Banner 468 x 60px

 

Monday, November 16, 2015

Merekonstruksi Kehidupan Masyarakat Indonesia Yang Plural

0 komentar
Sekali lagi di timur matahari negri kita menyita perhatian segenap penjurunya. Aksi pembakaran rumah ibadah umat islam ditengah semarak perayaan HUT idul fitri 1436 H di Karubaga, Tolikara, Papua, yang disinyalir dilakukan oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab. Konflik Tolikara mengundang segenap perhatian tertuju pada tanah papua yang hampir terlupakan oleh para pemimpin bangsa ini. Padahal masyarakat Papua terkenal sangat toleran terlebih dalam interaksi beragama.
Seakan tak mau kalah dari tanah Papua Tlepok Wetan, Grabag, Purworejo pintu Gerejanya dibakar. Tidak hanya di Tolikara, dan Purworejo, Gereja Baptis Indonesia yang terletak di dusun Saman, Desa Bangungharjo, Sewon, Bantul juga dibakar. Aksi pembakaran di Purworejo dan Bantul ini diduga kuat sebagai imbas dari insiden penyerangan umat Islam di Tolikara.
Seakan tindakan balasan itu dilakukan oleh umat Islam, Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) menyebut tindakan intimidasi terhadap gereja tersebut adalah tindakan balas dendam ala timur tengah. Kendati pelaku intimidasi belum diketahui, baik orangnya, agama maupun motif dari tindakannya tersebut. Apakah tindakan intimidasi gereja tersebut dilakukan sebagai bentuk causalitas dari tindakan sebelumnya di Tolikara dan di lakukan oleh pihak Islam ataukah tindakan intimidasi gereja itu dilakukan oleh pihak tertentu yang coba memanfaatkan konstalasi sosial yang sedang berkecamuk di negri ini.
Aksi pembakaran tempat ibadah di sejumlah tempat di negri ini seolah menjadi cambuk api bagi segenap eleman bangsa ini terkhusus para aparatur Negara. Membuka mata dan cakrawala kita akan kehidupan pluralis negri ini yang perlu kita kaji secara bersama kembali dan kita benahi lagi. Untuk itu maka perlu melakukan reinterpretasi akan pesan-pesan agama dan nilai-nilai kemanusiaan menjadi sangat diperlukan demi menjaga kestabilan bangsa yang penuh dengan kebhineka-an dan ketunggal ika-an ini.
Dalil-dalil normatif yang ada dalam teks suci setiap agama harus didobrak (di-break down) dalam bentuk teori-teori sosial yang dapat diaplikasikan. Atau lebih tepatnya harus dikontekstualisasikan agar befungsi historis, up to date, dan membumi. Di sini para ulama, pastor, pendeta, atau para pemuka agama sangat dibutuhkan dalam melakukan reinterpretasi terkait hal ini. Di sini para pemuka agama memiliki peran penting agar pesan-pesan dari teks-teks suci dapat berfungsi sesuai kultur dan budaya masyarakat Indonesia yang majemuk ini. Para pemuka agama diharapkan berperan langsung dalam melakukan pencerahan kepada masyarakat melalui upaya reinterpretasi pesan-pesan agama, sehingga pesan-pesan berfungsi sebagaimana mestinya (menjadi fungsional) serta ajaran keadilan, toleransi, dan cinta kasih yang terkandung di dalam agama menjadi implementatif dan integratif dalam  kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara Indonesia.
Dengan demikian agama selayaknya berfungsi menafsirkan kenyataan hidup dan mengarahkan pada kerukunan antar sesama; artinya agama memiliki fungsi interpretatif dan fungsi etis. Dalam perspektif ini, agama tidak hanyut dan tenggelam dalam politik dan politik pun tidak memperalat agama. Fungsi interpretatif dan etis hanya mungkin dijalankan kalau agama dan politik tidak dicampuradukkan, dalam artian saling memperalat satu sama lain dalam mencapai suatu tujuan yang merugikan. Dalam situasi yang seperti itu, interaksi antaragama dan politik akan menekankan dinamisme dan perubahan yang dituju sehingga kehidupan bersama akan lebih manusiawi karena lebih merdeka dan lebih adil.
Di dalam kehidupan yang plural ini, memang sangat sulit ter-elakan terjadi konflik antar pemeluk agama karena kondisi ini (konflik) adalah bagian yang tak terpisahkan dari dinamika kehidupan berbangsa dan bernegara yang tidak dihuni oleh satu kelompok manusia.  Konflik dalam masyarakat plural sebenarnya tidak hanya terjadi lantaran perbedaan agama saja, tetapi juga terjadi antar orang atau kelompok dengan agama yang sama. Sering kita menemukan dalam masyarakat yang plural dimana sesama  pemeluk agama saling mengolok, menghina bahkan saling membantai dan membunuh lantaran terdapat perbedaan-perbedaan diantara mereka sekalipun perbedaan-perbedaan itu hanya berada pada wilayah furu’ yakni perbedaan-perbedaan yang walaupun penting adanya namun hal itu bukan menjadi prinsip dan tidak mendasar serta tidak fundamental karena bukan merupakan akidah dalam keberagamaan. Perbedaan-perbedaan yang semestinya perlu untuk bisa ditolerir sebagai bentuk kamajemukan dalam suatu kepercayaan. Oleh karena itu, maka kerukunan yang perlu dibangun bukan hanya kerukunan antaragama, melainkan juga kerukunan antarorang atau kelompok dalam agama yang sama.
Dalam kehidupan beragama yang pluralistis di seperti Negara kita ini, mantan aktivis HMI kakanda Nurcholish Madjid melihat bahwa nilai tinggi yang dipilih adalah kebebasan atau kemerdekaan, suatu nilai yang menyentuh keluhuran martabat manusia. Persoalan yang muncul ketika terjadi konflik baik antaragama, maupun antarorang atau kelompok dengan agama yang sama adalah adakah nilai kebebasan dan nilai kemerdekaan ditegakan disekitar konflik tersebut. Sebab, ternyata kemerdekaan menyangkut rasa keadilan yang juga melindungi keluhuran martabat manusia dalam menyelenggarakan kehidupan bersama.
Dengan memperhatikan persoalan di atas, tampaknya konflik berwajah agama perlu dilihat dalam kaitan-kaitan politis, ekonomi atau sosial budaya. Apabila benar bahwa konflik itu murni konflik agama, maka masalah kerukunan sejati tetap hanya dapat dibangun atas dasar nilai-nilai keadilan, kebebasan dan hak asasi manusia yang menyentuh keluhuran martabat manusia. Makin dalam rasa keagamaan, makin mendalam pula rasa keadilan dan kemanusiaan, seperti itulah yang mesti terjadi. Kalau tidak demikian maka keberagamaan kita perlu dipertanyakan kembali.
Langkah bijaksana bagi bagi setiap umat beragama adalah belajar dari kenyataan sejarah, yaitu sejarah yang mendorong terwujudnya masyarakat plural dan integratif. Oleh karena itu, agenda yang perlu dirumuskan oleh umat beragama untuk mengatasi konflik-konflik berwajah agama adalah mengubah pluralism sebagai ideology dalam kehidupan konkrit sebagaimana semboyan bangsa ini Bhineka Tunggal Ika, berbeda-beda tetapi satu.
Pihak Pemerintah diharapkan dapat secepatnya mengembalikan keadaan negri ini yang sudah condong pada tindakan anarkis antar umat beragama. Pemerintah sebagai lemabaga formal dan juga para pemuka agama dapat memainkan peranan penting menstabilkan kembali negri ini akibat ulah oknum-oknum tertentu yang tidak bertanggung jawab agar insiden-insiden ini tidak merambat kemana-mana. Yang pada akhirnya menghancurkan kerukunan dan persatuan bangsa yang plural dalam bingkai kesatuan Republik Indonesia.

0 komentar:

Post a Comment

 
ZN _ LEFOKISSU © 2017