Banner 468 x 60px

 

Thursday, September 7, 2017

Menerawang Konflik

0 komentar
http://www.un.org/apps/news/story.asp?NewsID=52287#.WbELaDFCSZB
Para sosiolog membagi masyarakat dalam tiga kelas, yakni kelas bawah, kelas menengah dan kelas atas. Kelas bawah adalah kelompok orang-orang kecil, pendidikannya rendah, tak berpangkat, miskin dan menderita yang perjuangan mereka selalu malang melintang dengan bertanya, “Hari ini kita mau makan apa?” Perjuangan kelas menengah pun tak jauh berbeda. Cuma mereka tak lagi bertanya, “Hari ini mau makan apa?”, tetapi “Hari ini kita mau makan di mana?” Tentang “apa yang mau dimakan dan bagaimana mendapatkannya”, tidak lagi menjadi masalah, tinggal pilih mana suka, di restoran, warung, atau di pinggir jalan. Perjuangan kelas atas pun masih soal makan-memakan. Tetapi, mereka tidak lagi mempersoalkan tentang “Kita mau makan apa?” atau “Kita mau makan di mana?”, tetapi hari ini kita mau makan siapa?”
Homo Homini Lupus Est. “Manusia adalah serigala bagi yang lain”, kata pepatah kuno orang Latin. Demi mempertahankan keberadaan dirinya, manusia rela “memakan” sesamanya sendiri dengan bertindak kekerasan dan menyengsarakan, bahkan mematikan. Berlaku hukum rimba yang dipopulerkan oleh Charles Darwin, “Kekuatan adalah senjata untuk tetap eksis”. Kalau anda lemah, bersiap-siaplah anda terkubur dan mengekor pada yang kuat.
Cakar-mencakar berebut “Tempat Basah”, bantai-membantai, serta bunuh-membunuh mencaplok sumber rezeki (baca; kekayaan), hingga mencurahkan darah bahkan nyawa sekalipun, bukan cerita asing lagi bagi kita dalam sejarah peradaban manusia, terutama di era modern ini. Rampas-merampas menguras harta, caci-mencaci merendahkan martabat, manfaat-memanfaatkan beroleh untung, balas dendam dan main hakim sendiri hingga bunuh membunuh demi posisi dan harta merupakan berita harian yang tiada habis-habisnya. Hidup saling mencurigai, membenci, memfitnah, memusuhi dan cari enak perut sendiri tanpa peduli siapa yang harus menjadi korban.
Kekuasaan dan kekayaan (uang, harta, dan tahta; factor materi) adalah salah satu sumber terbesar carut marut kehidupan manusia dari jaman kuno hingga jaman modern selain prinsip keyakinan (agama). Kelas bawah yang hidupnya seolah kehilangan arah mudah dipretel oleh kelas menengah untuk melawan kelas atas atau sebaliknya dimanfaatkan oleh kelas atas untuk melindas kelas menengah atau melawan sesama kelas atas. Maupun sekadar diperalat oleh kelas tertentu untuk kepentingan kelas tersebut.
Begitulah konflik diciptakan, yang kuat memanfaatkan yang lemah. Bahkan hingga hari ini, semisal di Eropa, ketegangan Ukraina masih membara. Timur Tengah yang masih menjadi medan perang proxy yang melibatkan banyak pihak, baik di Suriah, Irak, maupun Yaman. Di Asia selatan maupun Asia Tenggara pun sama, semisal di Afganistan, Bangladesh, Filipina Selatan, Thailand Selatan, dan juga Myanmar yang kini kembali membara. Semua ini karena “Lahan Basah” yang ada di Negara-negara konflik tersebut. Lahan Basah tersebut tidak lain adalah Sumber Daya Alam yang bisa disulap menjadi ladang uang dan sumber penopang kehidupan Negara-negara besar yang dikuasai oleh kelas atas untuk mengejar kekuasaan/menjadi Super Power bagi Negara lain/kelas bawah. Inilah akar/pivot konflik yang menghujam ke dalam Negara-nagara pemilik kekayaan Sumber Daya Alam, yakni tentang perebutan kekuasaan dan kekayaan.
Berikut adalah factor pemicu/trigger terjadinya konflik. Factor ini pada dasarnya beragam, namun yang paling sering digunakan adalah factor agama/keyakinan/sektarian. Ikatan persaudaraan antar agama/sekte merupakan perekat emosi setiap penganutnya yang melintasi ruang dan waktu. Ia tak mengenal jarak/batas teritori, ia menembus sekat-sekat material.
Ibarat pohon, akar tidak akan mampu menajalar dengan leluasa tanpa adanya air, pupuk dan ruang yang cukup sebagai pemicu. Dalam kaitannya dengan konflik yang terjadi di dunia saat ini, agama seringkali digunakan sebagai pemicu/penyulut kemarahan setiap penganutnya sambil menyembunyikan akar dari konflik tersebut. Sehingga seolah-olah agamalah akar dari konflik, padahal sesungguhnya akar dari konflik ini adalah tentang kekuasaan dan kekayaan (SDA). Suriah misalnya, propaganda yang dimainkan adalah isu sectarian antara Islam Mazhab Sunni dan Islam Mazhab Syiah, dengan tuduhan rezim Assad sebagai penganut dan pendukung Syiah.
Pemicu ini sering dipantik dengan menyebarkan berita-berita bohong (hoax) dan provokatif, bahwa telah terjadi pembantaian oleh pihak pemerintah, agama atau sekte tertentu terhadap agama atau sekte lainnya. Pemberitaan hoax dan provokatif ini cukup ampuh dalam merangsang emosi dan mematikan nalar kemanusiaan seseorang. Bagaimana tidak, setiap pemberitaan seperti ini seringkali dengan cepat menjalar bagai virus ke berbagai kalangan hingga tak membutuhkan waktu lama berita hoax dan provokatif tersebut menjadi viral. Hanya dalam beberapa jam saja, berita-berita tersebut ditanggapi (suka), dikomentari dan dibagikan hingga ribuan kali tanpa adanya sikap skeptic dan cross check terhadap sumber berita dan kebenaran dari berita tersebut.
Berita-berita hoax dan provokatif sudah seperti sebuah cabang seni tersendiri yang mengaduk-aduk emosi manusia. Memberikan orgasme bathin pada pembaca dan penonton sehingga segala serbuan-serbuan emosional yang meluap dari dalam dirinya menjadi basah dan mengharukan. Kepedihan yang mengharukan. Kekalutan yang mengharukan. Keputus-asa-an yang mengharukan. Kemarahan yang mengharukan. Dan rasa benci yang mengharukan. Seperti sebuah seni yang baik, berita-berita hoax dan provokatif mencuci jiwa pembaca dan penonton.
Masih segar dalam ingatan, bagaimana foto-foto bocah di suriah ditanggapi dan dibagikan hingga ribuan kali oleh netizen yang kemudian langsung meneriaki pengutukan dan jihad terhadap rezim Assad dan Syiah. Dan yang terbaru, foto-foto tertentu disebarkan oleh segelintir orang sebagai tragedy kemanusiaan di Myanmar, padahal foto-foto tersebut bukanlah kejadian yang sebenarnya terjadi di Myanmar. Tepatnya telah terjadi pembohongan public untuk memancing emosi dan rasa kemanusiaan. Sayangnya juga, para tokoh masyarakat pun ikut andil dalam penyebaran berita-berita sampah penuh kebohongan dan provokatif tersebut.
Lantas apa yang mesti diperbuat oleh kita sebagai warga Negara dan sesama manusia dalam mengatasi konflik-konflik sebagaimana disebutkan di atas? Bukankah Tuhan telah memberikan jalan kedamaian lewat agama-agama,  kitab suci dan nabi-nabi? Teori-teori tentang kedamaian, jalan hidup yang benar, selalu lahir di setiap kurun waktu dan juga manusia-manusia panutan senantiasa silih berganti mengkawal jaman, belumkah cukup? Jawabnnya adalah bisa iya belum cukup, dengan melihat realitas kehidupan yang senantiasa mempertontonkan konflik meski ada agama, teori-teori kedamaian dan para suri tauladan yang baik. Bisa juga jawabannya sudah lebih dari cukup, namun karena watak dasar manusia yang serakah dan tidak ingin belajar. Alasan lain, karena konflik merupakan satu set dengan kedamaian, sehingga konflik merupakan sebuah sunnatullah. Sehingga kedamaian tidak dapat eksis sendiri tanpa adanya konflik begitupun sebaliknya. Yin selalu berpasangan dengan Yang, begitupun kedamaian selalu berpasangan dengan konflik.
Lalu akankah kita menyerah dan pasrah terhadap kondisi demikian? Tentu tidak. Kebaikan dan kedamaian selalu mendapat ancaman dan upaya perlawanan terus menerus dari kejahatan dan konflik. Maka sebaliknya, sudah semestinya upaya kebaikan dan kedamaian juga harus terus menerus dipantik dan disulut. Perlawanan terhadap kejahatan dan konflik jangan pernah padam dan mati.
Sebagai warga Negara yang wajib dilakukan adalah berlaku rasional. Harus diakui, kita tak punya cukup power untuk menekan junta militer atupun junta dunia seperti AS dan Eropa yang sangat keras kepala itu. Kita tak cukup modal untuk menekuk kekuatan kelas atas yang memiliki modal. Bahkan oleh pemerintah/Negara kita sekalipun. Yang bisa adalah yang punya kekuatan ekonomi sangat besar (kelas atas), yaitu China dan AS. Sehingga, yang bisa dilakukan pemerintah ya seperti sekarang ini melakukan pendekatan kemanusiaan dan persahabatan. Untuk di dalam negeri yang perlu dilakukan adalah pencerahan public, baik itu dilakukan oleh pemerintah maupun oleh warga Negara seperti kita. Tujuannya, agar public paham duduk persoalannya dan bersikap rasional juga.
Selain itu, dengan melihat akar dan pemicu konflik yang telah diuraikan diatas, kita bisa membuat proteksi dini untuk bangsa kita sendiri. Yang mesti dilakukan oleh pemerintah ialah meningkatkan penghidupan yang layak bagi warga negaranya terutama bagi kelas bawah. Sebagaimana diuraikan di awal, factor ekonomi, ketidaksejahteraan dan kesenjangan kelas merupakan salah satu akar konflik terjadinya pertentangan antar kelas, manfaat-memanfaatkan oleh kelas tertentu terhadap kelas lainnya. Meningkatkan mutu pendidikan agar masyarakat, terutama anak bangsa calon pemimpin masa depan memiliki daya pikir dan daya kritis yang rasional, menegakan dan menciptakan hukum dan undang-undang yang lebih represif terhadap intoleransi, serta menutup saluran-saluran berita yang banyak memuat provokatif.
Oleh para pemimpin/tokoh agama yang perlu dilakukan adalah mengedapankan nilai-nilai universal dalam setiap agama. Tentang kedamaian, persaudaraan dan kemanusiaan. Menurunkan ego sectarian dan menaikan nilai kebersamaan. Dan, bagi kita warga negara, bersikaplah rasional dan kritis, tidak mudah terprovokasi, serta berlaku toleransi antar sesama. Meleburkan ego individu dalam interaksi sosial.

0 komentar:

Post a Comment

 
ZN _ LEFOKISSU © 2017