Di bawah bintang
gemintang dan cahaya rembulan yang terpendar di altar rerumputan hijau yang
berseri, desir sungai yang mengalir dengan lihainya menyusuri lekukan tanah
bebatuan yang berliku, angin gunung yang berhembus dengan gemulai di balik
pepohonan rimbun dan dingin yang merambat naik ke sekujur tubuh. Semuanya ini
telah menjelma menjadi kata yang harus kubisikan pada-Mu
Cinta. Adalah rahasia
dibalik kesaksianku pada hamparan tanah yang darinya struktur tubuh ini dirancang.
Ia adalah misteri di balik bentangan yang membuatku kagum dan terpana. Telah
kusaksikan, betapa luas dan indahnya maha karya-Mu ini. Kendati aku tak mampu
mendeskripsikannya kata demi kata, kalimat demi kalimat hingga menjadi paragraf
yang utuh dan membuahkan tulisan yang menawan layaknya setetes embun yang jatuh
dari pelepah dedaunan hijau. Atau ranting kering kecil yang patah oleh seekor
burung yang hinggap di atasnya sambil mencari makan, atas kehendak-Mu. Bahkan
kesaksianku ini pun bisa hanya biasa-biasa saja dan sangat sederhana di
sisi-Mu. Karena jenis dan indra yang kugunakan tak mampu menembus esensi yang
Kau bentangkan di hadapanku.
Seolah rumput basah
dan dingin yang menggenangi poriku bercerita tentang hasrat cinta yang
terpendam di bilik hati anaknya Abu Thalib dan putrinya Rasulullah, Ali dan
Fatimah. Yang tak sanggup diutarakan Ali lantaran takut akan konsekuensi dan
kefakiran materi yang ada padanya. Takut, jika apa yang diutarakan adalah
sebuah kesalahan yang membuat kekasihnya, Rasulullah, menjadi marah atau mungkin
cintanya kan tertolak oleh Fatimah. Pada kesaksianku ini jua, aku takut
mengungkapkan dengan kataku. Takut, jika kata yang kuutarakan tidak sesuai yang
Kau inginkan. Maka sia-sialah perjumpaanku dengan segala pesona ini.
Tapi seperti cucunya
Abdul Muthalib, sebagai seorang lelaki, memendam hasrat bukanlah perkara mudah
seperti yang dilakukan Sayyidah Fatimah Azzahra. Karena itu bukanlah keahlian
seorang lelaki. Sebab hasrat cinta yang hadir adalah energi bagi bibir yang
terkatup dan mata yang berbinar. Maka tak jarang engkau menemukan tangis dan
air mata dengan gumamnya yang syahdu membelah sunyi. Hasrat ini pun demikain. Ibarat
gelombang yang telah membentuk badai hingga tak satu apapun yang dapat
menghalaunya. Dan gelombang itu senantiasa menemukan jalannya sendiri, menerpa
dan menghancurkan apapun yang ingin membendungnya. Termasuk diri yang lemah
ini, tak kuasa atas amukannya yang ganas.
Komunitas Pecinta Alam Komunitas Pecinta Alam HMI Cabang Kupang |
Kubiarkan gumam ini
berjalan dalam udara yang memancarkan aroma kesejukan dan desir sungai yang
memainkan notasi kedamaian. Dirasuki oleh dinginnya malam yang dihantarkan sang
bayu. Hingga terlena oleh pancaran keindahan rembulan yang tak pernah surut
sinarnya. Sebuah puncak daripada kenikmatan yang walaupun hanya secuil, bagiku
ia tetaplah harus dialiri dengan kata-kata.
Adinda, bumi yang
lembut telah menerima tetesan keindahan, sehingga kau menciumnya malam ini dengan sepenuh hati. Meski telah
bercampur dengan tanah, kita saling menyaksikan dalam sepenggal jarak bahwa
tetesan ini telah membuat kita kehilangan kesadaran. Lalu bagaimana dengan
rahasia yang tersembunyi dibalik maha Karya yang luar biasa ini? Adakah
percikan rahasia itu kau rasakan dalam genangan udara yang kian membekukan ini?
Dan sudikah sekeping rahasia itu kau berikan padaku untuk kuletakan di Cagar
Mutis ini? Agar kelak bila sang waktu ingin bercerita tentang kita, aku dapat
kembali ke sini. Menemui kepingan rahasia itu, bergumam bersamanya dan bersama
alam hingga terbuai oleh jelitanya Cagar Mutis ini.
0 komentar:
Post a Comment