Garuda Pancasila |
Pancasila merupakan
falsafah dan sumber hukum bagi segala kebijakan yang menjadi rujukan
penyelenggaraan negara Indonesia. Sebagai falsafah dan sumber hukum, Pancasila
bukanlah sesuatu yang hadir begitu saja atau sebagai proses kerja akal para
pencetusnya. Ia tidak terbentuk secara mendadak serta bukan hanya diciptakan
oleh seseorang sebagaimana yang terjadi pada ideologi-ideologi lain di dunia.
Namun, terbentuknya Pancasila melalui proses yang cukup panjang dalam sejarah
bangsa Indonesia. Dalam proses terbentuknya Pancasila dirumuskan oleh para
pendiri bangsa Indonesia (The Founding
Fathers) dengan menggali nilai-nilai yang dimiliki bangsa Indonesia, dan
disintesiskan dengan pemikiran-pemikiran besar dunia.
Asal-muasal Pancasila
secara tidak langsung, bilamana kita rincikan, maka;
Pertama, unsur-unsur Pancasila tersebut sebelum secara langsung dirumuskan
menjadi dasar filsafat negara, nilai-nilainya yaitu, nilai Ketuhanan, nilai
Kemanusiaan, nilai Persatuan, nilai Kerakyatan dan nilai Keadilan telah ada dan
tercermin dalam kehidupan sehari-hari bangsa Indonesia sebelum membentuk
negara.
Kedua,
nilai-nilai tersebut terkandung dalam pandangan hidup masyarakat Indonesia
sebelum membentuk negara, yang berupa nilai-nilai adat istiadat, nilai
kebudayaan serta nilai-nilai religius. Nilai-nilai tersebut menjadi pedoman
dalam memecahkan problema kehidupan sehari-hari bangsa Indonesia.
Dengan
demikian, maka Pancasila bukan merupakan hasil perenungan atau pemikiran
seseorang, atau sekelompok orang bahkan Pancasila juga bukan merupakan hasil
sintesis paham-paham dunia saja, melainkan nilai-nilai Pancasila secara tidak
langsung telah terkandung dalam pandangan hidup bangsa Indonesia.
Selain sebagai
falsafah dan sumber hukum negara Indonesia, Pancasila juga sebagai Ideologi
negara. Dalam arti cita-cita negara yaitu cita-cita yang menjadi basis bagi
suatu sistem kenegaraan untuk seluruh rakyat dan bangsa Indonesia. Lazimnya, Pancasila
sebagai ideologi bangsa yang memuat lima sila, dibaca/dilihat sebagai satu kesatuan
yang utuh dan terintegral. Namun, juga bisa kita baca/lihat secara sila demi
sila.
Maka akan kita
dapati bahwa di dalam sila-sila Pancasila termuat juga satu tujuan (causa
finalis) kebernegaraan Indonesia. Puncak tujuan/cita-cita perjuangan itu
bermuara dalam Sila kelima yakni, “Negara harus mewujudkan keadilan sosial bagi
seluruh negara Indonesia”. Hal ini juga termuat dalam UUD 1945 alinea keempat.
Pokok pikiran Sila
kelima ini merupakan suatu tujuan atau cita-cita luhur yang ingin dicapai dalam
Pembukaan UUD 1945 dan merupakan suatu causa finalis (sebab tujuan), sehingga
dapat menentukan jalan serta aturan-aturan mana yang yang harus dilaksanakan dalam
Undang-Undang Dasar untuk sampai pada tujuan tersebut; keadilan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia. Dan untuk proses peneguhan hilir tersebut, semua
jalan yang dilalui haruslah menjunjung keadilan.
Masalah pokok
dalam mewujudkan cita-cita negara Pancasila adalah bagaiman Pancasila bisa
menjadi rujukan setiap kebijakan negara dan kemudian menjadi rujukan bagi
setiap warga negara menjadi warga negara yang baik. Tidak hanya dipahami secara
“makro” tetapi juga setiap “mikro”. Bagaimana operasionalnya. Bagaimana
prosesnya sehingga tujuan cita-cita negara Pancasila bisa kita wujudkan.
Singkatnya, bagaimana Pancasila bisa menjadi budaya setiap warga negara.
Saat ini, kita menjadi
sangat pragmatis, sehingga (sesungguhnya) abai terhadap Pancasila. Meskipun
kita mengaku Pancasilais, dalam pemecahan masalah kita lupa merujuk ke Pancasila.
Wajar, kalau Pancasila tidak dirasakan getarnya di masyarakat. Pancasila,
bahkan sempat dilupakan, tidak menjadi rujukan bahkan tidak banyak disebut.
Wajar pula, kalau banyak terjadi konflik. Bahkan kita baru menyadari, ketika
terasa karakter bangsa sudah meredup.
Sejauh
perjalanan bangsa ini dengan Pancasila sebagai Weltanschauungnya (Falsafah),
kita mungkin bisa merenung sejauh apa kita telah berjalan di atas kaidah-kaidah
yang mestinya merupakan penjabaran Pancasila dalam berbangsa dan bernegara. Dan
sudah seberapa jauh goal bangsa kita (Sila Kelima) ini kita capai? Kerisauan
melihat semakin merebaknya kekerasan, permusuhan, sikap intoleran, ketimpangan
penegakan hukum, kesenjangan kesejahteraan sosial ekonomi dan lain sebagainya,
mengindikasikan bahwa kita belum benar-benar berjalan di atas jalan yang benar,
jalan yang lurus sesuai Pancasila. Juga kita belum mencapai target keadilan
sosial bagi seluruh rakyat Indonesia secara menyeluruh.
Belum
tercapainya target “Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia” menyisakan
tanda tanya besar bagi kita. Apa sesungguhnya problema yang sebenarnya
menghambat kita dalam mencapai tujuan ini?
Alih-alih kita
membaca/melihat sila-sila Pancasila sebagai satu kesatuan yang utuh dan
terintegrasi, kita juga perlu mengkajinya secara terpisah (Sila demi sila).
Maka tidak ada salahnya pertanyaan di atas kita lakukan demikian. Pancasila
kita ibarat sebuah kali di mana sila pertama sebagai hulu dan sila kelima
sebagai hilir atau muara. Jika muaranya itu kotor dan berlumpur, maka perlu
kita telusuri aliran-aliran air itu ke belakang hingga pada pangkalnya, yaitu
sila pertama sebagai hulu.
Jika kita kaji
problema di atas (belum terwujudnya sila kelima) maka kita akan bergerak ke
belakang, melihat kembali sejauh mana sila-sila Pancasila sebelum Sila Kelima ini
dioperasionalkan dalam pola pikir dan pola tindak kita sebagai masyarakat
Indonesia yang Pancasilais.
Problema yang
pertama bisa kita lihat pada Sila Keempat, “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan”. Sudahkah aktor-aktor berdasi
kita yang berlagak di gedung MPR dan DPR adalah orang-orang yang hikmat dan
bijaksana serta mengedepankan permusyawaratan dan kerakyatan?
Sila Keempat
ini memuat lima poin penting; kerakyatan, hikmat, kebijaksanaan, permusyawaratan
dan perwakilan; merupakan kata-kata yang memiliki nilai agung, sakral, dan
entitas yang muluk, terdepan yang harus dimiliki oleh setiap aktor berdasi
dibalik gedung rakyat. Kata “kerakyatan” adalah filosofi tanah bukan filosofi
elang. Rendah dan terhampar di kolong langit, menjadi fondasi berdirinya
bangunan keadilan. “Hikmat Kebijaksanaan” adalah bahasa filosofi dan ilmu,
padat makna. Ia adalah air jernih yang mengalir dengan penuh kesejukan, sebagai
mata air keadilan. Hikmat kebijaksanaan adalah dasar bangunan kesejahteraan dengan berkecerdasan
akal budi, jujur serta adil dalam setiap rumusan yang lahir dalam Majelis
Permusyawaratan. Hikmat kebijaksanaan yang berkecerdasan akal budi, jujur serta
adil juga merupakan dasar dalam setiap keputusan yang digoreskan pena di atas
kertas Dewan perwakilan sebagai petugas Rumah Tangga bersama Pemerintah. Inilah
point-point penting yang harus dimiliki dan dijiwai oleh aktor-aktor berdasi,
bermobil mewah. Jika point-point Sila Keempat ini belum dapat dimiliki dan
direduksi dalam diri tiap kita, terutama aktor-aktor berdasi dan berjas
mentereng maka inilah biang kegagalan tercapainya Sila Kelima.
Kegagalan sila
keempat dalam memproduksi Sila Kelima mengharuskan kita membuat satu langkah
lagi kebelakang. Kita dapat mendiagnosa sila ketiga sebagai sebab kegagalan
ini. “Persatuan Indonesia” perlu kita inderai kembali, kita teropong dalam
kehidupan sosial politik kita. Menghitung eksistensinya dalam dialektika sosial
politik yang sporadis, serta mengkalkulasikannya dalam kesadaran diri tiap kita
atas realitas Kebhinekaan yang ber-Ika dalam NKRI.
Kebhinekaan
kita dalam ranah sosial (SARA) serta Politik (parpol) sudahkan ber-Ika dalam
Majelis Permusyawaratan dan Dewan Perwakilan? Ataukah justru masih sporadis?
Hanya ber-Ika dalam persamaan, belum sampai pada ber-Ika dalam perbedaan. Bahkan
dalam persamaan pun kerap kita masih berbeda satu sama lain. Di dalam ikatan
agama yang sama misalnya pun masih timbul egoisme di anatar kita, kita belum
melihatnya sebagai sebuah rahmat lantaran perbedaan persepsi kita dalam
menafsirkan pesan-pesan ilahi. Hal serupa pun melanda partai-partai politik
kita hari ini. Perpecahan internal menjadikan para politisi kita sibuk saling
menyalahkan dan membenah diri, akibatnya mereka lupa mengurusi negara dan
masyarakat secara baik dan benar.
Kalau ini yang
terjadi maka mau tidak mau kita harus menengok keluarga, dunia pendidikan dan
lingkungan masyarakat sebagai laboraturium pengolah kecerdasan dan sikap anak
bangsa. Sudahkah keluarga sebagai madrasah pertama dan dunia pendidikan kita
mengajari anak bangsa kita untuk memiliki nilai “Kemanusiaan yang adil dan
beradab, sebagai Sila Kedua Pancasila?” Sudahkah keluarga sebagai dapur negara
meracik generasi muda bangsa kita menjadi manusia yang semestinya. Lalu
menyajikannya sebagai generasi-generasi yang tangguh dan siap terjun ke
masyarakat. Sudahkan pendidikan kita dan sistemnya mengajari generasi-generasi
pelajar kita bersikap adil (Adil; menempatkan sesuatu berdasarkan
kualitas/porsi). Sudahkah lingkungan masyarakat kita mencontohkan adab yang
baik kepada generasi muda-mudi kita? Nyatanya, keluarga kita masih dijejali
ketidak harmonisan antar suami istri, orang tua dengan anak maupun anak dengan
anak. Kasus KDRT masih belum terselesaikan secara tuntas. Pendidikan kita masih
sibuk dengan gonta-ganti kurikulum, tenaga pengajar dan fasilitas pendidikan
masih jauh dari kata High Quality,
serta biaya pendidikan yang terbilang masih sangat tinggi. Juga lingkungan
masyarakat kita pun belum menyediakan tempat yang nyaman bagi anak-anak bangsa
kita, egosentris, kekerasan, permusuhan dan lain sebagainya masih tersaji
dengan lezat di sana.
Jika ketiga
laboratorium ini (keluarga, dunia pendidikan dan lingkungan masyarakat) belum
bisa menghasilkan bibit-bibit unggul yang manusiawi, adil dan beradab maka
terpaksa kita kembali ke hulu. Melihat mata air sumber segala kehidupan,
“Ketuhanan yang Maha Esa.” Sang Causa Prima “Tuhan” mungkin belum
sungguh-sungguh kita jadikan sebagai pijakan nilai dalam kehidupan berbangsa
dan bernegara Indonesia.
Kita belum
dapat memperjelas benang merah keber-Tuhanan kita yang beragam dalam satu cawan
putih Indonesia. Ajaran keber-Tuhanan yang sama di semua wadah yang bernama
Agama, yaitu ajaran Cinta Kasih, Welas Asih, Rahman Rahim. Kita belum bisa
mengangkat nilai-nilai universal dalam keber-Tuhanan untuk di-ejewantahkan
dalam cawan putih Indonesia, serta kita masih “iseng” kepada Tuhan dan belum
menjadikan Tuhan sebagai landasan gerak dalam setiap langkah (baca juga; setiap
sila). Hal ini berpengaruh pada setiap tetes air yang mengalir, lepas dari hulunya.
Akibatnya hilir yang jernih, bersih, berkeadilan sosial yang merata tak kunjung
kita peroleh. Inilah problema/akar masalah kita yang perlu kita entaskan. Maka
perlu perwujudan Tuhan dalam setiap gerak kita dalam memaknai dan menjalankan
semua sila yang ada dalam Pancasila.
Setiap umat
beragama tentu meyakini bahwa agamanya mengajarkan kebaikan bagi dirinya dan
sendiri dan orang lain. Kalau setiap umat beragama mengamalkan ajaran agamanya
dengan benar, tidak akan ada konflik berdasarkan agama maupun konflik/kejahatn
lainnya jika Tuhan senantiasa ada dalam hati kita. Kita tahu bersama juga bahwa
setiap umat beragama wajib berbuat baik kepada siapa saja, termasuk yang
berbeda agama.
Maka, alangkah
besar potensi Indonesia dengan keberagaman agama itu kalau setiap umat beragama
mengamalkan ajaran agamanya dengan benar. Nilai moral yang tinggi akan mewarnai
moral bangsa ini. tidak akan ada konflik dalam kehidupan kebangsaan kita.
Yang diperlukan
adalah keteladanan bagaimana kita bisa menerima perbedaan itu. Misalnya dalam
Islam, nabi Muhammad SAW telah memberi contoh. Pada tahun 10 H (631 M) nabi
Muhammad di datango delegasi umat kristiani yang berjumlah 60 orang dari
Najran, sebuah daerah sekitar 720 KM selatan dari Madinah. Mereka diterima di
masjid nabi dan diperkenankan beribadah sesuai dengan agamanya di masjid nabi.
Selama tiga
hari tiga malam mereka berdialog tentang tabiat tuhan dan Isa as. Namun dialog
itu tidak dapat menemukan kesepakatan. Mereka tetap pada pendirian bahwa ajaran
Muhammad SAW tidak akan bisa diterima karena bertentangan dengan ajaran yang
mereka yakini.
Kendati
demikian, Rasulullah bersedia melakukan persetujuan damai, antara lain
berisikaan bahwa warga kristiani mendapatkan keamanan Allah dan RasulNya baik
bagi kehidupan mereka sehari-hari, agama dan harta kekayaan mereka. Tidak akan
ada intervensi dalam agamadan peribadatan mereka. Tidak akan ada perubahan
dalam hak-hak kelebihan mereka. Tidak akan ada perusakan bagi rumah ibadah atau
simbol keagamaan lainnya.
Jika ada di
antara mereka mencari keadilan atas orang-orang Islam, keadilan akan ditegakan
dia antara mereka. Perjanjian itu dikenal sebagai Perjanjian Najran, yang
menunjukan kebesaran Nabi menyikapi perbedaan yang bersifat teologis. Sebagai
manusia, kita harus dapat hidup secara damai.
Tak berlebih
bila dikatakan, agama bisa jadi landasan kuat bagi perwujudan Bhineka Tunggal Ika. Dan landasan primer kita dalam mengejar
cita-cita bangsa ini yang tersebutkan dalam sila kelima Pancasila. Walau sejauh
ini masih dalam tahap mimpi.
Mari kita
berbenah hulu (kebertuhanan) kita agar air yang mengalir sampai ke hilir pun
tetap terjaga kemurnian/kebersihannya. Tuhan senantiasa ada dalam setiap tapak
langkah kita menuju tujuan yang sifatnya never
ending kata orang.
Namun, setapak demi
setapak tujuan itu selayaknya bisa didekati. Tidak sebaliknya justru semakin
menjauh, sehingga Indonesia masa depan bukan Indonesia sesuai apa negara
didirikan. Dalam hal ini wujud yang sangat terasa adalah adanya kesenjangan di
segala bidang, yang merupakan wujud ketidakadilan hukum, ekonomi dan kesempatan memperoleh hak-haknya bagi setiap
warga negara. Semua itu diperlukan agar cinta keadilan sosial merupakan wujud
kerja kita bersama di dalam mewujudkan cita-cita negara Pancasila, sebagaiman
termaktub dalam sila kelima Pancasila. Inilah pekerjaan rumah kita bersama,
yang tampaknya belum akan selesai dalam waktu yang singkat.
0 komentar:
Post a Comment