Banner 468 x 60px

 

Monday, September 18, 2017

Reinterpretasi Pesan-Pesan Agama demi Mengatasi Konflik

0 komentar
ilustrasi_bentrokan_konflik
Era globalisasi mengantarkan perubahan kehidupan manusia dalam berbagai dimensi yang berjalan sangat cepat. Salah satu dampak yang dirasakan adalah terjadinya krisis dalam berbagai bidang kehidupan, antara lain goyahnya sisitem nilai yang selama ini diterima dan dihayati masyarakat. Kemanusiaan menjadi tak bernilai di hadapan para pemuja dan pemburu kehidupan dunia. Orang tidak lagi segan melakukan tindakan kekerasan yang bermula dari perbedaan pendapat dalam diskusi, atau sekadar mendapatkan uang untuk menopang hidup. Lebih ironis lagi, budaya kekerasan itu di atasnamakan agama, sekte, suku dan sebagainya.
Konflik demi konflik yang bernuansa kekerasan terjadi silih berganti di mana-mana. Dan yang paling merisaukan, kekerasan demi kekerasan telah mengorbankan orang-orang tidak berdosa di sekitar kita. Bahkan hingga hari ini, semisal di Eropa, ketegangan Ukraina masih membara. Timur Tengah yang masih menjadi medan perang proxy yang melibatkan banyak pihak, baik di Suriah, Irak, maupun Yaman. Di Asia selatan maupun Asia Tenggara pun sama, semisal di Afganistan, Bangladesh, Filipina Selatan, Thailand Selatan, dan juga Myanmar yang kini kembali membara. Semua konflik di negar-negara tersebut sangat menyayat hati dan mengiris rasa kemanusiaan kita. Anak-anak, perempuan, orang-orang tua dan orang-orang tak berdosa pun menjadi korban atas konflik-konflik yang ditimbulkan.
Konflik demi konflik, kekerasan demi kekrasan yang mengatasnamakan membela agama membuat kita merasa sedih dan kecewa. Padahal, agama apapun selalu membawa pesan cinta kasih dan damai. Semua agama mengajarkan prinsip dasar untuk hidupo saling menyayangi dan mencintai sesama manusia. Masalah kekerasan menjadi semakin rumit dan kompleks ketika dipraktikan dengan legitimasi agama dan etnis, sebab kedua hal ini menjadi unsur yang sensitive untuk membangkitkan emosi, bahkan menyulut munculnya tindakan kekerasan, baik pribadi maupun komunal. Pemandangan itu yang saat ini kerap kali kita saksikan, baik melalui televisi, Koran, berita online, internet maupun secara langsung.
Dalam hal ini, agama kemudian dituntut berperan aktiv untuk menjadi rujukan dasar dalam mengatasi krisis dalam kehidupan yang di akibatkan oleh keserakahan manusia dalam mengejar kehidupan dunia. Umat beragama dari agama manapun, terutama kalangan intelektual dan elitnya, dituntut untuk mampu mengkaji dan mengaktualisasikan nilai-nilai universal yang ada pada agama masing-masing. Mata dan cakrawala berpikir harus dibuka lebih lebar akan kehidupan pluralis dan nilai-nilai kemanuisaan. Perlu kita kaji dan benahi lagi. Reinterpretasi pesan-pesan agama dan nilai-nilai kemanusiaan sangat diperlukan demi menjaga kestabilan kehidupan umat manusia.
Dalil-dalil normatif yang ada dalam teks suci setiap agama harus didobrak (di-breakdown) dalam bentuk yang lebih praktis dengan peran para ulama, pastor, pendeta, atau para pemuka agama lainnya. Teori-teori sosial yang ada harus mampu diaplikasikan. Semua aturan harus up to date dan membumi. Para pemuka agama dan intelek berperan penting agar pesan dari teks-teks suci agama dapat berfungsi sesuai kultur masyarakat dunia yang majemuk. Memberikan pencerahan kepada masyarakat sebagaimana mestinya (menjadi fungsional) serta ajaran keadilan, toleransi, dan cinta kasih yang terkandung di dalam tiap agama menjadi implementatif dan integratif dalam kehidupan umat manusia.
Agama selayaknya berfungsi menafsirkan kenyataan hidup dan mengarah pada kerukunan antar sesama; artinya agama memiliki fungsi interpretatif dan fungsi etis. Dalam perspektif ini, agama tidak hanyut dan tenggelam dalam politik dan politik pun tidak memperalat agama. Fungsi interpretatif dan etis hanya mungkin dijalankan kalau agama dan politik tidak dicampuradukkan, tidak memperalat satu sama lain dalam mencapai suatu tujuan yang merugikan. Dengan begitu interaksi antar agama dan politik akan menekankan dinamisme/perubahan yang lebih manusiawi karena lebih merdeka dan adil.
Dalam kehidupan yang plural (kehidupan global) memang sulit menghindari konflik antar pemeluk agama. Sebab kondisi tersebut (konflik) adalah bagian yang tak terpisahkan dari dinamika kehidupan umat manusia yang notabenenya tidak dihuni satu kelompok manusia saja. Konflik dalam masyarakat plural/masyarakat dunia juga sebenarnya tidak hanya terjadi karena perbedaan agama, tetapi juga terjadi antar orang atau kelompok dengan latar belakang agama yang sama, lantaran perbedaan sekte/mazhab. Sering kita temukan dalam masyarakat yang plural di mana sesama pemeluk agama saling mengolok, menghina bahkan membantai dan membunuh lantaran perbedaan diantara mereka. Perbedaan-perbedaan yang sayangnya hanya berada pada wilayah furu’; yakni perbedaan yang walaupun penting namun bukan prinsip karena bukan merupakan akidah dalam keberagamaan. Perbedaan dalam wilayah ini (furu’) adalah perbedaan-perbedaan yang semestinya bisa ditolerir sebagai bentuk kamajemukan dalam suatu kepercayaan. Oleh sebab itu, maka kerukunan yang perlu dibangun bukan hanya kerukunan antaragama, melainkan juga kerukunan antar orang atau kelompok dalam agama yang sama.
Dalam kehidupan beragama yang pluralistis seperti di negara kita ini; Indonesia, nilai tertinggi yang harus dipilih untuk diberlakukan adalah kebebasan atau kemerdekaan. Yakni suatu nilai yang menyentuh keluhuran martabat manusia. Demikian pendapat mantan aktivis HMI; Nurcholish Madjid. Persoalan yang muncul ketika terjadi konflik baik antar agama maupun antar orang atau kelompok dengan agama yang sama adalah apakah nilai kebebasan dan nilai kemerdekaan ditegakkan di sekitar konflik tersebut? Sebab kemerdekaan sejatinya menyangkut rasa keadilan yang juga melindungi keluhuran martabat manusia dalam menyelenggarakan kehidupan bersama.
Dengan memperhatikan persoalan di atas, maka konflik berwajah agama perlu dilihat dalam kaitan-kaitan politis, ekonomi atau sosial budaya. Apabila benar bahwa konflik itu murni konflik agama, maka masalah kerukunan sejati tetap hanya dapat dibangun atas dasar nilai-nilai keadilan, kebebasan dan Hak Asasi Manusia. Sebab nilai-nilai tersebut menyentuh keluhuran martabat manusia. Makin dalam rasa keagamaan, makin mendalam pula rasa keadilan dan kemanusiaan. Seperti itulah yang mesti dan harus selalu terjadi. Jika tidak, maka keberagamaan kita perlu dipertanyakan kembali.
Perlu diketahui bahwa, terjadinya konflik sosial yang berlindung di balik agama dan juga etnis sama sekali bukan merupakan justifikasi dari doktrin agama, karena semua agama mengajarkan sikap mengasihi, toleransi dan menghargai sesama. Dalam pluralisme politik, agama seharusnya berperan sebagai dinamisator demokratisasi dan pengawal moral politik, bukan kendaraan poltik. Kita harus berani menolak perselingkuhan antara agama dan politik. Agama merupakan satu wilayah otonom, demikian halnya dengan politik. Hal terpenting adalah bagaimana nilai-nilai agama ikut membentuk nilai-nilai public.
Langkah bijaksana bagi setiap umat beragama adalah belajar dari kenyataan sejarah, yaitu sejarah yang mendorong terwujudnya masyarakat plural dan integratif. Oleh karena itu, agenda yang perlu dirumuskan oleh umat beragama untuk mengatasi konflik-konflik berwajah agama adalah mengubah persaudaraan kemanusiaan dan pluralisme sebagai ideology dalam kehidupan konkrit sebagaimana semboyan bangsa kita Bhineka Tunggal Ika, berbeda-beda tetapi satu.

(Gambar: https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgLZ_yumbxK_zTGGkChuZYqgNALX_y4obVWGMREYOCvpn60Ozl5p-3KqadjtB0FJE3bj5W6hDth8n2o4YAEHdvUTVliZ5A9Qi-GC7R-U48-Vcf65DZ798908yr7cTQpurSgPK-bk9uAImCc/s1600/ilustrasi_bentrokan_konflik.png)
Read more...

Thursday, September 7, 2017

Menerawang Konflik

0 komentar
http://www.un.org/apps/news/story.asp?NewsID=52287#.WbELaDFCSZB
Para sosiolog membagi masyarakat dalam tiga kelas, yakni kelas bawah, kelas menengah dan kelas atas. Kelas bawah adalah kelompok orang-orang kecil, pendidikannya rendah, tak berpangkat, miskin dan menderita yang perjuangan mereka selalu malang melintang dengan bertanya, “Hari ini kita mau makan apa?” Perjuangan kelas menengah pun tak jauh berbeda. Cuma mereka tak lagi bertanya, “Hari ini mau makan apa?”, tetapi “Hari ini kita mau makan di mana?” Tentang “apa yang mau dimakan dan bagaimana mendapatkannya”, tidak lagi menjadi masalah, tinggal pilih mana suka, di restoran, warung, atau di pinggir jalan. Perjuangan kelas atas pun masih soal makan-memakan. Tetapi, mereka tidak lagi mempersoalkan tentang “Kita mau makan apa?” atau “Kita mau makan di mana?”, tetapi hari ini kita mau makan siapa?”
Homo Homini Lupus Est. “Manusia adalah serigala bagi yang lain”, kata pepatah kuno orang Latin. Demi mempertahankan keberadaan dirinya, manusia rela “memakan” sesamanya sendiri dengan bertindak kekerasan dan menyengsarakan, bahkan mematikan. Berlaku hukum rimba yang dipopulerkan oleh Charles Darwin, “Kekuatan adalah senjata untuk tetap eksis”. Kalau anda lemah, bersiap-siaplah anda terkubur dan mengekor pada yang kuat.
Cakar-mencakar berebut “Tempat Basah”, bantai-membantai, serta bunuh-membunuh mencaplok sumber rezeki (baca; kekayaan), hingga mencurahkan darah bahkan nyawa sekalipun, bukan cerita asing lagi bagi kita dalam sejarah peradaban manusia, terutama di era modern ini. Rampas-merampas menguras harta, caci-mencaci merendahkan martabat, manfaat-memanfaatkan beroleh untung, balas dendam dan main hakim sendiri hingga bunuh membunuh demi posisi dan harta merupakan berita harian yang tiada habis-habisnya. Hidup saling mencurigai, membenci, memfitnah, memusuhi dan cari enak perut sendiri tanpa peduli siapa yang harus menjadi korban.
Kekuasaan dan kekayaan (uang, harta, dan tahta; factor materi) adalah salah satu sumber terbesar carut marut kehidupan manusia dari jaman kuno hingga jaman modern selain prinsip keyakinan (agama). Kelas bawah yang hidupnya seolah kehilangan arah mudah dipretel oleh kelas menengah untuk melawan kelas atas atau sebaliknya dimanfaatkan oleh kelas atas untuk melindas kelas menengah atau melawan sesama kelas atas. Maupun sekadar diperalat oleh kelas tertentu untuk kepentingan kelas tersebut.
Begitulah konflik diciptakan, yang kuat memanfaatkan yang lemah. Bahkan hingga hari ini, semisal di Eropa, ketegangan Ukraina masih membara. Timur Tengah yang masih menjadi medan perang proxy yang melibatkan banyak pihak, baik di Suriah, Irak, maupun Yaman. Di Asia selatan maupun Asia Tenggara pun sama, semisal di Afganistan, Bangladesh, Filipina Selatan, Thailand Selatan, dan juga Myanmar yang kini kembali membara. Semua ini karena “Lahan Basah” yang ada di Negara-negara konflik tersebut. Lahan Basah tersebut tidak lain adalah Sumber Daya Alam yang bisa disulap menjadi ladang uang dan sumber penopang kehidupan Negara-negara besar yang dikuasai oleh kelas atas untuk mengejar kekuasaan/menjadi Super Power bagi Negara lain/kelas bawah. Inilah akar/pivot konflik yang menghujam ke dalam Negara-nagara pemilik kekayaan Sumber Daya Alam, yakni tentang perebutan kekuasaan dan kekayaan.
Berikut adalah factor pemicu/trigger terjadinya konflik. Factor ini pada dasarnya beragam, namun yang paling sering digunakan adalah factor agama/keyakinan/sektarian. Ikatan persaudaraan antar agama/sekte merupakan perekat emosi setiap penganutnya yang melintasi ruang dan waktu. Ia tak mengenal jarak/batas teritori, ia menembus sekat-sekat material.
Ibarat pohon, akar tidak akan mampu menajalar dengan leluasa tanpa adanya air, pupuk dan ruang yang cukup sebagai pemicu. Dalam kaitannya dengan konflik yang terjadi di dunia saat ini, agama seringkali digunakan sebagai pemicu/penyulut kemarahan setiap penganutnya sambil menyembunyikan akar dari konflik tersebut. Sehingga seolah-olah agamalah akar dari konflik, padahal sesungguhnya akar dari konflik ini adalah tentang kekuasaan dan kekayaan (SDA). Suriah misalnya, propaganda yang dimainkan adalah isu sectarian antara Islam Mazhab Sunni dan Islam Mazhab Syiah, dengan tuduhan rezim Assad sebagai penganut dan pendukung Syiah.
Pemicu ini sering dipantik dengan menyebarkan berita-berita bohong (hoax) dan provokatif, bahwa telah terjadi pembantaian oleh pihak pemerintah, agama atau sekte tertentu terhadap agama atau sekte lainnya. Pemberitaan hoax dan provokatif ini cukup ampuh dalam merangsang emosi dan mematikan nalar kemanusiaan seseorang. Bagaimana tidak, setiap pemberitaan seperti ini seringkali dengan cepat menjalar bagai virus ke berbagai kalangan hingga tak membutuhkan waktu lama berita hoax dan provokatif tersebut menjadi viral. Hanya dalam beberapa jam saja, berita-berita tersebut ditanggapi (suka), dikomentari dan dibagikan hingga ribuan kali tanpa adanya sikap skeptic dan cross check terhadap sumber berita dan kebenaran dari berita tersebut.
Berita-berita hoax dan provokatif sudah seperti sebuah cabang seni tersendiri yang mengaduk-aduk emosi manusia. Memberikan orgasme bathin pada pembaca dan penonton sehingga segala serbuan-serbuan emosional yang meluap dari dalam dirinya menjadi basah dan mengharukan. Kepedihan yang mengharukan. Kekalutan yang mengharukan. Keputus-asa-an yang mengharukan. Kemarahan yang mengharukan. Dan rasa benci yang mengharukan. Seperti sebuah seni yang baik, berita-berita hoax dan provokatif mencuci jiwa pembaca dan penonton.
Masih segar dalam ingatan, bagaimana foto-foto bocah di suriah ditanggapi dan dibagikan hingga ribuan kali oleh netizen yang kemudian langsung meneriaki pengutukan dan jihad terhadap rezim Assad dan Syiah. Dan yang terbaru, foto-foto tertentu disebarkan oleh segelintir orang sebagai tragedy kemanusiaan di Myanmar, padahal foto-foto tersebut bukanlah kejadian yang sebenarnya terjadi di Myanmar. Tepatnya telah terjadi pembohongan public untuk memancing emosi dan rasa kemanusiaan. Sayangnya juga, para tokoh masyarakat pun ikut andil dalam penyebaran berita-berita sampah penuh kebohongan dan provokatif tersebut.
Lantas apa yang mesti diperbuat oleh kita sebagai warga Negara dan sesama manusia dalam mengatasi konflik-konflik sebagaimana disebutkan di atas? Bukankah Tuhan telah memberikan jalan kedamaian lewat agama-agama,  kitab suci dan nabi-nabi? Teori-teori tentang kedamaian, jalan hidup yang benar, selalu lahir di setiap kurun waktu dan juga manusia-manusia panutan senantiasa silih berganti mengkawal jaman, belumkah cukup? Jawabnnya adalah bisa iya belum cukup, dengan melihat realitas kehidupan yang senantiasa mempertontonkan konflik meski ada agama, teori-teori kedamaian dan para suri tauladan yang baik. Bisa juga jawabannya sudah lebih dari cukup, namun karena watak dasar manusia yang serakah dan tidak ingin belajar. Alasan lain, karena konflik merupakan satu set dengan kedamaian, sehingga konflik merupakan sebuah sunnatullah. Sehingga kedamaian tidak dapat eksis sendiri tanpa adanya konflik begitupun sebaliknya. Yin selalu berpasangan dengan Yang, begitupun kedamaian selalu berpasangan dengan konflik.
Lalu akankah kita menyerah dan pasrah terhadap kondisi demikian? Tentu tidak. Kebaikan dan kedamaian selalu mendapat ancaman dan upaya perlawanan terus menerus dari kejahatan dan konflik. Maka sebaliknya, sudah semestinya upaya kebaikan dan kedamaian juga harus terus menerus dipantik dan disulut. Perlawanan terhadap kejahatan dan konflik jangan pernah padam dan mati.
Sebagai warga Negara yang wajib dilakukan adalah berlaku rasional. Harus diakui, kita tak punya cukup power untuk menekan junta militer atupun junta dunia seperti AS dan Eropa yang sangat keras kepala itu. Kita tak cukup modal untuk menekuk kekuatan kelas atas yang memiliki modal. Bahkan oleh pemerintah/Negara kita sekalipun. Yang bisa adalah yang punya kekuatan ekonomi sangat besar (kelas atas), yaitu China dan AS. Sehingga, yang bisa dilakukan pemerintah ya seperti sekarang ini melakukan pendekatan kemanusiaan dan persahabatan. Untuk di dalam negeri yang perlu dilakukan adalah pencerahan public, baik itu dilakukan oleh pemerintah maupun oleh warga Negara seperti kita. Tujuannya, agar public paham duduk persoalannya dan bersikap rasional juga.
Selain itu, dengan melihat akar dan pemicu konflik yang telah diuraikan diatas, kita bisa membuat proteksi dini untuk bangsa kita sendiri. Yang mesti dilakukan oleh pemerintah ialah meningkatkan penghidupan yang layak bagi warga negaranya terutama bagi kelas bawah. Sebagaimana diuraikan di awal, factor ekonomi, ketidaksejahteraan dan kesenjangan kelas merupakan salah satu akar konflik terjadinya pertentangan antar kelas, manfaat-memanfaatkan oleh kelas tertentu terhadap kelas lainnya. Meningkatkan mutu pendidikan agar masyarakat, terutama anak bangsa calon pemimpin masa depan memiliki daya pikir dan daya kritis yang rasional, menegakan dan menciptakan hukum dan undang-undang yang lebih represif terhadap intoleransi, serta menutup saluran-saluran berita yang banyak memuat provokatif.
Oleh para pemimpin/tokoh agama yang perlu dilakukan adalah mengedapankan nilai-nilai universal dalam setiap agama. Tentang kedamaian, persaudaraan dan kemanusiaan. Menurunkan ego sectarian dan menaikan nilai kebersamaan. Dan, bagi kita warga negara, bersikaplah rasional dan kritis, tidak mudah terprovokasi, serta berlaku toleransi antar sesama. Meleburkan ego individu dalam interaksi sosial.
Read more...

Friday, August 4, 2017

Secercah Harapan di Pulau Kera

0 komentar
Pertemuan Cipayung dengan warga pulau kera
Secercah Harapan di Pulau Kera


Prahara yang terjadi di Pulau Kera merupakan prahara kemanusiaan yang hampir 17 tahun lebih luput dari penglihatan dan perhatian pemerintah setempat, pemerintah Kabupaten Kupang dan Pemerintah Provinsi Nusa Tenggara Timur. Klaim kepemilikan lahan di Pulau yang dikelilingi pasir putih antara masyarakat Pulau Kera, warga sulamu dan pengusaha Charles Pitobi ibarat polemic perebutan tanah antara Israel dan Palestina yang tak pernah berkesudahan. Meski tidak sampai pada tingkat tindakan kekerasan dan pembunuhan seperti di Israel dan Plestina, satu catatan penting yang terjadi di Pulau Kera yang perlu mendapat perhatian khusus adalah penghilangan hak-hak dasar warga sebagai bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Warga Pulau Kera 90% tidak memiliki identitas kependudukan (KTP), Kartu Keluarga, Akta Kelahiran, Akta Nikah, dan hak-hak dasar lainnya.
Ketidakpunyaan masyarakat Pulau Kera akan KTP, KK dan lain sebagainya ini disinyalir kuat atas problem antara warga di sana dengan pengusaha Pitoby yang mengklaim berhak atas Pulau ini. Pitoby yang ingin menjadikan Pulau Kera sebagai tempat wisata (namun, sejauh yang diketahui ini hanya sebuah alasan belaka, Pitoby ingin menjadikan Pulau Kera sebagai tempat kasino) dan merelokasi warga Pulau Kera ke tempat lain. Tarik ulur Pitoby dan masyarakat Pulau Kera yang hendak direlokasi tidak jua memperoleh kesepakatan bersama sesuai tuntutan warga yang ingin direlokasi. Hingga detik ini, masyarakat Pulau Kera tetap memilih bertahan di Pulau yang menurut mereka sudah didiami oleh nenek moyang mereka lebih dari sertus tahun yang lalu. Klaim penduduk ini dapat dibuktikan dengan kuburan-kuburan tua di sana yang kini sudah rata dengan tanah.
Warga Pulau Kera
Sejauh pengamatan kami dari Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) dan kelompok Cipayung (PMKRI, GMKI, GMNI, PMII), masyarakat diperhambat untuk memiliki Kartu Tanda Penduduk (KTP) dan administrasi-administrasi dasar sebagai warga Negara lainnya bertujuan agar masyarakat yang mendiami Pulau ini dikategorikan sebagai masyarakat/penduduk liar. Dengan harapan, jika penduduk di sana direlokasi ataupun diusir akan lebih mudah, karena mereka tidak memiliki dasar hukum yang kuat untuk tetap bertahan.
Berangkat dari keprihatinan dan rasa kemanusiaan serta sebagai mahasiswa yang terorgansir dalam wadah Cipayung, kami bertekad membantu masyarakat untuk yang paling pertama adalah bagaimana masyarakat di sana terlebih dahulu memiliki KTP, Kartu Keluarga, Akta Nikah dan Akta Kelahiran. Tanggal 29 Juni lalu, kami (Cipayung) pun berangkat ke Pulau Kera bertemu masyarakat dan tokoh-tokoh yang ada di sana. Setelah melakukan diskusi mendengar isi hati, pengeluhan serta harapan masyarakat di sana kami bersepakat untuk turun langsung ke kelurahan Sulamu yang merupakan kelurahan yang mewadahi Pulau Kera.
Pertemuan Cipayung dengan Lurah Sulamu
Tanggal 03 Agustus kami pun akhirnya bisa bertemu dan bertatap muka dengan Lurah Sulamu, Markus Fanggidae. Beliau yang juga baru saja dilantik bulan Februari lalu itu pun memiliki komitmen untuk setiap warga yang ada di bawah wilayah kepemimpinannya harus memiliki identitas kependudukan yang jelas sebagai Warga Negara Indonesia di wilayah domisilinya serta administasi-administrasi lainnya seperti Akta Nikah, Akta Kelahiran dan Kartu Keluarga. Warga Pulau Kera merupakan prioritas utama baginya. Dan sejauh ini dia pun sudah dua kali bertemu dengan masyarakat Pulau Kera dan meminta  ketua RW di sana untuk mendata kembali penduduk yang sudah menikah dan yang belum memiliki kartu penduduk.
Pada titik ini prahara kemanusiaan yang terjadi di Pulau Kera seakan menemukan babak baru. Secercah harapan mulai bersinar menerangi penduduk di Pulau yang berpenghuni kurang lebih 400 jiwa ini. Mereka yang dulunya boleh dikatakan penduduk liar, tanpa kejelasan identitas kependudukan kini mulai mengalami titik terang. Sebuah harapan yang tentunya bukan sekadar janji. Dan sudah semestinya mereka sebagai bagian dari penduduk Negara yang bercita-cita menciptakan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia mendapatkan keadilan yang serupa dengan warga penduduk Indonesia lainnya terlepas dari klaim kepemilikian tanah di Pulau mungil yang dikelilingi pasir putih dan laut yang indah ini.
Kunjungan Cipayung ke Pulau Kera

Read more...

Sunday, July 9, 2017

Kala Cinta Hadir

0 komentar
Kala Cinta Hadir

Kala cinta masuk melalui mata
Menyerang jantung
Bergerak di sepanjang arteri dan saraf
Menyelinap ke dalam kepala
Menjadi penalaran dan ingatan
Bermetamorfosa menjadi magma
Melepaskan rohnya
Meledakkan kekuatannya
Sehingga nyerinya tak tertanggungkan
Di kala keluh kesah,
Yang muncul di dalam dirinya mulai mencuat
Terduduklah ia sebagai maznun
Yang meratap dalam tetes air mata
Ke mana perginya?
Haruskah mengejarnya dalam tatih?
Read more...

Purnama Putih

0 komentar
Syawal MLZ
Purnama Putih

Ku angkat wajahku yang basah oleh sinar rembulan,
dan melihat cahaya putih menyelimuti bumi
Sinar baru memasuki jantung,
dan jantung harus menjelaskannya pada jiwa.
Telah hadir Primavera,
di balik langit jiwa yang melingkar di luar batas rasio
Aku merasakan ketukan dan sentuhannya,
pada jemari rindu yang dipayungi duka
Jiwa cinta yang sudah terlelap dalam dekapan kehilangan kembali terbangun
Ia telah mencium bau surgawi,
yang dipancarkan sinar purnama putih berbajukan kesucian
Read more...

Sunday, July 2, 2017

Sang Musafir

0 komentar

Sang Musafir

Bagai perahu tak ber-layar,
Tiada bermesin juga dayung
Terhempas menururti ombak
Setetespun tiada dayamu
Pasrah, mewakili ungkapan beribu kata
Kau terbangun dan mendapati dirimu,
Berada di pantai yang anyir
Keheranan memenuhi mata legammu
Kau dapati beribu manusia penuh keheranan
Merekapun seperti dirimu
Tak pernah berkompromi untuk hadir di sini
Di pantai yang tak sempurna
Terlempar dari lautan yang sempurna, kata Plato
Sang filsuf Yunani kuno
Setetes kebingungan hingga berjuntai tanya mengakar dalam fikirmu
Belum lagi terpecah misteri itu,
Terdampar lagi jiwa yang baru
Masih juga belum selesai,
Telah berlalu pendahulumu,
Sebaya juga adikmu
Seperti mengurai benang yang kusut,
Dendam kesumat mendorongmu mencari
Kadang kau merasa menemukan yang kau cari
Namun, semakin kau menceburkan diri untuk mencari
Yang pernah kau temukan tiada lagi berarti
Lalu kau buang
Begitu keberlanjutannya pula
Kebingungan dan keraguan menyelimuti hatimu
Bosan pun tiada bosan-bosannya mencumbuimu
Namun kau terus terbangun,
Berlari dan mengejar
Tapi sekali lagi,
Yang kau temui tak pernah ditemui dengan kepastian
Read more...

Mawar Duri

0 komentar


Mawar Duri

Lupa cara menyapamu
Memanggil
Apalagi bersowan
Perubahan begitu kejam
Mencabik naluri
Mengoyak-koyaknya menjadi buih
Kokok ayam di rumah tetangga
Sang muazim berteriak begitu kasar memanggil Tuhannya
Padahal yang dipanggil tidaklah tuli
Juga tidaklah jauh
Fajar menyibak perlahan
Mentari diam-diam menyapa
Bumi berselimutkan embun,
Pun menguapkan bau anyir
Kau datang dengan senyum
Dan sekuntum harapan
Lalu berlalu dengan secawan air mata
Seberkas keluh dalam penyesalan
Menjadi duri dalam mawar
Pesonanya masih anggun
Aromanya pun masih harum
Namun, siapakah yang rela disengat duri?
Api cinta yang telah padam?
Read more...

Tuesday, June 20, 2017

Andai Aku Air

0 komentar

Andai Aku Air


Andai diri ini air
Tidak mengenal cinta
Kasih sayang
Rasa rindu
Atau rasa memiliki
Andai diri ini air
Tidak mengenal benci
Iri
Dengki
Sombong dan Tamak
Ataupun serakah
Juga ego
Menyaksikan eforia atas nama suku
Agama
Ras
Golongan
Atau atas nama apapun itu
Andai diri ini air
Tidak mengnal kemarin
Hari ini
Atau esok yang menunggu
Menganga dengan beribu jubah misteri
Yang pelik dan gelap
Andai diri ini air
Aku bisa mengalir kemanapun
Atau berdiam sesukaku
Di mana bejana menampungku
Andai diri ini air
Jatuh lembut di pelepah dedaunan hijau
Tetesku memberi kesejukan pada dahaga yang kering
Menghidupkan bumi yang gersang
O, tidak!!!
Bagi-Nya
Diri ini yang terbaik
Manusialah ciptaan-Nya yang complit
Maka,
Inilah daku
Maujudku untuk mengenal-Nya
Read more...
 
ZN _ LEFOKISSU © 2017