Banner 468 x 60px

 

Monday, September 18, 2017

Reinterpretasi Pesan-Pesan Agama demi Mengatasi Konflik

0 komentar
ilustrasi_bentrokan_konflik
Era globalisasi mengantarkan perubahan kehidupan manusia dalam berbagai dimensi yang berjalan sangat cepat. Salah satu dampak yang dirasakan adalah terjadinya krisis dalam berbagai bidang kehidupan, antara lain goyahnya sisitem nilai yang selama ini diterima dan dihayati masyarakat. Kemanusiaan menjadi tak bernilai di hadapan para pemuja dan pemburu kehidupan dunia. Orang tidak lagi segan melakukan tindakan kekerasan yang bermula dari perbedaan pendapat dalam diskusi, atau sekadar mendapatkan uang untuk menopang hidup. Lebih ironis lagi, budaya kekerasan itu di atasnamakan agama, sekte, suku dan sebagainya.
Konflik demi konflik yang bernuansa kekerasan terjadi silih berganti di mana-mana. Dan yang paling merisaukan, kekerasan demi kekerasan telah mengorbankan orang-orang tidak berdosa di sekitar kita. Bahkan hingga hari ini, semisal di Eropa, ketegangan Ukraina masih membara. Timur Tengah yang masih menjadi medan perang proxy yang melibatkan banyak pihak, baik di Suriah, Irak, maupun Yaman. Di Asia selatan maupun Asia Tenggara pun sama, semisal di Afganistan, Bangladesh, Filipina Selatan, Thailand Selatan, dan juga Myanmar yang kini kembali membara. Semua konflik di negar-negara tersebut sangat menyayat hati dan mengiris rasa kemanusiaan kita. Anak-anak, perempuan, orang-orang tua dan orang-orang tak berdosa pun menjadi korban atas konflik-konflik yang ditimbulkan.
Konflik demi konflik, kekerasan demi kekrasan yang mengatasnamakan membela agama membuat kita merasa sedih dan kecewa. Padahal, agama apapun selalu membawa pesan cinta kasih dan damai. Semua agama mengajarkan prinsip dasar untuk hidupo saling menyayangi dan mencintai sesama manusia. Masalah kekerasan menjadi semakin rumit dan kompleks ketika dipraktikan dengan legitimasi agama dan etnis, sebab kedua hal ini menjadi unsur yang sensitive untuk membangkitkan emosi, bahkan menyulut munculnya tindakan kekerasan, baik pribadi maupun komunal. Pemandangan itu yang saat ini kerap kali kita saksikan, baik melalui televisi, Koran, berita online, internet maupun secara langsung.
Dalam hal ini, agama kemudian dituntut berperan aktiv untuk menjadi rujukan dasar dalam mengatasi krisis dalam kehidupan yang di akibatkan oleh keserakahan manusia dalam mengejar kehidupan dunia. Umat beragama dari agama manapun, terutama kalangan intelektual dan elitnya, dituntut untuk mampu mengkaji dan mengaktualisasikan nilai-nilai universal yang ada pada agama masing-masing. Mata dan cakrawala berpikir harus dibuka lebih lebar akan kehidupan pluralis dan nilai-nilai kemanuisaan. Perlu kita kaji dan benahi lagi. Reinterpretasi pesan-pesan agama dan nilai-nilai kemanusiaan sangat diperlukan demi menjaga kestabilan kehidupan umat manusia.
Dalil-dalil normatif yang ada dalam teks suci setiap agama harus didobrak (di-breakdown) dalam bentuk yang lebih praktis dengan peran para ulama, pastor, pendeta, atau para pemuka agama lainnya. Teori-teori sosial yang ada harus mampu diaplikasikan. Semua aturan harus up to date dan membumi. Para pemuka agama dan intelek berperan penting agar pesan dari teks-teks suci agama dapat berfungsi sesuai kultur masyarakat dunia yang majemuk. Memberikan pencerahan kepada masyarakat sebagaimana mestinya (menjadi fungsional) serta ajaran keadilan, toleransi, dan cinta kasih yang terkandung di dalam tiap agama menjadi implementatif dan integratif dalam kehidupan umat manusia.
Agama selayaknya berfungsi menafsirkan kenyataan hidup dan mengarah pada kerukunan antar sesama; artinya agama memiliki fungsi interpretatif dan fungsi etis. Dalam perspektif ini, agama tidak hanyut dan tenggelam dalam politik dan politik pun tidak memperalat agama. Fungsi interpretatif dan etis hanya mungkin dijalankan kalau agama dan politik tidak dicampuradukkan, tidak memperalat satu sama lain dalam mencapai suatu tujuan yang merugikan. Dengan begitu interaksi antar agama dan politik akan menekankan dinamisme/perubahan yang lebih manusiawi karena lebih merdeka dan adil.
Dalam kehidupan yang plural (kehidupan global) memang sulit menghindari konflik antar pemeluk agama. Sebab kondisi tersebut (konflik) adalah bagian yang tak terpisahkan dari dinamika kehidupan umat manusia yang notabenenya tidak dihuni satu kelompok manusia saja. Konflik dalam masyarakat plural/masyarakat dunia juga sebenarnya tidak hanya terjadi karena perbedaan agama, tetapi juga terjadi antar orang atau kelompok dengan latar belakang agama yang sama, lantaran perbedaan sekte/mazhab. Sering kita temukan dalam masyarakat yang plural di mana sesama pemeluk agama saling mengolok, menghina bahkan membantai dan membunuh lantaran perbedaan diantara mereka. Perbedaan-perbedaan yang sayangnya hanya berada pada wilayah furu’; yakni perbedaan yang walaupun penting namun bukan prinsip karena bukan merupakan akidah dalam keberagamaan. Perbedaan dalam wilayah ini (furu’) adalah perbedaan-perbedaan yang semestinya bisa ditolerir sebagai bentuk kamajemukan dalam suatu kepercayaan. Oleh sebab itu, maka kerukunan yang perlu dibangun bukan hanya kerukunan antaragama, melainkan juga kerukunan antar orang atau kelompok dalam agama yang sama.
Dalam kehidupan beragama yang pluralistis seperti di negara kita ini; Indonesia, nilai tertinggi yang harus dipilih untuk diberlakukan adalah kebebasan atau kemerdekaan. Yakni suatu nilai yang menyentuh keluhuran martabat manusia. Demikian pendapat mantan aktivis HMI; Nurcholish Madjid. Persoalan yang muncul ketika terjadi konflik baik antar agama maupun antar orang atau kelompok dengan agama yang sama adalah apakah nilai kebebasan dan nilai kemerdekaan ditegakkan di sekitar konflik tersebut? Sebab kemerdekaan sejatinya menyangkut rasa keadilan yang juga melindungi keluhuran martabat manusia dalam menyelenggarakan kehidupan bersama.
Dengan memperhatikan persoalan di atas, maka konflik berwajah agama perlu dilihat dalam kaitan-kaitan politis, ekonomi atau sosial budaya. Apabila benar bahwa konflik itu murni konflik agama, maka masalah kerukunan sejati tetap hanya dapat dibangun atas dasar nilai-nilai keadilan, kebebasan dan Hak Asasi Manusia. Sebab nilai-nilai tersebut menyentuh keluhuran martabat manusia. Makin dalam rasa keagamaan, makin mendalam pula rasa keadilan dan kemanusiaan. Seperti itulah yang mesti dan harus selalu terjadi. Jika tidak, maka keberagamaan kita perlu dipertanyakan kembali.
Perlu diketahui bahwa, terjadinya konflik sosial yang berlindung di balik agama dan juga etnis sama sekali bukan merupakan justifikasi dari doktrin agama, karena semua agama mengajarkan sikap mengasihi, toleransi dan menghargai sesama. Dalam pluralisme politik, agama seharusnya berperan sebagai dinamisator demokratisasi dan pengawal moral politik, bukan kendaraan poltik. Kita harus berani menolak perselingkuhan antara agama dan politik. Agama merupakan satu wilayah otonom, demikian halnya dengan politik. Hal terpenting adalah bagaimana nilai-nilai agama ikut membentuk nilai-nilai public.
Langkah bijaksana bagi setiap umat beragama adalah belajar dari kenyataan sejarah, yaitu sejarah yang mendorong terwujudnya masyarakat plural dan integratif. Oleh karena itu, agenda yang perlu dirumuskan oleh umat beragama untuk mengatasi konflik-konflik berwajah agama adalah mengubah persaudaraan kemanusiaan dan pluralisme sebagai ideology dalam kehidupan konkrit sebagaimana semboyan bangsa kita Bhineka Tunggal Ika, berbeda-beda tetapi satu.

(Gambar: https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgLZ_yumbxK_zTGGkChuZYqgNALX_y4obVWGMREYOCvpn60Ozl5p-3KqadjtB0FJE3bj5W6hDth8n2o4YAEHdvUTVliZ5A9Qi-GC7R-U48-Vcf65DZ798908yr7cTQpurSgPK-bk9uAImCc/s1600/ilustrasi_bentrokan_konflik.png)

0 komentar:

Post a Comment

 
ZN _ LEFOKISSU © 2017