnahkan maka klenik-klenik kesehatan modern/rumah sakit pun harus dilabeli/diperlakukan hal serupa. Karena kesemuanya memiliki substansi yang sama, yaitu sama-sama merupakan wasilah/sarana penyembuhan.
Jikalau yang ditakutkan dari dukun adalah ia orang yang memuja setan sehingga penyembuhannya lebih dibantu oleh kekuatan setan, maka memang selayaknya kita tidak harus berobat kepada dia. Namun bukan karena lantaran satu atau beberapa dukun yang memuja setan lalu kita mengeneralisasi bahwa semua dukun itu kafir dan melakukan syirik. Toh masih banyak juga dukun-dukun yang agamais, saleh, rajin beribadah bahkan ada yang bergelar ustad dan kiyai sehingga penyembuhan yang mereka lakukan pun dengan doa-doa yang ada dalam alquran ataupun al hadits. Akan tetapi apakah dengan demikian mantra/doa-doa yang menggunakan bahasa daerah/lokal dianggap tidak boleh? Yang boleh hanya mantra/doa-doa dalam bahasa arab saja? Tentu tidak.
Terakhir sebenarnya perbedaan mendasar antara dukun dengan dokter, klenik-klenik perdukunan/kiyai dan kuburan dengan rumah sakit/klenik-klenik kesehatan modern terletak pada metode, alat dan cara pengobatan saja, bukan pada substansi pengobatan yaitu kesembuhan. Satu hal yang pasti ialah dunia pengobatan sedang dalam transformasi dari pengobatan yang sifatnya abstrak (ide), ke pengobatan yang sifatnya real (material), namun bukan berarti kita harus memandang yang satu sebagai perbuatan syirik dan yang satunya tidak, jika satunya syirik maka seharusnya yang satunya juga dilabeli hal yang sama; syirik kok setengah-setengah? Baik dukun ataupun dokter, keduanya hanya sebagai washilah/sarana penyembuhan, tidaklah lebih.
Read more...

Wednesday, July 6, 2016

LEBARAN, RITUAL PUNCAK PUASA RAMADHAN

0 komentar


Umat islam Indonesia memiliki sebuah ritual unik dalam memperingati hari raya idul fitri atau dalam bahasa Indonesia disebut dengan Lebaran. Ia bukanlah hari saling berpamer-pameran pakaian baru atau kopiah baru, juga bukan hari saling menunjukan kue dan makanan yang enak dan lezat sebagaimana mainstreamnya di Negara kita. Kata “lebaran” ini sebenarnya berasal dari bahasa Jawa yaitu Lebar yang artinya selesai; dari menjalankan ibadah puasa ramadhan. Ada pula yang mengartikan kata Lebar ini dengan luas; maksudnya memperlebar atau memperluas tali silaturahmi di antara sesama umat manusia.
Saya sendiri melihat lebaran sebagai hari toleransi dan hari kasih sayang (silahturahmi) nasional. Mengapa demikian? Karena sebenarnya lebaran bukan lagi menjadi hari libur umat islam namun sudah merupakan hari libur seluruh masyarakat Indonesia. Penetapan hari libur nasional pada hari lebaran oleh pemerintah ini adalah upaya membangun toleransi antar umat beragama yang berdomisili di negri tercinta ini. Hari ini tidak ada sekat atau batas yang menghalangi masyarakat Indonesia untuk saling berbagi hangatnya kebahagiaan; sebagaimana arti dari hari idul fitri sendiri yakni hari kemenangan setelah sebulan menajalani ritual puasa. Pada hari ini tabir-tabir ke-aku-an lenyap. Tabir-tabir kebudayaan lebur. Dan tabir-tabir agama lumer. Semuanya turut mencair dalam naungan lebaran; saling berbagi kasih sayang dan bermaaf-maafan.
Lebaran tidak lagi menjadi budaya agama umat islam, namun sudah menjadi budaya masyarakat Indonesia. Sebagaimana umat islam, masyarakat Indonesia yang non muslim pun turut merayakan lebaran dengan riang gembira. Mereka turut dalam tour mudik yang sudah merupakan tradisi tahunan masyarakat Indonesia yaitu kembali ke kampung halaman masing-masing untuk ber-Lebaran bersama keluarga. Mereka (non muslim) pun turut dalam arak-arakan (pawai malam takbiran), bersama umat islam mereka mengumandangkan kalimat takbir (Allahu akbar), tahmid (laa ilaaha illallah) dan tahlil (Alhamdulillah) dalam menyambut datangya fajar 1 syawal. Mereka pun saling membaur satu sama lain saling mengunjungi dan bersilahturahmi, saling bermaaf-maafan sambil berucap selamat idul fitri (lebaran); minal aidin wal faizin. Hal ini dapat kita jumpai; saya yakin bukan hanya di Nusa Tenggara Timur (NTT) saja sebagai propinsi yang menjunjung tinggi nilai toleransi antar sesama, melainkan hampir seluruh pelosok Indonesia. Maka boleh jadi kita katakan bahwa Lebaran, selain sebagai hari toleransi dan kasih sayang, ia juga merupakan symbol agama-budaya yang menjadi pelebur keragaman suku, agama, etnis, budaya, dan bahasa. Ia mempertautkan kebhinekaan negri ini dalam ke-tunggal ika-an yang harmoni.
Momentum lebaran merupakan puncak dari ibadah puasa ramadhan, ia sebagai hari pernyataan/pengumuman kelulusan ujian sebulan lamanya menjalani ibadah puasa, walaupun pengumumannya tidak diberitakan secara langsung oleh sang penyelenggara ujian. Pada hari ini juga sifat ke-aku-an menjadi cair, mungkin dikarenakan hati kita sudah mencapai titik leburnya setelah sebulan dibakar oleh ramadhan (bulan pembakaran). Dalam hal ini, silahturahmi sebagai sarana untuk saling bermaaf-maafan, membangun relasi antar social antar sesama atas berbagai problema yang sempat memperjarak kekerabatan baik dalam rumah maupun dalam masyarakat. Silahturahmi memiliki makna penting yakni sebagai mekanisme rekonsiliasi yang sangat efektif bagi upaya penyelesaian perselisihan, ketegangan, kekhilafan atau konflik, baik antar anggota keluarga maupun dengan masyarakat yang pernah terjadi di massa yang silam. Dan ini sangat dimanfaatkan dengan baik oleh setiap individu yang terlibat di dalamnya, sehingga tidak heran pada hari ini akan kita jumpai deraian air mata baik itu air mata kesedihan maupun kebahagiaan.
Akhir dari tulisan ini, saya secara pribadi Kifli A. Naesaku mengucapakn selamat hari raya Lebaran, Idul Fitri 1 syawal 1437 H Minal Aidin wal Faizin Mohon Maaf Lahir dan Bathin kepada kita semua terutama yang membaca coretan singkat ini.
Read more...

Saturday, July 2, 2016

MENGINGAT TUHAN DALAM PERAHU MOTOR

0 komentar
Bagaimana rasanya berada dalam sebuah perahu kecil yang berukuran 1 x 5 meter di tengah birunya laut, terombang ambing diantara gulungan ombak yang silih berganti dan tiupan angin yang merobohkan kesombongan?
Hal biasa bagi para pelaut yang mendedikasiakan jiwa dan raganya di atas ganasnya gelombang laut demi sanak keluarganya, tapi menjadi hal yang menakutkan bagi kita yang tidak terbiasa. Menakutkan dan menyeramkan. Hilang seluruh kesombongan diri ketika terpaan gelombang mengangkat dan menghempaskan badan perahu, ketika kata tenggelam berada di tangan pengemudi yang harus mengarahkan perahu menentang kekuatan alam yang tiada bisa dihentikan.
Di tengah sahutan ombak yang silih berganti, saya membayangkan perahu yang kami tumpangi itu tenggelam. Di saat itu dada sesak, panic, suara tidak lagi di dengarkan penduduk daratan, serta kaki dan tangan pun lumpuh tak lagi mampu mengayuhkan tubuh untuk selamat. Saat itu tak perlu suntikan hormone adrenalin, jantung akan memompa darah secara otomatis sampai pacuan yang entah berapa levelnya di banding keadaan biasa.
Memang tidak seseram ketika berada di atas pesawat, di mana kepasrahan kita kepada Tuhan adalah kepasrahan total. Pada saat seperti ini boleh jadi kita termasuk dalam golongan yang berfaham Jabariyah (Asy’ariyah); tiada lagi ada daya dan kekuatan kita sebagai manusia untuk meneylamatkan hidup kita di saat pesawat tersebut terjatuh atau terbakar. Semua kepasrahan tentang keselamatan kita seratus persen di tangan Tuhan. Mungkin di saat ini konsep innasshalti wa nusuki wa mahyaya wa mamati lillahi rabbil ‘alamin menjadi sejalan dengan perasaan pikiran dan hati kita. Namun demikian bukan berarti lautan akan memanjakan anda ketika anda tenggelam di dalamnya apalagi anda tidak memiliki keahlian untuk bertahan di dalamnya (bisa berenang), percayalah jikalau anda tidak segera mendapatkan pertolongan, mungkin tiga puluh menit adalah waktu yang lama bagi anda untuk bertahan hidup.
Sebuah pelajaran yang diperoleh hari ini. Berada di tengah lautan dengan gelombang birunya, dengan kedalaman bermeter meter, jauh dari daratan, jauh dari peradaban dan hiruk pikuk bising suara manusia dan kendaraan, hanya bunyi mesin, jauh dari kecintaan materi dan sanak family yang menjadikan kita budak, jauh dari ke-aku-an diri sebagai seorang manusia, ternyata mendekatkan diri kita pada Tuhan.
Jauh dari daratan, di atas lautan biru tidak ada ke-aku-an atau golongan yang perlu disombongkan. Jantung kita berpenetrasi jauh lebih kuat sehingga darah yang mengalir ke otak menjadi semakin lancer, sehingga saraf-saraf otak kita yang sering digunakan untuk mengingat Tuhan yang sempat tidak mendapatkan pasokan darah sehingga menjadikan kita lupa pada Tuhan menjadi terbuka kembali. Di saat itulah Tuhan; walaupun hanya namanya, menjadi mudah di ingatan, bibir dan hati. Itulah saat Tuhan menumpang di perahu kecil bersama kita.
 
Read more...
 
ZN _ LEFOKISSU © 2017