Gelas kaca bermotif bunga
mawar merekah adalah wadah yang dianggap pantas untuk menampung seduhan kopi
hitam beraroma massa depan. Kopi itu pula yang menjadi teman setia para aktivis
darai berbagai ruang tuk membahas kapal nusantara yang usianya semakin renta.
Termasuk membahas tindakan represif oknum kepolisian terhadap aktvis yang
menyuarakan kebenaran.
Pun, sosok nahkodanya yang
sudah berganti hingga tujuh kali dan belum mampu menyandarkan penumpangnya ke
pulau bahagia. Pulau yang dicita-citakan ketika nusantara ini dibentuk; Negara
yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan
untuk memajukan kesejahteraan umum mencerdaskan kehidupan bangsa. Tak terlepas
dari ocehan anak-anak muda yang berlatar belakang SARA berbeda, di balik meja
coklat Marga PMKRI Cabang Kupang.
Di sini, janji untuk
menyelamatkan anak negeri dari bahaya kekerasan, isu SARA, dan kehidupan para
aktivis di pemerintahan kedepannya. Bertukar ide dan gagasan, berdebat
menyamakan persepsi walaupun kadang ada yang tetap berbeda.
Menyambut kedatangan
para pemikir negeri memikirkan nasib bangsanya yang entah ke mana. Rangkaian
kata-kata tanpa majas itu menjadi cita-cita mulia untuk melanggengkan tradisi
ngopi bagi para penikmatnya. Pun, di Marga ini, kopi dan rokok menjadi simbol
pemersatu yang tak terbatas oleh perbedaan ruang dan waktu, termasuk mereka yang
berselisih paham karena beda pilihan politik pada pesta demokrasi walikota dan
wakil walikota Kupang yang akan datang. Di sini batas itu hilang seketika. Kopi
itu pula yang telah berhasil menyatukan aktivis yang berbeda persepsi tentang
semangat membangun bangsa dari berbagai sisi. Termasuk mereka yang terus
berdebat dengan bahasa impor dari benua putih yang dahulu pernah tersaji dalam
Pancasila, Demokrasi.
Tempat ini juga bukan
sekadar papan tuk berbagi kisah hidup yang pelik tentang perjalanan negeri,
tetapi juga tempat untuk memastikan bahwa anak-anak muda masih doyan
berdiskusi. Kopi telah menjadai ruh dalam tiap hela napas anak-anak muda hingga
para lansia di kota ini, Kupang. Saking saktinya, kopi telah mampu menghapus
sekat antara suku dan agama, RAS dan Antar golongan, rakyat dan pejabat, hingga
kawula dan ningrat.
Di Marga ini, kami
menghabiskan detik demi detik untuk membahas masaalah-masaalah, dari yang jelas
hingga yang tak jelas ujung pangkalnya.
Sambil ditemani dengan
bergelas kopi dan berbungkus-bungkus rokok, seorang teman dengan wajah memar
akibat dipukul dan dikeroyok membuka obrolan alasan mengapa kami harus
berkumpul pada malam sabtu kala itu. Sambil menyeduh dari pinggiran gelas kaca,
ia menceritakan kronologi aksi yang mereka lakukan hingga akhirnya terjadi tindak
represif pihak kepolisian terhadap mereka. Ia juga memaparkan video aksi yang
didapat dari seorang wartawan TV daerah.
Memang sungguh
disayangkan. Gembok pagar yang rusak akibat saling mendorong antara aktivis dan
pihak kejaksaan serta pembakaran Krans bunga karena Kepala Kejati tidak
bersedia menemui massa aksi dinggap sebagai tindakan pengrusakan fasilitas
negara. Padahal ini sudah merupakan konsekuensi logis dari sebuah aksi, dan
masih tergolong dalam tataran wajar pada sebuah aksi, nada Kristo melantun di
balik kepulan-kepulan asap yang keluar dari mulutnya.
Yah, sebuah gembok dan
sebuah krans bunga dianggap sebagai fasilitas negara yang dirusakan, lantas
bagaimana dengan kasus yang sedang diperjuangkan oleh aktivis PMKRI? Menuntut
keadilan ditegakan atas tindak korupsi yang nilainya jauh berbanding sebuah
Gembok dan krans bunga, bisikku dalam hati yang mencoba merangkai kasus ini
dalam benak.
Suasana dibalik meja
semakin tegang, rasa haru, sedih, amarah bercampur dalam gelas kaca berakrobat
menjadi rasa kelam yang luar biasa ketika video yang diputar sampai pada saat
pemukulan massa oleh oknum kepolisian. Massa yang hendak membubarkan diri,
dihampiri dengan kepalan-kepalan tangan dan sepaatu-sepatu biadab. Aroma kopi
pengayom, pelindung dan pelayan masyarakat berubah menjadi kebringasan,
kebiadaban, pahit dan kelam untuk diseduh oleh mata dan hati.
Desakan mengsut tuntas
tindakan anarkis pihak kepolisian adalah obrolan kami selanjutnya sambil
sesekali menegukan gelas kaca berisi kopi hitam yang sudah mulai dingin dan
habis. Sebuah kata sepakat adalah melaporkannya secara hukum dan aksi
solidaritas. Sebagai bentuk penolakan tindakan tidak berkemanusiaan dan
pembungkaman teriakan keadilan. Bangkit melawan penindasan atau mati
tertindas.?!
Malam semakin larut,
cairan hitam dalam gelas-gelas kaca tinggal serbuk kental, lalu datang lagi gelas-geas
kopi yang baru, hangat dan nikmat untuk
diseduh. Kelopak mata tak jua sampai pada batas sadar, mulut-mulut berasap
terus melantunkan kata demi kata. Obrolan kian tak jelas arahnya. Kadang ke
arah agama, politik, kehidupan pejabat, perselingkuhan, pergerakan, ekonomi,
negara, adat, perempuan, poligami, pemilu, hingga kata GOLPUT.
Nico, seorang teman
dari Perhimpunan Pemuda Adonara melepas kata ilmiah yang disadurnya dari dunia
perpolitikan ini, Pemilu. Golput (Golongan Putih) adalah orang-orang yang
memilih untuk tidak memilih pada pesta demokrasi. Katanya bahasa itu mampu
mewakili sejuta masaalah pelik yang ada di otaknya. Golput adalah sebuah
istilah yang sebenarnya bertujuan untuk memarginalkan orang-orang yang menutup
diri dari pesta demokrasi. Kata yang dipredikatkan kepada mereka yang apatis
terhadap politik. Sebuah istilah yang sebenarnya berkonotasi jelek, sehingga
orang tidak memilih menjadi golongan ini.
Tapi singkatan dari
Golput ini malah memiliki kecenderungan bahwa orang-orang yang memilih jalan
ini adalah orang-orang yang baik. Golongan Putih, bukankah berkonotasi baik?
Bukankah bermakna orang-orang yang benar? Bela Nico dengan senyum sungging dibalik
sudut gelas kaca.
Ketika memilih menjadi
Golput maka kita pun harus menerima setiap kebijakan yang dibuat oleh pemimpin
kita nantinya. Jangan protes/krtikik pemerintah karena kita tidak memilih.
Golput adalah golongan yang pasrah. Ia akan menjadi kerbau yang dicocok
hidungnya oleh pemimpin, ke mana tali ditarik ke situ kerbau berarah. Ke mana
nahkoda mengemudi ke situ kapal Nusantara berlabuh, baik dan buruk diterima
saja. Tanpa protes. Mereka adalah orang-orang yang mati semangatnya, mati
penalarannya, mati kekritisannya, nasibnya di tangan sang pemegang tali.
Sambil meneguk gelas
kopi keduanya, Munawir menawarkan; bagaimana kalau istilah Golput kita rubah
menjadi Golhit atau Golongan Hitam?
Seketika gelegak tawa
pecah dalam forum meja coklat. Hening malam seolah berubah menjadi semangat
pagi dengan mentari harapan yang tak pernah mati.
Dengan tenang, Munawir
menyambut tawa itu dengan alasan Golongan Hitam memiliki kesan jelek. Sehingga
orang akan lebih berpikir beberapa kali ketika memilih untuk tidak memilih.
Golhit lebih memiliki konotasi buruk ketimbang Golput.
“Golput memang hadir
karena para pemimpin yang dipilih secara demokratis tidak mampu membawa
kesejahteraan bagi masyarakat. Para pemimpin yang terpilih tidak memperjuangkan
aspirasi masyarakat yang ditaruh di pundak mereka. Mereka lebih banyak beronani
dengan kepentingan mereka sendiri. Namun, bukan berarti kita harus apatis untuk
tidak memilih. Karena dari beberapa pemimpin yang dipilih, salah satunya paling
sedikit dapat merepresentasikan kebaikan dan keinginan kita. Jika memilih untuk
tidak memilih, kita telah melepaskan satu suara kebaikan. Paling tidak kebaikan
menurut persepsi kita. Bahakan di sini kita pun harus memilih salah satu yang
terbaik dari yang terburuk. Tugas kita selanjutnya adalah mengkawal pilihan
kita, melakukan Chek and Balance terhadap pilihan kita tersebut.” Lanjut Nawir
dengan suara khas menggelegarnya yang penuh kharismatik. Saya dapat membaca
raut keseriusan tentang ususlan penggunaan istilah Golhit dari guratan-guratan
yang ada di keningnya.
“Memang demokrasi dalam
pemilu kita adalah demokrasi Hak bukan demokrasi Kewajiban. Kita berhak untuk
memilih ataupun tidak. Bagi saya, apapun istilah yang kita pakai tidak akan
dapat merubah secara signifikan orang-orang yang tidak memilih. Toh MUI pernah
mengeluarkan fatwa Haram Golput, tapi angka Golput tidak pernah menurun. Malah
terus meningkat. Seharusnya sistem demokrasi kitalah yang perlu dirubah, dari
demokrasi Hak menjadi demokrasi Kewajiban. Memilih adalah kewajiban, bukan lagi
Hak warga negara jika kita ingin menghilangkan paling tidak menekan angka tidak
memilih.” Celetuk ketua PMII, Zulfirlan, yang sedari tadi terdiam memikirkan
arah obrolan kami.
Namun, pertanyaannya
adalah apakah negara kita sudah siap jika pemilihan langsung kita lakukan?
Negara kita bukan seperti Australia, penduduk kita sulit dijangkau dan memiliki
kesadaran politik rendah. Merubah sistem pun bukan solusi yang pas. Sela Nico
yang tidak sepakat dengan Zulfirlan.
Berapa tetes kopi yang
kau teguk setiap hari? Tanyaku pada Nico sambil menghentikan obrolan yang terus
keluar dari mulutnya.
“Sebanyak helai
rambutku,” jawabnya.
“Apa kau bisa
menghitungnya?”
“Menghitung helaian
rambut dan tegukan kopi sama saja dengan menghitung peliknya masalah negeri. Yah,
begitupula dengan mereka yang memilih untuk tidak memilih. Tak ada habisnya.”
Aku terdiam sambil
menatap matanya yang nampak kemerah-merahan. Mungkin karena selalu begadang
tiap malam. Bisa jadi karena efek dari kopi yang terlalu banyak ia teguk setiap
harinya. Atau bisa juga karena kepulan-kepulan asap rokok yang seperti
kebakaran hutan. Tak tahu pasti dan tak bisa kusimpulkan begitu saja. Mungkin
bisa jadi karena ia sedang marah dengan kapal tua yang seolah tak punya arah.
“Tawa kecilku, tanda
setuju dengan ucapannya.”
“Dasar orang gila,”
Canda Fiani. Satu-satunya perempuan yang hadir dalam forum meja coklat malam
itu. Kartini muda, julukan kami buat dia. Seorang perempuan yang bertahan dalam
obrolan semrawut hingga malam suntuk.
“Lebih gila lagi mereka
yang tak mau berpikir bersama rokok apalagi sekedar kopi. Ya, mereka yang hanya
mempelajari materi perkuliahan dan ke kampus kemudian menyalahkan zaman.”
“Ah, itu kan hak
mereka karena hidup di negeri yang bebas berbicara. Aku tak peduli orang berkata
apa. Aku rela dianggap gila, asal mereka tak memvonis kopinya yang gila. Kau
harus tahu, orang yang anarkhis dan radikal itu karena kurang kopi. Seharusnya
mereka diselamatkan,” ucapnya sambil disusul dengan gelak tawa yang membahana
hingga membuat penghuni Marga menoleh semua ke arahnya.
Aku tak tahu pasti apa
maksudnya, yang jelas aku ikut tertawa begitu saja. Kemudian, aku pun berpikir
siapa yang dimaksud “mereka” dalam ucapannya. Tapi entahlah, akupun tak
mempertanyakannya.
Malam makin suntuk,
namun udaranya tidak ikut dingin. Malah bertambah panas hingga ke dalam hati.
Tiba-tiba gerimis turun dari langit. Mungkin ingin mendinginkan udara dan
obrolan yang sempat memanas di antara kami. Namun, seolah tak peduli dengan
gerimis atau panas, segelas kopi habis, muncul segelas kopi yang lain dan
begitu seterusnya. Termasuk asap rokok yang mengepul tanpa henti karena terus
disambung oleh batang-batang rokok berikutnya. Kata Kristo, rokok dan kopi itu
menambah inspirasi karena ia sudah menganggap keduanya sebagai pasangan setia
yang tak mungkin terpisah oleh zaman dan lintas generasi. Aku mengamini saja,
meski aku melihat beberapa teman yang terganggu dengan kepulan asap rokok yang
padat seperti asap yang keluar dari knalpot motor zaman dulu.
“Apa kalian melihat
orang yang mencaci maki sambil menikmati kopi?” tanya Kristo pada kami.
“Belum”
“Apa kalian pernah
melihat orang berbuat jahat sambil minum kopi?
“Belum”
“Mungkin tidak akan
kau lihat kejadian seperti itu, karena kopi itu membawa kedamaian. Meskipun warnanya
tak putih.”
Yah, segelas kopi bisa
menjadi jalan keluar untuk masalah yang pelik.
“Jangan hanya melamun.
Lamunanmu tak akan merubah keadaan, kecuali membuat kopi yang tadinya panas
menjadi dingin,” ucap Munawir mengganggu lamunanku.
“Aku tahu itu.”
Jawabku.
“Mungkin sekali-kali
kau perlu ajak para Polisi, Politisi, orang-orang Golput, dan mereka yang suka
mengkafirkan orang lain, untuk menikmati kopi. Termasuk orang-orang yang dengan
topeng agama meminta kekuasaan atau melakukan tindakan biadab. Juga untuk
mereka yang dengan mudah menyematkan dirinya sebagai orang-orang yang seolah
paling paham tentang agama, hingga tak tahu tentang agama dan budaya. Sampai
apa-apa yang bukan berasal dari bangsa arab dianggap tak sesuai aturan agama.”
“Apa dengan kopi
mereka bisa paham?” Tanyaku.
“Paling tidak mereka
akan tahu bahwa ada kopi, gula dan air yang diseduh dan dituangkan dalam gelas
kopi yang tak pernah meminta diri mereka disebutkan satu per satu. Cukup dengan
menyebut kata kopi, semua sudah terwakili. Termasuk air, gula, dan kopi itu
sendiri.”
“Hmmm. Kau benar,
banyak yang ingin membangun kapal tua ini dan mereka tak minta diakui jasanya.
Cukup dengan nama Nusantara, sama artinya dengan menyebut mereka semua. Tanpa
harus meminta yang lain berada di ketiak mereka.”
Tak terasa obrolan
kami sudah begitu lama. Azan subuh terdengar dari sebuah masjid tak jauh dari
Marga. Kami pun segera menutup obrolan, meski sebenarnya masih ingin bertukar
gagasan. Membahas arah kapal tua bernama Nusantara yang saat ini penumpangnya
saling bacok, saling tikai dan saling berseteru tegang. Tapi aku tahu, semuanya
tak akan selesai di meja ini, karena masih ada meja lain yang gelasnya perlu
diseduh kopi agar lain bisa merasakan nikmatnya kopi. Satu lagi, dan agar
mereka tahu tentang kesadaran gula dan air yang tak pernah disebut dalam
seduhan segelas kopi.