Awalnya terkesan
membosankan, melihat orang-orang dengan tingkat kejeniusan di atas rata-rata
berkumpul dalam satu tempat, membahas dan memecahkan bermacam ilmu saintik. Bermacam
rumus mereka lahap begitupula pola dan kode, mereka pecahkan. Mereka terlihat seperti
sekumpulan robot dengan rutinitas harian yang jenuh dan jauh dari interaksi
sosial. Begitulah Ron Howard memulai film garapannya ini, The Beautiful Mind. Yang
selanjutnya film ini meraih 4 piala oscar.
Walaupun diawali
dengan kesan yang kurang menarik, namun sosok dalam peran The Beautiful Mind ini
mampu mengalikan kekurangan itu dengan ke-kurang-annya
pula pada lanjutan cerita, sehingga menghasilkan nilai positif yang luar biasa.
Dia merupakan seorang yang Jenius, “This Man is A Genius. Begitulah kalimat
dalam surat rekomendasi Professor Duffin, dosen pembimbing dari sang jenius, John Nash. Dan si jenius ini
memilih ke Princeton, meski Harvard juga sudah menerimanya. Di saat
kawan-kawannya sudah sibuk menulis disertasi, si jenius ini masih berkutat
untuk menemukan sebuah topik yang berbeda dari yang sudah “terlalu mainstream”
dikerjakan kandidat doktor lainnya. Berhari-hari tidak pulang dari sudut
perpustakaan, mengurai deretan angka, berkelana dalam alam pikirannya sendiri,
menulis untuk dicoret lagi. Begitu seterusnya. Sampai pada akhirnya dalam usia
22 tahun dia menyelesaikan program PhD-nya dengan menulis hanya 28 halaman
disertasi (plus hanya dua kutipan). Isinya dipandang orisinil dan kemudian
mempengaruhi perkembangan dunia iptek. Tahun 1994 ia diganjar hadiah nobel.
Di balik kejeniusannya
John Nash didiagnosa mengidap penyakit Schizophrenia.
Dia mengalami delusi dan halusinasi,
seolah memiliki dunia lain. Melihat yang tak terlihat dan mendengar suara yang
tak didengar oleh orang lain. Ia menjadi pribadi yang eksentrik, sukar
dimengerti kolega dan komunitas, bahkan istrinya pun sulit mengikuti gejolak
pribadinya. Ia lebih sering mengikuti dunianya tanpa bisa mengungkapkannya
kepada orang sekitarnya. Tak heran ia dianggap sakit jiwa. Ia bolak balik
dirawat di rumah sakit. Karirnya sempat redup, sebelum kemudian seiring
berjalannya waktu, ia mampu mengontrol kembali kehidupannya.
Adalah Alica seorang
gadis cantik yang dahulunya adalah murid dari Naash yang kemudian dinikahinya
inilah yang dengan sabar merawat dan menjaganya sampai ia mampu mengontrol
kembali kehidupannya. Bahkan dalam kenyataan keduanya dalam keadaan bercerai pun
sang istri tetap setia merawat Nash, sebelum keduanya rujuk kembali di tahun
1990. Dan begini kata Alica kepada rekan Nash “yang sering ku rasakan adalah
rasa bersalah karena ingin pergi. Marah pada Nash dan Tuhan. Tapi dia (putranya)
memaksakan diriku melihat pria yang menikah denganku. Dan dia jadi orang itu,
dia berubah menjadi seorang yang aku cintai dan aku berubah menjadi seorang
yang mencintai. Tak selalu tapi cukup.
Kisah hidup tentang Nash
dengan kejeniusannya otaknya dan Alica dengan kemurnian hatinya ini
mengingatkan kita kembali pada kisah masa lampau antara Nabi Ayub AS dan
istrinya Sarah. Dua orang manusia, salah satunya dianugerahi kekayaan yang
melimpah dan satunya lagi dengan kebesaran cinta. Nabi Ayub sebagai manusia
terkaya di masanya dengan harta kekayaan berupa peternakan dan perkebunan. Namun
semuanya itu kemudian hilang, ludes dan menyebabkan beliau jatuh miskin. Disusul
oleh kematian anak-anaknya dan yang lebih parah lagi ia jatuh sakit sehingga ia
tak mampu berbuat apa-apa lagi. Segala ketenaran dan kebesaran pun meredup
seiring ujian yang ia hadapi, bahkan tertinggal satu-satunya pengaku
kemuliaannya adalah istrinya, Sarah. Sarah-lah sosok manusia penuh cinta dan
ketulusan yang merawat sang nabi hinggah ia sembuh kembali.
John Nash dan nabi
Ayub, dua lelaki dengan anugerah berbeda. Sang jenius dan sang miliyarder. Sedangkan
Alica dan Sarah, dua wanita dengan anugerah yang sama. Kebesaran cinta,
ketulusan, kesetiaan dan kesabaran. Keduanya (Alica & Sarah) adalah representasi
paripurna idiom “Di balik suksesnya seorang pria, ada wanita yang hebat”. Mereka
hadir bukan hanya pada saat sang pria dalam keadaan gemilang, atau hanya ada
saat sang pria terpuruk, namun mereka mengiringi sang pria dalam kegemilangan
dan keterpurukan.
Menjadi jenius dan milayrder
itu seperti menunggu sunset di tepi pantai. Keindahan yang pari purna, namun
cuman sekejap, sebelum tenggelam pada waktunya. Sedangkan Cinta itu seperti
udara, kemanapun anda pergi, sejauh apapun itu ia akan selalu ada dan anda akan
selalu membutuhkannya.
Terakhir saya ingin
mengutip perkataan John Nash saat memberikan sambutan penerimaan nobel. Begini
katanya; “aku selalu percaya pada angka. Dalam persamaan dan logika yang
membawa pada akal sehat. Tapi setelah seumur hidup mengejar, aku betanya, apa
sebenarnya logika itu? Siapa yang memutuskan apa yang masuk akal? Pencarianku membawaku
pada dunia fisik, metafisik, delusional dan kembali. Telah ku daptkan penemuan paling
penting dalam karir hidupku, hanya dalam persamaan misterius CINTA, alasan
logis bisa ditemukan. Aku di sini karenamu (Alica). Kau (Alica) alasan diriku
ada.