Banner 468 x 60px

 

Tuesday, November 29, 2016

Berpetualangan

0 komentar
Kasih
Inginku bawa kau ke tepian pantai
Agar kau lihat hamparan birunya laut
Semangatnya ombak yang menderu-deru
Ikhlasnya karang yang menunggu ombak
Tabahnya nelayan menembus badai
Bebasnya camar berteriak
Serta hilir mudik ikan yang bergerak bebas
Tapi tak pernah asin di lautan
Sejenak kau dibelai sang bayu
Dan mentari sore yang megah

Kasih
Inginku bawa kau ke pegunungan
Agar kau dapat melihat hamparan bumi
Yang maha luas
Agar kau melihat hamparan sawah
Yang hijau berseri
Melihat senyum petani yang sumringah
Sang elang memburu mangsanya
Mendengarkan ciut burung-burung kecil
Dan gemericik dedaunan yang ditiup angin
Merasakan kesejukan sang bayu yang bertiup begitu ayu
Menghirup udara sejuk nan bersih
Yang perlahan merambat sukma

Lalu kekasihku
Akan ku bawa kau ke perkotaan
Melihat gedung-gedung tinggi yang sombong
Memecah angkasa
Melihat anak-anak kecil dengan kotak kaleng,
Sambil meminta-minta
Di tengah hilir mudik mobil-mobil mewah
Kemudian tidur di emperan tokoh
Dan kolong-kolong jembatan
Beralaskan kardus
Agar kau mendengarkan kegaduhan kendaraan
Yang sangat bising
Agar kau menghirup asap-asap kendaraan yang pengap
Menyaksikan kemacetan di ruas-ruas jalan
Agar kau melihat kesenjangan cinta yang kian rapuh

Lalu kekasihku
Kita akan telusuri dicotik-discotik
Biar kau saksikan keriangan mereka sambil berteriak
Dalam bising nyanyian DJ
Dan salon yang menyesakan dada, memekikan telinga
Agar kau temukan laki-laki dan perempuan saling berbauran
Tanpa jarak tanpa ruang
Lalu kau lihat botol-botol minuman memabukan
Dan narkoba yang membuatmu melayang
Dan kemudian wahai kekasihku
Kugandeng tanganmu
Kita ke pekuburan yang luas
Agar kau menyadari
Kemana kita setelah ini


Kupang, 2016
Read more...

Thursday, November 24, 2016

Untukmu Teman

0 komentar
Tiada acara perpisahan kemarin
Maka izinkan aku melipat jarak
Menggulung kenangan
Menjenguk memory
Bermain bersama sesal
Dalam cawan sejarah
Yang dulu kita tuang
Kita aduk
Dan kita seruputi bersama

Puntung-puntung dalam asbak
Adalah tasbihku kini
Abunya adalah keikhlasanku
Baranya adalah semangatku
Asapnya adalah cita kita
Yang lepas dari genggaman
Sekuat kedua tangan mencoba

Tiada acara perpisahan kemarin
Pun janji bertemu di sudut desa ini
Dinding-dinding waktu pun kian menebal
Bersama goresaan-goresan yang kita pahat
Pun kian buram
Namun, izinkan aku kembali
Mengetuk dinding-dinding itu
Melihat-lihat prasasti kita
Yang kian kabur karena erosi waktu

Tiada cawan yang tak retak
Maka tetaplah di situ
Aku hanya menjemput kenangan
Bersedih dan bergembira di sana
Agar aku selalu ingat coretan-coretan itu
Dan ku pun tahu
Gelinding waktu akan membawaku padamu
Kita akan memahat bersama kembali
Dalam haribaanNya
Dan kau hanya perlu menunggu
Maka bersabarlah teman!
Aku segera akan menghampirimu

Alorkecil, 2014
Read more...

Friday, November 18, 2016

Sajak Si Nelayan

0 komentar


Malam, dengarlah
Lupakan dinginmu
Biar tak membeku kulitku
Siang, dengarlah
Lupakan terikmu
Biar tak melepuh punggungku
Laut, dengarlah
Lupakan ombakmu
Biar tak terhempas tubuhku
Dalam merentangkan tali kehidupanku
Di kaki pantai
Yang gaduh dan semrawut

Cuma ini penyambung hariku
Tercecer di sepanjang samudera
Di lautan tanpa batas, tak berujung
Di kedalaman tak terselami

Cuma ini jalan kehidupanku
Penyambung usiaku
Dari detik ke menit
Dari menit ke jam
Dari jam ke hari
Dari hari ke bulan
Dari bulan ke tahun
Dari tahun ke abad

Alorkecil, 2015
Read more...

Tuesday, November 15, 2016

Obrolan Kopi di Meja Marga

0 komentar
Gelas kaca bermotif bunga mawar merekah adalah wadah yang dianggap pantas untuk menampung seduhan kopi hitam beraroma massa depan. Kopi itu pula yang menjadi teman setia para aktivis darai berbagai ruang tuk membahas kapal nusantara yang usianya semakin renta. Termasuk membahas tindakan represif oknum kepolisian terhadap aktvis yang menyuarakan kebenaran.
Pun, sosok nahkodanya yang sudah berganti hingga tujuh kali dan belum mampu menyandarkan penumpangnya ke pulau bahagia. Pulau yang dicita-citakan ketika nusantara ini dibentuk; Negara yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum mencerdaskan kehidupan bangsa. Tak terlepas dari ocehan anak-anak muda yang berlatar belakang SARA berbeda, di balik meja coklat Marga PMKRI Cabang Kupang.
Di sini, janji untuk menyelamatkan anak negeri dari bahaya kekerasan, isu SARA, dan kehidupan para aktivis di pemerintahan kedepannya. Bertukar ide dan gagasan, berdebat menyamakan persepsi walaupun kadang ada yang tetap berbeda.
Menyambut kedatangan para pemikir negeri memikirkan nasib bangsanya yang entah ke mana. Rangkaian kata-kata tanpa majas itu menjadi cita-cita mulia untuk melanggengkan tradisi ngopi bagi para penikmatnya. Pun, di Marga ini, kopi dan rokok menjadi simbol pemersatu yang tak terbatas oleh perbedaan ruang dan waktu, termasuk mereka yang berselisih paham karena beda pilihan politik pada pesta demokrasi walikota dan wakil walikota Kupang yang akan datang. Di sini batas itu hilang seketika. Kopi itu pula yang telah berhasil menyatukan aktivis yang berbeda persepsi tentang semangat membangun bangsa dari berbagai sisi. Termasuk mereka yang terus berdebat dengan bahasa impor dari benua putih yang dahulu pernah tersaji dalam Pancasila, Demokrasi.
Tempat ini juga bukan sekadar papan tuk berbagi kisah hidup yang pelik tentang perjalanan negeri, tetapi juga tempat untuk memastikan bahwa anak-anak muda masih doyan berdiskusi. Kopi telah menjadai ruh dalam tiap hela napas anak-anak muda hingga para lansia di kota ini, Kupang. Saking saktinya, kopi telah mampu menghapus sekat antara suku dan agama, RAS dan Antar golongan, rakyat dan pejabat, hingga kawula dan ningrat.
Di Marga ini, kami menghabiskan detik demi detik untuk membahas masaalah-masaalah, dari yang jelas hingga yang tak jelas ujung pangkalnya.
Sambil ditemani dengan bergelas kopi dan berbungkus-bungkus rokok, seorang teman dengan wajah memar akibat dipukul dan dikeroyok membuka obrolan alasan mengapa kami harus berkumpul pada malam sabtu kala itu. Sambil menyeduh dari pinggiran gelas kaca, ia menceritakan kronologi aksi yang mereka lakukan hingga akhirnya terjadi tindak represif pihak kepolisian terhadap mereka. Ia juga memaparkan video aksi yang didapat dari seorang wartawan TV daerah.
Memang sungguh disayangkan. Gembok pagar yang rusak akibat saling mendorong antara aktivis dan pihak kejaksaan serta pembakaran Krans bunga karena Kepala Kejati tidak bersedia menemui massa aksi dinggap sebagai tindakan pengrusakan fasilitas negara. Padahal ini sudah merupakan konsekuensi logis dari sebuah aksi, dan masih tergolong dalam tataran wajar pada sebuah aksi, nada Kristo melantun di balik kepulan-kepulan asap yang keluar dari mulutnya.
Yah, sebuah gembok dan sebuah krans bunga dianggap sebagai fasilitas negara yang dirusakan, lantas bagaimana dengan kasus yang sedang diperjuangkan oleh aktivis PMKRI? Menuntut keadilan ditegakan atas tindak korupsi yang nilainya jauh berbanding sebuah Gembok dan krans bunga, bisikku dalam hati yang mencoba merangkai kasus ini dalam benak.
Suasana dibalik meja semakin tegang, rasa haru, sedih, amarah bercampur dalam gelas kaca berakrobat menjadi rasa kelam yang luar biasa ketika video yang diputar sampai pada saat pemukulan massa oleh oknum kepolisian. Massa yang hendak membubarkan diri, dihampiri dengan kepalan-kepalan tangan dan sepaatu-sepatu biadab. Aroma kopi pengayom, pelindung dan pelayan masyarakat berubah menjadi kebringasan, kebiadaban, pahit dan kelam untuk diseduh oleh mata dan hati.
Desakan mengsut tuntas tindakan anarkis pihak kepolisian adalah obrolan kami selanjutnya sambil sesekali menegukan gelas kaca berisi kopi hitam yang sudah mulai dingin dan habis. Sebuah kata sepakat adalah melaporkannya secara hukum dan aksi solidaritas. Sebagai bentuk penolakan tindakan tidak berkemanusiaan dan pembungkaman teriakan keadilan. Bangkit melawan penindasan atau mati tertindas.?!
Malam semakin larut, cairan hitam dalam gelas-gelas kaca tinggal serbuk kental, lalu datang lagi gelas-geas kopi yang baru, hangat  dan nikmat untuk diseduh. Kelopak mata tak jua sampai pada batas sadar, mulut-mulut berasap terus melantunkan kata demi kata. Obrolan kian tak jelas arahnya. Kadang ke arah agama, politik, kehidupan pejabat, perselingkuhan, pergerakan, ekonomi, negara, adat, perempuan, poligami, pemilu, hingga kata GOLPUT.
Nico, seorang teman dari Perhimpunan Pemuda Adonara melepas kata ilmiah yang disadurnya dari dunia perpolitikan ini, Pemilu. Golput (Golongan Putih) adalah orang-orang yang memilih untuk tidak memilih pada pesta demokrasi. Katanya bahasa itu mampu mewakili sejuta masaalah pelik yang ada di otaknya. Golput adalah sebuah istilah yang sebenarnya bertujuan untuk memarginalkan orang-orang yang menutup diri dari pesta demokrasi. Kata yang dipredikatkan kepada mereka yang apatis terhadap politik. Sebuah istilah yang sebenarnya berkonotasi jelek, sehingga orang tidak memilih menjadi golongan ini.
Tapi singkatan dari Golput ini malah memiliki kecenderungan bahwa orang-orang yang memilih jalan ini adalah orang-orang yang baik. Golongan Putih, bukankah berkonotasi baik? Bukankah bermakna orang-orang yang benar? Bela Nico dengan senyum sungging dibalik sudut gelas kaca.
Ketika memilih menjadi Golput maka kita pun harus menerima setiap kebijakan yang dibuat oleh pemimpin kita nantinya. Jangan protes/krtikik pemerintah karena kita tidak memilih. Golput adalah golongan yang pasrah. Ia akan menjadi kerbau yang dicocok hidungnya oleh pemimpin, ke mana tali ditarik ke situ kerbau berarah. Ke mana nahkoda mengemudi ke situ kapal Nusantara berlabuh, baik dan buruk diterima saja. Tanpa protes. Mereka adalah orang-orang yang mati semangatnya, mati penalarannya, mati kekritisannya, nasibnya di tangan sang pemegang tali.
Sambil meneguk gelas kopi keduanya, Munawir menawarkan; bagaimana kalau istilah Golput kita rubah menjadi Golhit atau Golongan Hitam?
Seketika gelegak tawa pecah dalam forum meja coklat. Hening malam seolah berubah menjadi semangat pagi dengan mentari harapan yang tak pernah mati.
Dengan tenang, Munawir menyambut tawa itu dengan alasan Golongan Hitam memiliki kesan jelek. Sehingga orang akan lebih berpikir beberapa kali ketika memilih untuk tidak memilih. Golhit lebih memiliki konotasi buruk ketimbang Golput.
“Golput memang hadir karena para pemimpin yang dipilih secara demokratis tidak mampu membawa kesejahteraan bagi masyarakat. Para pemimpin yang terpilih tidak memperjuangkan aspirasi masyarakat yang ditaruh di pundak mereka. Mereka lebih banyak beronani dengan kepentingan mereka sendiri. Namun, bukan berarti kita harus apatis untuk tidak memilih. Karena dari beberapa pemimpin yang dipilih, salah satunya paling sedikit dapat merepresentasikan kebaikan dan keinginan kita. Jika memilih untuk tidak memilih, kita telah melepaskan satu suara kebaikan. Paling tidak kebaikan menurut persepsi kita. Bahakan di sini kita pun harus memilih salah satu yang terbaik dari yang terburuk. Tugas kita selanjutnya adalah mengkawal pilihan kita, melakukan Chek and Balance terhadap pilihan kita tersebut.” Lanjut Nawir dengan suara khas menggelegarnya yang penuh kharismatik. Saya dapat membaca raut keseriusan tentang ususlan penggunaan istilah Golhit dari guratan-guratan yang ada di keningnya.
“Memang demokrasi dalam pemilu kita adalah demokrasi Hak bukan demokrasi Kewajiban. Kita berhak untuk memilih ataupun tidak. Bagi saya, apapun istilah yang kita pakai tidak akan dapat merubah secara signifikan orang-orang yang tidak memilih. Toh MUI pernah mengeluarkan fatwa Haram Golput, tapi angka Golput tidak pernah menurun. Malah terus meningkat. Seharusnya sistem demokrasi kitalah yang perlu dirubah, dari demokrasi Hak menjadi demokrasi Kewajiban. Memilih adalah kewajiban, bukan lagi Hak warga negara jika kita ingin menghilangkan paling tidak menekan angka tidak memilih.” Celetuk ketua PMII, Zulfirlan, yang sedari tadi terdiam memikirkan arah obrolan kami.
Namun, pertanyaannya adalah apakah negara kita sudah siap jika pemilihan langsung kita lakukan? Negara kita bukan seperti Australia, penduduk kita sulit dijangkau dan memiliki kesadaran politik rendah. Merubah sistem pun bukan solusi yang pas. Sela Nico yang tidak sepakat dengan Zulfirlan.
Berapa tetes kopi yang kau teguk setiap hari? Tanyaku pada Nico sambil menghentikan obrolan yang terus keluar dari mulutnya.
“Sebanyak helai rambutku,” jawabnya.
“Apa kau bisa menghitungnya?”
“Menghitung helaian rambut dan tegukan kopi sama saja dengan menghitung peliknya masalah negeri. Yah, begitupula dengan mereka yang memilih untuk tidak memilih. Tak ada habisnya.”
Aku terdiam sambil menatap matanya yang nampak kemerah-merahan. Mungkin karena selalu begadang tiap malam. Bisa jadi karena efek dari kopi yang terlalu banyak ia teguk setiap harinya. Atau bisa juga karena kepulan-kepulan asap rokok yang seperti kebakaran hutan. Tak tahu pasti dan tak bisa kusimpulkan begitu saja. Mungkin bisa jadi karena ia sedang marah dengan kapal tua yang seolah tak punya arah.
“Tawa kecilku, tanda setuju dengan ucapannya.”
“Dasar orang gila,” Canda Fiani. Satu-satunya perempuan yang hadir dalam forum meja coklat malam itu. Kartini muda, julukan kami buat dia. Seorang perempuan yang bertahan dalam obrolan semrawut hingga malam suntuk.
“Lebih gila lagi mereka yang tak mau berpikir bersama rokok apalagi sekedar kopi. Ya, mereka yang hanya mempelajari materi perkuliahan dan ke kampus kemudian menyalahkan zaman.”
“Ah, itu kan hak mereka karena hidup di negeri yang bebas berbicara. Aku tak peduli orang berkata apa. Aku rela dianggap gila, asal mereka tak memvonis kopinya yang gila. Kau harus tahu, orang yang anarkhis dan radikal itu karena kurang kopi. Seharusnya mereka diselamatkan,” ucapnya sambil disusul dengan gelak tawa yang membahana hingga membuat penghuni Marga menoleh semua ke arahnya.
Aku tak tahu pasti apa maksudnya, yang jelas aku ikut tertawa begitu saja. Kemudian, aku pun berpikir siapa yang dimaksud “mereka” dalam ucapannya. Tapi entahlah, akupun tak mempertanyakannya.
Malam makin suntuk, namun udaranya tidak ikut dingin. Malah bertambah panas hingga ke dalam hati. Tiba-tiba gerimis turun dari langit. Mungkin ingin mendinginkan udara dan obrolan yang sempat memanas di antara kami. Namun, seolah tak peduli dengan gerimis atau panas, segelas kopi habis, muncul segelas kopi yang lain dan begitu seterusnya. Termasuk asap rokok yang mengepul tanpa henti karena terus disambung oleh batang-batang rokok berikutnya. Kata Kristo, rokok dan kopi itu menambah inspirasi karena ia sudah menganggap keduanya sebagai pasangan setia yang tak mungkin terpisah oleh zaman dan lintas generasi. Aku mengamini saja, meski aku melihat beberapa teman yang terganggu dengan kepulan asap rokok yang padat seperti asap yang keluar dari knalpot motor zaman dulu.
“Apa kalian melihat orang yang mencaci maki sambil menikmati kopi?” tanya Kristo pada kami.
“Belum”
“Apa kalian pernah melihat orang berbuat jahat sambil minum kopi?
“Belum”
“Mungkin tidak akan kau lihat kejadian seperti itu, karena kopi itu membawa kedamaian. Meskipun warnanya tak putih.”
Yah, segelas kopi bisa menjadi jalan keluar untuk masalah yang pelik.
“Jangan hanya melamun. Lamunanmu tak akan merubah keadaan, kecuali membuat kopi yang tadinya panas menjadi dingin,” ucap Munawir mengganggu lamunanku.
“Aku tahu itu.” Jawabku.
“Mungkin sekali-kali kau perlu ajak para Polisi, Politisi, orang-orang Golput, dan mereka yang suka mengkafirkan orang lain, untuk menikmati kopi. Termasuk orang-orang yang dengan topeng agama meminta kekuasaan atau melakukan tindakan biadab. Juga untuk mereka yang dengan mudah menyematkan dirinya sebagai orang-orang yang seolah paling paham tentang agama, hingga tak tahu tentang agama dan budaya. Sampai apa-apa yang bukan berasal dari bangsa arab dianggap tak sesuai aturan agama.”
“Apa dengan kopi mereka bisa paham?” Tanyaku.
“Paling tidak mereka akan tahu bahwa ada kopi, gula dan air yang diseduh dan dituangkan dalam gelas kopi yang tak pernah meminta diri mereka disebutkan satu per satu. Cukup dengan menyebut kata kopi, semua sudah terwakili. Termasuk air, gula, dan kopi itu sendiri.”
“Hmmm. Kau benar, banyak yang ingin membangun kapal tua ini dan mereka tak minta diakui jasanya. Cukup dengan nama Nusantara, sama artinya dengan menyebut mereka semua. Tanpa harus meminta yang lain berada di ketiak mereka.”
Tak terasa obrolan kami sudah begitu lama. Azan subuh terdengar dari sebuah masjid tak jauh dari Marga. Kami pun segera menutup obrolan, meski sebenarnya masih ingin bertukar gagasan. Membahas arah kapal tua bernama Nusantara yang saat ini penumpangnya saling bacok, saling tikai dan saling berseteru tegang. Tapi aku tahu, semuanya tak akan selesai di meja ini, karena masih ada meja lain yang gelasnya perlu diseduh kopi agar lain bisa merasakan nikmatnya kopi. Satu lagi, dan agar mereka tahu tentang kesadaran gula dan air yang tak pernah disebut dalam seduhan segelas kopi.

Read more...

Friday, November 11, 2016

Sayap Peri

0 komentar
Peri itu menyodorkan kedua sayapnya yang seputih kertas
Sambil berkata, ambil dan terbanglah
Tapi terbang ke mana, tanyaku
Terbanglah melintasi taman bunga ini, jawabnya

Ku kenakan sayap-sayap itu
Sekali kibasan, seketika tubuhku melayang
Wajahku melihat ke barisan hijau
Ku lihat setangkai kuncup yang mendamaikan di timur
Dan belum lagi hati ini selesai menyatakan hasrat
Sayap Peri itu sudah membawaku melesat

Saat menuju kuncup hijau itu
Di kanan sana ku lihat
Pantulan cahaya merah darah
Pandanganku tertuju pada selah satu
Diantara jutaan tangkai
Berwarna merah muda di utara
Tiba-tiba sayap putih yang membawaku terbang ini
Berbelok dan menuju utara

Ke arah utara ku lihat semakin gemerlap
Bagai langit yang dihamparkan
Di arah selatan nun jauh di sana ada setangkai kecil
Yang birunya berirama ketukan luka sang Perindu
Belum lagi tuntas ku cermati
Kepak sayap Peri sudah membawaku
Ke selatan searah lirikanku tadi

Dan tiba-tiba di arah barat
Ada gugusan putih tersenyum memanggilku
Aku balas tersenyum melirik salah satu mahkotanya
Maka sayap peri ini membuatku
Berakrobat berbelok ke arah gugusan bunga putih

Sesampainya,
Aku pun kelelahan
Jatuh terkulai tak bertenaga
Kepalaku pusing
Warna-warni taman bunga
Berpencar dalam tiap sudut ruang kepalaku
Nafasku tak beratauran
Pandangan mataku pudar
Menatap empat penjuru
Timur
Utara
Selatan
Barat

Muncul sang Peri pemilik sayap di sampingku
Aku lantas berbalik lirih
Ambil kembali sayapmu ini
Kembalikan aku ke tempatku

Aku jatuh melayang
Kembali ke hadapan leptopku
Masih terngiang di telingaku
Bisikan lembut sang Peri sesaat
Sebelum mendorongku kembali ke bumi

Meski kau kenakan sepasang sayap Peri
Tapi kalau pandangan dan hatimu
Tidak fokus, tidak ada satupun perjalanan

Dan pilihan yang akan digenggam!!
Read more...

Thursday, November 10, 2016

ARSYILA

0 komentar
Perjumpaan pertamaku dengannya adalah ketika sore, kala mentari senja perlahan mempersiapkan tempatnya bagi malam pekat. Diiringi langit mendung, awan hitam bertaburan di langit kemerahan, saling bergesekan, sesekali terdengar guntur berdentum berirama ketukan mars Drum Band diiringi petir yang menyambar ke penjuru bumi entah di mana.
Seolah mempersilahakn butiran-butiran air untuk segera menggauli bumi. Gerimis mengawali salam pada bumi bahwa rahmat Tuhan segera tiba. Memberikan isyarat pada penduduk bumi untuk segera kembali ke peraduannya masing-masing. Yah, benar sekali gerimis perlahan beranjak jadi hujan, sangat deras. Layaknya dua sosok kekasih yang mencurahkan rindu. Luapan hujan adalah airmata kerinduan pencinta atas kekasihnya.
Dari balik tetesan air hujan yang menggempur tanah, samar kusaksikan seorang perempuan turun dari sebuah angkot jurusan Tenau di sebereang jalan. Lalu sambil berlari ia menyeberangi pembatas jalan, melintasi genangan air setinggi mata kaki ke arah pertokoan, tempat aku berlidung dari airmata sang pencinta, hujan.
Kami bernaung di pelataran pertokoan yang sudah tutup semenjak gerimis tadi. Sekitar lima menit kemudian, aku baru melihat baju yang dia kenakan sudah kuyup, dan baru menyadari kalau dia ternyata murid sekolah Madrasah di mana tempat ku  juga mengais berbagai macam ilmu.
Selang beberapa saat tubuh basahnya berguncang hebat, ia menggigil. Wajahnya putih pucat. Bibirnya bergemetaran, pandangannya sayup. Langsung tanpa proses identifikasi lebih dahulu, sebuah jaket kulit cokelat kulepas dan kukenakan padanya untuk membantu mencegah dingin yang meresap ke dalam tiap jengkal porinya. Tak ada percakapan di antara kami, tak ada kata-kata, hanya ada gemuruh petir dan lantunan riak hujan yang lirih.
Hanya diam di antara aku dan permpuan itu. Tak ada sapaan perkenalan membuka perjumpaan kami. Selalu ada alasan mengapa aku gagal untuk sekedar menyapanya, sepertinya getaran bibir kami telah diwakili oleh gemuruh hujan yang kian tak berperasaan. Aku dan perempuan itu hanya punya satu kesempatan untuk saling pandang, sebelum akhirnya ia rebah tak sadarkan diri.
Seminggu kemudian, seorang teman membawakan jaket kulit berwarna kecoklatan padaku. Jaket yang ketika itu kukenakan pada seorang perempuan di sore hari saat hujan lebat. Seketika tercium aroma pewangi pakaian yang sama pernah ku jumpai saat hujan. Sambil menyodorkan jaket, ia mengucapkan terimahkasih lantaran aku sudah membawa perempuan itu ke Rumah Sakit. Sambil menatap teman itu, ku jadikan senyumku sebagai pengganti dari jawaban. Sebelum pergi, ia kembali bilang; “Dapat salam dari Arsyila, perempuan yang kau tolong itu.” Aku diam, terpana menghayati suara yang tinggal gema.
Nama itu masih terngiang bahkan ketika orang itu sudah bertolak.
“Perempuan itu bernama Arsyila”, gerak hatiku.
Kau boleh pelik melihatku tergetar ketika kali pertama mendengar nama Arsyila, ada desiran lain saat telingaku menangkap suara Arsyila yang melantun dari bibir orang itu. Kau boleh tak paham semenjak mula mendengar nama Arsyila. Kau boleh jadi merasa wajar di masa pubertas orang terlihat cenderung labil, sebagaimana kau saksikan pada diriku. Namun, Arsyila telah menjadi benih yang tertanam jauh di dasar lubukku. Setiap detik ia tumbuh dalam kesendiriannya, tanpa aku menyiramnya, tanpa pula merawatnya: berkembang biak sebagai cinta seutuhnya. Cinta itu, secara intens menempa diri dalam kemurnian.
Tapi saya rasa anda akan sepakat, dan semua orang, cinta terhadap sesuatu akan membawa kita sepenuhnya merelakan diri untuk dikendalikan oleh yang dicintai, sepertinya itu sudah menjadi bagian dari sistem cinta. Bisa disimpulkan bahwa, jika ada orang yang mencintai tapi hatinya masih tidak rela dikemudikan oleh yang dicintai, maka cintanya adalah artifisial, tidak murni. Perlu ditinjau ulang. Kau akan mengerti kalau cinta sesungguhnya tidak hipokrit manakala kau sudah sanggup merasa sempurna menjadi hamba sahaya.
Begitu pada mulanya, mereka semua menganggapku telah kehilangan akalnya, setelah mereka melihatku melakukan sesuatu yang menurut mereka tidak bisa dinalar. Sebenarnya aku menganggap itu adalah hal yang wajar, bahwa melalui cinta, apapun bisa dijangkau. Mereka yang tidak pernah merasakan cinta selalu bersikap pandir, mencela setiap jengkal yang dilakukan pencinta. Kau tahu, semenjak aku mengenal Arsyila, airmata menjadi watakku. Kesendirian adalah tabiatku. Kian hari kehidupanku mengalami dekadensi kegembiraan. Seluruh fokusku terpatri pada nama baru yang hadir ini. Kalau kau tak juga paham, aku hanya ingin kau diam.
Kalau Tuhan memberikan instruksi untuk merenungi makhlukNya dan melarang merenungi DzatNya, maka letak kesalahanku di mana jika semenjak mengenalnya aku tak menemu sublimitas selain Tuhan berkontemplasi ke dalam diri Arsyila? Kalau Tuhan saja mencintai keindahan, apakah keliru jika kemudian aku mencintai Arsyila? Kalau Tuhan bertajalli ke dalam semesta, bukankah Arsyila adalah percikan dari manifestasi semesta? Pertanyaan-pertanyaan itu meluncur dari bibirku yang berguncang, alangkah khilaf jika kau nekat menjawabnya, sebab tanpa merasakan cinta terlebih dahulu, kau tak bisa peka terhadap airmata.
“Tapi kau sendiri tahu, Arsyila adalah putri semata wayang orang kaya. Terlahir dari keluarga ber-ada. Ditempa dengan kehidupan yang makmur, dimanjakan dengan kesenangan. Mereka pun termasuk keluarga yang memegang teguh adat istiadat. Yah, Belis. Mampukah orang seperti dirimu menyanggupi permintaan adat? Bergegaslah untuk sadar, sahabatku!” Suara Sahrul membuyarkan tafakurku. Andaikan aku bapaknya, tidak akan ku jodohkan dia denganmu. Aku akan mencari pasangannya yang sepadan. Yang mapan, paling tidak secara nasab lebih baik dari dirimu.”
“Bukankah kau sendiri sering menceritakan, mengagung-agungi kisah Laila Majnun. Bukankah Qais kehilangan kesadaran, dijuluki si Majnun lantaran ia telah dirasuki penyakit cinta kepada sosok Laila? Bukankah pencinta lebih tuli dari batu, dentuman guntur yang membahana di angkasa atau ledakan nuklir tidak akan didengar, apalagi diperhatikan dan dituruti? Kanjeng Nabi pun pernah berkata, pencinta itu buta dan tuli. Semestinya kau sendiri yang harusnya sadar, bahwa kau membatasi cinta pada ruang materi. Kau memandang cinta masih secara entitas. Maka kukatakan padamu, aku tak akan menjelaskan padamu tentang cinta. Dan bagaimana bisa kujelaskan jika kau belum bisa membersihkan cintamu dari materi?”
Waktu berlalu, kabar bahwa aku mencintai Arsyila sampai juga di telinganya, entah dari mana datangnya. Kau tahu bahwa aku tak punya keberanian untuk mengungkapkannya. Aku takut salah memilih diksi untuk menyampaikannya. Kata-kata bisa jadi menjadi penghalang bagi ungkapan yang sesungguhnya, sebab itulah kubiarkan pancaran mata dan airnya menjadi juru bicara untuk mengabarkan bahwa cinta itu hakekatnya ada. Bukankah juga, kanjeng nabi pernah menyampaikan, bahwa mulut dengan lidah sebagai panglimanya bisa berbohong namun tidak demikian dengan isyarat dari dua bola yang terpatri di pelupuk?
Hingga suatu ketika aku bertekad menulis surat untuknya dengan kecemasan yang meleleh dari pelupuk. Walaupun aku menyadari kata yang tertuang memiliki keterbatasan, ia tak mampu menarasikan ataupun mendefinisikan cinta. Tapi, saya yakin ketajaman pena dapat menyayat hati. Mengiris-irisnya sampai jauh ke liang pelupuk.
“Arsyila, aku punya cita-cita, aku ingin anak-anakku kelak adalah mereka yang mencari surga ditelapak kakimu. Sebab, kau tahu, aku menyaksikan senyum anak-anakku mengembang subur di bibirmu. Aku berjanji atas nama tanah Kota Karang, bahwa surat ini adalah surat pertama dan terakhir yang ku tulis untukmu, Arsyila. Tuhan memberikan amanat kepadaku untuk mencintaimu, terserah Tuhan menghendakimu sebagaimana aku atau tidak, itu bukan urusanku. Di dunia ini, aku tahu matahari yang diterbitkan Tuhan setiap pagi adalah dalam rangka takzim atasmu. Tak penting kau ketahui, kalau diam-diam semenjak gerimis siang itu, aku lebih suka suntuk mengunjungi tempat di mana kau dan aku jumpa, barangkali masih ada desah nafasmu yang tertinggal di situ.
Ya, di pelataran tokoh itu. Pernah ada perjumpaan anak cucu Adam dan Hawa. Pernah ada rahasia yang menjadi perbincangan penghuni langit. Sebuah rahasia dari jenis alturisme. Rahasia tentang kau dan aku, Arsyila.
Aku menulis surat ini bukan untuk dibalas, Arsyila! Aku menulisnya untuk mengungkapkan nikmat Tuhan yang ia titipkan dalam relung hatiku. Nikmat yang telah menjauhiku dari pandangan dunia dan lebih memilih mengasingkan diri. Akupun tak mengharapkanmu menjawab karunia Tuhan ini, karena aku akan mencarinya pada sang pemberi karunia ini. Namun, jikapun kelak kau memilih untuk membalasnya, pastikan bahwa kau pun menulisnya untuk yang pertama dan terakhir!
Hingga suatu pagi bulan Desember tepatnya tanggal tujuh belas, seorang  teman yang sama pernah mengembalikan jaketku datang menghampiriku dengan membawa sebuah amplop putih. Bertuliskan nama yang sering aku tafakuri di hening malam maupun kala sendiri. Ia menyampikan, ini balasan Arsyila atas suratmu yang pernah datang kepadanya.
Seminggu sudah surat balasannya itu tak ku baca, ia masih terlipat dalam kemurniannya. Surat itu justru sering kubaringkan di atas dadaku, agar Arsyila tahu bagaimana fasihnya namanya berdetak di jantungku, agar Arsyila tahu bagaimana tartilnya namanya berdenyut di nadiku.
Hingga suatu malam yang jernih, ketika awan tersibak dari kebiruan langit, ketika pancaran bulan memercik menjangkau penghuni malam. Aku baca surat dari Arsyila dengan mata yang sudah kehilangan airmata:
“Daruni, suratmu sudah kubaca entah berapa kali. Aku sering membawanya setiap kedua kakiku melangkah di bumi, agar bisa kubaca setiap saat. Kau harus tahu, aku jauh lebih dahulu merasakan ketimbang yang selama ini kau dambakan. Ketika langkahku mengayun di balik genangan air menghampirimu. Aku bersaksi bahwa gerimis senja itu menjadi awal dari airmataku. Aku tak perlu bukti akan sesutu yang wajib ku yakini. Aku tak perlu suratmu untuk menarasikan perasaanmu. Sebab setiap angin yang hembus ke arahku sudah berulang kali menyampaikan kabarmu. Sebab di setiap sepertiga malam aku telah sering menjumpaimu. Ada dua hal yang bagiku berarti untuk kau tahu. Pertama, aku penuh MENCINTAIMU dalam ketidaksanggupanku menerima takdir kalau sebelum lahir, aku sudah dijodohkan. Kedua, aku anak perempuan satu-satunya, orang tuaku mengharapkan suami yang sepadan denganku, walaupun aku tak menginginkannya. Tapi apa dayaku. Aku tak mampu menembus dinding pekat yang dipagari orangtuaku. Hampir tidak ada kemungkinan, semoga kau selalu sanggup tabah menerima ketetapan bahwa pandangan pertama kita sejujurnya adalah untuk yang terakhir kalinya.” Dan aku yakini,  jodoh tak selamanya atas cinta. Tapi cinta akan menemukan jodohnya, jika bukan di bumi maka di dimensi lain yang lebih tinggi, dimensi tempatnya cinta. Dan di sanalah setiap cinta akan dipersatukan oleh Sang Maha Cinta.
Berkelebat hebat antara realitas dan harapan. Hujan karena airmata dan sinar bulan yang seolah mengejekku. Tuhan, bagaimana aku mempertalikan kesucian yang terbentur dinding kekuasaan? Mengapa kesucian begitu mudah takluk di balik bayang kekuasaan? Tuhan, untuk kali ini saja, ijinkan aku bertanya kepadaMu: lebih esensi mana tunduk pada orangtua yang otoriter atau menuruti maunya cinta? Aku tahu ini takdirMu, tapi tidak bisakah dinding takdir diterobosi dengan doa? Bukankah Kau sendiri yang berjanji akan mengabulkan doa setiap hambamu? Aku tidak protes atas predestinasiMu, Tuhan. Aku hanya ingin tahu, mengapa karunia ini justru menyiksa? Mestinya ketimbang kekuasaan, kesucian lebih utama, sebab kekuasaan hanyalah keadaan sementara dan itu keangkuhan.
Tuhan, jika predestinasiMu adalah akhir surat Arsyila, maka ambil kembali karuniaMu ini! Kembalikan padaku di dimensi yang Kau persiapkan. Karena ragaku tak mampu lagi menampung luapaan karunia ini lebih lama. Ijinkan aku membelainya di haribaanMu, di dimensinya cinta.
Sahrul menghampiriku sambil menyuruhku segera sadar dari dunia cinta yang menurutnya aku yang membangunnya sendiri. Ia menialiku telah kehilangan kesadaran.
Yah, anda juga mungkin menganggapku telah kehilangan akal, telah berubah dari Daruni menjadi Majnun. Tapi aku hanya ingin sampaikan, cinta adalah penghambaan. Maqamnya di atas penalaran. Cinta membutuhkan peluruhan ego, pasrah secara menyeluruh. Penalaran akal, tidak akan sampai ke maqam cinta. Jika masih menggunakan akal untuk memahami cinta, maka cintanya itu hanyalah spekulasi-spekulasi.

Dan aku pun kini menyadari, Aku dan Arsyila adalah sebentuk materi, dan cinta kekal itu justru ketika ia berperan tidak sebagai makhuk yang kasat. Aku percaya, cinta abadi memiliki dimensinya sendiri. Semoga kelak aku dan dirimu, Arsyila, bertakhta di atas Arsy pangkuan Sang Penganugerah Cinta.
Read more...
 
ZN _ LEFOKISSU © 2017