Perjumpaan pertamaku
dengannya adalah ketika sore, kala mentari senja perlahan mempersiapkan
tempatnya bagi malam pekat. Diiringi langit mendung, awan hitam bertaburan di
langit kemerahan, saling bergesekan, sesekali terdengar guntur berdentum berirama
ketukan mars Drum Band diiringi petir yang menyambar ke penjuru bumi entah di
mana.
Seolah mempersilahakn
butiran-butiran air untuk segera menggauli bumi. Gerimis mengawali salam pada
bumi bahwa rahmat Tuhan segera tiba. Memberikan isyarat pada penduduk bumi
untuk segera kembali ke peraduannya masing-masing. Yah, benar sekali gerimis
perlahan beranjak jadi hujan, sangat deras. Layaknya dua sosok kekasih yang
mencurahkan rindu. Luapan hujan adalah airmata kerinduan pencinta atas
kekasihnya.
Dari balik tetesan air
hujan yang menggempur tanah, samar kusaksikan seorang perempuan turun dari
sebuah angkot jurusan Tenau di sebereang jalan. Lalu sambil berlari ia menyeberangi
pembatas jalan, melintasi genangan air setinggi mata kaki ke arah pertokoan,
tempat aku berlidung dari airmata sang pencinta, hujan.
Kami bernaung di pelataran
pertokoan yang sudah tutup semenjak gerimis tadi. Sekitar lima menit kemudian,
aku baru melihat baju yang dia kenakan sudah kuyup, dan baru menyadari kalau
dia ternyata murid sekolah Madrasah di mana tempat ku juga mengais berbagai macam ilmu.
Selang beberapa saat
tubuh basahnya berguncang hebat, ia menggigil. Wajahnya putih pucat. Bibirnya
bergemetaran, pandangannya sayup. Langsung tanpa proses identifikasi lebih
dahulu, sebuah jaket kulit cokelat kulepas dan kukenakan padanya untuk membantu
mencegah dingin yang meresap ke dalam tiap jengkal porinya. Tak ada percakapan
di antara kami, tak ada kata-kata, hanya ada gemuruh petir dan lantunan riak
hujan yang lirih.
Hanya diam di antara
aku dan permpuan itu. Tak ada sapaan perkenalan membuka perjumpaan kami. Selalu
ada alasan mengapa aku gagal untuk sekedar menyapanya, sepertinya getaran bibir
kami telah diwakili oleh gemuruh hujan yang kian tak berperasaan. Aku dan
perempuan itu hanya punya satu kesempatan untuk saling pandang, sebelum
akhirnya ia rebah tak sadarkan diri.
Seminggu kemudian,
seorang teman membawakan jaket kulit berwarna kecoklatan padaku. Jaket yang
ketika itu kukenakan pada seorang perempuan di sore hari saat hujan lebat. Seketika
tercium aroma pewangi pakaian yang sama pernah ku jumpai saat hujan. Sambil
menyodorkan jaket, ia mengucapkan terimahkasih lantaran aku sudah membawa
perempuan itu ke Rumah Sakit. Sambil menatap teman itu, ku jadikan senyumku
sebagai pengganti dari jawaban. Sebelum pergi, ia kembali bilang; “Dapat salam
dari Arsyila, perempuan yang kau tolong itu.” Aku diam, terpana menghayati
suara yang tinggal gema.
Nama itu masih
terngiang bahkan ketika orang itu sudah bertolak.
“Perempuan itu bernama
Arsyila”, gerak hatiku.
Kau boleh pelik
melihatku tergetar ketika kali pertama mendengar nama Arsyila, ada desiran lain
saat telingaku menangkap suara Arsyila yang melantun dari bibir orang itu. Kau
boleh tak paham semenjak mula mendengar nama Arsyila. Kau boleh jadi merasa
wajar di masa pubertas orang terlihat cenderung labil, sebagaimana kau saksikan
pada diriku. Namun, Arsyila telah menjadi benih yang tertanam jauh di dasar
lubukku. Setiap detik ia tumbuh dalam kesendiriannya, tanpa aku menyiramnya, tanpa
pula merawatnya: berkembang biak sebagai cinta seutuhnya. Cinta itu, secara
intens menempa diri dalam kemurnian.
Tapi saya rasa anda
akan sepakat, dan semua orang, cinta terhadap sesuatu akan membawa kita sepenuhnya
merelakan diri untuk dikendalikan oleh yang dicintai, sepertinya itu sudah
menjadi bagian dari sistem cinta. Bisa disimpulkan bahwa, jika ada orang yang
mencintai tapi hatinya masih tidak rela dikemudikan oleh yang dicintai, maka
cintanya adalah artifisial, tidak murni. Perlu ditinjau ulang. Kau akan
mengerti kalau cinta sesungguhnya tidak hipokrit manakala kau sudah sanggup
merasa sempurna menjadi hamba sahaya.
Begitu pada mulanya,
mereka semua menganggapku telah kehilangan akalnya, setelah mereka melihatku
melakukan sesuatu yang menurut mereka tidak bisa dinalar. Sebenarnya aku
menganggap itu adalah hal yang wajar, bahwa melalui cinta, apapun bisa
dijangkau. Mereka yang tidak pernah merasakan cinta selalu bersikap pandir,
mencela setiap jengkal yang dilakukan pencinta. Kau tahu, semenjak aku mengenal
Arsyila, airmata menjadi watakku. Kesendirian adalah tabiatku. Kian hari
kehidupanku mengalami dekadensi kegembiraan. Seluruh fokusku terpatri pada nama
baru yang hadir ini. Kalau kau tak juga paham, aku hanya ingin kau diam.
Kalau Tuhan memberikan
instruksi untuk merenungi makhlukNya dan melarang merenungi DzatNya, maka letak
kesalahanku di mana jika semenjak mengenalnya aku tak menemu sublimitas selain Tuhan
berkontemplasi ke dalam diri Arsyila? Kalau Tuhan saja mencintai keindahan,
apakah keliru jika kemudian aku mencintai Arsyila? Kalau Tuhan bertajalli ke
dalam semesta, bukankah Arsyila adalah percikan dari manifestasi semesta?
Pertanyaan-pertanyaan itu meluncur dari bibirku yang berguncang, alangkah
khilaf jika kau nekat menjawabnya, sebab tanpa merasakan cinta terlebih dahulu,
kau tak bisa peka terhadap airmata.
“Tapi kau sendiri
tahu, Arsyila adalah putri semata wayang orang kaya. Terlahir dari keluarga
ber-ada. Ditempa dengan kehidupan yang makmur, dimanjakan dengan kesenangan. Mereka
pun termasuk keluarga yang memegang teguh adat istiadat. Yah, Belis. Mampukah
orang seperti dirimu menyanggupi permintaan adat? Bergegaslah untuk sadar,
sahabatku!” Suara Sahrul membuyarkan tafakurku. Andaikan aku bapaknya, tidak
akan ku jodohkan dia denganmu. Aku akan mencari pasangannya yang sepadan. Yang
mapan, paling tidak secara nasab lebih baik dari dirimu.”
“Bukankah kau sendiri
sering menceritakan, mengagung-agungi kisah Laila Majnun. Bukankah Qais
kehilangan kesadaran, dijuluki si Majnun lantaran ia telah dirasuki penyakit
cinta kepada sosok Laila? Bukankah pencinta lebih tuli dari batu, dentuman guntur
yang membahana di angkasa atau ledakan nuklir tidak akan didengar, apalagi
diperhatikan dan dituruti? Kanjeng Nabi pun pernah berkata, pencinta itu buta
dan tuli. Semestinya kau sendiri yang harusnya sadar, bahwa kau membatasi cinta
pada ruang materi. Kau memandang cinta masih secara entitas. Maka kukatakan
padamu, aku tak akan menjelaskan padamu tentang cinta. Dan bagaimana bisa
kujelaskan jika kau belum bisa membersihkan cintamu dari materi?”
Waktu berlalu, kabar bahwa
aku mencintai Arsyila sampai juga di telinganya, entah dari mana datangnya. Kau
tahu bahwa aku tak punya keberanian untuk mengungkapkannya. Aku takut salah
memilih diksi untuk menyampaikannya. Kata-kata bisa jadi menjadi penghalang
bagi ungkapan yang sesungguhnya, sebab itulah kubiarkan pancaran mata dan airnya
menjadi juru bicara untuk mengabarkan bahwa cinta itu hakekatnya ada. Bukankah
juga, kanjeng nabi pernah menyampaikan, bahwa mulut dengan lidah sebagai
panglimanya bisa berbohong namun tidak demikian dengan isyarat dari dua bola
yang terpatri di pelupuk?
Hingga suatu ketika
aku bertekad menulis surat untuknya dengan kecemasan yang meleleh dari pelupuk.
Walaupun aku menyadari kata yang tertuang memiliki keterbatasan, ia tak mampu
menarasikan ataupun mendefinisikan cinta. Tapi, saya yakin ketajaman pena dapat
menyayat hati. Mengiris-irisnya sampai jauh ke liang pelupuk.
“Arsyila, aku punya
cita-cita, aku ingin anak-anakku kelak adalah mereka yang mencari surga
ditelapak kakimu. Sebab, kau tahu, aku menyaksikan senyum anak-anakku
mengembang subur di bibirmu. Aku berjanji atas nama tanah Kota Karang, bahwa
surat ini adalah surat pertama dan terakhir yang ku tulis untukmu, Arsyila. Tuhan
memberikan amanat kepadaku untuk mencintaimu, terserah Tuhan menghendakimu
sebagaimana aku atau tidak, itu bukan urusanku. Di dunia ini, aku tahu matahari
yang diterbitkan Tuhan setiap pagi adalah dalam rangka takzim atasmu. Tak
penting kau ketahui, kalau diam-diam semenjak gerimis siang itu, aku lebih suka
suntuk mengunjungi tempat di mana kau dan aku jumpa, barangkali masih ada desah
nafasmu yang tertinggal di situ.
Ya, di pelataran tokoh
itu. Pernah ada perjumpaan anak cucu Adam dan Hawa. Pernah ada rahasia yang
menjadi perbincangan penghuni langit. Sebuah rahasia dari jenis alturisme.
Rahasia tentang kau dan aku, Arsyila.
Aku menulis surat ini
bukan untuk dibalas, Arsyila! Aku menulisnya untuk mengungkapkan nikmat Tuhan
yang ia titipkan dalam relung hatiku. Nikmat yang telah menjauhiku dari
pandangan dunia dan lebih memilih mengasingkan diri. Akupun tak mengharapkanmu
menjawab karunia Tuhan ini, karena aku akan mencarinya pada sang pemberi
karunia ini. Namun, jikapun kelak kau memilih untuk membalasnya, pastikan bahwa
kau pun menulisnya untuk yang pertama dan terakhir!
Hingga suatu pagi
bulan Desember tepatnya tanggal tujuh belas, seorang teman yang sama pernah mengembalikan jaketku
datang menghampiriku dengan membawa sebuah amplop putih. Bertuliskan nama yang
sering aku tafakuri di hening malam maupun kala sendiri. Ia menyampikan, ini balasan
Arsyila atas suratmu yang pernah datang kepadanya.
Seminggu sudah surat
balasannya itu tak ku baca, ia masih terlipat dalam kemurniannya. Surat itu
justru sering kubaringkan di atas dadaku, agar Arsyila tahu bagaimana fasihnya
namanya berdetak di jantungku, agar Arsyila tahu bagaimana tartilnya namanya
berdenyut di nadiku.
Hingga suatu malam
yang jernih, ketika awan tersibak dari kebiruan langit, ketika pancaran bulan
memercik menjangkau penghuni malam. Aku baca surat dari Arsyila dengan mata
yang sudah kehilangan airmata:
“Daruni, suratmu sudah
kubaca entah berapa kali. Aku sering membawanya setiap kedua kakiku melangkah
di bumi, agar bisa kubaca setiap saat. Kau harus tahu, aku jauh lebih dahulu
merasakan ketimbang yang selama ini kau dambakan. Ketika langkahku mengayun di
balik genangan air menghampirimu. Aku bersaksi bahwa gerimis senja itu menjadi
awal dari airmataku. Aku tak perlu bukti akan sesutu yang wajib ku yakini. Aku
tak perlu suratmu untuk menarasikan perasaanmu. Sebab setiap angin yang hembus
ke arahku sudah berulang kali menyampaikan kabarmu. Sebab di setiap sepertiga
malam aku telah sering menjumpaimu. Ada dua hal yang bagiku berarti untuk kau
tahu. Pertama, aku penuh MENCINTAIMU dalam ketidaksanggupanku menerima takdir
kalau sebelum lahir, aku sudah dijodohkan. Kedua, aku anak perempuan satu-satunya,
orang tuaku mengharapkan suami yang sepadan denganku, walaupun aku tak
menginginkannya. Tapi apa dayaku. Aku tak mampu menembus dinding pekat yang
dipagari orangtuaku. Hampir tidak ada kemungkinan, semoga kau selalu sanggup
tabah menerima ketetapan bahwa pandangan pertama kita sejujurnya adalah untuk
yang terakhir kalinya.” Dan aku yakini, jodoh
tak selamanya atas cinta. Tapi cinta akan menemukan jodohnya, jika bukan di
bumi maka di dimensi lain yang lebih tinggi, dimensi tempatnya cinta. Dan di
sanalah setiap cinta akan dipersatukan oleh Sang Maha Cinta.
Berkelebat hebat
antara realitas dan harapan. Hujan karena airmata dan sinar bulan yang seolah
mengejekku. Tuhan, bagaimana aku mempertalikan kesucian yang terbentur dinding
kekuasaan? Mengapa kesucian begitu mudah takluk di balik bayang kekuasaan? Tuhan,
untuk kali ini saja, ijinkan aku bertanya kepadaMu: lebih esensi mana tunduk
pada orangtua yang otoriter atau menuruti maunya cinta? Aku tahu ini takdirMu,
tapi tidak bisakah dinding takdir diterobosi dengan doa? Bukankah Kau sendiri
yang berjanji akan mengabulkan doa setiap hambamu? Aku tidak protes atas
predestinasiMu, Tuhan. Aku hanya ingin tahu, mengapa karunia ini justru
menyiksa? Mestinya ketimbang kekuasaan, kesucian lebih utama, sebab kekuasaan
hanyalah keadaan sementara dan itu keangkuhan.
Tuhan, jika predestinasiMu
adalah akhir surat Arsyila, maka ambil kembali karuniaMu ini! Kembalikan padaku
di dimensi yang Kau persiapkan. Karena ragaku tak mampu lagi menampung luapaan
karunia ini lebih lama. Ijinkan aku membelainya di haribaanMu, di dimensinya
cinta.
Sahrul menghampiriku
sambil menyuruhku segera sadar dari dunia cinta yang menurutnya aku yang
membangunnya sendiri. Ia menialiku telah kehilangan kesadaran.
Yah, anda juga mungkin
menganggapku telah kehilangan akal, telah berubah dari Daruni menjadi Majnun. Tapi
aku hanya ingin sampaikan, cinta adalah penghambaan. Maqamnya di atas
penalaran. Cinta membutuhkan peluruhan ego, pasrah secara menyeluruh. Penalaran
akal, tidak akan sampai ke maqam cinta. Jika masih menggunakan akal untuk
memahami cinta, maka cintanya itu hanyalah spekulasi-spekulasi.
Dan aku pun kini
menyadari, Aku dan Arsyila adalah sebentuk materi, dan cinta kekal itu justru
ketika ia berperan tidak sebagai makhuk yang kasat. Aku percaya, cinta abadi
memiliki dimensinya sendiri. Semoga kelak aku dan dirimu, Arsyila, bertakhta di
atas Arsy pangkuan Sang Penganugerah Cinta.
0 komentar:
Post a Comment