Banner 468 x 60px

 

Sunday, January 15, 2017

Mendiagnosa Akar Problema Sila Kelima Pancasila

0 komentar
Garuda Pancasila
Pancasila merupakan falsafah dan sumber hukum bagi segala kebijakan yang menjadi rujukan penyelenggaraan negara Indonesia. Sebagai falsafah dan sumber hukum, Pancasila bukanlah sesuatu yang hadir begitu saja atau sebagai proses kerja akal para pencetusnya. Ia tidak terbentuk secara mendadak serta bukan hanya diciptakan oleh seseorang sebagaimana yang terjadi pada ideologi-ideologi lain di dunia. Namun, terbentuknya Pancasila melalui proses yang cukup panjang dalam sejarah bangsa Indonesia. Dalam proses terbentuknya Pancasila dirumuskan oleh para pendiri bangsa Indonesia (The Founding Fathers) dengan menggali nilai-nilai yang dimiliki bangsa Indonesia, dan disintesiskan dengan pemikiran-pemikiran besar dunia.
Asal-muasal Pancasila secara tidak langsung, bilamana kita rincikan, maka;
Pertama, unsur-unsur Pancasila tersebut sebelum secara langsung dirumuskan menjadi dasar filsafat negara, nilai-nilainya yaitu, nilai Ketuhanan, nilai Kemanusiaan, nilai Persatuan, nilai Kerakyatan dan nilai Keadilan telah ada dan tercermin dalam kehidupan sehari-hari bangsa Indonesia sebelum membentuk negara.
Kedua, nilai-nilai tersebut terkandung dalam pandangan hidup masyarakat Indonesia sebelum membentuk negara, yang berupa nilai-nilai adat istiadat, nilai kebudayaan serta nilai-nilai religius. Nilai-nilai tersebut menjadi pedoman dalam memecahkan problema kehidupan sehari-hari bangsa Indonesia.
Dengan demikian, maka Pancasila bukan merupakan hasil perenungan atau pemikiran seseorang, atau sekelompok orang bahkan Pancasila juga bukan merupakan hasil sintesis paham-paham dunia saja, melainkan nilai-nilai Pancasila secara tidak langsung telah terkandung dalam pandangan hidup bangsa Indonesia.
Selain sebagai falsafah dan sumber hukum negara Indonesia, Pancasila juga sebagai Ideologi negara. Dalam arti cita-cita negara yaitu cita-cita yang menjadi basis bagi suatu sistem kenegaraan untuk seluruh rakyat dan bangsa Indonesia. Lazimnya, Pancasila sebagai ideologi bangsa yang memuat lima sila, dibaca/dilihat sebagai satu kesatuan yang utuh dan terintegral. Namun, juga bisa kita baca/lihat secara sila demi sila.
Maka akan kita dapati bahwa di dalam sila-sila Pancasila termuat juga satu tujuan (causa finalis) kebernegaraan Indonesia. Puncak tujuan/cita-cita perjuangan itu bermuara dalam Sila kelima yakni, “Negara harus mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh negara Indonesia”. Hal ini juga termuat dalam UUD 1945 alinea keempat.
Pokok pikiran Sila kelima ini merupakan suatu tujuan atau cita-cita luhur yang ingin dicapai dalam Pembukaan UUD 1945 dan merupakan suatu causa finalis (sebab tujuan), sehingga dapat menentukan jalan serta aturan-aturan mana yang yang harus dilaksanakan dalam Undang-Undang Dasar untuk sampai pada tujuan tersebut; keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Dan untuk proses peneguhan hilir tersebut, semua jalan yang dilalui haruslah menjunjung keadilan.
Masalah pokok dalam mewujudkan cita-cita negara Pancasila adalah bagaiman Pancasila bisa menjadi rujukan setiap kebijakan negara dan kemudian menjadi rujukan bagi setiap warga negara menjadi warga negara yang baik. Tidak hanya dipahami secara “makro” tetapi juga setiap “mikro”. Bagaimana operasionalnya. Bagaimana prosesnya sehingga tujuan cita-cita negara Pancasila bisa kita wujudkan. Singkatnya, bagaimana Pancasila bisa menjadi budaya setiap warga negara.
Saat ini, kita menjadi sangat pragmatis, sehingga (sesungguhnya) abai terhadap Pancasila. Meskipun kita mengaku Pancasilais, dalam pemecahan masalah kita lupa merujuk ke Pancasila. Wajar, kalau Pancasila tidak dirasakan getarnya di masyarakat. Pancasila, bahkan sempat dilupakan, tidak menjadi rujukan bahkan tidak banyak disebut. Wajar pula, kalau banyak terjadi konflik. Bahkan kita baru menyadari, ketika terasa karakter bangsa sudah meredup.
Sejauh perjalanan bangsa ini dengan Pancasila sebagai Weltanschauungnya (Falsafah), kita mungkin bisa merenung sejauh apa kita telah berjalan di atas kaidah-kaidah yang mestinya merupakan penjabaran Pancasila dalam berbangsa dan bernegara. Dan sudah seberapa jauh goal bangsa kita (Sila Kelima) ini kita capai? Kerisauan melihat semakin merebaknya kekerasan, permusuhan, sikap intoleran, ketimpangan penegakan hukum, kesenjangan kesejahteraan sosial ekonomi dan lain sebagainya, mengindikasikan bahwa kita belum benar-benar berjalan di atas jalan yang benar, jalan yang lurus sesuai Pancasila. Juga kita belum mencapai target keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia secara menyeluruh.
Belum tercapainya target “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia” menyisakan tanda tanya besar bagi kita. Apa sesungguhnya problema yang sebenarnya menghambat kita dalam mencapai tujuan ini?
Alih-alih kita membaca/melihat sila-sila Pancasila sebagai satu kesatuan yang utuh dan terintegrasi, kita juga perlu mengkajinya secara terpisah (Sila demi sila). Maka tidak ada salahnya pertanyaan di atas kita lakukan demikian. Pancasila kita ibarat sebuah kali di mana sila pertama sebagai hulu dan sila kelima sebagai hilir atau muara. Jika muaranya itu kotor dan berlumpur, maka perlu kita telusuri aliran-aliran air itu ke belakang hingga pada pangkalnya, yaitu sila pertama sebagai hulu.
Jika kita kaji problema di atas (belum terwujudnya sila kelima) maka kita akan bergerak ke belakang, melihat kembali sejauh mana sila-sila Pancasila sebelum Sila Kelima ini dioperasionalkan dalam pola pikir dan pola tindak kita sebagai masyarakat Indonesia yang Pancasilais.
Problema yang pertama bisa kita lihat pada Sila Keempat, “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan”. Sudahkah aktor-aktor berdasi kita yang berlagak di gedung MPR dan DPR adalah orang-orang yang hikmat dan bijaksana serta mengedepankan permusyawaratan dan kerakyatan?
Sila Keempat ini memuat lima poin penting; kerakyatan, hikmat, kebijaksanaan, permusyawaratan dan perwakilan; merupakan kata-kata yang memiliki nilai agung, sakral, dan entitas yang muluk, terdepan yang harus dimiliki oleh setiap aktor berdasi dibalik gedung rakyat. Kata “kerakyatan” adalah filosofi tanah bukan filosofi elang. Rendah dan terhampar di kolong langit, menjadi fondasi berdirinya bangunan keadilan. “Hikmat Kebijaksanaan” adalah bahasa filosofi dan ilmu, padat makna. Ia adalah air jernih yang mengalir dengan penuh kesejukan, sebagai mata air keadilan. Hikmat kebijaksanaan adalah dasar  bangunan kesejahteraan dengan berkecerdasan akal budi, jujur serta adil dalam setiap rumusan yang lahir dalam Majelis Permusyawaratan. Hikmat kebijaksanaan yang berkecerdasan akal budi, jujur serta adil juga merupakan dasar dalam setiap keputusan yang digoreskan pena di atas kertas Dewan perwakilan sebagai petugas Rumah Tangga bersama Pemerintah. Inilah point-point penting yang harus dimiliki dan dijiwai oleh aktor-aktor berdasi, bermobil mewah. Jika point-point Sila Keempat ini belum dapat dimiliki dan direduksi dalam diri tiap kita, terutama aktor-aktor berdasi dan berjas mentereng maka inilah biang kegagalan tercapainya Sila Kelima.
Kegagalan sila keempat dalam memproduksi Sila Kelima mengharuskan kita membuat satu langkah lagi kebelakang. Kita dapat mendiagnosa sila ketiga sebagai sebab kegagalan ini. “Persatuan Indonesia” perlu kita inderai kembali, kita teropong dalam kehidupan sosial politik kita. Menghitung eksistensinya dalam dialektika sosial politik yang sporadis, serta mengkalkulasikannya dalam kesadaran diri tiap kita atas realitas Kebhinekaan yang ber-Ika dalam NKRI.
Kebhinekaan kita dalam ranah sosial (SARA) serta Politik (parpol) sudahkan ber-Ika dalam Majelis Permusyawaratan dan Dewan Perwakilan? Ataukah justru masih sporadis? Hanya ber-Ika dalam persamaan, belum sampai pada ber-Ika dalam perbedaan. Bahkan dalam persamaan pun kerap kita masih berbeda satu sama lain. Di dalam ikatan agama yang sama misalnya pun masih timbul egoisme di anatar kita, kita belum melihatnya sebagai sebuah rahmat lantaran perbedaan persepsi kita dalam menafsirkan pesan-pesan ilahi. Hal serupa pun melanda partai-partai politik kita hari ini. Perpecahan internal menjadikan para politisi kita sibuk saling menyalahkan dan membenah diri, akibatnya mereka lupa mengurusi negara dan masyarakat secara baik dan benar.
Kalau ini yang terjadi maka mau tidak mau kita harus menengok keluarga, dunia pendidikan dan lingkungan masyarakat sebagai laboraturium pengolah kecerdasan dan sikap anak bangsa. Sudahkah keluarga sebagai madrasah pertama dan dunia pendidikan kita mengajari anak bangsa kita untuk memiliki nilai “Kemanusiaan yang adil dan beradab, sebagai Sila Kedua Pancasila?” Sudahkah keluarga sebagai dapur negara meracik generasi muda bangsa kita menjadi manusia yang semestinya. Lalu menyajikannya sebagai generasi-generasi yang tangguh dan siap terjun ke masyarakat. Sudahkan pendidikan kita dan sistemnya mengajari generasi-generasi pelajar kita bersikap adil (Adil; menempatkan sesuatu berdasarkan kualitas/porsi). Sudahkah lingkungan masyarakat kita mencontohkan adab yang baik kepada generasi muda-mudi kita? Nyatanya, keluarga kita masih dijejali ketidak harmonisan antar suami istri, orang tua dengan anak maupun anak dengan anak. Kasus KDRT masih belum terselesaikan secara tuntas. Pendidikan kita masih sibuk dengan gonta-ganti kurikulum, tenaga pengajar dan fasilitas pendidikan masih jauh dari kata High Quality, serta biaya pendidikan yang terbilang masih sangat tinggi. Juga lingkungan masyarakat kita pun belum menyediakan tempat yang nyaman bagi anak-anak bangsa kita, egosentris, kekerasan, permusuhan dan lain sebagainya masih tersaji dengan lezat di sana.
Jika ketiga laboratorium ini (keluarga, dunia pendidikan dan lingkungan masyarakat) belum bisa menghasilkan bibit-bibit unggul yang manusiawi, adil dan beradab maka terpaksa kita kembali ke hulu. Melihat mata air sumber segala kehidupan, “Ketuhanan yang Maha Esa.” Sang Causa Prima “Tuhan” mungkin belum sungguh-sungguh kita jadikan sebagai pijakan nilai dalam kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia.
Kita belum dapat memperjelas benang merah keber-Tuhanan kita yang beragam dalam satu cawan putih Indonesia. Ajaran keber-Tuhanan yang sama di semua wadah yang bernama Agama, yaitu ajaran Cinta Kasih, Welas Asih, Rahman Rahim. Kita belum bisa mengangkat nilai-nilai universal dalam keber-Tuhanan untuk di-ejewantahkan dalam cawan putih Indonesia, serta kita masih “iseng” kepada Tuhan dan belum menjadikan Tuhan sebagai landasan gerak dalam setiap langkah (baca juga; setiap sila). Hal ini berpengaruh pada setiap tetes air yang mengalir, lepas dari hulunya. Akibatnya hilir yang jernih, bersih, berkeadilan sosial yang merata tak kunjung kita peroleh. Inilah problema/akar masalah kita yang perlu kita entaskan. Maka perlu perwujudan Tuhan dalam setiap gerak kita dalam memaknai dan menjalankan semua sila yang ada dalam Pancasila.
Setiap umat beragama tentu meyakini bahwa agamanya mengajarkan kebaikan bagi dirinya dan sendiri dan orang lain. Kalau setiap umat beragama mengamalkan ajaran agamanya dengan benar, tidak akan ada konflik berdasarkan agama maupun konflik/kejahatn lainnya jika Tuhan senantiasa ada dalam hati kita. Kita tahu bersama juga bahwa setiap umat beragama wajib berbuat baik kepada siapa saja, termasuk yang berbeda agama.
Maka, alangkah besar potensi Indonesia dengan keberagaman agama itu kalau setiap umat beragama mengamalkan ajaran agamanya dengan benar. Nilai moral yang tinggi akan mewarnai moral bangsa ini. tidak akan ada konflik dalam kehidupan kebangsaan kita.
Yang diperlukan adalah keteladanan bagaimana kita bisa menerima perbedaan itu. Misalnya dalam Islam, nabi Muhammad SAW telah memberi contoh. Pada tahun 10 H (631 M) nabi Muhammad di datango delegasi umat kristiani yang berjumlah 60 orang dari Najran, sebuah daerah sekitar 720 KM selatan dari Madinah. Mereka diterima di masjid nabi dan diperkenankan beribadah sesuai dengan agamanya di masjid nabi.
Selama tiga hari tiga malam mereka berdialog tentang tabiat tuhan dan Isa as. Namun dialog itu tidak dapat menemukan kesepakatan. Mereka tetap pada pendirian bahwa ajaran Muhammad SAW tidak akan bisa diterima karena bertentangan dengan ajaran yang mereka yakini.
Kendati demikian, Rasulullah bersedia melakukan persetujuan damai, antara lain berisikaan bahwa warga kristiani mendapatkan keamanan Allah dan RasulNya baik bagi kehidupan mereka sehari-hari, agama dan harta kekayaan mereka. Tidak akan ada intervensi dalam agamadan peribadatan mereka. Tidak akan ada perubahan dalam hak-hak kelebihan mereka. Tidak akan ada perusakan bagi rumah ibadah atau simbol keagamaan lainnya.
Jika ada di antara mereka mencari keadilan atas orang-orang Islam, keadilan akan ditegakan dia antara mereka. Perjanjian itu dikenal sebagai Perjanjian Najran, yang menunjukan kebesaran Nabi menyikapi perbedaan yang bersifat teologis. Sebagai manusia, kita harus dapat hidup secara damai.
Tak berlebih bila dikatakan, agama bisa jadi landasan kuat bagi perwujudan Bhineka Tunggal Ika.  Dan landasan primer kita dalam mengejar cita-cita bangsa ini yang tersebutkan dalam sila kelima Pancasila. Walau sejauh ini masih dalam tahap mimpi.
Mari kita berbenah hulu (kebertuhanan) kita agar air yang mengalir sampai ke hilir pun tetap terjaga kemurnian/kebersihannya. Tuhan senantiasa ada dalam setiap tapak langkah kita menuju tujuan yang sifatnya never ending kata orang.
Namun, setapak demi setapak tujuan itu selayaknya bisa didekati. Tidak sebaliknya justru semakin menjauh, sehingga Indonesia masa depan bukan Indonesia sesuai apa negara didirikan. Dalam hal ini wujud yang sangat terasa adalah adanya kesenjangan di segala bidang, yang merupakan wujud ketidakadilan hukum, ekonomi dan  kesempatan memperoleh hak-haknya bagi setiap warga negara. Semua itu diperlukan agar cinta keadilan sosial merupakan wujud kerja kita bersama di dalam mewujudkan cita-cita negara Pancasila, sebagaiman termaktub dalam sila kelima Pancasila. Inilah pekerjaan rumah kita bersama, yang tampaknya belum akan selesai dalam waktu yang singkat.

0 komentar:

Post a Comment

 
ZN _ LEFOKISSU © 2017