Sepertinya, pupus
sudah harapan bangsa Indonesia yang selama ini memperkenalkan diri sebagai
bangsa yang ramah, santun, murah senyum, toleran, bersatu, gotong royong dan bhineka tunggal ika. Perlahan tergerus
oleh laju jaman yang terus berubah. Persatuan Indonesia dan bhineka tunggal ika seolah menjadi
pajangan penghias ruangan. Sejarah perjuangan dan budaya bangsa telah menjadi manuskrip kuno
yang berakhir di museum.
Fenomena etnosentris dengan
berbagai variasinya dalam spektrum yang di Indonesia dikenal sebagai “SARA”,
tampak di mana-mana, juga di negeri kita tercinta. Dalam akhir-akhir ini,
intensitas serta sensitivitas gejala itu meningkat bahkan di beberapa daerah
sudah memasuki ambang pintu menjadi insiden-insiden meresahkan masyarakat
ataupun pemerintah.
Rasanya mustahil
membangun sebuah peradaban bangsa yang damai. Praktik-praktik kekerasan seolah
terus menghantui setiap jengkal langkah menuju tatanan kehidupan idaman penuh
cinta kasih dan saling menghargai kebebasan. Kita tersentak manakala aktivitas
dan praktik-praktik bernuansa kekerasan marak terjadi di mana-mana dan hampir
setiap hari disodorkan lewat media-media massa.
Lucunya, aktivitas dan
praktik-praktik kekerasan yang hari ini kita saksikan, diatasnamakan membela
agama dan membela Tuhan. Seakan agama menginginkan hal itu dan Tuhan
membutuhkan pembelaan makhluk-Nya. Padahal Tuhan dan agama manapun tidak
mengajarkan manusia untuk saling bertikai, justru sebaliknya mengajarkan manusia
untuk hidup rukun dan saling mengasihi. Dan, yang paling merisaukan, kekerasan
demi kekerasan telah mengorbankan orang-orang tidak berdosa di sekitar kita.
Tepat seperti yang dikatakan Marx Jourganes Mayer, bahwa agama sedang bangkit
dengan wajah kekerasan yang menjalar secara global dengan wajah teror atas nama
Tuhan.
Hal ini menggambarkan
bahwa toleransi dan kerukunan sosial bangsa kita selama ini tidak dibangun di
atas fondasi yang kuat, melainkan di atas fondasi yang rapuh. Di atas pasir,
bukan di atas batu atau karang yang kokoh. Padahal bangsa kita memilki budaya
dan nilai-nilai luhur kemanusiaan yang begitu kuat. Serta sejarah perjuangan
bangsa yang dibangun atas dasar kesolidan.
Lantas di
tengah-tengah belantara konflik dan ancaman konflik itu, kita berdiri di depan
kaca. Bercermin pada realitas dan sejarah panjang bangsa ini. Terhamparlah
kepulauan Indonesia yang amat panjang dan amat banyak. Penduduknya yang
mencapai 200-an juta amat sangat majemuk komposisinya. Dari latar belakang agama,
etnis, keturunan, sosial budaya dan adat istiadat.
Pluralisme adalah
latar belakang masyarakat bangsa Indonesia, yang tampak pula dalam wajah dan
sosoknya. Tetapi masyarakat bangsa yang mejemuk itu, melalui pergerakan dan
pergulatan yang panjang dan mendalam, melalui pasang surutnya krisis, telah
membuat ikrar kesepakatan, menjadi bangsa yang satu, menjadi bangsa yang
memilih pandangan hidup Pancasila. Dan justru karena pandangan hidup inilah manifestasi
dari kehendak dan keputusannya untuk bersatu dalam wawasan kebangsaan. Dan
karena pandangan hidup ini pula, mampu menjadi dasar eksistensi serta payung
pengayom kebangsaan dan persatuan.
Kekerasan demi
kekerasan ini ibarat virus penyakit yang menyerang kekebalan persatuan, budaya
dan kemajemukan bangsa kita. Jika tidak didiagnosis secara tepat maka virus
penyakit ini perlahan akan meluluhlantakan bangun Negara Kesatuan Republik Indonesia
ini. Untuk mengatasi masalah tindakan dan budaya kekerasan dalam bentuk dan
alasan apapun, perosalannya bukan saja terletak pada bagaimana memutus
lingkaran kekerasan itu sendiri. Sebab dengan memutus lingkaran kekerasan akan
berpotensi menumbuhkan bentuk kekerasan baru.
Peranan dan proteksi
negara serta pemerintah mestinya tidak hanya sebatas pada aparatur kepolisian
semata. Lembaga-lembaga agama baik bentukan pemerintah maupun ormas juga
harusnya menjadi jembatan penghubung antar sesama umat manusia yang ragam dalam
perbedaan. Salah satunya bisa dengan terus merintis budaya damai atau
perdamaian melalui dialog-dialog yang lebih rasional. Dialog bukan dimaksudkan
sebagai arena untuk menunjukan bahwa agama dan kelompok kita adalah yang
terbaik. Dialog juga bukan untuk merumuskan sebuah formula penyelesaian semua
persoalan dan dapat memuaskan semua pihak. Akan tetapi, dialog merupakan usaha
membangun kesepahaman atas perbedaan-perbedaan.
Selain melalui lembaga
agama, lembaga pendidikan juga dapat dimanfaatkan untuk menciptakan kerukunan
dengan menanamkan nilai-nilai universal kemanusiaan. Dan hal ini amatlah urgen
yakni mempersiapkan kelangsungan masa depan dan tatanan sosial masyarakat Indonesia
yang humanis dan toleran.
Dalam sebuah buku
berjudul An Agenda for 21 Century,
sang editor Rushwoth Kidder, mengagendakan tujuh permasalahan besar yang bakal
dihadapi oleh anak manusia pada abad ke 21. Salah satu agenda krusial adalah
masalah restrukturisasi sistem pendidikan dunia. Keinginan untuk
merestrukturissasi sistem pendidikan tersebut, karena pendidikan yang selama
ini dijalankan belum mampu menjawab persoalan-persoalan manusia itu sendiri.
Pada hakikatnya,
problematika sistem pendidikan itu muncul karena kita tidak mampu menempatkan
suatu sistem pendidikan pada posisi seimbang sebagaimana yang sempat disinggung
Hanna Gray, “mengapa terlalu banyak pelajar dan mahasiswa under grade yang berminat mempelajari business dan ilmu alam, namun sedikit sekali yang berminat terhadap
ilmu-ilmu sosial dan humaniora? Sehingga, sedikit sekali out put sistem pendidikan yang bisa memikirkan persoalan-persoalan
sosial, seperti kesenjangan sosial, gundulnya hutan tropis dalam jumlah ratusan
hektar, serta kegagalan mencermati terjadinya kriminalitas.
Pernyataan Hanna ini
merupakan titik kesadaran dari para pemerhati sistem pendidikan dunia, yang
kemudian dapat menyimpulkan bahwa sistem pendidikan yang terlanjur diterapkan
di dunia adalah sisitem pendidikan yang keliru. Dan, kekeliruan itu menuntut
untuk segera dilakukan perombakan dari seluruh bangunan dan paradigma dari
sistem pendidikan yang telah menyebabkan manusia menjadi buas terhadap alam
sekitarnya dan melucuti baju kemanusiaannya sendiri.
Proses pendidikan yang
ideal merupakan proses pemanusiaan manusia yang selama ini telah hilang akibat
degradasi sistem pendidikan. Namun sayang, sistem pendidikan hari ini
menyebabkan menipisnya kiemanusiaan manusia itu sendiri. Ada beberapa indikasi
yang menunjukan hal tersebut Pertama, kecenderungan
para orang tua menyekolahkan anaknya untuk mengejar prestise materi dan status
sosialnya, bukan untuk mencerdaskan anaknya sebagai manusia yang otonom.
Kedua, sistem pendidikan dan peserta didik terutama di bangsa kita hari ini,
diarahkan untuk bagaimana menjadi pekerja setelah ia tamat. Bukan menjadi
manusia yang independent dan rasional, yang tidak hanya sekedar memikirkan
dirinya sendiri melainkan orang lain dan lingkungan sekitarnya.
Ketiga, telah terjadi proses mesinisasi pada manusia. Sebagaimana dikatakan oleh
Erich Fromm, “saat ini telah terjadi proses mesinisasi alias dehumanisasi dari
sebuah proses mesin raksasa yang tinggal tekan tombol lalu jalan dengan tidak
mengindahkan perasaan.
Ketiga indikasi di
atas menjadi bahan permenungan kita bersama karena telah menyebabkan kehidupan
kita jauh dari nilai-nilai kemanusiaan. Oleh karenanya, kita membutuhkan suatu
sistem pendidikan yang mampu memanusiakan manusia, menjadikan manusia sebagai
manusia yang otonom dan menghargai nilai-nilai kemanusiaan. Menghargai
pluralitas dan kemajemukan bangsa yang susah payah dibangun oleh para founding fathers and maothers bangsa
ini. Sebuah sistem yang dapat membawa anak didik bangsa ini pada budaya
bangsanya yang dibangun atas dasar persatuan dan kebhinekaan tunggal ika. Yang
ramah, rukun, toleran, mencintai sesama dan perdamaian.
Kita membutuhkan
sistem pendidikan yang mampu mentransformasikan nilai-nilai luhur budaya bangsa
kita. Mencerdaskan dan memahamkan nilai-nilai Pancasila secara esensial bukan
sekedar pengajaran yang kering tanpa makna sebagaimana selama ini diajarkan di
sekolah-sekolah maupun di perguruan tinggi.