Bersama adinda Faridha |
Layaknya seorang
musafir yang menjumpai danau di tengah gurun pasir, namun ia harus tetap
menahan dahaganya lantaran danau yang ia temukan airnya mengandung racun.
Seperti itulah gambaran kondisi kami 21 orang yang ingin menaklukan puncak
gunung Mutis. Layaknya seorang pecinta yang terbakar api rindu di kedalaman
lembah hati namun dipadamkan oleh setetes air. Bukan karena api rindu itu tak
mampu menghanguskan, namun kesejukan air itulah yang telah menahan hasrat
perjumpaan suci yang diidamkan. Bukan karena yang dicinta tak ingin dijumpai,
tapi kami –para pecinta- inilah yang belum siap berjumpa dengan yang tercinta.
Gunung Mutis, puncak
tertinggi dengan sejuta pesona telah menjelma bidadari bagi 16 pria dan bidadara
bagi 5 wanita. Dalam ngarai hati ia memanggil dengan gemercik. Tetesan cintanya
jatuh di pelepah hati yang mulai terbakar. Pada dedaunan rumput hijau dan
pepohonan yang menjulang tinggi ia menampakan seribu pesona. Udara sejuk dan
sungai yang mengalir dengan lembut menusuk jantung dan membasahi mata adalah
seribu pesona lainnya yang menggoda. Ia menari-nari bak lautan yang tertiup
angin. Memabukan dan meninabobokan hati yang kian terpana oleh jelitanya
hamparan cinta yang tiada henti-hentinya ia suguhkan.
Hasrat cinta 21 muda
mudi dijalin dalam lantunan doa Alfatihah sebagai pembuka jalan bagi
langkah-langkah kecil yang bergerak menuju puncak. Selangkah demi selangkah,
setahap demi setahap ayunan kaki dan gandengan tangan bergerak menyusuri jalan
bebatuan. Memanjati jalanan berbukit kemudian menuruni. Memasuki hutan-hutan
dan menerobosi kegelapannya. Sesekali rembulan muncul dibalik pepohonan
menerangi langkah-langkah kecil kami lalu kembali bersembunyi di balik
pepohonan yang lebat. Namun lima rembulan yang menyertai kami terus menerangi sudut-sudut
jalan yang kami lalui. Lima rembulan yang tak pernah padam oleh ganasnya malam
di cagar yang pekat. Semangat kebesaran dan api cinta yang terus dinyalakan
oleh mereka adalah api semangat bagi kami. Lelah menjadi tak terasa. Dingin
menjadi tak bermakna. Gelap menjadi tak berarti.
Kebersamaan menjadi begitu bernilai. Tentu nilai bukanlah harga; yang bisa
diperhitungkan kemudian dibayar.
Nilai adalah cinta. Ia
dibangun dengan kebersamaan dan keintiman. Ia tidak menciptakan jarak, namun ia
mempererat jarak. Ia tidak membentuk sudut, tapi lingkaran. Karena lingkaran
menjadikan cinta mengalir tanpa henti, tanpa ada yang mengambil bagian paling
besar.
Tak henti-hentinya
rasa kagum menerobos dibalik pepohonan. Bersarang di bilik-bilik hati kemudian
memancar seperti sinar rembulan yang ingin bersua dengan bumi. Kekaguman itu
tidak beranjak, walau barang sedikitpun. Ia menciptakan vibrasi yang kuat.
Terus menekan di kedalaman hati para pejuang cinta, cinta akan alam Mutis dan
kebesaran Ilahi. Sudi kiranya vibrasi itu mengalir merasuki kebekuan yang kian
menerpa dan telapak-telapak kaki yang mulai lunglai.
Namun sayang, jalan
cinta bukanlah jalan yang tanpa rintangan. Para pecinta harus mengarungi
lipatan-lipatan ruang dan waktu. Memotong rantai-rantai yang melilit kaki dan
membelenggukan hati. Memecahkan kebekuan yang mengkristal di jantung pertahanan
hati. Sebuah langkah yang belum mampu kami pecahkan. Meski api cinta dalam dada
terus menyala-nyala. Langkah kaki harus kami undurkan. Bukan karena kami tak
ingin menggapai puncak, tapi untuk membakar kembali hasrat cinta dan
mempersiapkan hati agar pantas berada dipuncak bersama nantinya.
Perjalanan ini telah
menghadirkan rasa rindu yang mendalam, rindu ingin menapaki kaki di puncak
Gunung Mutis bersama 21 hati yang berpaut dalam kebersamaan “Komunitas Pecinta
Alam” dengan satu slogan; “Mencintai alam adalah mencintai semua yang ada di
dalamnya, hari ini dan untuk esok”.
Komunitas Pecinta Alam HMI Cabang Kupang |
Pertemuan melahirkan
rasa rindu. Rasa rindu menghadirkan cinta. Cinta adalah bahan bakar untuk terus
merindu hingga perindu jatuh sakit. Maka, sebaik-baik obatnya adalah pertemuan.
Maukah kita obati rasa rindu ini suatu waktu kelak?????????
Mari obati rasa cinta
yang sempat tertunda di cagar Mutis dengan memantaskan diri berdiri di
ketinggian puncaknya sambil menikmati rahmat ilahi yang terbit di ufuk timur yang
bernama mentari. Kita temukan mentari kita di puncak gunung Mutis sehingga
menerangi sisa perjalanan hidup kita nantinya.
Salam cinta dan rindu
kami untuk puncak Mutis.!!
0 komentar:
Post a Comment