Bagaimana rasanya
berada dalam sebuah perahu kecil yang berukuran 1 x 5 meter di tengah birunya
laut, terombang ambing diantara gulungan ombak yang silih berganti dan tiupan
angin yang merobohkan kesombongan?
Hal biasa bagi para
pelaut yang mendedikasiakan jiwa dan raganya di atas ganasnya gelombang laut
demi sanak keluarganya, tapi menjadi hal yang menakutkan bagi kita yang tidak
terbiasa. Menakutkan dan menyeramkan. Hilang seluruh kesombongan diri ketika
terpaan gelombang mengangkat dan menghempaskan badan perahu, ketika kata
tenggelam berada di tangan pengemudi yang harus mengarahkan perahu menentang
kekuatan alam yang tiada bisa dihentikan.
Di tengah sahutan ombak
yang silih berganti, saya membayangkan perahu yang kami tumpangi itu tenggelam.
Di saat itu dada sesak, panic, suara tidak lagi di dengarkan penduduk daratan,
serta kaki dan tangan pun lumpuh tak lagi mampu mengayuhkan tubuh untuk
selamat. Saat itu tak perlu suntikan hormone adrenalin, jantung akan memompa
darah secara otomatis sampai pacuan yang entah berapa levelnya di banding
keadaan biasa.
Memang tidak seseram
ketika berada di atas pesawat, di mana kepasrahan kita kepada Tuhan adalah
kepasrahan total. Pada saat seperti ini boleh jadi kita termasuk dalam golongan
yang berfaham Jabariyah (Asy’ariyah); tiada lagi ada daya dan kekuatan kita
sebagai manusia untuk meneylamatkan hidup kita di saat pesawat tersebut
terjatuh atau terbakar. Semua kepasrahan tentang keselamatan kita seratus
persen di tangan Tuhan. Mungkin di saat ini konsep innasshalti wa nusuki wa mahyaya wa mamati lillahi rabbil ‘alamin
menjadi sejalan dengan perasaan pikiran dan hati kita. Namun demikian bukan
berarti lautan akan memanjakan anda ketika anda tenggelam di dalamnya apalagi
anda tidak memiliki keahlian untuk bertahan di dalamnya (bisa berenang),
percayalah jikalau anda tidak segera mendapatkan pertolongan, mungkin tiga
puluh menit adalah waktu yang lama bagi anda untuk bertahan hidup.
Sebuah pelajaran yang
diperoleh hari ini. Berada di tengah lautan dengan gelombang birunya, dengan
kedalaman bermeter meter, jauh dari daratan, jauh dari peradaban dan hiruk
pikuk bising suara manusia dan kendaraan, hanya bunyi mesin, jauh dari
kecintaan materi dan sanak family yang menjadikan kita budak, jauh dari
ke-aku-an diri sebagai seorang manusia, ternyata mendekatkan diri kita pada
Tuhan.
Jauh dari daratan, di
atas lautan biru tidak ada ke-aku-an atau golongan yang perlu disombongkan.
Jantung kita berpenetrasi jauh lebih kuat sehingga darah yang mengalir ke otak
menjadi semakin lancer, sehingga saraf-saraf otak kita yang sering digunakan
untuk mengingat Tuhan yang sempat tidak mendapatkan pasokan darah sehingga
menjadikan kita lupa pada Tuhan menjadi terbuka kembali. Di saat itulah Tuhan;
walaupun hanya namanya, menjadi mudah di ingatan, bibir dan hati. Itulah saat
Tuhan menumpang di perahu kecil bersama kita.
0 komentar:
Post a Comment