Jauh pandang kaulepas
hingga ke semak belukar
Berjejer pepohonan tua
berselimutkan lumut
Meski tertutup mendung
sore yang pekat
Hingga membatasi jarak
dan pandangmu
Namun, tidak demkikian
hasrat itu, kabur dan sirna
Tetesan embun jatuh di
telapak tanganmu
Tetesan air laksana
mutiara itu telah menyapamu
Yah, kamu, aku dan
kita
Embun itu…..
Telah merasuki kulit
lembutmu
Merambat naik
mengobati dahagamu
Tidakkah jiwa itu
telah lama kering dan tandus?
Bukankan sukma itu
telah lama kerontang dan terbakar?
Hingga kau lupa
membasuhnya dengan embun cinta dan kasih sayang?
Ah, sudah terlalu lama
dinda
Kita membakar jiwa ini
dengan bara ego, sombong dan dengki
Mendung duka telah
lama menggerogoti urat-urat nadi
Bibir itu, telah lama
luput memuja-Nya
Kita mengunyah caci
maki dan umpatan
Mata itu, telah lama
tidak menemukan keindahan-Nya
Kita menatap
pertikaan, pembantaian dan kemanusiaan yang hilang
Telinga itu, telah
lama tersumbat dari panggilan-Nya
Mendengar nyanyian lagu
dengki dan kebisingan kosong
Tangan itu, sudah
sering meraup kerusakan
Menyentuh apa yang
tidak mesti disentuh, membongkar dan menghancurkan
Kaki itu, telah lama
melangkah dalam kesendirian
Menginjak-injak
kemanusiaan dan menari dengan gaya Hitler
Hati itu, telah lama
beku dan mengkristal
Dengan siraman air
kesombongan sang Iblis
Sejenak resapi kelembutan
embun yang mengenaimu
Dengarkan kicau burung
dan desir dahan kering yang ditiup angin
Pejamkan matamu
Biarkan tubuhmu
diselimuti mendung
Hingga api rindu pada
Muhammad membakar hati yang telah lama beku dan mengkristal itu
Tataplah senyum cinta
kasih Sang Nabi, Kekasih Tuhan itu
Hingga engkau dapat
merasakan gemuruh Shalawat dan Tasbih sang semesta
Di cagar yang penuh
kedamaian dan ketenangan ini, Mutis
0 komentar:
Post a Comment