Ada orang yang selalu dandan mati-matian di saat menghadiri sebuah
kondangan/acara. Tak jarang pakaian yang memang jarang bahkan belum pernah
dipakai dikenakan. Wajahnya pun seketika
dirubah menjadi orang lain (di make-up, make-over, make-gincu, make-wangi dlsb;
heheheee). Ketika ditanya apa motif dibalik penyamarannya, dengan mantap dia
menjawab: “biar saya terlihat paling cantik dan menawan di acara tersebut”.
Ada siswa yang selalu duduk di bagian paling dekat dengan pintu kelas.
Ketika ditanya apa alasannya, dengan semangat ia menjawab: “bukankah saya akan
keluar lebih dahulu saat istrahat/pulang”.
Menggelikan bukan?
Anda merasa memenangkan pertarungan pada sesuatu yang tidak diperlombakan.
Memang, anda akan terlihat paling menawan bahkan menjadi penghangat mata para
undangan karena semua pandangan akan tertuju pada anda. Tetapi di sini anda
mengikuti acara pernikahan, bukan mengikuti acara Cari Jodoh, eits maksudnya
konteks Kecantikan/Mode Show. Anda juga mungkin akan keluar ruangan lebih
dahulu ketimbang teman-teman anda, namun apakah teman-teman anda itu merasa
kalah saat mereka keluar setelah anda? Toh, mereka biasa-biasa saja; tidak
merasa rugi.
Begitulah
kadang-kadang kita memaknai hidup ini. Hidup jelas sebuah pertarungan dan perjuangan.
Tapi sekali lagi kita berjuang dan bertarung pada sesuatu yang memang kita
berada di lintasan kompetisi kehidupan; bukan hidup dalam imajinasi sebuah
kompetisi. Ada juga yang merasa kalah hanya karena berasal dari etnik tertentu.
Ada yang merasa tersinggung kalau tidak diminta duduk paling depan dalam sebuah
acara. Ada yang merasa jumawa kalau bisa berfoto atau bersalaman dengan
pejabat. Ada yang bertarung mengejar pengakuan orang lain akan kehebatan
dirinya. Ada yang tidak bisa tidur kalau dia masih jomblo, sementara kawan-kawannya
sudah menikah semua; nah yang ini salah satu yang paling menakutkan.
Merasa menang pada
sesuatu yang tidak diperlombakan itu adalah sebuah tragedi. Dan sejujurnya,
mayoritas dari kita, seperti orang yang
hadir di pesta kondangan/siswa di atas, padahal orang lain bahkan merasa peduli
pun tidak
Kalau kita harus
bertarung dalam kompetisi kehidupan, pilihlah medan pertempuran yang memang
pantas dan layak kita perjuangkan. Keliru dalam memaknai sebuah pertarungan
akan menghabiskan energi dan sumber daya yang kita miliki. Capekkkk dehhh….
Dan anda bisa
bayangkan sendiri akibat yang ditimbulkan; bukan saja pada pertempuran
sesungguhnya yang membuat si kalah menjadi iri hati, hasud, dengki, menebar
fitnah dan sederet kroni-kroninya. Dan bagi yang menang pun tak kalah jeleknya;
arogansi, sombong, jumawa beserta sekutu-sekutunya pula.
Oleh karena itu, kita
mesti merekonstruksi medan peperangan/peretmpuran kita; memetakan titik-titik
vital mana yang perlu kita serang!
Seorang kawan berkata;
“saya tidak iri hati kalau orang lain kaya raya, tapi saya jelas iri hati kalau
orang lain dikaruniai kesehatan dan saya terus sakit-sakitan”. Nah, bertarung
menjaga kesehatan itu jelas dan nyata. Ia jauh lebih berharga ketimbang harta benda.
Boleh jadi ada yang
berkata; “saya senang saja melihat anak orang lain meraih juara ini-itu, dan
tidak masalah prestasi anak saya biasa saja di sekolahnya, buat saya anak saya
taat aturan dan jujur dalam setiap usahanya”. Nah, mengajarkan kejujuran pada
anak itu sebuah pertarungan yang luar biasa tetapi jika berhasil maka itu akan
menjadi bekal yang amat berharga melebihi hafalannya pada rumus, angka dan
teks.
“saya tidak panas hati
melihat tetangga saya bolak-balik umrah, tetapi saya akan merana kalau hidup
saya tidak bermanfaat bagi sesama”. Begitu ujar kawan yang lain. Nah, ke tanah
suci bukan sesuatu yang harus diperlombakan. Orang terbaik, sabda kanjeng Nabi
Muhammad SAW, adalah orang yang bermanfaat bagi orang yang lain.
Ada yang berkata;
“saya tidak merasa berkecil hati karena di testa saya tidak bercap karpet,
tetapi saya akan sangat malu jika hidup saya tidak mencerminkan akhlak
manusiawi seperti Muhammad. Karena shalat itu bukan lomba untuk menghitamkan
jidat, akan tetapi berakhlak sesuai akhlak rasulullah”.
Kata sang rival sejati;
“saya tidak merasa dikalahkan karena tidak terpilih, tetapi saya akan merasa
kalah kalau saya kehilangan kontribusi dalam membangun; bangsa, organisasi
dlsb; apalagi sampai menjelek-jelekan rival saya yang menang. Ronaldo saja
tidak mengejek Messi saat Argentina kalah kedua kalinya di final melawan Chile.
Ada lagi yang berkata;
“saya tidak merasa sedih melihat kawan-kawan saya sudah berderet gelar
sarjananya, tapi saya akan merasa sedih kalau saya kehilangan semangat untuk
belajar dalam mengarungi kehidupan ini”. Nah, ini pertarungan yang pantas untuk
kita menangkan; terus belajar meski tidak di bangku kuliah atau dalam tumpukan
buku.
Inilah peta
pertarungan kita. Lantas ada yang menyeletuk, “saya juga tidak ngiler melihat
kawan-kawan saya punya mobil bagus, rumah mentereng, tabungan yang banyak,
karena saya hanya ngiler saat tidur saya miring”.
0 komentar:
Post a Comment