Banner 468 x 60px

 

Thursday, November 10, 2016

ARSYILA

0 komentar
Perjumpaan pertamaku dengannya adalah ketika sore, kala mentari senja perlahan mempersiapkan tempatnya bagi malam pekat. Diiringi langit mendung, awan hitam bertaburan di langit kemerahan, saling bergesekan, sesekali terdengar guntur berdentum berirama ketukan mars Drum Band diiringi petir yang menyambar ke penjuru bumi entah di mana.
Seolah mempersilahakn butiran-butiran air untuk segera menggauli bumi. Gerimis mengawali salam pada bumi bahwa rahmat Tuhan segera tiba. Memberikan isyarat pada penduduk bumi untuk segera kembali ke peraduannya masing-masing. Yah, benar sekali gerimis perlahan beranjak jadi hujan, sangat deras. Layaknya dua sosok kekasih yang mencurahkan rindu. Luapan hujan adalah airmata kerinduan pencinta atas kekasihnya.
Dari balik tetesan air hujan yang menggempur tanah, samar kusaksikan seorang perempuan turun dari sebuah angkot jurusan Tenau di sebereang jalan. Lalu sambil berlari ia menyeberangi pembatas jalan, melintasi genangan air setinggi mata kaki ke arah pertokoan, tempat aku berlidung dari airmata sang pencinta, hujan.
Kami bernaung di pelataran pertokoan yang sudah tutup semenjak gerimis tadi. Sekitar lima menit kemudian, aku baru melihat baju yang dia kenakan sudah kuyup, dan baru menyadari kalau dia ternyata murid sekolah Madrasah di mana tempat ku  juga mengais berbagai macam ilmu.
Selang beberapa saat tubuh basahnya berguncang hebat, ia menggigil. Wajahnya putih pucat. Bibirnya bergemetaran, pandangannya sayup. Langsung tanpa proses identifikasi lebih dahulu, sebuah jaket kulit cokelat kulepas dan kukenakan padanya untuk membantu mencegah dingin yang meresap ke dalam tiap jengkal porinya. Tak ada percakapan di antara kami, tak ada kata-kata, hanya ada gemuruh petir dan lantunan riak hujan yang lirih.
Hanya diam di antara aku dan permpuan itu. Tak ada sapaan perkenalan membuka perjumpaan kami. Selalu ada alasan mengapa aku gagal untuk sekedar menyapanya, sepertinya getaran bibir kami telah diwakili oleh gemuruh hujan yang kian tak berperasaan. Aku dan perempuan itu hanya punya satu kesempatan untuk saling pandang, sebelum akhirnya ia rebah tak sadarkan diri.
Seminggu kemudian, seorang teman membawakan jaket kulit berwarna kecoklatan padaku. Jaket yang ketika itu kukenakan pada seorang perempuan di sore hari saat hujan lebat. Seketika tercium aroma pewangi pakaian yang sama pernah ku jumpai saat hujan. Sambil menyodorkan jaket, ia mengucapkan terimahkasih lantaran aku sudah membawa perempuan itu ke Rumah Sakit. Sambil menatap teman itu, ku jadikan senyumku sebagai pengganti dari jawaban. Sebelum pergi, ia kembali bilang; “Dapat salam dari Arsyila, perempuan yang kau tolong itu.” Aku diam, terpana menghayati suara yang tinggal gema.
Nama itu masih terngiang bahkan ketika orang itu sudah bertolak.
“Perempuan itu bernama Arsyila”, gerak hatiku.
Kau boleh pelik melihatku tergetar ketika kali pertama mendengar nama Arsyila, ada desiran lain saat telingaku menangkap suara Arsyila yang melantun dari bibir orang itu. Kau boleh tak paham semenjak mula mendengar nama Arsyila. Kau boleh jadi merasa wajar di masa pubertas orang terlihat cenderung labil, sebagaimana kau saksikan pada diriku. Namun, Arsyila telah menjadi benih yang tertanam jauh di dasar lubukku. Setiap detik ia tumbuh dalam kesendiriannya, tanpa aku menyiramnya, tanpa pula merawatnya: berkembang biak sebagai cinta seutuhnya. Cinta itu, secara intens menempa diri dalam kemurnian.
Tapi saya rasa anda akan sepakat, dan semua orang, cinta terhadap sesuatu akan membawa kita sepenuhnya merelakan diri untuk dikendalikan oleh yang dicintai, sepertinya itu sudah menjadi bagian dari sistem cinta. Bisa disimpulkan bahwa, jika ada orang yang mencintai tapi hatinya masih tidak rela dikemudikan oleh yang dicintai, maka cintanya adalah artifisial, tidak murni. Perlu ditinjau ulang. Kau akan mengerti kalau cinta sesungguhnya tidak hipokrit manakala kau sudah sanggup merasa sempurna menjadi hamba sahaya.
Begitu pada mulanya, mereka semua menganggapku telah kehilangan akalnya, setelah mereka melihatku melakukan sesuatu yang menurut mereka tidak bisa dinalar. Sebenarnya aku menganggap itu adalah hal yang wajar, bahwa melalui cinta, apapun bisa dijangkau. Mereka yang tidak pernah merasakan cinta selalu bersikap pandir, mencela setiap jengkal yang dilakukan pencinta. Kau tahu, semenjak aku mengenal Arsyila, airmata menjadi watakku. Kesendirian adalah tabiatku. Kian hari kehidupanku mengalami dekadensi kegembiraan. Seluruh fokusku terpatri pada nama baru yang hadir ini. Kalau kau tak juga paham, aku hanya ingin kau diam.
Kalau Tuhan memberikan instruksi untuk merenungi makhlukNya dan melarang merenungi DzatNya, maka letak kesalahanku di mana jika semenjak mengenalnya aku tak menemu sublimitas selain Tuhan berkontemplasi ke dalam diri Arsyila? Kalau Tuhan saja mencintai keindahan, apakah keliru jika kemudian aku mencintai Arsyila? Kalau Tuhan bertajalli ke dalam semesta, bukankah Arsyila adalah percikan dari manifestasi semesta? Pertanyaan-pertanyaan itu meluncur dari bibirku yang berguncang, alangkah khilaf jika kau nekat menjawabnya, sebab tanpa merasakan cinta terlebih dahulu, kau tak bisa peka terhadap airmata.
“Tapi kau sendiri tahu, Arsyila adalah putri semata wayang orang kaya. Terlahir dari keluarga ber-ada. Ditempa dengan kehidupan yang makmur, dimanjakan dengan kesenangan. Mereka pun termasuk keluarga yang memegang teguh adat istiadat. Yah, Belis. Mampukah orang seperti dirimu menyanggupi permintaan adat? Bergegaslah untuk sadar, sahabatku!” Suara Sahrul membuyarkan tafakurku. Andaikan aku bapaknya, tidak akan ku jodohkan dia denganmu. Aku akan mencari pasangannya yang sepadan. Yang mapan, paling tidak secara nasab lebih baik dari dirimu.”
“Bukankah kau sendiri sering menceritakan, mengagung-agungi kisah Laila Majnun. Bukankah Qais kehilangan kesadaran, dijuluki si Majnun lantaran ia telah dirasuki penyakit cinta kepada sosok Laila? Bukankah pencinta lebih tuli dari batu, dentuman guntur yang membahana di angkasa atau ledakan nuklir tidak akan didengar, apalagi diperhatikan dan dituruti? Kanjeng Nabi pun pernah berkata, pencinta itu buta dan tuli. Semestinya kau sendiri yang harusnya sadar, bahwa kau membatasi cinta pada ruang materi. Kau memandang cinta masih secara entitas. Maka kukatakan padamu, aku tak akan menjelaskan padamu tentang cinta. Dan bagaimana bisa kujelaskan jika kau belum bisa membersihkan cintamu dari materi?”
Waktu berlalu, kabar bahwa aku mencintai Arsyila sampai juga di telinganya, entah dari mana datangnya. Kau tahu bahwa aku tak punya keberanian untuk mengungkapkannya. Aku takut salah memilih diksi untuk menyampaikannya. Kata-kata bisa jadi menjadi penghalang bagi ungkapan yang sesungguhnya, sebab itulah kubiarkan pancaran mata dan airnya menjadi juru bicara untuk mengabarkan bahwa cinta itu hakekatnya ada. Bukankah juga, kanjeng nabi pernah menyampaikan, bahwa mulut dengan lidah sebagai panglimanya bisa berbohong namun tidak demikian dengan isyarat dari dua bola yang terpatri di pelupuk?
Hingga suatu ketika aku bertekad menulis surat untuknya dengan kecemasan yang meleleh dari pelupuk. Walaupun aku menyadari kata yang tertuang memiliki keterbatasan, ia tak mampu menarasikan ataupun mendefinisikan cinta. Tapi, saya yakin ketajaman pena dapat menyayat hati. Mengiris-irisnya sampai jauh ke liang pelupuk.
“Arsyila, aku punya cita-cita, aku ingin anak-anakku kelak adalah mereka yang mencari surga ditelapak kakimu. Sebab, kau tahu, aku menyaksikan senyum anak-anakku mengembang subur di bibirmu. Aku berjanji atas nama tanah Kota Karang, bahwa surat ini adalah surat pertama dan terakhir yang ku tulis untukmu, Arsyila. Tuhan memberikan amanat kepadaku untuk mencintaimu, terserah Tuhan menghendakimu sebagaimana aku atau tidak, itu bukan urusanku. Di dunia ini, aku tahu matahari yang diterbitkan Tuhan setiap pagi adalah dalam rangka takzim atasmu. Tak penting kau ketahui, kalau diam-diam semenjak gerimis siang itu, aku lebih suka suntuk mengunjungi tempat di mana kau dan aku jumpa, barangkali masih ada desah nafasmu yang tertinggal di situ.
Ya, di pelataran tokoh itu. Pernah ada perjumpaan anak cucu Adam dan Hawa. Pernah ada rahasia yang menjadi perbincangan penghuni langit. Sebuah rahasia dari jenis alturisme. Rahasia tentang kau dan aku, Arsyila.
Aku menulis surat ini bukan untuk dibalas, Arsyila! Aku menulisnya untuk mengungkapkan nikmat Tuhan yang ia titipkan dalam relung hatiku. Nikmat yang telah menjauhiku dari pandangan dunia dan lebih memilih mengasingkan diri. Akupun tak mengharapkanmu menjawab karunia Tuhan ini, karena aku akan mencarinya pada sang pemberi karunia ini. Namun, jikapun kelak kau memilih untuk membalasnya, pastikan bahwa kau pun menulisnya untuk yang pertama dan terakhir!
Hingga suatu pagi bulan Desember tepatnya tanggal tujuh belas, seorang  teman yang sama pernah mengembalikan jaketku datang menghampiriku dengan membawa sebuah amplop putih. Bertuliskan nama yang sering aku tafakuri di hening malam maupun kala sendiri. Ia menyampikan, ini balasan Arsyila atas suratmu yang pernah datang kepadanya.
Seminggu sudah surat balasannya itu tak ku baca, ia masih terlipat dalam kemurniannya. Surat itu justru sering kubaringkan di atas dadaku, agar Arsyila tahu bagaimana fasihnya namanya berdetak di jantungku, agar Arsyila tahu bagaimana tartilnya namanya berdenyut di nadiku.
Hingga suatu malam yang jernih, ketika awan tersibak dari kebiruan langit, ketika pancaran bulan memercik menjangkau penghuni malam. Aku baca surat dari Arsyila dengan mata yang sudah kehilangan airmata:
“Daruni, suratmu sudah kubaca entah berapa kali. Aku sering membawanya setiap kedua kakiku melangkah di bumi, agar bisa kubaca setiap saat. Kau harus tahu, aku jauh lebih dahulu merasakan ketimbang yang selama ini kau dambakan. Ketika langkahku mengayun di balik genangan air menghampirimu. Aku bersaksi bahwa gerimis senja itu menjadi awal dari airmataku. Aku tak perlu bukti akan sesutu yang wajib ku yakini. Aku tak perlu suratmu untuk menarasikan perasaanmu. Sebab setiap angin yang hembus ke arahku sudah berulang kali menyampaikan kabarmu. Sebab di setiap sepertiga malam aku telah sering menjumpaimu. Ada dua hal yang bagiku berarti untuk kau tahu. Pertama, aku penuh MENCINTAIMU dalam ketidaksanggupanku menerima takdir kalau sebelum lahir, aku sudah dijodohkan. Kedua, aku anak perempuan satu-satunya, orang tuaku mengharapkan suami yang sepadan denganku, walaupun aku tak menginginkannya. Tapi apa dayaku. Aku tak mampu menembus dinding pekat yang dipagari orangtuaku. Hampir tidak ada kemungkinan, semoga kau selalu sanggup tabah menerima ketetapan bahwa pandangan pertama kita sejujurnya adalah untuk yang terakhir kalinya.” Dan aku yakini,  jodoh tak selamanya atas cinta. Tapi cinta akan menemukan jodohnya, jika bukan di bumi maka di dimensi lain yang lebih tinggi, dimensi tempatnya cinta. Dan di sanalah setiap cinta akan dipersatukan oleh Sang Maha Cinta.
Berkelebat hebat antara realitas dan harapan. Hujan karena airmata dan sinar bulan yang seolah mengejekku. Tuhan, bagaimana aku mempertalikan kesucian yang terbentur dinding kekuasaan? Mengapa kesucian begitu mudah takluk di balik bayang kekuasaan? Tuhan, untuk kali ini saja, ijinkan aku bertanya kepadaMu: lebih esensi mana tunduk pada orangtua yang otoriter atau menuruti maunya cinta? Aku tahu ini takdirMu, tapi tidak bisakah dinding takdir diterobosi dengan doa? Bukankah Kau sendiri yang berjanji akan mengabulkan doa setiap hambamu? Aku tidak protes atas predestinasiMu, Tuhan. Aku hanya ingin tahu, mengapa karunia ini justru menyiksa? Mestinya ketimbang kekuasaan, kesucian lebih utama, sebab kekuasaan hanyalah keadaan sementara dan itu keangkuhan.
Tuhan, jika predestinasiMu adalah akhir surat Arsyila, maka ambil kembali karuniaMu ini! Kembalikan padaku di dimensi yang Kau persiapkan. Karena ragaku tak mampu lagi menampung luapaan karunia ini lebih lama. Ijinkan aku membelainya di haribaanMu, di dimensinya cinta.
Sahrul menghampiriku sambil menyuruhku segera sadar dari dunia cinta yang menurutnya aku yang membangunnya sendiri. Ia menialiku telah kehilangan kesadaran.
Yah, anda juga mungkin menganggapku telah kehilangan akal, telah berubah dari Daruni menjadi Majnun. Tapi aku hanya ingin sampaikan, cinta adalah penghambaan. Maqamnya di atas penalaran. Cinta membutuhkan peluruhan ego, pasrah secara menyeluruh. Penalaran akal, tidak akan sampai ke maqam cinta. Jika masih menggunakan akal untuk memahami cinta, maka cintanya itu hanyalah spekulasi-spekulasi.

Dan aku pun kini menyadari, Aku dan Arsyila adalah sebentuk materi, dan cinta kekal itu justru ketika ia berperan tidak sebagai makhuk yang kasat. Aku percaya, cinta abadi memiliki dimensinya sendiri. Semoga kelak aku dan dirimu, Arsyila, bertakhta di atas Arsy pangkuan Sang Penganugerah Cinta.

0 komentar:

Post a Comment

 
ZN _ LEFOKISSU © 2017