Banner 468 x 60px

 

Tuesday, November 15, 2016

Obrolan Kopi di Meja Marga

0 komentar
Gelas kaca bermotif bunga mawar merekah adalah wadah yang dianggap pantas untuk menampung seduhan kopi hitam beraroma massa depan. Kopi itu pula yang menjadi teman setia para aktivis darai berbagai ruang tuk membahas kapal nusantara yang usianya semakin renta. Termasuk membahas tindakan represif oknum kepolisian terhadap aktvis yang menyuarakan kebenaran.
Pun, sosok nahkodanya yang sudah berganti hingga tujuh kali dan belum mampu menyandarkan penumpangnya ke pulau bahagia. Pulau yang dicita-citakan ketika nusantara ini dibentuk; Negara yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum mencerdaskan kehidupan bangsa. Tak terlepas dari ocehan anak-anak muda yang berlatar belakang SARA berbeda, di balik meja coklat Marga PMKRI Cabang Kupang.
Di sini, janji untuk menyelamatkan anak negeri dari bahaya kekerasan, isu SARA, dan kehidupan para aktivis di pemerintahan kedepannya. Bertukar ide dan gagasan, berdebat menyamakan persepsi walaupun kadang ada yang tetap berbeda.
Menyambut kedatangan para pemikir negeri memikirkan nasib bangsanya yang entah ke mana. Rangkaian kata-kata tanpa majas itu menjadi cita-cita mulia untuk melanggengkan tradisi ngopi bagi para penikmatnya. Pun, di Marga ini, kopi dan rokok menjadi simbol pemersatu yang tak terbatas oleh perbedaan ruang dan waktu, termasuk mereka yang berselisih paham karena beda pilihan politik pada pesta demokrasi walikota dan wakil walikota Kupang yang akan datang. Di sini batas itu hilang seketika. Kopi itu pula yang telah berhasil menyatukan aktivis yang berbeda persepsi tentang semangat membangun bangsa dari berbagai sisi. Termasuk mereka yang terus berdebat dengan bahasa impor dari benua putih yang dahulu pernah tersaji dalam Pancasila, Demokrasi.
Tempat ini juga bukan sekadar papan tuk berbagi kisah hidup yang pelik tentang perjalanan negeri, tetapi juga tempat untuk memastikan bahwa anak-anak muda masih doyan berdiskusi. Kopi telah menjadai ruh dalam tiap hela napas anak-anak muda hingga para lansia di kota ini, Kupang. Saking saktinya, kopi telah mampu menghapus sekat antara suku dan agama, RAS dan Antar golongan, rakyat dan pejabat, hingga kawula dan ningrat.
Di Marga ini, kami menghabiskan detik demi detik untuk membahas masaalah-masaalah, dari yang jelas hingga yang tak jelas ujung pangkalnya.
Sambil ditemani dengan bergelas kopi dan berbungkus-bungkus rokok, seorang teman dengan wajah memar akibat dipukul dan dikeroyok membuka obrolan alasan mengapa kami harus berkumpul pada malam sabtu kala itu. Sambil menyeduh dari pinggiran gelas kaca, ia menceritakan kronologi aksi yang mereka lakukan hingga akhirnya terjadi tindak represif pihak kepolisian terhadap mereka. Ia juga memaparkan video aksi yang didapat dari seorang wartawan TV daerah.
Memang sungguh disayangkan. Gembok pagar yang rusak akibat saling mendorong antara aktivis dan pihak kejaksaan serta pembakaran Krans bunga karena Kepala Kejati tidak bersedia menemui massa aksi dinggap sebagai tindakan pengrusakan fasilitas negara. Padahal ini sudah merupakan konsekuensi logis dari sebuah aksi, dan masih tergolong dalam tataran wajar pada sebuah aksi, nada Kristo melantun di balik kepulan-kepulan asap yang keluar dari mulutnya.
Yah, sebuah gembok dan sebuah krans bunga dianggap sebagai fasilitas negara yang dirusakan, lantas bagaimana dengan kasus yang sedang diperjuangkan oleh aktivis PMKRI? Menuntut keadilan ditegakan atas tindak korupsi yang nilainya jauh berbanding sebuah Gembok dan krans bunga, bisikku dalam hati yang mencoba merangkai kasus ini dalam benak.
Suasana dibalik meja semakin tegang, rasa haru, sedih, amarah bercampur dalam gelas kaca berakrobat menjadi rasa kelam yang luar biasa ketika video yang diputar sampai pada saat pemukulan massa oleh oknum kepolisian. Massa yang hendak membubarkan diri, dihampiri dengan kepalan-kepalan tangan dan sepaatu-sepatu biadab. Aroma kopi pengayom, pelindung dan pelayan masyarakat berubah menjadi kebringasan, kebiadaban, pahit dan kelam untuk diseduh oleh mata dan hati.
Desakan mengsut tuntas tindakan anarkis pihak kepolisian adalah obrolan kami selanjutnya sambil sesekali menegukan gelas kaca berisi kopi hitam yang sudah mulai dingin dan habis. Sebuah kata sepakat adalah melaporkannya secara hukum dan aksi solidaritas. Sebagai bentuk penolakan tindakan tidak berkemanusiaan dan pembungkaman teriakan keadilan. Bangkit melawan penindasan atau mati tertindas.?!
Malam semakin larut, cairan hitam dalam gelas-gelas kaca tinggal serbuk kental, lalu datang lagi gelas-geas kopi yang baru, hangat  dan nikmat untuk diseduh. Kelopak mata tak jua sampai pada batas sadar, mulut-mulut berasap terus melantunkan kata demi kata. Obrolan kian tak jelas arahnya. Kadang ke arah agama, politik, kehidupan pejabat, perselingkuhan, pergerakan, ekonomi, negara, adat, perempuan, poligami, pemilu, hingga kata GOLPUT.
Nico, seorang teman dari Perhimpunan Pemuda Adonara melepas kata ilmiah yang disadurnya dari dunia perpolitikan ini, Pemilu. Golput (Golongan Putih) adalah orang-orang yang memilih untuk tidak memilih pada pesta demokrasi. Katanya bahasa itu mampu mewakili sejuta masaalah pelik yang ada di otaknya. Golput adalah sebuah istilah yang sebenarnya bertujuan untuk memarginalkan orang-orang yang menutup diri dari pesta demokrasi. Kata yang dipredikatkan kepada mereka yang apatis terhadap politik. Sebuah istilah yang sebenarnya berkonotasi jelek, sehingga orang tidak memilih menjadi golongan ini.
Tapi singkatan dari Golput ini malah memiliki kecenderungan bahwa orang-orang yang memilih jalan ini adalah orang-orang yang baik. Golongan Putih, bukankah berkonotasi baik? Bukankah bermakna orang-orang yang benar? Bela Nico dengan senyum sungging dibalik sudut gelas kaca.
Ketika memilih menjadi Golput maka kita pun harus menerima setiap kebijakan yang dibuat oleh pemimpin kita nantinya. Jangan protes/krtikik pemerintah karena kita tidak memilih. Golput adalah golongan yang pasrah. Ia akan menjadi kerbau yang dicocok hidungnya oleh pemimpin, ke mana tali ditarik ke situ kerbau berarah. Ke mana nahkoda mengemudi ke situ kapal Nusantara berlabuh, baik dan buruk diterima saja. Tanpa protes. Mereka adalah orang-orang yang mati semangatnya, mati penalarannya, mati kekritisannya, nasibnya di tangan sang pemegang tali.
Sambil meneguk gelas kopi keduanya, Munawir menawarkan; bagaimana kalau istilah Golput kita rubah menjadi Golhit atau Golongan Hitam?
Seketika gelegak tawa pecah dalam forum meja coklat. Hening malam seolah berubah menjadi semangat pagi dengan mentari harapan yang tak pernah mati.
Dengan tenang, Munawir menyambut tawa itu dengan alasan Golongan Hitam memiliki kesan jelek. Sehingga orang akan lebih berpikir beberapa kali ketika memilih untuk tidak memilih. Golhit lebih memiliki konotasi buruk ketimbang Golput.
“Golput memang hadir karena para pemimpin yang dipilih secara demokratis tidak mampu membawa kesejahteraan bagi masyarakat. Para pemimpin yang terpilih tidak memperjuangkan aspirasi masyarakat yang ditaruh di pundak mereka. Mereka lebih banyak beronani dengan kepentingan mereka sendiri. Namun, bukan berarti kita harus apatis untuk tidak memilih. Karena dari beberapa pemimpin yang dipilih, salah satunya paling sedikit dapat merepresentasikan kebaikan dan keinginan kita. Jika memilih untuk tidak memilih, kita telah melepaskan satu suara kebaikan. Paling tidak kebaikan menurut persepsi kita. Bahakan di sini kita pun harus memilih salah satu yang terbaik dari yang terburuk. Tugas kita selanjutnya adalah mengkawal pilihan kita, melakukan Chek and Balance terhadap pilihan kita tersebut.” Lanjut Nawir dengan suara khas menggelegarnya yang penuh kharismatik. Saya dapat membaca raut keseriusan tentang ususlan penggunaan istilah Golhit dari guratan-guratan yang ada di keningnya.
“Memang demokrasi dalam pemilu kita adalah demokrasi Hak bukan demokrasi Kewajiban. Kita berhak untuk memilih ataupun tidak. Bagi saya, apapun istilah yang kita pakai tidak akan dapat merubah secara signifikan orang-orang yang tidak memilih. Toh MUI pernah mengeluarkan fatwa Haram Golput, tapi angka Golput tidak pernah menurun. Malah terus meningkat. Seharusnya sistem demokrasi kitalah yang perlu dirubah, dari demokrasi Hak menjadi demokrasi Kewajiban. Memilih adalah kewajiban, bukan lagi Hak warga negara jika kita ingin menghilangkan paling tidak menekan angka tidak memilih.” Celetuk ketua PMII, Zulfirlan, yang sedari tadi terdiam memikirkan arah obrolan kami.
Namun, pertanyaannya adalah apakah negara kita sudah siap jika pemilihan langsung kita lakukan? Negara kita bukan seperti Australia, penduduk kita sulit dijangkau dan memiliki kesadaran politik rendah. Merubah sistem pun bukan solusi yang pas. Sela Nico yang tidak sepakat dengan Zulfirlan.
Berapa tetes kopi yang kau teguk setiap hari? Tanyaku pada Nico sambil menghentikan obrolan yang terus keluar dari mulutnya.
“Sebanyak helai rambutku,” jawabnya.
“Apa kau bisa menghitungnya?”
“Menghitung helaian rambut dan tegukan kopi sama saja dengan menghitung peliknya masalah negeri. Yah, begitupula dengan mereka yang memilih untuk tidak memilih. Tak ada habisnya.”
Aku terdiam sambil menatap matanya yang nampak kemerah-merahan. Mungkin karena selalu begadang tiap malam. Bisa jadi karena efek dari kopi yang terlalu banyak ia teguk setiap harinya. Atau bisa juga karena kepulan-kepulan asap rokok yang seperti kebakaran hutan. Tak tahu pasti dan tak bisa kusimpulkan begitu saja. Mungkin bisa jadi karena ia sedang marah dengan kapal tua yang seolah tak punya arah.
“Tawa kecilku, tanda setuju dengan ucapannya.”
“Dasar orang gila,” Canda Fiani. Satu-satunya perempuan yang hadir dalam forum meja coklat malam itu. Kartini muda, julukan kami buat dia. Seorang perempuan yang bertahan dalam obrolan semrawut hingga malam suntuk.
“Lebih gila lagi mereka yang tak mau berpikir bersama rokok apalagi sekedar kopi. Ya, mereka yang hanya mempelajari materi perkuliahan dan ke kampus kemudian menyalahkan zaman.”
“Ah, itu kan hak mereka karena hidup di negeri yang bebas berbicara. Aku tak peduli orang berkata apa. Aku rela dianggap gila, asal mereka tak memvonis kopinya yang gila. Kau harus tahu, orang yang anarkhis dan radikal itu karena kurang kopi. Seharusnya mereka diselamatkan,” ucapnya sambil disusul dengan gelak tawa yang membahana hingga membuat penghuni Marga menoleh semua ke arahnya.
Aku tak tahu pasti apa maksudnya, yang jelas aku ikut tertawa begitu saja. Kemudian, aku pun berpikir siapa yang dimaksud “mereka” dalam ucapannya. Tapi entahlah, akupun tak mempertanyakannya.
Malam makin suntuk, namun udaranya tidak ikut dingin. Malah bertambah panas hingga ke dalam hati. Tiba-tiba gerimis turun dari langit. Mungkin ingin mendinginkan udara dan obrolan yang sempat memanas di antara kami. Namun, seolah tak peduli dengan gerimis atau panas, segelas kopi habis, muncul segelas kopi yang lain dan begitu seterusnya. Termasuk asap rokok yang mengepul tanpa henti karena terus disambung oleh batang-batang rokok berikutnya. Kata Kristo, rokok dan kopi itu menambah inspirasi karena ia sudah menganggap keduanya sebagai pasangan setia yang tak mungkin terpisah oleh zaman dan lintas generasi. Aku mengamini saja, meski aku melihat beberapa teman yang terganggu dengan kepulan asap rokok yang padat seperti asap yang keluar dari knalpot motor zaman dulu.
“Apa kalian melihat orang yang mencaci maki sambil menikmati kopi?” tanya Kristo pada kami.
“Belum”
“Apa kalian pernah melihat orang berbuat jahat sambil minum kopi?
“Belum”
“Mungkin tidak akan kau lihat kejadian seperti itu, karena kopi itu membawa kedamaian. Meskipun warnanya tak putih.”
Yah, segelas kopi bisa menjadi jalan keluar untuk masalah yang pelik.
“Jangan hanya melamun. Lamunanmu tak akan merubah keadaan, kecuali membuat kopi yang tadinya panas menjadi dingin,” ucap Munawir mengganggu lamunanku.
“Aku tahu itu.” Jawabku.
“Mungkin sekali-kali kau perlu ajak para Polisi, Politisi, orang-orang Golput, dan mereka yang suka mengkafirkan orang lain, untuk menikmati kopi. Termasuk orang-orang yang dengan topeng agama meminta kekuasaan atau melakukan tindakan biadab. Juga untuk mereka yang dengan mudah menyematkan dirinya sebagai orang-orang yang seolah paling paham tentang agama, hingga tak tahu tentang agama dan budaya. Sampai apa-apa yang bukan berasal dari bangsa arab dianggap tak sesuai aturan agama.”
“Apa dengan kopi mereka bisa paham?” Tanyaku.
“Paling tidak mereka akan tahu bahwa ada kopi, gula dan air yang diseduh dan dituangkan dalam gelas kopi yang tak pernah meminta diri mereka disebutkan satu per satu. Cukup dengan menyebut kata kopi, semua sudah terwakili. Termasuk air, gula, dan kopi itu sendiri.”
“Hmmm. Kau benar, banyak yang ingin membangun kapal tua ini dan mereka tak minta diakui jasanya. Cukup dengan nama Nusantara, sama artinya dengan menyebut mereka semua. Tanpa harus meminta yang lain berada di ketiak mereka.”
Tak terasa obrolan kami sudah begitu lama. Azan subuh terdengar dari sebuah masjid tak jauh dari Marga. Kami pun segera menutup obrolan, meski sebenarnya masih ingin bertukar gagasan. Membahas arah kapal tua bernama Nusantara yang saat ini penumpangnya saling bacok, saling tikai dan saling berseteru tegang. Tapi aku tahu, semuanya tak akan selesai di meja ini, karena masih ada meja lain yang gelasnya perlu diseduh kopi agar lain bisa merasakan nikmatnya kopi. Satu lagi, dan agar mereka tahu tentang kesadaran gula dan air yang tak pernah disebut dalam seduhan segelas kopi.

0 komentar:

Post a Comment

 
ZN _ LEFOKISSU © 2017