PANCASILA |
Problema
Sila Kelima Pancasila
Pancasila
merupakan falsafah dan sumber hukum bagi segala kebijakan yang menjadi rujukan
penyelenggaraan negara. Sebagai falsafah dan sumber hukum, Pancasila juga
memuat tujuan (causa finalis) kebernegaraan Indonesia. Puncak tujuan/cita-cita
perjuangan itu termuat dalam Sila kelima yakni, “Negara harus mewujudkan
keadilan sosial bagi seluruh negara Indonesia.”
Pokok pikiran
Sila Kelima ini merupakan suatu tujuan atau cita-cita luhur yang ingin dicapai
dalam Pembukaan UUD 1945 dan merupakan suatu causa finalis (sebab tujuan),
sehingga dapat menentukan jalan serta aturan-aturan mana yang harus
dilaksanakan dalam Undang-Undang Dasar untuk sampai pada tujuan tersebut; Keadilan
Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia.
Sejauh
perjalanan bangsa ini dengan Pancasila sebagai weltanschauung-nya (Falsafah),
kita mungkin bisa merenung sejauh apa kita telah berjalan di atas kaidah-kaidah
yang mestinya merupakan penjabaran Pancasila dalam berbangsa dan bernegara. Dan
sudah seberapa jauh goal bangsa kita (Sila Kelima) ini kita capai?
Kerisauan
melihat semakin merebaknya kekerasan, permusuhan dan intoleranansi menunjukan
bahwa kemanusian yang adil dan beradab serta persatuan Indonesia yang dijiwai
nilai-nilai Ketuhanan belumlah tersarikan dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara kita. Ketimpangan penegakan hukum, UU pro kapitalis, kapitalisasi di segala lini kehidupan, kesenjangan
kesejahteraan sosial ekonomi, dan lain sebagainya, mengindikasikan bahwa kita
belum benar-benar berjalan di atas jalan yang benar, jalan yang lurus sesuai Pancasila.
Juga kita belum mencapai target keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia
secara menyeluruh.
Belum tercapainya target “Keadilan Sosial Bagi Seluruh
Rakyat Indonesia” menyisakan tanda tanya besar bagi kita. Apa sesungguhnya
problema yang sebenarnya menghambat kita dalam mencapai tujuan ini? Hal ini
bisa kita jawab dengan menggunakan pendekatan Himpunan Bagian, namun tanpa
keluar dari bagian-bagian (sila-sila) Pancasila itu sendiri. Secara sederhana dalam rumusan teori Himpunan,
hubungan hierarkis antar sila ini dapat dirumuskan melalui stratifikasi bagian
(subset) seperti berikut; 5 ⊆ 4 ⊆ 3 ⊆ 2 ⊆ 1. Artinya sila kelima merupakan bagian dari sila keempat,
sila keempat merupakan bagian dari sila ke tiga dan seterusnya. Dengan demikian
jika kita ingin melihat problema sila kelima maka tidak bisa tidak kita harus
melihatnya di sila-sila sebelumnya hingga pada akarnya atau semesta tertinggi
yang menghimpun sila-sila lainnya tersebut.
Sila-sila dalam
Pancasila merupakan satu kesatuan yang terintegral. Sehingga susunan-susunan
yang terdapat di sana pun tidaklah perlu dirubah/diobok-obok lagi karena sudah
tepat adanya. Oleh karena sila-sila yang ada di dalamnya merupakan satu
kesatuan yang terintegralkan, maka tiap-tiap sila-nya tidak dapat berdiri
sendiri atau dipisahkan dari sila-sila lainnya. Begitupun apabila kita
memandang sila kelima “Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia” ini.
Jika kita kaji
problema Sila Kelima dengan pendekatan Himpunan Bagian maka kita akan bergerak
ke belakang, melihat kembali sejauh mana sila-sila Pancasila sebelum Sila
Kelima ini dioperasionalkan dalam pola pikir dan pola tindak kita sebagai
masyarakat Indonesia yang Pancasilais.
Yang pertama
bisa kita lihat pada Sila Keempat, “Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmat
Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan Perwakilan”. Sudahkah aktor-aktor berdasi
kita yang berlagak di gedung MPR dan DPR adalah orang-orang yang hikmat dan
bijaksana serta mengedepankan permusyawaratan dan kerakyatan?
Sila Keempat
ini memuat lima poin penting; Kerakyatan, Hikmat, Kebijaksanaan,
Permusyawaratan Dan Perwakilan; merupakan kata-kata yang memiliki nilai agung, sakral,
dan entitas yang muluk, terdepan yang harus dimiliki oleh setiap aktor berdasi
dibalik gedung rakyat. Kata “kerakyatan” adalah filosofi tanah bukan filosofi
elang. Rendah dan terhampar di kolong langit, menjadi fondasi berdirinya
bangunan keadilan. Hikmat dan Bijaksana di sini artinya beriman dan berilmu.
“Hikmat Kebijaksanaan” adalah bahasa filosofi yang padat makna. Ia adalah air
jernih yang mengalir dengan penuh kesejukan, sebagai mata air keadilan. Hikmat
kebijaksanaan adalah dasar bangunan kesejahteraan
dengan keimanan dan kecerdasan akal budi, jujur serta adil dalam setiap rumusan
yang lahir dalam Majelis Permusyawaratan. Hikmat Kebijaksanaan yang beriman dan
berkecerdasan akal budi, jujur serta adil juga merupakan dasar dalam setiap
keputusan yang digoreskan pena di atas kertas Dewan perwakilan sebagai petugas
Rumah Tangga bersama Pemerintah. Inilah point-point penting yang harus dimiliki
dan dijiwai oleh aktor-aktor berdasi, bermobil mewah. Jika point-point Sila
Keempat ini belum dapat dimiliki dan direduksi dalam diri tiap kita, terutama
aktor-aktor berdasi dan berjas mentereng maka inilah biang kegagalan
tercapainya Sila Kelima.
Dan ternyata aktor-aktor
berdasi kita yang berlagak di gedung MPR dan DPR belumlah sepenuhnya memilki
jiwa hikmat dan bijaksana serta mengedepankan permusyawaratan dan kerakyatan.
Hal ini dapat kita lihat pada setiap kebijakan-kebijakan yang mereka lahirkan,
lebih banyak yang tidak berkeadilan dan pro terhadap rakyat akan tetapi lebih
pro kepada kaum kapitalis. Selain itu korupsi dan praktek suap masih saja
dilestarikan di gedung-gedung kerakyatan.
Kegagalan sila
keempat dalam memproduksi Sila Kelima mengharuskan kita membuat satu langkah
lagi kebelakang, ke semesta yang menaungi sila keempat dan kelima. Kita dapat
mendiagnosa sila ketiga sebagai sebab kegagalan ini. “Persatuan Indonesia”
perlu kita inderai kembali, kita teropong dalam kehidupan sosial politik kita.
Menghitung eksistensinya dalam dialektika sosial politik yang sporadis, serta
mengkalkulasikannya dalam kesadaran diri tiap kita atas realitas Kebhinekaan
yang ber-Ika dalam NKRI.
Kebhinekaan
kita dalam ranah sosial (SARA) serta Politik (parpol) sudahkan ber-Ika dalam
Majelis Permusyawaratan dan Dewan Perwakilan? Ataukah justru masih sporadis?
Hanya ber-Ika dalam persamaan, belum sampai pada ber-Ika dalam perbedaan. Pertempuran
dan tarik ulur kepentingan baik fraksi maupun partai dalam sidang-sidang
Kerakyatan hingga melahirkan kebijakan-kebijakan politis (bukan kebaikan) yang
menguntungkan sekelompok orang/golongan tertentu saja. Serta adanya
kubu-kubu/fraksi-fraksi di dalam rumah kerakyatan menunjukan bahwa aktor-aktor
di gedung-gedung kerakyatan masihlah belum bersatu memikirkan nasib rakyat.
Kalau ini yang
terjadi maka mau tidak mau kita harus menengok keluarga dan dunia pendidikan
sebagai laboraturium pengolah kecerdasan dan sikap anak bangsa pada semesta
sebelum sila ketiga. Sudahkah keluarga sebagai madrasah pertama dan dunia
pendidikan kita mengajari anak bangsa kita untuk memiliki nilai “Kemanusiaan yang
adil dan beradab, sebagai Sila Kedua Pancasila?” Adil (menempatkan sesuatu
berdasarkan kualitas/porsi) dalam pola pikir dan pola laku sehingga melahirkan
sikap yang beradab. Yang pada gilirannya, nilai-nilai kemanusiaan dan
keberadaban tersebut melahirkan jiwa-jiwa yang saling menghormati dan
menghargai dalam perbedaan. Sehingga mereka mampu bersatu dalam perbedaan
tersebut dengan mengeliminir ke-egoan.
Jika kedua
laboratorium ini (keluarga dan dunia pendidikan) belum bisa menghasilkan
bibit-bibit unggul yang manusiawi, adil dan beradab maka terpaksa kita kembali
ke hulu. Melihat mata air sumber segala kehidupan, “Ketuhanan yang Maha Esa.”
Sang Causa Prima “Tuhan” mungkin belum sungguh-sungguh kita jadikan sebagai
pijakan nilai dalam kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia.
Kita belum
dapat memperjelas benang merah keber-Tuhanan kita yang beragam dalam satu cawan
putih Indonesia. Ajaran keber-Tuhanan yang sama di semua wadah yang bernama
Agama, yaitu ajaran Cinta Kasih, Welas Asih, Rahman Rahim. Kita belum bisa
mengangkat nilai-nilai universal dalam keber-Tuhanan untuk di-ejewantahkan
dalam cawan putih Indonesia, serta kita masih “iseng” kepada Tuhan dan belum
menjadikan Tuhan sebagai landasan gerak dalam setiap langkah (baca juga; setiap
sila). Hal ini berpengaruh pada setiap tetes air yang mengalir, lepas dari
Hulunya. Akibatnya hilir yang jernih, bersih, berkeadilan sosial (keadilan
sesuai fitrah manusia) yang merata tak kunjung kita peroleh. Inilah
problema/akar masalah kita yang perlu kita entaskan. Maka perlu perwujudan
Tuhan dalam setiap gerak kita dalam memaknai dan menjalankan semua sila yang
ada dalam Pancasila.
Dengan demikian
untuk mengatasi problema pada sila kelima serta sila-sila setelah sila pertama,
maka tidak bisa tidak semuanya harus dikembalikan pada sila pertama, Ketuhanan
Yang Maha Esa sebagai causa prima dan sumber dari kehidupan serta segala yang
ada. Atau dalam dunia himpunan, sila pertama “Ketuhanan Yang Maha Esa” sebagai
semesta pembicaraan yang menaungi sila-sila lainnya di bawahnya/di dalamnya
haruslah menjadi ruh bagi setiap sila berikutnya.
0 komentar:
Post a Comment