Banner 468 x 60px

 

Monday, January 2, 2017

Problema Sila Kelima Pancasila

0 komentar
PANCASILA

Problema Sila Kelima Pancasila

Pancasila merupakan falsafah dan sumber hukum bagi segala kebijakan yang menjadi rujukan penyelenggaraan negara. Sebagai falsafah dan sumber hukum, Pancasila juga memuat tujuan (causa finalis) kebernegaraan Indonesia. Puncak tujuan/cita-cita perjuangan itu termuat dalam Sila kelima yakni, “Negara harus mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh negara Indonesia.”
Pokok pikiran Sila Kelima ini merupakan suatu tujuan atau cita-cita luhur yang ingin dicapai dalam Pembukaan UUD 1945 dan merupakan suatu causa finalis (sebab tujuan), sehingga dapat menentukan jalan serta aturan-aturan mana yang harus dilaksanakan dalam Undang-Undang Dasar untuk sampai pada tujuan tersebut; Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia.
Sejauh perjalanan bangsa ini dengan Pancasila sebagai weltanschauung-nya (Falsafah), kita mungkin bisa merenung sejauh apa kita telah berjalan di atas kaidah-kaidah yang mestinya merupakan penjabaran Pancasila dalam berbangsa dan bernegara. Dan sudah seberapa jauh goal bangsa kita (Sila Kelima) ini kita capai?
Kerisauan melihat semakin merebaknya kekerasan, permusuhan dan intoleranansi menunjukan bahwa kemanusian yang adil dan beradab serta persatuan Indonesia yang dijiwai nilai-nilai Ketuhanan belumlah tersarikan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara kita. Ketimpangan penegakan hukum, UU pro kapitalis,  kapitalisasi di segala lini kehidupan, kesenjangan kesejahteraan sosial ekonomi, dan lain sebagainya, mengindikasikan bahwa kita belum benar-benar berjalan di atas jalan yang benar, jalan yang lurus sesuai Pancasila. Juga kita belum mencapai target keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia secara menyeluruh. 
Belum tercapainya target “Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia” menyisakan tanda tanya besar bagi kita. Apa sesungguhnya problema yang sebenarnya menghambat kita dalam mencapai tujuan ini? Hal ini bisa kita jawab dengan menggunakan pendekatan Himpunan Bagian, namun tanpa keluar dari bagian-bagian (sila-sila) Pancasila itu sendiri. Secara sederhana dalam rumusan teori Himpunan, hubungan hierarkis antar sila ini dapat dirumuskan melalui stratifikasi bagian (subset) seperti berikut; 5 4 3 2 1. Artinya sila kelima merupakan bagian dari sila keempat, sila keempat merupakan bagian dari sila ke tiga dan seterusnya. Dengan demikian jika kita ingin melihat problema sila kelima maka tidak bisa tidak kita harus melihatnya di sila-sila sebelumnya hingga pada akarnya atau semesta tertinggi yang menghimpun sila-sila lainnya tersebut.
Sila-sila dalam Pancasila merupakan satu kesatuan yang terintegral. Sehingga susunan-susunan yang terdapat di sana pun tidaklah perlu dirubah/diobok-obok lagi karena sudah tepat adanya. Oleh karena sila-sila yang ada di dalamnya merupakan satu kesatuan yang terintegralkan, maka tiap-tiap sila-nya tidak dapat berdiri sendiri atau dipisahkan dari sila-sila lainnya. Begitupun apabila kita memandang sila kelima “Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia” ini.
Jika kita kaji problema Sila Kelima dengan pendekatan Himpunan Bagian maka kita akan bergerak ke belakang, melihat kembali sejauh mana sila-sila Pancasila sebelum Sila Kelima ini dioperasionalkan dalam pola pikir dan pola tindak kita sebagai masyarakat Indonesia yang Pancasilais.
Yang pertama bisa kita lihat pada Sila Keempat, “Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan Perwakilan”. Sudahkah aktor-aktor berdasi kita yang berlagak di gedung MPR dan DPR adalah orang-orang yang hikmat dan bijaksana serta mengedepankan permusyawaratan dan kerakyatan?
Sila Keempat ini memuat lima poin penting; Kerakyatan, Hikmat, Kebijaksanaan, Permusyawaratan Dan Perwakilan; merupakan kata-kata yang memiliki nilai agung, sakral, dan entitas yang muluk, terdepan yang harus dimiliki oleh setiap aktor berdasi dibalik gedung rakyat. Kata “kerakyatan” adalah filosofi tanah bukan filosofi elang. Rendah dan terhampar di kolong langit, menjadi fondasi berdirinya bangunan keadilan. Hikmat dan Bijaksana di sini artinya beriman dan berilmu. “Hikmat Kebijaksanaan” adalah bahasa filosofi yang padat makna. Ia adalah air jernih yang mengalir dengan penuh kesejukan, sebagai mata air keadilan. Hikmat kebijaksanaan adalah dasar  bangunan kesejahteraan dengan keimanan dan kecerdasan akal budi, jujur serta adil dalam setiap rumusan yang lahir dalam Majelis Permusyawaratan. Hikmat Kebijaksanaan yang beriman dan berkecerdasan akal budi, jujur serta adil juga merupakan dasar dalam setiap keputusan yang digoreskan pena di atas kertas Dewan perwakilan sebagai petugas Rumah Tangga bersama Pemerintah. Inilah point-point penting yang harus dimiliki dan dijiwai oleh aktor-aktor berdasi, bermobil mewah. Jika point-point Sila Keempat ini belum dapat dimiliki dan direduksi dalam diri tiap kita, terutama aktor-aktor berdasi dan berjas mentereng maka inilah biang kegagalan tercapainya Sila Kelima.
Dan ternyata aktor-aktor berdasi kita yang berlagak di gedung MPR dan DPR belumlah sepenuhnya memilki jiwa hikmat dan bijaksana serta mengedepankan permusyawaratan dan kerakyatan. Hal ini dapat kita lihat pada setiap kebijakan-kebijakan yang mereka lahirkan, lebih banyak yang tidak berkeadilan dan pro terhadap rakyat akan tetapi lebih pro kepada kaum kapitalis. Selain itu korupsi dan praktek suap masih saja dilestarikan di gedung-gedung kerakyatan.
Kegagalan sila keempat dalam memproduksi Sila Kelima mengharuskan kita membuat satu langkah lagi kebelakang, ke semesta yang menaungi sila keempat dan kelima. Kita dapat mendiagnosa sila ketiga sebagai sebab kegagalan ini. “Persatuan Indonesia” perlu kita inderai kembali, kita teropong dalam kehidupan sosial politik kita. Menghitung eksistensinya dalam dialektika sosial politik yang sporadis, serta mengkalkulasikannya dalam kesadaran diri tiap kita atas realitas Kebhinekaan yang ber-Ika dalam NKRI.
Kebhinekaan kita dalam ranah sosial (SARA) serta Politik (parpol) sudahkan ber-Ika dalam Majelis Permusyawaratan dan Dewan Perwakilan? Ataukah justru masih sporadis? Hanya ber-Ika dalam persamaan, belum sampai pada ber-Ika dalam perbedaan. Pertempuran dan tarik ulur kepentingan baik fraksi maupun partai dalam sidang-sidang Kerakyatan hingga melahirkan kebijakan-kebijakan politis (bukan kebaikan) yang menguntungkan sekelompok orang/golongan tertentu saja. Serta adanya kubu-kubu/fraksi-fraksi di dalam rumah kerakyatan menunjukan bahwa aktor-aktor di gedung-gedung kerakyatan masihlah belum bersatu memikirkan nasib rakyat.
Kalau ini yang terjadi maka mau tidak mau kita harus menengok keluarga dan dunia pendidikan sebagai laboraturium pengolah kecerdasan dan sikap anak bangsa pada semesta sebelum sila ketiga. Sudahkah keluarga sebagai madrasah pertama dan dunia pendidikan kita mengajari anak bangsa kita untuk memiliki nilai “Kemanusiaan yang adil dan beradab, sebagai Sila Kedua Pancasila?” Adil (menempatkan sesuatu berdasarkan kualitas/porsi) dalam pola pikir dan pola laku sehingga melahirkan sikap yang beradab. Yang pada gilirannya, nilai-nilai kemanusiaan dan keberadaban tersebut melahirkan jiwa-jiwa yang saling menghormati dan menghargai dalam perbedaan. Sehingga mereka mampu bersatu dalam perbedaan tersebut dengan mengeliminir ke-egoan.
Jika kedua laboratorium ini (keluarga dan dunia pendidikan) belum bisa menghasilkan bibit-bibit unggul yang manusiawi, adil dan beradab maka terpaksa kita kembali ke hulu. Melihat mata air sumber segala kehidupan, “Ketuhanan yang Maha Esa.” Sang Causa Prima “Tuhan” mungkin belum sungguh-sungguh kita jadikan sebagai pijakan nilai dalam kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia.
Kita belum dapat memperjelas benang merah keber-Tuhanan kita yang beragam dalam satu cawan putih Indonesia. Ajaran keber-Tuhanan yang sama di semua wadah yang bernama Agama, yaitu ajaran Cinta Kasih, Welas Asih, Rahman Rahim. Kita belum bisa mengangkat nilai-nilai universal dalam keber-Tuhanan untuk di-ejewantahkan dalam cawan putih Indonesia, serta kita masih “iseng” kepada Tuhan dan belum menjadikan Tuhan sebagai landasan gerak dalam setiap langkah (baca juga; setiap sila). Hal ini berpengaruh pada setiap tetes air yang mengalir, lepas dari Hulunya. Akibatnya hilir yang jernih, bersih, berkeadilan sosial (keadilan sesuai fitrah manusia) yang merata tak kunjung kita peroleh. Inilah problema/akar masalah kita yang perlu kita entaskan. Maka perlu perwujudan Tuhan dalam setiap gerak kita dalam memaknai dan menjalankan semua sila yang ada dalam Pancasila.
Dengan demikian untuk mengatasi problema pada sila kelima serta sila-sila setelah sila pertama, maka tidak bisa tidak semuanya harus dikembalikan pada sila pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai causa prima dan sumber dari kehidupan serta segala yang ada. Atau dalam dunia himpunan, sila pertama “Ketuhanan Yang Maha Esa” sebagai semesta pembicaraan yang menaungi sila-sila lainnya di bawahnya/di dalamnya haruslah menjadi ruh bagi setiap sila berikutnya.

0 komentar:

Post a Comment

 
ZN _ LEFOKISSU © 2017