Banner 468 x 60px

 

Friday, April 28, 2017

Perempuan dan Kecantikan

0 komentar
Perempuan sebagai salah satu dari dua makhluk ciptaan Tuhan senantiasa melekat pada dirinya nilai feminimitas. Pada fisiknya terpatri keindahan yang sering kita sebut dengan Cantik. Pada dasarnya setiap perempuan itu cantik. Namun relatifitas cantik yang melekat pada tubuh individu setiap perempuan berbeda-beda. Begitupun pandangan setiap orang; laki-laki dan perempuan; dalam melihat kecantikan itu pun berbeda-beda. Namun, pada umumnya konstruksi sosial tentang kecantikan adalah perempuan yang memiliki perawakan yang tidak tinggi juga tidak pendek, berambut lurus (tidak keriting), berkulit putih dan bersih, wajah yang putih dan bibir sexy  kemerah-merahan, tidak kurus juga tidak gemuk, berhidung mancung, hingga yang paling ekstrim memiliki buah dada dan bokong yang padat dan kencang. Inilah konstruksi sosial tentang kecantikan dalam masyarakat modern hari ini. Sebut saja physical beauty atau outer beauty.
Tanpa kita sadari terutama kaum perempuan; bahwa konstruksi sosial tentang kecantikan yang disebarkan baik melalui media massa, kontes-kontes kecantikan (Putri Indonesia, Miss Universe dll), hingga lembaga-lembaga kecantikan seperti ini adalah upaya kapitalisme untuk meraup keuntungan ekonomi. Dan ia telah berhasil menarik perempuan ke dalam lingkaran eksploitasi fisik ini.
Kecantikan adalah jalan menuju sukses dan taraf hidup yang lebih baik adalah slogan yang tersirat dari berbagai macam cara eksploitasi yang ada. Jarang anda temukan bintang iklan, bintang film, maupun bintang sinetron yang berperawakan jelek/buruk. Bahkan pemeran tambahan pun sulit ditemukan yang tidak cantik.
Industri kapitalis dan materialisme memanfaatkan betul tiap lekuk kecantikan pada perempuan dalam setiap iklan industri kecantikan. Setiap iklan, baik itu produk kecantikan atau produk-produk lainnya selalu menyodorkan perempuan dengan kelebihan sisi tubuh yang ia miliki. Iklan sabun mandi dengan perempuan yang berkulit putih bersih dan menawan. Shampo dengan perempuan berwajah rupawan, berambut hitam panjang dan lebat. Begitupun dengan iklan-iklan lainnya.
Apa yang terjadi kemudian? Kita sering berandai-andai memiliki kecantikan seperti mereka yang menjadi bintang-bintang iklan tersebut. Setiap shampo yang kita usapkan ke rambut kita, kita membayangkan memiliki rambut yang sama dengan si bintang iklan. Demikian sabun, lotion, bedak, make up, dan produk-produk kecantikan lainnya yang kita gunakan, seringkali terlintas dalam pikiran kita, hasil dari produk-produk yang kita gunakan adalah kita memiliki kecantikan yang sama seperti mereka yang ada dalam iklan.
Bahkan tak jarang ada yang kemudian melakukan operasi kecantikan untuk memperoleh keindahan fisik sebagaimana yang  dikonstruksi sosial dan iklan-iklan yang berseliweran di stasiun-stasiun televisi dan internet. Memiliki tubuh langsing, kulit putih dan halus, wajah yang cantik, hidung mancung dan bibir yang menawan.
Sesungguhnya kita (perempuan) telah lupa dan buta bahwa sesungguhnya cantik itu relatif. Anda bisa saja jelek di mata orang lain tetapi tidak di mata orang-orang yang mencintai, menyayangi dan mengagumimu. Kita tidak sadar bahwa kapitalisme telah mereduksi nilai kecantikan itu ke dalam cawan yang banal; keindahan fisik semata. Hingga kita lupa esensi kecantikan yang sebenarnya itu seperti apa. Kapitalisme telah membatasi dan merekonstruksi kecantikan itu ke dalam bingkai raga; sesuatu yang pasti akan mengalami monopause. Luntur dan akan usang.
Kapitalisme telah menciptakan sebuah era yang memandang keindahan itu dari segi fisik semata/outer beauty. Sehingga kita lupa kecantikan yang sebenarnya; Inner beauty.
Apa itu inner beauty? Ia adalah kecakapan dan kecerdasan. Kebaikan dan kasih sayang. Apakah hanya demikian saja kecantikan itu? Tidak. Lebih jauh, agama telah memberikan pandangan tentang kecantikan itu sendiri. Bahwa, kecantikan perempuan itu tidak terletak pada pakaian yang ia kenakan, bukan pada kehalusan wajah dan bentuk tubuhnya yang sexy. Tetapi pada matanya; cara ia memandang dunia. Karena di matanyalah terletak gerbang menuju ke setiap hati manusia di mana cinta dapat berkembang.
Mengutip apa yang dikatakan ustad Muhsin Labib;
v  Bibir menawan adalah bibir yang mengeluarkan kata-kata kebaikan kepada setiap orang.
v  Mata yang indah adalah mata yang tak henti mencari kebaikan dan kelebihan orang lain.
v  Badan yang langsing adalah badan yang membungkus jiwa yang senantiasa berbagi makanan dengan orang yang lapar dan susah.
v  Rambut yang memikat adalah rambut yang menghiasi kepala manusia yang selalu tunduk saat menyapa orang lain.
Read more...

Musafir Cinta

0 komentar
Jauh pandang kaulepas hingga ke semak belukar
Berjejer pepohonan tua berselimutkan lumut
Meski tertutup mendung sore yang pekat
Hingga membatasi jarak dan pandangmu
Namun, tidak demkikian hasrat itu, kabur dan sirna

Tetesan embun jatuh di telapak tanganmu
Tetesan air laksana mutiara itu telah menyapamu
Yah, kamu, aku dan kita
Embun itu…..
Telah merasuki kulit lembutmu
Merambat naik mengobati dahagamu

Tidakkah jiwa itu telah lama kering dan tandus?
Bukankan sukma itu telah lama kerontang dan terbakar?
Hingga kau lupa membasuhnya dengan embun cinta dan kasih sayang?
Ah, sudah terlalu lama dinda
Kita membakar jiwa ini dengan bara ego, sombong dan dengki
Mendung duka telah lama menggerogoti urat-urat nadi

Bibir itu, telah lama luput memuja-Nya
Kita mengunyah caci maki dan umpatan
Mata itu, telah lama tidak menemukan keindahan-Nya
Kita menatap pertikaan, pembantaian dan kemanusiaan yang hilang
Telinga itu, telah lama tersumbat dari panggilan-Nya
Mendengar nyanyian lagu dengki dan kebisingan kosong
Tangan itu, sudah sering meraup kerusakan
Menyentuh apa yang tidak mesti disentuh, membongkar dan menghancurkan
Kaki itu, telah lama melangkah dalam kesendirian
Menginjak-injak kemanusiaan dan menari dengan gaya Hitler
Hati itu, telah lama beku dan mengkristal
Dengan siraman air kesombongan sang Iblis

Sejenak resapi kelembutan embun yang mengenaimu
Dengarkan kicau burung dan desir dahan kering yang ditiup angin
Pejamkan matamu
Biarkan tubuhmu diselimuti mendung
Hingga api rindu pada Muhammad membakar hati yang telah lama beku dan mengkristal itu
Tataplah senyum cinta kasih  Sang Nabi, Kekasih Tuhan itu
Hingga engkau dapat merasakan gemuruh Shalawat dan Tasbih sang semesta
Di cagar yang penuh kedamaian dan ketenangan ini, Mutis
Read more...

Rindu

0 komentar
Dinda, tahukah kau apa itu rindu?
Rindu adalah kesadaran hakiki yang melanda setiap jiwa para pecinta. Ia adalah transparansi dua jiwa yang berjarak. Virus yang menjangkit dalam perjumpaan dan menjadi penyakit dalam perpisahan. Ia adalah bahasa keabadian yang selalu hadir, sebab keterpisahan itu laksana air tanpa Hidrogen. Atau gemericik air pada sungai yang mengalir. Yang senantiasa mengalunkan nada-nada mistik yang menggugah setiap bersambut dengan bebatuan yang menyapanya.
Nada syahdu yang memanggil seekor semut menghampiri segelas madu. Hingga nada tidak lagi bermakna bercerita tentang kisah penantian dan waktu yang  tak lagi mampu menahan gejolak. Ia menenggelamkan dirinya ke dalam gelas berisi madu. Adakah yang bisa mencegahnya? Tidak dinda, sebab itulah rindu. Ia adalah mistis yang menarik kita dari kerumunan nomad pemuja tubuh, petarung kapital, pendaki karir, penjilat kekuasaan dan keseharian yang banal ke dalam cawan yang menenggelamkan bersama air mata.
Tahukah kau dinda? Bahwa kerinduan sang perindu kepada yang dirindukan tak akan pernah bisa tergantikan atau ditukar dengan apapun yang mahal harganya? Langit dan bumi bahkan surga sekalipun tak akan mampu menggantikan kehadiran Sosok Yang dirindukan. Sebab kesemuanya itu bukanlah obat yang paling mujarab bagi sakit rindu; atau ganjaran yang paling sempurna, bagi seorang perindu. Pertemuan dan wajah sang kekasih yang dirindukan adalah obat mujarab dan ganjaran yang paling sempurna, bagi seorang perindu.
“Jika aku mencintai-Mu karena surga-Mu maka masukanlah aku ke dalam api neraka-Mu. Tetapi, jika aku mencintai-Mu karena diri-Mu maka  pertemukanlah aku dengan Dirimu.” Pernahkah kau mendengarkan gubahan syair di atas dinda? Yah, itu adalah gubahan kalimat rindu yang sering disenandungkan oleh sang sufi ternama “Rabiatul Adawiyah”. Gubahan yang paling melegenda tentang hakikat rindu yang paling tinggi dan yang paling layak. Yakni, kerinduan paling memesona pada Pemilik segala Rindu dan Cinta berlabuh.





Read more...

Thursday, April 27, 2017

Divergen, Ajaran dalam Dunia Matematika

0 komentar



Dalam sebuah kesempatan pelajaran matematika, terjadi dialog yang cukup menarik antara seorang guru dan siswanya. Dialog tersebut dimulai ketika Sang Guru memulai pelajaran dengan menjelaskan bahwa matematika adalah ilmu pasti untuk semua perhitungan misalnya 1 + 1 = 2, ini sudah pasti. Atau 3 + 4 = 7 tidak bisa selain 7, misalnya 9. Dialog pun terjadi antara keduanya:
Siswa               : Bu, apakah 1 + 1  hanya sama dengan 2, apa tidak ada jawaban lainnya, Bu.?
Guru                : Iya Nak, emang pernah ada 1 + 1 = 3.?
Siswa               : Gak pernah, Bu. Tapi bisa selain 2, Bu.
Guru                : Yah, emang gimana?
Siswa               : 1 + 1 = 5 – 3, 6 – 4, 7 – 5, 8 – 6, dst.
Guru                            : (Hanya tertunduk dan terdiam sambil mencari jawaban untuk berkilah. Sesaat kemudian Sang Guru menjawab). Yah, 1+1 boleh sama dengan 5-3 tetapi bukannya 5-3 pun sama dengan 2?
Siswa                           : (Terdiam, sambil mencoba mencarikan permasalahan lain. Namun tak kunjung menemukan masalah yang bisa membantu memperkuat argumennya bahwa 1 + 1 tak selamanya sama dengan 2).
Sang Guru pun melanjutkan penjelasannya, kali ini sang guru memberikan contoh praktis penggunaan operasi bilangan bulat dalam kehidupan sehari-hari. Ia menjelaskan, misalkan si A dan si B masing-masing memiliki satu buah apel. Jika keduanya disatukan (dijumlahkan) maka akan menghasilkan dua buah apel.
Sontak terpikirkan oleh Si Siswa dengan jam dinding yang terpajang di depan kelas. Ia pun bertanya.
Siswa               : Bu, lantas bagaimana dengan kasus jam dinding?
Guru                : Gimana dengan jam dinding.?
Siswa               : Di jam dinding 10 + 4 tidak sama dengan 14. Tetapi 10 + 4 = 2.
Guru                            : Hanya terdiam, mencoba menemukan jawaban muridnya yang entah sedang mengujinya, atau memang benar-benar rasa keingin tahuannya terhadap matematika yang begitu besar.
Suasana kelas pun hening, tak ada yang bersuara. Semua mata tertuju pada Sang Guru yang terlihat agak panik dan bingung. Sesekali mereka melirik siswa yang bertanya. Ada yang tatapannya kagum, ada pula yang sinis.
Dalam keheningan itu, sempat terpikirkan oleh Sang Guru akan pernyataan awalnya bahwa matematika itu ilmu pasti. Benar atau salah?
Tak berselang lama bel sekolah pun berdering, tanda berakhirnya pelajaran. Sang Guru meninggalkan kelas dengan membawa sebuah misteri yang perlu ia pecahkan. Bukan sekadar menemukan jawaban bagi siswanya. Ia membutuhkan lebih dari itu, para siswanya harus memahami, tidak sekadar tahu.
Setelah lama merenung, Sang Guru akhirnya menemukan titik terang. Pertanyaan pertama Sang Siswa tentang 1 + 1, jawabannya bukan hanya 2, melainkan tak terhingga. Satu pelajaran yang didapatkan Sang Pengajar tersebut bahwa matematika tidak hanya mengajarkan pada pola pikir yang konvergen (mengarah pada satu tujuan), akan tetapi berpikir secara divergen (banyak jalan).
Matematika bermula dari realitas, maka perlu kita kembali melihat setiap fenomena dan kejadian di sekeliling kita. Penting sekali mengajarkan siswa sesuatu yang bukan ada sebagaimana adanya, melainkan sesuatu yang ada sebagaimana mestinya. Contoh kecilnya yaitu, mereka harus memahami konsep operasi bilangan, bukan rumusan baku yang selama ini sudah dikenal. Latih mereka menjadi divergen, dan mereka pun akan menjadi sesuatu yang “lebih”. Lebih cerdas. Lebih bijak.**

Read more...

Tuesday, April 25, 2017

Hasrat Cinta yang Tertunda di Lereng Mutis

0 komentar
Gunung Mutis
Terlena aku menatap potret wajahmu yang anggun.
Sorotan pesonamu yang asri telah mengusik halusinasiku di malam itu.
Telah kubayangkan nurul ilahiyun sang mentari terbit dari wajahmu.
Ah, sungguh daya pesonamo telah menyihir relung sukma ini.
Mungkinkah langkah kaki ku kan dapat melunasi hasrat suci ini.
Ilahi, hasrat cinta yang tertunda di lereng mutis.
Akankah hanya seperti ini?
Read more...

Saturday, April 22, 2017

Serpihan Cinta di Cagar Mutis

0 komentar

Ima & Amrin
Di bawah bintang gemintang dan cahaya rembulan yang terpendar di altar rerumputan hijau yang berseri, desir sungai yang mengalir dengan lihainya menyusuri lekukan tanah bebatuan yang berliku, angin gunung yang berhembus dengan gemulai di balik pepohonan rimbun dan dingin yang merambat naik ke sekujur tubuh. Semuanya ini telah menjelma menjadi kata yang harus kubisikan pada-Mu
Cinta. Adalah rahasia dibalik kesaksianku pada hamparan tanah yang darinya struktur tubuh ini dirancang. Ia adalah misteri di balik bentangan yang membuatku kagum dan terpana. Telah kusaksikan, betapa luas dan indahnya maha karya-Mu ini. Kendati aku tak mampu mendeskripsikannya kata demi kata, kalimat demi kalimat hingga menjadi paragraf yang utuh dan membuahkan tulisan yang menawan layaknya setetes embun yang jatuh dari pelepah dedaunan hijau. Atau ranting kering kecil yang patah oleh seekor burung yang hinggap di atasnya sambil mencari makan, atas kehendak-Mu. Bahkan kesaksianku ini pun bisa hanya biasa-biasa saja dan sangat sederhana di sisi-Mu. Karena jenis dan indra yang kugunakan tak mampu menembus esensi yang Kau bentangkan di hadapanku.
Seolah rumput basah dan dingin yang menggenangi poriku bercerita tentang hasrat cinta yang terpendam di bilik hati anaknya Abu Thalib dan putrinya Rasulullah, Ali dan Fatimah. Yang tak sanggup diutarakan Ali lantaran takut akan konsekuensi dan kefakiran materi yang ada padanya. Takut, jika apa yang diutarakan adalah sebuah kesalahan yang membuat kekasihnya, Rasulullah, menjadi marah atau mungkin cintanya kan tertolak oleh Fatimah. Pada kesaksianku ini jua, aku takut mengungkapkan dengan kataku. Takut, jika kata yang kuutarakan tidak sesuai yang Kau inginkan. Maka sia-sialah perjumpaanku dengan segala pesona ini.
Tapi seperti cucunya Abdul Muthalib, sebagai seorang lelaki, memendam hasrat bukanlah perkara mudah seperti yang dilakukan Sayyidah Fatimah Azzahra. Karena itu bukanlah keahlian seorang lelaki. Sebab hasrat cinta yang hadir adalah energi bagi bibir yang terkatup dan mata yang berbinar. Maka tak jarang engkau menemukan tangis dan air mata dengan gumamnya yang syahdu membelah sunyi. Hasrat ini pun demikain. Ibarat gelombang yang telah membentuk badai hingga tak satu apapun yang dapat menghalaunya. Dan gelombang itu senantiasa menemukan jalannya sendiri, menerpa dan menghancurkan apapun yang ingin membendungnya. Termasuk diri yang lemah ini, tak kuasa atas amukannya yang ganas.
Komunitas Pecinta Alam
Komunitas Pecinta Alam HMI Cabang Kupang
Kubiarkan gumam ini berjalan dalam udara yang memancarkan aroma kesejukan dan desir sungai yang memainkan notasi kedamaian. Dirasuki oleh dinginnya malam yang dihantarkan sang bayu. Hingga terlena oleh pancaran keindahan rembulan yang tak pernah surut sinarnya. Sebuah puncak daripada kenikmatan yang walaupun hanya secuil, bagiku ia tetaplah harus dialiri dengan kata-kata.
Adinda, bumi yang lembut telah menerima tetesan keindahan, sehingga kau menciumnya malam  ini dengan sepenuh hati. Meski telah bercampur dengan tanah, kita saling menyaksikan dalam sepenggal jarak bahwa tetesan ini telah membuat kita kehilangan kesadaran. Lalu bagaimana dengan rahasia yang tersembunyi dibalik maha Karya yang luar biasa ini? Adakah percikan rahasia itu kau rasakan dalam genangan udara yang kian membekukan ini? Dan sudikah sekeping rahasia itu kau berikan padaku untuk kuletakan di Cagar Mutis ini? Agar kelak bila sang waktu ingin bercerita tentang kita, aku dapat kembali ke sini. Menemui kepingan rahasia itu, bergumam bersamanya dan bersama alam hingga terbuai oleh jelitanya Cagar Mutis ini.


Read more...
 
ZN _ LEFOKISSU © 2017