ilustrasi_bentrokan_konflik |
Era globalisasi mengantarkan perubahan
kehidupan manusia dalam berbagai dimensi yang berjalan sangat cepat.
Salah satu dampak yang dirasakan adalah terjadinya krisis dalam berbagai
bidang kehidupan, antara lain goyahnya sisitem nilai yang selama ini
diterima dan dihayati masyarakat. Kemanusiaan menjadi tak bernilai di
hadapan para pemuja dan pemburu kehidupan dunia. Orang tidak lagi segan
melakukan tindakan kekerasan yang bermula dari perbedaan pendapat dalam
diskusi, atau sekadar mendapatkan uang untuk menopang hidup. Lebih
ironis lagi, budaya kekerasan itu di atasnamakan agama, sekte, suku dan
sebagainya.
Konflik demi konflik yang
bernuansa kekerasan terjadi silih berganti di mana-mana. Dan yang
paling merisaukan, kekerasan demi kekerasan telah mengorbankan
orang-orang tidak berdosa di sekitar kita. Bahkan hingga hari ini,
semisal di Eropa, ketegangan Ukraina masih membara. Timur Tengah yang
masih menjadi medan perang proxy yang melibatkan banyak pihak,
baik di Suriah, Irak, maupun Yaman. Di Asia selatan maupun Asia Tenggara
pun sama, semisal di Afganistan, Bangladesh, Filipina Selatan, Thailand
Selatan, dan juga Myanmar yang kini kembali membara. Semua konflik di
negar-negara tersebut sangat menyayat hati dan mengiris rasa kemanusiaan
kita. Anak-anak, perempuan, orang-orang tua dan orang-orang tak berdosa
pun menjadi korban atas konflik-konflik yang ditimbulkan.
Konflik
demi konflik, kekerasan demi kekrasan yang mengatasnamakan membela
agama membuat kita merasa sedih dan kecewa. Padahal, agama apapun selalu
membawa pesan cinta kasih dan damai. Semua agama mengajarkan prinsip
dasar untuk hidupo saling menyayangi dan mencintai sesama manusia.
Masalah kekerasan menjadi semakin rumit dan kompleks ketika dipraktikan
dengan legitimasi agama dan etnis, sebab kedua hal ini menjadi unsur
yang sensitive untuk membangkitkan emosi, bahkan menyulut munculnya
tindakan kekerasan, baik pribadi maupun komunal. Pemandangan itu yang
saat ini kerap kali kita saksikan, baik melalui televisi, Koran, berita
online, internet maupun secara langsung.
Dalam
hal ini, agama kemudian dituntut berperan aktiv untuk menjadi rujukan
dasar dalam mengatasi krisis dalam kehidupan yang di akibatkan oleh
keserakahan manusia dalam mengejar kehidupan dunia. Umat beragama dari
agama manapun, terutama kalangan intelektual dan elitnya, dituntut untuk
mampu mengkaji dan mengaktualisasikan nilai-nilai universal yang ada
pada agama masing-masing. Mata dan cakrawala berpikir harus dibuka lebih
lebar akan kehidupan pluralis dan nilai-nilai kemanuisaan. Perlu kita
kaji dan benahi lagi. Reinterpretasi pesan-pesan agama dan nilai-nilai
kemanusiaan sangat diperlukan demi menjaga kestabilan kehidupan umat
manusia.
Dalil-dalil normatif yang ada dalam teks suci setiap agama harus didobrak (di-breakdown)
dalam bentuk yang lebih praktis dengan peran para ulama, pastor,
pendeta, atau para pemuka agama lainnya. Teori-teori sosial yang ada
harus mampu diaplikasikan. Semua aturan harus up to date dan
membumi. Para pemuka agama dan intelek berperan penting agar pesan dari
teks-teks suci agama dapat berfungsi sesuai kultur masyarakat dunia yang
majemuk. Memberikan pencerahan kepada masyarakat sebagaimana mestinya
(menjadi fungsional) serta ajaran keadilan, toleransi, dan cinta kasih
yang terkandung di dalam tiap agama menjadi implementatif dan integratif
dalam kehidupan umat manusia.
Agama
selayaknya berfungsi menafsirkan kenyataan hidup dan mengarah pada
kerukunan antar sesama; artinya agama memiliki fungsi interpretatif dan
fungsi etis. Dalam perspektif ini, agama tidak hanyut dan tenggelam
dalam politik dan politik pun tidak memperalat agama. Fungsi
interpretatif dan etis hanya mungkin dijalankan kalau agama dan politik
tidak dicampuradukkan, tidak memperalat satu sama lain dalam mencapai
suatu tujuan yang merugikan. Dengan begitu interaksi antar agama dan
politik akan menekankan dinamisme/perubahan yang lebih manusiawi karena
lebih merdeka dan adil.
Dalam
kehidupan yang plural (kehidupan global) memang sulit menghindari
konflik antar pemeluk agama. Sebab kondisi tersebut (konflik) adalah
bagian yang tak terpisahkan dari dinamika kehidupan umat manusia yang
notabenenya tidak dihuni satu kelompok manusia saja. Konflik dalam
masyarakat plural/masyarakat dunia juga sebenarnya tidak hanya terjadi
karena perbedaan agama, tetapi juga terjadi antar orang atau kelompok
dengan latar belakang agama yang sama, lantaran perbedaan sekte/mazhab.
Sering kita temukan dalam masyarakat yang plural di mana sesama pemeluk
agama saling mengolok, menghina bahkan membantai dan membunuh lantaran
perbedaan diantara mereka. Perbedaan-perbedaan yang sayangnya hanya
berada pada wilayah furu’; yakni perbedaan yang walaupun penting namun
bukan prinsip karena bukan merupakan akidah dalam keberagamaan.
Perbedaan dalam wilayah ini (furu’) adalah perbedaan-perbedaan yang
semestinya bisa ditolerir sebagai bentuk kamajemukan dalam suatu
kepercayaan. Oleh sebab itu, maka kerukunan yang perlu dibangun bukan
hanya kerukunan antaragama, melainkan juga kerukunan antar orang atau
kelompok dalam agama yang sama.
Dalam
kehidupan beragama yang pluralistis seperti di negara kita ini;
Indonesia, nilai tertinggi yang harus dipilih untuk diberlakukan adalah
kebebasan atau kemerdekaan. Yakni suatu nilai yang menyentuh keluhuran
martabat manusia. Demikian pendapat mantan aktivis HMI; Nurcholish
Madjid. Persoalan yang muncul ketika terjadi konflik baik antar agama
maupun antar orang atau kelompok dengan agama yang sama adalah apakah
nilai kebebasan dan nilai kemerdekaan ditegakkan di sekitar konflik
tersebut? Sebab kemerdekaan sejatinya menyangkut rasa keadilan yang juga
melindungi keluhuran martabat manusia dalam menyelenggarakan kehidupan
bersama.
Dengan memperhatikan
persoalan di atas, maka konflik berwajah agama perlu dilihat dalam
kaitan-kaitan politis, ekonomi atau sosial budaya. Apabila benar bahwa
konflik itu murni konflik agama, maka masalah kerukunan sejati tetap
hanya dapat dibangun atas dasar nilai-nilai keadilan, kebebasan dan Hak
Asasi Manusia. Sebab nilai-nilai tersebut menyentuh keluhuran martabat
manusia. Makin dalam rasa keagamaan, makin mendalam pula rasa keadilan
dan kemanusiaan. Seperti itulah yang mesti dan harus selalu terjadi.
Jika tidak, maka keberagamaan kita perlu dipertanyakan kembali.
Perlu
diketahui bahwa, terjadinya konflik sosial yang berlindung di balik
agama dan juga etnis sama sekali bukan merupakan justifikasi dari
doktrin agama, karena semua agama mengajarkan sikap mengasihi, toleransi
dan menghargai sesama. Dalam pluralisme politik, agama seharusnya
berperan sebagai dinamisator demokratisasi dan pengawal moral politik,
bukan kendaraan poltik. Kita harus berani menolak perselingkuhan antara
agama dan politik. Agama merupakan satu wilayah otonom, demikian halnya
dengan politik. Hal terpenting adalah bagaimana nilai-nilai agama ikut
membentuk nilai-nilai public.
Langkah
bijaksana bagi setiap umat beragama adalah belajar dari kenyataan
sejarah, yaitu sejarah yang mendorong terwujudnya masyarakat plural dan
integratif. Oleh karena itu, agenda yang perlu dirumuskan oleh umat
beragama untuk mengatasi konflik-konflik berwajah agama adalah mengubah
persaudaraan kemanusiaan dan pluralisme sebagai ideology dalam kehidupan
konkrit sebagaimana semboyan bangsa kita Bhineka Tunggal Ika,
berbeda-beda tetapi satu.
(Gambar: https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgLZ_yumbxK_zTGGkChuZYqgNALX_y4obVWGMREYOCvpn60Ozl5p-3KqadjtB0FJE3bj5W6hDth8n2o4YAEHdvUTVliZ5A9Qi-GC7R-U48-Vcf65DZ798908yr7cTQpurSgPK-bk9uAImCc/s1600/ilustrasi_bentrokan_konflik.png)
0 komentar:
Post a Comment