Banner 468 x 60px

 

Monday, August 29, 2016

The Beautiful Mind, John Nash Antara Ilmu Murni dan Cinta Murni

0 komentar

Awalnya terkesan membosankan, melihat orang-orang dengan tingkat kejeniusan di atas rata-rata berkumpul dalam satu tempat, membahas dan memecahkan bermacam ilmu saintik. Bermacam rumus mereka lahap begitupula pola dan kode, mereka pecahkan. Mereka terlihat seperti sekumpulan robot dengan rutinitas harian yang jenuh dan jauh dari interaksi sosial. Begitulah Ron Howard memulai film garapannya ini, The Beautiful Mind. Yang selanjutnya film ini meraih 4 piala oscar.
Walaupun diawali dengan kesan yang kurang menarik, namun sosok dalam peran The Beautiful Mind ini mampu mengalikan kekurangan itu dengan ke-kurang-annya pula pada lanjutan cerita, sehingga menghasilkan nilai positif yang luar biasa. Dia merupakan seorang yang Jenius, “This Man is A Genius. Begitulah kalimat dalam surat rekomendasi Professor Duffin, dosen pembimbing dari  sang jenius, John Nash. Dan si jenius ini memilih ke Princeton, meski Harvard juga sudah menerimanya. Di saat kawan-kawannya sudah sibuk menulis disertasi, si jenius ini masih berkutat untuk menemukan sebuah topik yang berbeda dari yang sudah “terlalu mainstream” dikerjakan kandidat doktor lainnya. Berhari-hari tidak pulang dari sudut perpustakaan, mengurai deretan angka, berkelana dalam alam pikirannya sendiri, menulis untuk dicoret lagi. Begitu seterusnya. Sampai pada akhirnya dalam usia 22 tahun dia menyelesaikan program PhD-nya dengan menulis hanya 28 halaman disertasi (plus hanya dua kutipan). Isinya dipandang orisinil dan kemudian mempengaruhi perkembangan dunia iptek. Tahun 1994 ia diganjar hadiah nobel.
Di balik kejeniusannya John Nash didiagnosa mengidap penyakit Schizophrenia.  Dia mengalami delusi dan halusinasi, seolah memiliki dunia lain. Melihat yang tak terlihat dan mendengar suara yang tak didengar oleh orang lain. Ia menjadi pribadi yang eksentrik, sukar dimengerti kolega dan komunitas, bahkan istrinya pun sulit mengikuti gejolak pribadinya. Ia lebih sering mengikuti dunianya tanpa bisa mengungkapkannya kepada orang sekitarnya. Tak heran ia dianggap sakit jiwa. Ia bolak balik dirawat di rumah sakit. Karirnya sempat redup, sebelum kemudian seiring berjalannya waktu, ia mampu mengontrol kembali kehidupannya.
Adalah Alica seorang gadis cantik yang dahulunya adalah murid dari Naash yang kemudian dinikahinya inilah yang dengan sabar merawat dan menjaganya sampai ia mampu mengontrol kembali kehidupannya. Bahkan dalam kenyataan keduanya dalam keadaan bercerai pun sang istri tetap setia merawat Nash, sebelum keduanya rujuk kembali di tahun 1990. Dan begini kata Alica kepada rekan Nash “yang sering ku rasakan adalah rasa bersalah karena ingin pergi. Marah pada Nash dan Tuhan. Tapi dia (putranya) memaksakan diriku melihat pria yang menikah denganku. Dan dia jadi orang itu, dia berubah menjadi seorang yang aku cintai dan aku berubah menjadi seorang yang mencintai. Tak selalu tapi cukup.
Kisah hidup tentang Nash dengan kejeniusannya otaknya dan Alica dengan kemurnian hatinya ini mengingatkan kita kembali pada kisah masa lampau antara Nabi Ayub AS dan istrinya Sarah. Dua orang manusia, salah satunya dianugerahi kekayaan yang melimpah dan satunya lagi dengan kebesaran cinta. Nabi Ayub sebagai manusia terkaya di masanya dengan harta kekayaan berupa peternakan dan perkebunan. Namun semuanya itu kemudian hilang, ludes dan menyebabkan beliau jatuh miskin. Disusul oleh kematian anak-anaknya dan yang lebih parah lagi ia jatuh sakit sehingga ia tak mampu berbuat apa-apa lagi. Segala ketenaran dan kebesaran pun meredup seiring ujian yang ia hadapi, bahkan tertinggal satu-satunya pengaku kemuliaannya adalah istrinya, Sarah. Sarah-lah sosok manusia penuh cinta dan ketulusan yang merawat sang nabi hinggah ia sembuh kembali.
John Nash dan nabi Ayub, dua lelaki dengan anugerah berbeda. Sang jenius dan sang miliyarder. Sedangkan Alica dan Sarah, dua wanita dengan anugerah yang sama. Kebesaran cinta, ketulusan, kesetiaan dan kesabaran. Keduanya (Alica & Sarah) adalah representasi paripurna idiom “Di balik suksesnya seorang pria, ada wanita yang hebat”. Mereka hadir bukan hanya pada saat sang pria dalam keadaan gemilang, atau hanya ada saat sang pria terpuruk, namun mereka mengiringi sang pria dalam kegemilangan dan keterpurukan.
Menjadi jenius dan milayrder itu seperti menunggu sunset di tepi pantai. Keindahan yang pari purna, namun cuman sekejap, sebelum tenggelam pada waktunya. Sedangkan Cinta itu seperti udara, kemanapun anda pergi, sejauh apapun itu ia akan selalu ada dan anda akan selalu membutuhkannya.
Terakhir saya ingin mengutip perkataan John Nash saat memberikan sambutan penerimaan nobel. Begini katanya; “aku selalu percaya pada angka. Dalam persamaan dan logika yang membawa pada akal sehat. Tapi setelah seumur hidup mengejar, aku betanya, apa sebenarnya logika itu? Siapa yang memutuskan apa yang masuk akal? Pencarianku membawaku pada dunia fisik, metafisik, delusional dan kembali. Telah ku daptkan penemuan paling penting dalam karir hidupku, hanya dalam persamaan misterius CINTA, alasan logis bisa ditemukan. Aku di sini karenamu (Alica). Kau (Alica) alasan diriku ada.

0 komentar:

Post a Comment

 
ZN _ LEFOKISSU © 2017