Banner 468 x 60px

 

Wednesday, January 18, 2017

INDONESIA dan PROPOGANDA

0 komentar


Indonesia darurat isu dan paham. Mungkin itulah yang sedang terjadi dalam negeri kita saat ini. Kesesatan paham Syiah, isu SARA Ganyang China, serta isu kebangkitan bangkai yang telah lama terkubur bernama PKI seperti malware yang coba diciptakan dengan maksud dan tujuan utama melemahkan dan menghancurkan sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara di bawah kepemimpinan pemerintahan yang sah saat ini. Kasarnya, isu, paham dan konflik-konflik di atas, tidak lain dan tidak bukan bertujuan menciptakan mosi tidak percaya dari rakyat kepada pemerintah sehingga memudahkan para penyebar malware ini melakukan kudeta ataupun hal buruk lainnya. Ambil contoh yang telah ada semisal di Timur Tengah, terutama Libya dan Suriah. Isu sektarian dimainkan dengan maksud  menjatuhkan pemerintahan yang sah. Mengapa? Sebab para pemberontak tersebut yakin pemerintahan mereka berdiri di garda terdepan melawan segala bentuk invasi dan kebijakan Amerika beserta kroni-kroninya.
Lihat Suriah saat ini. Presiden mereka, Basher Al Assad; diisukan membantai warga Suriah  yang bermahzab Sunni karena Beliau orang Syiah yang benci akan orang Sunni. Maka kelompok-kelompok radikal ditebar di berbagai negeri, termasuk di Indonesia. Mulai gencar di negeri kita ini ropaganda kesesatan dan kebiadaban Syiah. Pertanyaannya, apa benar propoganda tersebut? Jika kita analisis realitas yang terjadi di Suriah saat ini maka jawabannya adalah TIDAK benar. Mengapa?
Pemilihan presiden Suriah adalah pemilihan secara langsung oleh rakyat Suriah. Tahun 2014 lalu adalah untuk yang ke-tiga kalinya Assad terpilih menjadi presiden. Ia terpilih kembali dengan perolehan 88.7% suara rakyat, dimana 74% rakyat Suriah adalah bermahzab Sunni. Sehingga jika kita katakan Assad membantai kaum Sunni, bagaimana mungkin ia terpilih kembali oleh rakyat Suriah yang mayoritas Sunni? Terpilih kembalinya Asshad adalah berangkat dari kepercayaan dan kecintaan rakyat Suriah baik dari golongan Sunni, Syiah, atau dari latar belakang apapun terhadap Assad. Lebih dari itu, jika benar Assad ingin membantai warga Sunni maka dia harus memiliki rezim yang mendukungnya secara penuh untuk melancarkan aksinya tersebut, yakni rezim yang berisikan kelompok Syiah pula. Tapi nyatanya Wakil Presiden, Wakil Presiden 1, Perdana Menteri, Deputi Perdana Menteri, Menteri Luar Negeri, Menteri Informasi, Menteri Dalam Negeri, Menteri Pendidikan dll Suriah diisi oleh orang-orang Sunni.  Bahkan Grand Mufti Resmi Suriah; Syaikh Ahmad Badruddin Hassun, adalah seorang ulama besar Sunni.
Kebencian terhadap pemerintahan yang sah ini bertambah karena dukungan dari Negara Republik Islam Iran (NRII) yang notabene mayoritas Syiah. Serta menjadi salah satu Negara Timur Tengah yang tidak mau menundukan kepalanya dihadapan kekuatan AS dan Barat. Iran pun menjadi salah satu Negara yang paling ditakuti oleh AS dan kroni-kroninya tersebut. Selain NRII, suriah pun menjalin hubungan baik dengan Negara bekas Unisoviet yakni Rusia yang terkenal dari dulu sebagai sisi yang bertolak belakang dengan AS dan Barat, serta menjadi Negara yang berpegang pada paham komunis.
Jika kita lihat polemik negeri kita hari ini maka pola yang terbentuk sama seperti yang terjadi di Timur Tengah, terutama Suriah saat ini. Isu kesesatan Syiah bersilewaran di mana-mana baik di media-media sosial. Termasuk  pembagian pamflet yang di masjid-masjid. Padahal isu  kesesatan Syiah sudah dikaji dan dipatahkan oleh ulama dunia lewat Konferensi Amman. Namun kedangkalan akal dan taklid buta terhadap doktrin kebencian menyebabkan propaganda ini tumbuh subur. Hal ini terlihat dari organisasi yang sengaja dibentuk untuk menghancurkan kelompok Syiah yakni Aliansi Nasional Anti Syiah (ANAS). Organisasi ini bagi saya sengaja dibentuk untuk memprovokasi perseteruan muslim Sunni dan Syiah. Dengan mempropagandakan Syiah sesat, kaum radikal ini perlahan menanamkan stigma Syiah menjadi kata kebencian. Ketika kebencian itu mengakar maka mudah saja bagi mereka untuk kelak menuding siapa yang mereka suka sebagai Syiah. Setelah Syiah, ke depan mungkin sasaran mereka adalah adalah NU, Muhammadiyah, lalu agama lainnya. Sekarang kita bisa lihat propaganda itu menjadi lebih nyata, di mana NU memiliki cabang baru bernama NU Garis Lurus yang sebenarnya adalah wahabi yang tengah menyamar. Di sisi lain, bersilewaran pula propaganda pendirian negara Indonesia dengan sistem Khilafah. Mereka ingin menghilafahkan negeri ini dengan menyatakan bahwa Pancasila adalah thagut dan sistem kafir sehingga tidak layak dijadikan sebagai ideologi dan sistem di Negara Indonesia. Kita tahu bersama nama organisasi yang memperjuangkan misi khilafah ini. Beruntung pemerintah kita dengan cepat mengambil langkah tegas untuk membubarkan organisasi yang bertentangan dan menolak Pancasila. Tidak ketinggalan NU dengan pasukan Bansernya turut mengamankan NKRI dari para separatis berkedok agama. Banser dengan berani menanggalkan spanduk-spanduk mereka, membubarkan perkumpulan mereka dll.
Tak berselang lama ketika kelompok-kelompok seperti HTI dicap sebagai kelompok separatis, muncul bangkai yang telah lama terkubur di masanya Presiden Soeharto. Kebangkitannya seolah mengubah arah mata angin pengkhianat. Pemerintah melalui KEMENHAM dan POLRI tiba-tiba membahas PKI yang sebenarnya telah lama mati. PKI dianggap bangkit dari kalang peradaban, ditandai dengan penggunaan simbol di baju, buku, dan properti lainnya.  Padahal, jika ingin fair sebenarnya paham komunis yang menjadi ideologi PKI, di negara asalnya (China) bahkan sudah ditinggalkan. Meski nama partainya tetap Partai Komunis China namun ekonomi mereka sudah mengarah ke sosialis kapitalis. Selain China, negara komunis lainnya adalah Uni Soviet. Tapi apakah Uni Soviet itu masih ada? Tidak. Mereka telah pecah menjadi negara-negara kecil. Yang tersisa mungkin adalah Rusia. Tapi ekonomi Rusia pun semenjak di tangan Putin mengarah ke kapitalis. Bahkan Rusia telah menggantikan ideologi mereka menjadi nasionalis. Maka pertanyaannya, apa yang harus ditakuti oleh paham komunis ini jika para empunya saja sudah meninggalkan paham tersebut?
Bisa jadi isu PKI sengaja dimunculkan untuk membentuk stigma buruk seperti stigma Syiah, atau sekadar hadir untuk mengacaukan Pemerintahan Jokowi JK saat ini yang terlihat mulai berani mendobrak Dinasti AS dan sekutu-sekutunya dengan berusaha menggandeng tangan China, Rusia, dan Iran; musuh AS dan kroni-kroninya.
Yah propaganda Syiah dan PKI ini sepertinya sengaja diciptakan untuk membentuk mosi tidak percaya terhadap Pemerintahan Jokowi JK dan Pancasila sebagai ideologi bangsa. Mengapa pemerintahan? Karena AS sudah mulai tidak nyaman lagi dengan Jokowi JK. Pemerintahan saat ini berani tidak memperpanjang kontrak Freeport; perusahaan asal AS yang sudah beberapa dekade mengeruk perut bumi Indonesia untuk keuntungan mereka, evaluasinya akan dihelat setelah 2019. Propaganda ini bisa juga sengaja untuk membuat chaos dalam negeri agar para investor yang ingin menanamkan saham di Indonesia tidak lagi berminat. Kalaupun sudah sempat menanamkan saham maka mereka akan memutuskan kontrak lewat pembatalan. Situasi ini bisa dimanfaatkan AS dan karib-kerabatnya dengan mengirimkan agen-agennya untuk menanamkan saham sendiri di Indonesia. Dan mereka memonopoli investasi.  
Masih banyak lagi kemungkinan yang bisa kita analisis dari berseliwerannya isu Syiah dan PKI saat ini. Patut kita nantikan kelanjutan dari isu-isu yang kian ditebar, serta nasib Pemerintahan Jokowi JK saat ini. Apakah mereka akan berakhir layaknya Soekarno, atau seperti Pak Harto?
Tulisan ini bukan dibuat untuk mengesampingkan PKI, namun sekadar ingin mengajak kita sekalian untuk membaca peta konflik negeri ini secara lebih seksama. Agar kita tidak melupakan hasrat para utopis khilafais yang adalah kelompok separatis sesungguhnya. Bagi saya PKI cukup saja diawasi dan dimonitoring pergerakannya. Jika nanti kita temukan fakta bahwa  mereka mengembangkan paham yang bertolak belakang dari NKRI dan Pancasila seperti HTI saat ini, baru kita hancurkan. Jangan sampai kita termakan isu dan propaganda yang ingin menghancurkan keutuhan NKRI dengan Pancasila sebagai ideologi negara.**

#Dari buku "Jalan Pulang"
Read more...

Tuesday, January 17, 2017

Tentang Sebuah Rindu

0 komentar
Dilimitasi oleh jarak
Terkurung oleh posisi di mana engkau tak bisa berbuat apa-apa
Atas situasi-situasi di sekelilingmu
Mungkin juga atas situasi-situasi nun jauh darimu
Kau lihat gemintang berjajar di cakrawala
Tetapi keadaan di dadamu tak seluas yang kau tatap
Sesak tak berspasi
Ditikam rindu yang membunuh akal, bathin, mental dan bahkan jasadmu
Semakin kau diami, semakin tua, udzur bahkan lapuk
Berjuta bahkan bermilyaran sudah detik kau terduduk
Bukannya bertambah baik melainkan bertambah hancur luluh lantak
Sebuah wajah yang tertera dalam kertas tak hentinya kau pandangi
Pun kian memudar
Hilang dilindas masa yang tak mau berkompromi dengan rasamu
Rindu adalah siksa yang tak berlimit
Obatnya adalah pertemuan continu tanpa menyisikan jeda
Sekali ia berjeda musnahlah sudah
Jadilah ia si Majnun yang lupa diri

Januari, 2017

Read more...

LAUT DINGIN

0 komentar
Atas izin Allah SWT, sebuah kejadian langka nan unik terjadi di salah satu gugus pulau di Timur Indonesia. Di sebuah pulau bernama Alor, tepatnya di perairan desa Alor Kecil, sekitar 35 menit dari pelabuhan Kalabahi terdapat suatu fenomena laut dingin yang terjadi hanya tiga kali dalam setahun. Laut menjadi dingin, dan tidak terjadi lantaran perubahan cuaca menjadi dingin ataupun turunnya salju. Ia terjadi dengan sendirinya. Dan sejauh ini belum ditemukan penjelasan ilmiah terkait fenomena tersebut. Masyarakat setempat hanya mempercayai mitos yang sudah diceritakan turun temurun. Cerita yang belum pasti nilai kebenarannya.
Konon, terdapat hubungan antara penguasa laut perairan desa Alor Kecil dan penguasa laut Pantai Selatan, Jawa. Ketika kedua penguasa laut ini bertemu maka seketika laut menjadi dingin. Ada juga kelompok yang mempercayai bahwa dinginnya laut tersebut merupakan tanda diselenggarakannya pertemuan akbar antar orang-orang suci sedunia di seputaran Tanjung Kumbang (sebuah tanjung di desa Alor Kecil yang dianggap keramat). Fenomena ini memang di luar logika normal. Tidak ada yang tersisa selain mitos-mitos peninggalan leluhur masyarakat di Alor Kecil.
Sejarah setempat merekam bahwa pernah ada upaya ilmiah untuk mengurai alasan science mengapa laut tersebut bisa menjadi dingin. Pada tahun 1968 ilmuan dari Australia datang meneliti laut dingin tersebut, disusul tim pakar dari Jepang beberapa tahun kemudian. Sayang, hasil penelitian mereka tidak pernah dipublikasikan kepada masyarakat, termasuk ke Pemerintahan Daerah Kabupaten Alor. Akhirnya, fenomena laut dingin tersebut masih menjadi misteri bagi semua orang hingga hari ini.
Satu hal menarik menurut saya yakni peristiwa ini memberi bukti lain akan kebenaran kitab suci Al-Qur’an. Area laut yang dingin hanya membentang dari Tanjung Kumbang dan Batu Apung (sebutan lokalnya fato-nebo) hingga pantai Makassar, Alor Kecil. Serta dari pesisir pulau Kepa (Nuha) ke pesisir desa Alor Kecil. Seolah ada sekat yang membatasi dinginnya laut ini untuk menyebar ke area lain. Bahkan, terkadang laut dingin tersebut mengeluarkan uap dan menghalangi pandangan mata ke pulau kepa (Nuha) yang berjarak sekitar 80 meter dari bibir pantai Alor Kecil. Seperti ada sekat yang membatasi antara air laut yang satu dengan air laut yang lainnya, “antara keduanya ada batas yang tidak dilampaui masing-masing (QS Ar Rahman : 20).”
Ya, walaupun maksud dari ayat ini lebih tepatnya merujuk pada peristiwa tidak tercampurnya dua air laut yang saling bertemu di Selat Gibraltar, yang mana hal ini dijelaskan juga pada ayat sebelumnya, “dan Dialah yang membiarkan dua laut mengalir yang (kemudian) keduanya bertemu. ” (QS. Ar-Rahman:19), bagi saya poin yang paling penting yakni pada ayat 20 . Dimana Allah memberitahukan kepada kita bahwa sesungguhnya tiap sesuatu memiliki kadarnya masing-masing sehingga ketika bertemu, mereka akan tetap terpisah/tidak tercampur.
Hal ini dibenarkan oleh modern science bahwa sifat lautan ketika bertemu tidak bisa bercampur satu sama lain. Dijelaskan oleh para ahli kelautan juga bahwa hal ini dikarenakan adanya perbedaan massa jenis (kadar) dan tegangan permukaan air laut, yang mencegah kedua air dari lautan bercampur satu sama lain. Bisa kita katakan ada dinding tipis yang memisahkan mereka.
Kasus dinginnya laut di perairan desa Alor Kecil memang tidak seperti yang terjadi di Selat Gibraltar di mana proses pertemuan antar dua laut terjadi secara kontinyu. Laut dingin di Alor Kecil itu hanya terjadi di waktu-waktu tertentu sehingga sulit dijelaskan mengapa air laut yang dingin hanya seputaran itu-itu saja. Jika penyebabnya ialah massa jenis ketika air laut dingin berbeda dengan masa jenis ketika air laut normal, mengapa hanya wilayah itu-itu saja yang dingin. Bukankah area itu (laut dingin) sebelumnya berada pada kondisi normal seperti laut di sekitarnya, sehingga besar kemungkinan memiliki massa jenis yang sama? Sekat seolah hanya ada ketika laut mulai dingin. Ataukah memang dalam keadan normal pun antar area itu memiliki massa jenis laut yang berbeda? Wallahu ‘alam, dibutuhkan penelitian untuk menguak fenomena tersebut.
Semoga kita masih diberi nikmat kehidupan ketika para ilmuwan menguak tabir laut dingin yang saat ini masih terbungkus dinginnya laut yang membentang dari bibir pantai Alor Kecil dan Pulau Kepa (Nuha). Amiin.. 

#Dari buku "Jalan Pulang"

Read more...

Dengan atau Tanpa Nomor Urut

0 komentar
Ilustrasi Pemilu
Arsyilaku sayang, berikut ini izinkan aku sekali lagi menuangkan rindu dalam keresahan lewat tulisan yang aku beri judul sebagaimana tertulis paling awal tulisan ini. Bukan Dengan atau Tanpa Nomor Urut dalam mencintaimu. Karena mencintaimu tidak membutuhkan anasir pertanyaan seperti di atas. Karena mencintaimu bukanlah tentang sebuah posisi, mencintaimu tak mengenal di mana ia ditempatkan. Tetapi ini tentang sistem pemilihan dalam politik demokrasi bangsa kita, sayang.
Sayang, pernahkah kau dengar tentang sistem pemilihan Dengan dan Tanpa Nomor Urut? Yah. Kamu tentu pernah dengar/mengetahuinya atau paling tidak pernah berpartisipasi di dalamnya. Kamu mungkin pernah mengikuti pemilihan ketua kelas, ketua kelompok, ketua organisasi, Bupati, Gubernur, Caleg, bahkan mungkin Presiden yang dua tahun lalu kita adakan, itu adalah bebrapa contoh pemilihan (Tanpa Nomor Urut).
Oh yah, tapi alangkah baiknya aku akan memberikan sedikit gambaran bagimu apa itu pemilihan Dengan Nomor Urut dan apa itu pemilihan Tanpa Nomor Urut.
Arsyilaku, dalam pemilihan yang menggunakan sisitem nomor urut, calon yang memiliki nomor urut paling atas/pertama sangat berpeluang besar menjadi pemenang. Walaupun dalam pemilihannya, calon dengan nomor urut paling atas tersebut mendulang suara kecil, dia bisa lolos dengan tambahan suara dari calon lainnya (se-parpol), bahkan calon lain tersebut ada yang memiliki suara lebih banyak dari calon dengan nomor urut paling atas tersebut. Sedangkan pemilihan tanpa nomor urut,  meniscayakan calon yang memiliki suara terbanyaklah yang keluar sebagai pemenangnya.
Berikut ini keresahanku bermula, sayangku. Sebagai seorang aktivis, organisasi adalah dunia baruku yang boleh dibilang asyik ayik tidak atau sedap sedap ngeri. Kenapa begini? Yah, memang beginilah. Sudah menjadi sunatullah, batas dari asyik adalah tidak asyik, batas dari cinta adalah benci. Begitu pula berlaku sebaliknya. Tidak asyik salah satunya ialah (terkadang) sebagai junior, mau tak mau harus turut dan patuh pada senior. Bukan apa sayang. Ini hanya karena tidak ingin oleh senior dibilang pembangkang, kualat, tidak menghormati atau bahkan dibilang sok pintar. Ini bukanlah idealnya seorang aktivis. Seorang aktivis harusnya bebas berpendapat/mengkritik tanpa memandang “siapa”, karena ia melihat “apa”. Tapi apalah daya, terkadang kami harus mencopot baju idealisme kami hanya untuk kami bisa saling memahami.
Begitupula yang saya alami beberapa waktu yang lalu, Asryilaku. Saya bersama teman-teman aktivis lainnya yang tergabung dalam OKP Cipayung, juga beberapa senior melakukan diskusi lepas, sala satu topik yang kami perbincangkan adalah tentang sisitem pemilihan kita saat ini yang menggunakan sistem pemilihan tanpa menggunakan nomor urut.
Gelas demi gelas kopi diseduh oleh bibir-bibir yang kering lantaran banyak melakukan gerak, begitupula kepulan-kepulan asap rokok memenuhi ruangan obrolan kami yang hampir semuanya terisi dengan suara-suara penolakan terhadap pemilihan tanpa nomor urut.
Berbagai argumen dan retorika diluapkan. Aku pun menarik kesimpulan bahwa mereka tidak suka dengan sistem pemilihan tanpa menggunakan nomor. Keresahan dan penolakan itu begitu gamblang dari premis-premis yang mereka susun sehingga melahirkan sebuah konklusi logik dan real. Juga pada nada bicara serta keseriusan raut wajah yang tak jarang terkesan angker.
Mengapa mereka begitu survive dan ngotot menyalahkan sistem ini, Arsyilaku? Satu jawaban yang pasti, Kepentingan. Ia merupakan sebuah ideologi tetap dalam dunia politik, yang dapat menceraikan hubungan persahabatan (Kawan jadi lawan) dan mempersatukan hubungan permusuhan (Lawan jadi kawan).
Namun, di balik tirai kepentingan, menarik untukku ceritakan argumen-argumen mereka untuk kita kaji dan kita pelajari bersama. Juga akan kita bedah setelahnya.
Bagi mereka, sistem ini telah membuka gerbang perpolitikan bagi kaum berduit dan kaum populer sebutlah artis, preman, ketua ormas dlsb yang notabene belum bahkan tidak mapan dalam segi intelektual, perpolitikan dan dunia pergerakan yang bertujuan pada perubahan. Kehadiran pemain-pemain baru ini telah menggeser nilai tawar para aktivis di mata masyarakat. Maklum sayangku, kami para aktivis umumnya rapuh dalam hal ekonomi dan miskin popularitas di mata masyarakat luas. Kami biasanya hanya menjadi artis di dunia aktivis yang tak seberapa luasnya. Sehingga ketika kami terjun ke dunia politik yang ranahnya luas, tampang kami kalah familiar dari artis-artis yang menjual tampang mereka di TV-TV. Atau ketua-ketua ormas bahkan mungkin juga preman yang kesehariannya berciuman wajah secara langsung dnegan masyarakat.
Padahal Arsyilaku, para aktivis itu adalah mereka yang senantiasa mengikuti dialektika politik bangsa ini. Merekalah yang paling sering lantang meneriakan kepincangan politik dan kebijakan pemerintah. Merekalah entitas di luar sistem (pemerintahan) yang lebih peka dan mengetahui dinamika pergolakan politik yang ada di bangsa ini. Serta memiliki pengetahuan dan keterampilan yang mumpuni dalam mengelolah dan menjalankan sebuah sisitem (organisasi). Merekalah yang sering berlarut-larut dalam diskusi, menghabiskan bergelas-gelas kopi ataupun batang-batang rokok. Terkadang tidak makan. Dalam membahas arah kapal tua yang bernama Indonesia ini.
Inilah mengapa kemudian mereka ingin berlaga dalam dunia perpolitikan. Mereka ingin merealisasikan hasil-hasil diskusi mereka yang kian menumpuk dalam benak. Karena ide tanpa aksi adalah nihil. Tidak ada gerak yang terjadi, demikian pula perubahan.
Tapi sayang seribu sayang Arsyilaku, ketika mereka berburu memegang kemudi nahkoda, kebanyakan mereka terhempas keluar dari kapal tua ini. Badai uang dan gelombang kepopuleran begitu besar dan kuat. Mereka terjatuh ke lautan lepas. Sehingga mengharuskan mereka berlomba berenang di garba lautan mengejar kapal tua ini. Mereka berenang (bekerja keras) mulai lagi dari nol. Meraih simpati publik kembali (dibutuhkan bertahun-tahun) agar bisa bersaing dengan para jutawan dan kaum populer/aktris. Dan ketika mereka telah berhasil meraih kemudi, idealisme mereka telah luntur. Lantaran kehidupan telah menstimulus gaya materialis, kapitalis dan pragmatis dalam benak mereka. Maka jadilah mereka seperti kawanan musuh mereka sebelumnya.
Setelah mendengar argumentasi-argumentasi di atas, mari kita bedah dengan pisau analisis dan rasional.
Dalam sisitem pemilu dengan nomor urut, jika sebuah partai mendapatkan satu kursi maka calon dengan nomor urut satu otomatis menjadi calon terpilih, walaupun suaranya paling sedikit. Dia terpilih karena pemimpin partai menempatkannya sebagai calon dengan nomor urut satu. Sementara itu, calon nomor urut lima misalnya, yang mendapatkan suara terbanyak tidak akan bisa terpilih kecuali partai tersebut mendapatkan lima kursi. Atau jika calon nomor satu sampai sembilan mengundurkan diri. Sesuatu yang hampir bisa dikatakan mustahil di negeri ini.
Bisakah ini disebut sebagai keadilan, Arsyilaku? Tidak jawabku. Kenapa? Karena calon dengan nomor urut atas bisa saja hanya duduk dan bersenang-senang/berleha-leha tidak jelas lalu menikmati hasil kerja keras orang lain. Apakah pantas demikian? Di sisi lain, hal semacam ini juga merupakan penghianatan terhadap kepercayaan rakyat, suaranya tidak dihargai dan diselewengkan demi kepentingan partai.
Sistem pemilu yang adil bagi semua adalah sistem Pemilu Proporsional Terbuka Tanpa Nomor Urut. Yaitu, calon yang terpilih adalah calon yang mendapatkan suara terbanyak, dan bukan berdasarkan nomor urut. Artinya, pemilih dipersilahkan memilih siapa pun yang ingin dipilihnya di antara calon-calon (Caleg-caleg) partai pilihannya. Ia boleh memilih calon nomor 1, 2, 3, atau berapa pun nomor urut yang ia suka dari sebuah partai. Dan jika partai itu mendapatkan satu kursi dan calon nomor urut 5 mendapatkan suara terbanyak, maka calon nomor urut 5 adalah yang terpilih sebagai anggota legislatif dari partai tersebut.
Dengan sistem seperti ini, maka setiap orang memiliki peluang yang sama untuk menang dalam pemilu. Ini juga membuka peluang yang sama bagi kaum perempuan, walaupun kuota mereka masih 30%, yang biasanya di letakan di nomor urut paling bawah untuk menjadi anggota legislatif. Termasuk juga dirimu Arsyilaku, jika suatu saat nanti engkau terjun ke dunia politik.
Katanya sistem pemilihan tanpa nomor urut telah membuka gerbang bagi kaum berduit dan artis? Hei, bukankah hal yang sama kalaupun kita menggunakan sistem pemilihan dengan nomor urut? Adakah yang bisa menjamin bahwa proses penetapan calon pada nomor urut teratas itu bebas dari politk uang dan hubungan kekerabatan/kedekatan mereka dengan pemimpin partai? Tidak ada. Jika kita telisik kembali sejarah dunia perpolitikan negeri kita, maka akan kita temui hal semacam ini. Terutama pada era-era orde baru.
Justru ini menjadi PR bagi kaum aktivis yang berkualitas dan berwawasan luas untuk bagaimana bersaing secara fair. Lebih bekerja keras lagi meraih simpati publik jika memang masalah finansial/keuangan dirasa berat. Karena aktivis memiliki kecerdasan intelektual dan ilmu STRATAK yang mumpuni. Semestinya ini menjadi senjata. Siapa bilang Aktivis/kaum terpelajar itu tidak memiliki daya tawar di mata masyarakat? Aktivis cukup, jika berlebihan kalau dibilang sangat, dihargai di masyarakat. Tinggal bagaimana STRATAK kita mengolahnya menjadi sebuah kekuatn yang kita miliki.
Dengan demikian, maka antara pemilihan dengan nomor urut dan pemilihan tanpa nomor urut, pemilihan dengan nomor urutlah yang lebih demokratis, adil dan menjunjung tinggi sportivitas. Mungkin dalam sisitem ini lebih banyak melahirkan pemimpin-pemimpin yang kurang baik bahkan bobrok, tidak cekatan, tidak pandai dan berbagai stigma negative lainnya. Namun, bukan berarti sisitem ini tidak pantas dan harus dihilangkan. Bukankah para aktivis adalah mereka-mereka yang lidahnya seringkali kering meneriakan demokrasi? Lalu, ketika demokrasi itu diterapkam, mengapa harus melacurinya lagi?
Sekian keluhanku Arsyila. Ku akhiri dengan doa semoga senantiasa dirimu dalam lindungan Allah hingga kelak kita saling mempertemukan rindu. Amin.

Januari, 2017
Read more...
 
ZN _ LEFOKISSU © 2017