Sekali lagi di timur
matahari negri kita menyita perhatian segenap penjurunya. Aksi pembakaran rumah
ibadah umat islam ditengah semarak perayaan HUT idul fitri 1436 H di Karubaga,
Tolikara, Papua, yang disinyalir dilakukan oleh oknum-oknum yang tidak
bertanggung jawab. Konflik Tolikara mengundang segenap perhatian tertuju pada
tanah papua yang hampir terlupakan oleh para pemimpin bangsa ini. Padahal masyarakat
Papua terkenal sangat toleran terlebih dalam interaksi beragama.
Seakan tak mau kalah
dari tanah Papua Tlepok Wetan, Grabag, Purworejo pintu Gerejanya dibakar. Tidak
hanya di Tolikara, dan Purworejo, Gereja Baptis Indonesia yang terletak di dusun
Saman, Desa Bangungharjo, Sewon, Bantul juga dibakar. Aksi pembakaran di
Purworejo dan Bantul ini diduga kuat sebagai imbas dari insiden penyerangan
umat Islam di Tolikara.
Seakan tindakan balasan
itu dilakukan oleh umat Islam, Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) menyebut
tindakan intimidasi terhadap gereja tersebut adalah tindakan balas dendam ala
timur tengah. Kendati pelaku intimidasi belum diketahui, baik orangnya, agama
maupun motif dari tindakannya tersebut. Apakah tindakan intimidasi gereja
tersebut dilakukan sebagai bentuk causalitas dari tindakan sebelumnya di
Tolikara dan di lakukan oleh pihak Islam ataukah tindakan intimidasi gereja itu
dilakukan oleh pihak tertentu yang coba memanfaatkan konstalasi sosial yang
sedang berkecamuk di negri ini.
Aksi pembakaran tempat
ibadah di sejumlah tempat di negri ini seolah menjadi cambuk api bagi segenap
eleman bangsa ini terkhusus para aparatur Negara. Membuka mata dan cakrawala
kita akan kehidupan pluralis negri ini yang perlu kita kaji secara bersama kembali
dan kita benahi lagi. Untuk itu maka perlu melakukan reinterpretasi akan
pesan-pesan agama dan nilai-nilai kemanusiaan menjadi sangat diperlukan demi
menjaga kestabilan bangsa yang penuh dengan kebhineka-an dan ketunggal ika-an
ini.
Dalil-dalil normatif
yang ada dalam teks suci setiap agama harus didobrak (di-break down) dalam
bentuk teori-teori sosial yang dapat diaplikasikan. Atau lebih tepatnya harus
dikontekstualisasikan agar befungsi historis, up to date, dan membumi. Di sini
para ulama, pastor, pendeta, atau para pemuka agama sangat dibutuhkan dalam
melakukan reinterpretasi terkait hal ini. Di sini para pemuka agama memiliki
peran penting agar pesan-pesan dari teks-teks suci dapat berfungsi sesuai
kultur dan budaya masyarakat Indonesia yang majemuk ini. Para pemuka agama diharapkan
berperan langsung dalam melakukan pencerahan kepada masyarakat melalui upaya
reinterpretasi pesan-pesan agama, sehingga pesan-pesan berfungsi sebagaimana
mestinya (menjadi fungsional) serta ajaran keadilan, toleransi, dan cinta kasih
yang terkandung di dalam agama menjadi implementatif dan integratif dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara Indonesia.
Dengan demikian agama
selayaknya berfungsi menafsirkan kenyataan hidup dan mengarahkan pada kerukunan
antar sesama; artinya agama memiliki fungsi interpretatif dan fungsi etis.
Dalam perspektif ini, agama tidak hanyut dan tenggelam dalam politik dan
politik pun tidak memperalat agama. Fungsi interpretatif dan etis hanya mungkin
dijalankan kalau agama dan politik tidak dicampuradukkan, dalam artian saling
memperalat satu sama lain dalam mencapai suatu tujuan yang merugikan. Dalam
situasi yang seperti itu, interaksi antaragama dan politik akan menekankan
dinamisme dan perubahan yang dituju sehingga kehidupan bersama akan lebih
manusiawi karena lebih merdeka dan lebih adil.
Di dalam kehidupan yang
plural ini, memang sangat sulit ter-elakan terjadi konflik antar pemeluk agama
karena kondisi ini (konflik) adalah bagian yang tak terpisahkan dari dinamika
kehidupan berbangsa dan bernegara yang tidak dihuni oleh satu kelompok manusia.
Konflik dalam masyarakat plural sebenarnya
tidak hanya terjadi lantaran perbedaan agama saja, tetapi juga terjadi antar
orang atau kelompok dengan agama yang sama. Sering kita menemukan dalam
masyarakat yang plural dimana sesama
pemeluk agama saling mengolok, menghina bahkan saling membantai dan membunuh
lantaran terdapat perbedaan-perbedaan diantara mereka sekalipun perbedaan-perbedaan
itu hanya berada pada wilayah furu’ yakni perbedaan-perbedaan yang walaupun penting
adanya namun hal itu bukan menjadi prinsip dan tidak mendasar serta tidak
fundamental karena bukan merupakan akidah dalam keberagamaan.
Perbedaan-perbedaan yang semestinya perlu untuk bisa ditolerir sebagai bentuk
kamajemukan dalam suatu kepercayaan. Oleh karena itu, maka kerukunan yang perlu
dibangun bukan hanya kerukunan antaragama, melainkan juga kerukunan antarorang
atau kelompok dalam agama yang sama.
Dalam kehidupan beragama
yang pluralistis di seperti Negara kita ini, mantan aktivis HMI kakanda Nurcholish
Madjid melihat bahwa nilai tinggi yang dipilih adalah kebebasan atau
kemerdekaan, suatu nilai yang menyentuh keluhuran martabat manusia. Persoalan
yang muncul ketika terjadi konflik baik antaragama, maupun antarorang atau
kelompok dengan agama yang sama adalah adakah nilai kebebasan dan nilai
kemerdekaan ditegakan disekitar konflik tersebut. Sebab, ternyata kemerdekaan
menyangkut rasa keadilan yang juga melindungi keluhuran martabat manusia dalam
menyelenggarakan kehidupan bersama.
Dengan memperhatikan
persoalan di atas, tampaknya konflik berwajah agama perlu dilihat dalam kaitan-kaitan
politis, ekonomi atau sosial budaya. Apabila benar bahwa konflik itu murni
konflik agama, maka masalah kerukunan sejati tetap hanya dapat dibangun atas
dasar nilai-nilai keadilan, kebebasan dan hak asasi manusia yang menyentuh
keluhuran martabat manusia. Makin dalam rasa keagamaan, makin mendalam pula
rasa keadilan dan kemanusiaan, seperti itulah yang mesti terjadi. Kalau tidak
demikian maka keberagamaan kita perlu dipertanyakan kembali.
Langkah bijaksana bagi
bagi setiap umat beragama adalah belajar dari kenyataan sejarah, yaitu sejarah
yang mendorong terwujudnya masyarakat plural dan integratif. Oleh karena itu,
agenda yang perlu dirumuskan oleh umat beragama untuk mengatasi konflik-konflik
berwajah agama adalah mengubah pluralism sebagai ideology dalam kehidupan konkrit
sebagaimana semboyan bangsa ini Bhineka Tunggal Ika, berbeda-beda tetapi satu.
Pihak Pemerintah diharapkan
dapat secepatnya mengembalikan keadaan negri ini yang sudah condong pada
tindakan anarkis antar umat beragama. Pemerintah sebagai lemabaga formal dan
juga para pemuka agama dapat memainkan peranan penting menstabilkan kembali
negri ini akibat ulah oknum-oknum tertentu yang tidak bertanggung jawab agar
insiden-insiden ini tidak merambat kemana-mana. Yang pada akhirnya
menghancurkan kerukunan dan persatuan bangsa yang plural dalam bingkai kesatuan
Republik Indonesia.
0 komentar:
Post a Comment