Banner 468 x 60px

 

Thursday, February 8, 2018

Seni Kemungkinan dalam Politik

0 komentar
Politik itu kata orang, adalah seni kemungkinan. Bukan air seni atau air kencing loh. Apalagi air seni onta yang katanya mampu mengobati berbagai macam penyakit. Bukan. Bukan itu maksud seni. Seni di sini artinya, kemampuan, keahlian, karya, permainan yang cantik, cipta, karsa dan lain sebagainya. Intinya tentang artistik atau sesuatu yang bernilai estetis.
Seni kemungkinan artinya keahlian membuat segala sesuatu menjadi mungkin. Menciptakan sesuatu yang tidak mungkin menjadi mungkin. Sehingga dalam politik, segala sesuatu tidak bersifat permanen, statis atau jalan di tempat. Segalanya punya kemungkinan dan potensi untuk menjadi selain dirinya. Punya kecenderungan untuk berubah. Bergantung pada faktor Ex-.
Dalam politik, faktor ex- ini biasanya berupa intervensi dari pihak yang lebih berkuasa dan juga kepentingan. Pihak yang kuasa sering menggunakan otoritasnya untuk mempengaruhi bawahannya dalam mengambil sebuah keputusan meski harus berseberangan dengan naluri ia yang diperintah.
Kepentingan juga tak kalah hebatnya. Ia mampu mengobrak-abrik bangunan ideologi dan naluri setiap orang. Yang terpenting adalah untung. Tak jarang kita sering mendengar idiom “dalam dunia politik tak ada yang abadi, tak ada musuh yang kekal ataupun teman. Yang abadi adalah kepentingan, untung-rugi.
Politik adalah seni kemungkinan. Musuh mungkin bisa menjadi teman, begitu sebaliknya. Semua serba mungkin. Tak ayal orang sering menabrak batas-batas demi melancarkan hasrat keserakahan membabi buta.
Kemarin mungkin ia terlihat pandai, namun hari esok bisa terlihat tolol. Kemarin lugu, hari ini buas. Kemarin santun, hari ini biadab. Semuanya serba mungkin. Dan mungkin sedang kita saksikan juga hari ini.
Politik adalah bagaimana memungkinkan sesuatu yang tidak mungkin menjadi mungkin. Memalsukan tanda tangan, misalnya. Atau bekerja sebelum waktu harusnya bekerja, mengeluarkan keputusan padahal belum memiliki lisensi dan pengukuhan.
Dalam politik anda bisa menggunakan jurus mabuk. Atau jurus pura-pura bego. Pura-pura bego memberikan surat kesedian padahal anda tidak menginginkan orang tersebut.  Pura-pura menanyakan kesdiaan sesorang, padahal anda sudah mempunyai list surat keputusan siapa saja yang mendampingi anda. Misalnya, anda sudah punya list surat keputusan tanggal enam (6) dan anda pura-pura menanyakan kesdiaan atau soal surat kesediaan di atas tanggal enam. Apakah ini adalah tindakan pura-pura bego atau memang benar-benar bego dan mabuk?
Tapi, yah sekali lagi namanya politik. Seni kemungkinan. Semuanya serba mungkin, serba bisa. Bisa memanipulasi tandatangan, memanipulasi waktu, dan mungkin juga memanipulasi kepribadiaan. Tak mengapa, menghalalkan segala cara. Karena menunggu tujuh tahun itu butuh kesabaran dan emosi yang tinggi.
Saya teringat kata orang-orang tua dahulu, sesuatu yang diraih dengan usaha itu lebih nikmat dan karenanya kita lebih menghargainya ketimbang sesuatu yang kita peroleh atas pemberian orang
Kemarin mungkin surat kaleng, hari ini mungkin surat cinta. Dan kutetapkan tulisan ini sebagai surat cinta, bukan surat kaleng tentang “Pengkaplingan Kekuasaan”.


Read more...

Sunday, February 4, 2018

Restrukturisasi Sistem Pendidikan Demi Memanusiakan Manusia

0 komentar
Sepertinya, pupus sudah harapan bangsa Indonesia yang selama ini memperkenalkan diri sebagai bangsa yang ramah, santun, murah senyum, toleran, bersatu, gotong royong dan bhineka tunggal ika. Perlahan tergerus oleh laju jaman yang terus berubah. Persatuan Indonesia dan bhineka tunggal ika seolah menjadi pajangan penghias ruangan. Sejarah perjuangan dan  budaya bangsa telah menjadi manuskrip kuno yang berakhir di museum.
Fenomena etnosentris dengan berbagai variasinya dalam spektrum yang di Indonesia dikenal sebagai “SARA”, tampak di mana-mana, juga di negeri kita tercinta. Dalam akhir-akhir ini, intensitas serta sensitivitas gejala itu meningkat bahkan di beberapa daerah sudah memasuki ambang pintu menjadi insiden-insiden meresahkan masyarakat ataupun pemerintah.
Rasanya mustahil membangun sebuah peradaban bangsa yang damai. Praktik-praktik kekerasan seolah terus menghantui setiap jengkal langkah menuju tatanan kehidupan idaman penuh cinta kasih dan saling menghargai kebebasan. Kita tersentak manakala aktivitas dan praktik-praktik bernuansa kekerasan marak terjadi di mana-mana dan hampir setiap hari disodorkan lewat media-media massa.
Lucunya, aktivitas dan praktik-praktik kekerasan yang hari ini kita saksikan, diatasnamakan membela agama dan membela Tuhan. Seakan agama menginginkan hal itu dan Tuhan membutuhkan pembelaan makhluk-Nya. Padahal Tuhan dan agama manapun tidak mengajarkan manusia untuk saling bertikai, justru sebaliknya mengajarkan manusia untuk hidup rukun dan saling mengasihi. Dan, yang paling merisaukan, kekerasan demi kekerasan telah mengorbankan orang-orang tidak berdosa di sekitar kita. Tepat seperti yang dikatakan Marx Jourganes Mayer, bahwa agama sedang bangkit dengan wajah kekerasan yang menjalar secara global dengan wajah teror atas nama Tuhan.
Hal ini menggambarkan bahwa toleransi dan kerukunan sosial bangsa kita selama ini tidak dibangun di atas fondasi yang kuat, melainkan di atas fondasi yang rapuh. Di atas pasir, bukan di atas batu atau karang yang kokoh. Padahal bangsa kita memilki budaya dan nilai-nilai luhur kemanusiaan yang begitu kuat. Serta sejarah perjuangan bangsa yang dibangun atas dasar kesolidan.
Lantas di tengah-tengah belantara konflik dan ancaman konflik itu, kita berdiri di depan kaca. Bercermin pada realitas dan sejarah panjang bangsa ini. Terhamparlah kepulauan Indonesia yang amat panjang dan amat banyak. Penduduknya yang mencapai 200-an juta amat sangat majemuk komposisinya. Dari latar belakang agama, etnis, keturunan, sosial budaya dan adat istiadat.
Pluralisme adalah latar belakang masyarakat bangsa Indonesia, yang tampak pula dalam wajah dan sosoknya. Tetapi masyarakat bangsa yang mejemuk itu, melalui pergerakan dan pergulatan yang panjang dan mendalam, melalui pasang surutnya krisis, telah membuat ikrar kesepakatan, menjadi bangsa yang satu, menjadi bangsa yang memilih pandangan hidup Pancasila. Dan justru karena pandangan hidup inilah manifestasi dari kehendak dan keputusannya untuk bersatu dalam wawasan kebangsaan. Dan karena pandangan hidup ini pula, mampu menjadi dasar eksistensi serta payung pengayom kebangsaan dan persatuan.
Kekerasan demi kekerasan ini ibarat virus penyakit yang menyerang kekebalan persatuan, budaya dan kemajemukan bangsa kita. Jika tidak didiagnosis secara tepat maka virus penyakit ini perlahan akan meluluhlantakan bangun Negara Kesatuan Republik Indonesia ini. Untuk mengatasi masalah tindakan dan budaya kekerasan dalam bentuk dan alasan apapun, perosalannya bukan saja terletak pada bagaimana memutus lingkaran kekerasan itu sendiri. Sebab dengan memutus lingkaran kekerasan akan berpotensi menumbuhkan bentuk kekerasan baru.
Peranan dan proteksi negara serta pemerintah mestinya tidak hanya sebatas pada aparatur kepolisian semata. Lembaga-lembaga agama baik bentukan pemerintah maupun ormas juga harusnya menjadi jembatan penghubung antar sesama umat manusia yang ragam dalam perbedaan. Salah satunya bisa dengan terus merintis budaya damai atau perdamaian melalui dialog-dialog yang lebih rasional. Dialog bukan dimaksudkan sebagai arena untuk menunjukan bahwa agama dan kelompok kita adalah yang terbaik. Dialog juga bukan untuk merumuskan sebuah formula penyelesaian semua persoalan dan dapat memuaskan semua pihak. Akan tetapi, dialog merupakan usaha membangun kesepahaman atas perbedaan-perbedaan.
Selain melalui lembaga agama, lembaga pendidikan juga dapat dimanfaatkan untuk menciptakan kerukunan dengan menanamkan nilai-nilai universal kemanusiaan. Dan hal ini amatlah urgen yakni mempersiapkan kelangsungan masa depan dan tatanan sosial masyarakat Indonesia yang humanis dan toleran.
Dalam sebuah buku berjudul An Agenda for 21 Century, sang editor Rushwoth Kidder, mengagendakan tujuh permasalahan besar yang bakal dihadapi oleh anak manusia pada abad ke 21. Salah satu agenda krusial adalah masalah restrukturisasi sistem pendidikan dunia. Keinginan untuk merestrukturissasi sistem pendidikan tersebut, karena pendidikan yang selama ini dijalankan belum mampu menjawab persoalan-persoalan manusia itu sendiri.
Pada hakikatnya, problematika sistem pendidikan itu muncul karena kita tidak mampu menempatkan suatu sistem pendidikan pada posisi seimbang sebagaimana yang sempat disinggung Hanna Gray, “mengapa terlalu banyak pelajar dan mahasiswa under grade yang berminat mempelajari business dan ilmu alam, namun sedikit sekali yang berminat terhadap ilmu-ilmu sosial dan humaniora? Sehingga, sedikit sekali out put sistem pendidikan yang bisa memikirkan persoalan-persoalan sosial, seperti kesenjangan sosial, gundulnya hutan tropis dalam jumlah ratusan hektar, serta kegagalan mencermati terjadinya kriminalitas.
Pernyataan Hanna ini merupakan titik kesadaran dari para pemerhati sistem pendidikan dunia, yang kemudian dapat menyimpulkan bahwa sistem pendidikan yang terlanjur diterapkan di dunia adalah sisitem pendidikan yang keliru. Dan, kekeliruan itu menuntut untuk segera dilakukan perombakan dari seluruh bangunan dan paradigma dari sistem pendidikan yang telah menyebabkan manusia menjadi buas terhadap alam sekitarnya dan melucuti baju kemanusiaannya sendiri.
Proses pendidikan yang ideal merupakan proses pemanusiaan manusia yang selama ini telah hilang akibat degradasi sistem pendidikan. Namun sayang, sistem pendidikan hari ini menyebabkan menipisnya kiemanusiaan manusia itu sendiri. Ada beberapa indikasi yang menunjukan hal tersebut Pertama, kecenderungan para orang tua menyekolahkan anaknya untuk mengejar prestise materi dan status sosialnya, bukan untuk mencerdaskan anaknya sebagai manusia yang otonom.
Kedua, sistem pendidikan dan peserta didik terutama di bangsa kita hari ini, diarahkan untuk bagaimana menjadi pekerja setelah ia tamat. Bukan menjadi manusia yang independent dan rasional, yang tidak hanya sekedar memikirkan dirinya sendiri melainkan orang lain dan lingkungan sekitarnya.
Ketiga, telah terjadi proses mesinisasi pada manusia. Sebagaimana dikatakan oleh Erich Fromm, “saat ini telah terjadi proses mesinisasi alias dehumanisasi dari sebuah proses mesin raksasa yang tinggal tekan tombol lalu jalan dengan tidak mengindahkan perasaan.
Ketiga indikasi di atas menjadi bahan permenungan kita bersama karena telah menyebabkan kehidupan kita jauh dari nilai-nilai kemanusiaan. Oleh karenanya, kita membutuhkan suatu sistem pendidikan yang mampu memanusiakan manusia, menjadikan manusia sebagai manusia yang otonom dan menghargai nilai-nilai kemanusiaan. Menghargai pluralitas dan kemajemukan bangsa yang susah payah dibangun oleh para founding fathers and maothers bangsa ini. Sebuah sistem yang dapat membawa anak didik bangsa ini pada budaya bangsanya yang dibangun atas dasar persatuan dan kebhinekaan tunggal ika. Yang ramah, rukun, toleran, mencintai sesama dan perdamaian.
Kita membutuhkan sistem pendidikan yang mampu mentransformasikan nilai-nilai luhur budaya bangsa kita. Mencerdaskan dan memahamkan nilai-nilai Pancasila secara esensial bukan sekedar pengajaran yang kering tanpa makna sebagaimana selama ini diajarkan di sekolah-sekolah maupun di perguruan tinggi.
Proses ke arah itu tentunya memerlukan waktu, namun sangat rasional jika dimulai dari sekarang. Oleh karena itu, dituntut adanya kerelaan semua pihak untuk segera melakukan restrukturisasai sistem pendidikan kita hari ini. Jika bukan sekarang, kapan lagi? Jika bukan kita, siapa lagi?

https://www.qureta.com/post/restrukturisasi-sistem-pendidikan-demi-memanusiakan-manusia
Read more...

Do'a

0 komentar
Andai dapat meminta angin
Menjadi konduktor rindu yang tlah membiru
Helaian napas dan selimuti tubuhmu

Andai dapat menyogok mentari
Menyampaikan gelombang rasa yang makin pahit di hati
Cahayai matamu dan sinari hidupmu

Namun, sepertinya mereka tak kuasa
Mungkin juga aku yang tak berdaya

Ku tintakan lirik doa pada ujung bibir
Sepatah demi patah
Pada Dia yang bertahta atas waktu
Yang mampu menelanjangi dan menyelimuti spasi demi spasi kerinduan
Yang menjulurkan dan menarik cinta di hati para pemuja
Yang mengayun-ayunkannya seperti pendulum
Kan lebih pasti dan pantas
Menjagamu dalam ruang dan waktu
Read more...

SANDIWARA

0 komentar
Entah sudah berapa banyak
Berapa banyak topeng yang kugunakan
Menutupi luka dan bau pesing dari wajahku yang asli

Entah berapa banyak
Berapa banyak lagi yang mesti dikenakan
Sekedar membungkus kepalsuan yang kian menyeruak

Jujur
Tak semudah yang terlantun dalam bait-bait ilahi
Pahit rasanya bila ditampakan pada dunia

Entah berapa banyak lagi topeng-topeng harus diganti
Sekadar memenjarakan kejujuran
Membungkus ketakberdayaan yang sulit dicercap
Seakan kejujuran adalah mata belati dilumuri racun
Bersiaga merenggang nyawa

Mahal harganya melepas topeng
Kemunafikan telah menyebar
Merasuk hingga ke dalam aliran darah
Dan tak ingin ditumpahkan

Wajah-wajah palsu bertopeng tlah teringat
Wajah-wajah asli tlah terlupakan
Kebenaran yang terkubur
Sandiwara yang indah
Read more...
 
ZN _ LEFOKISSU © 2017