Banner 468 x 60px

 

Tuesday, January 17, 2017

Dengan atau Tanpa Nomor Urut

0 komentar
Ilustrasi Pemilu
Arsyilaku sayang, berikut ini izinkan aku sekali lagi menuangkan rindu dalam keresahan lewat tulisan yang aku beri judul sebagaimana tertulis paling awal tulisan ini. Bukan Dengan atau Tanpa Nomor Urut dalam mencintaimu. Karena mencintaimu tidak membutuhkan anasir pertanyaan seperti di atas. Karena mencintaimu bukanlah tentang sebuah posisi, mencintaimu tak mengenal di mana ia ditempatkan. Tetapi ini tentang sistem pemilihan dalam politik demokrasi bangsa kita, sayang.
Sayang, pernahkah kau dengar tentang sistem pemilihan Dengan dan Tanpa Nomor Urut? Yah. Kamu tentu pernah dengar/mengetahuinya atau paling tidak pernah berpartisipasi di dalamnya. Kamu mungkin pernah mengikuti pemilihan ketua kelas, ketua kelompok, ketua organisasi, Bupati, Gubernur, Caleg, bahkan mungkin Presiden yang dua tahun lalu kita adakan, itu adalah bebrapa contoh pemilihan (Tanpa Nomor Urut).
Oh yah, tapi alangkah baiknya aku akan memberikan sedikit gambaran bagimu apa itu pemilihan Dengan Nomor Urut dan apa itu pemilihan Tanpa Nomor Urut.
Arsyilaku, dalam pemilihan yang menggunakan sisitem nomor urut, calon yang memiliki nomor urut paling atas/pertama sangat berpeluang besar menjadi pemenang. Walaupun dalam pemilihannya, calon dengan nomor urut paling atas tersebut mendulang suara kecil, dia bisa lolos dengan tambahan suara dari calon lainnya (se-parpol), bahkan calon lain tersebut ada yang memiliki suara lebih banyak dari calon dengan nomor urut paling atas tersebut. Sedangkan pemilihan tanpa nomor urut,  meniscayakan calon yang memiliki suara terbanyaklah yang keluar sebagai pemenangnya.
Berikut ini keresahanku bermula, sayangku. Sebagai seorang aktivis, organisasi adalah dunia baruku yang boleh dibilang asyik ayik tidak atau sedap sedap ngeri. Kenapa begini? Yah, memang beginilah. Sudah menjadi sunatullah, batas dari asyik adalah tidak asyik, batas dari cinta adalah benci. Begitu pula berlaku sebaliknya. Tidak asyik salah satunya ialah (terkadang) sebagai junior, mau tak mau harus turut dan patuh pada senior. Bukan apa sayang. Ini hanya karena tidak ingin oleh senior dibilang pembangkang, kualat, tidak menghormati atau bahkan dibilang sok pintar. Ini bukanlah idealnya seorang aktivis. Seorang aktivis harusnya bebas berpendapat/mengkritik tanpa memandang “siapa”, karena ia melihat “apa”. Tapi apalah daya, terkadang kami harus mencopot baju idealisme kami hanya untuk kami bisa saling memahami.
Begitupula yang saya alami beberapa waktu yang lalu, Asryilaku. Saya bersama teman-teman aktivis lainnya yang tergabung dalam OKP Cipayung, juga beberapa senior melakukan diskusi lepas, sala satu topik yang kami perbincangkan adalah tentang sisitem pemilihan kita saat ini yang menggunakan sistem pemilihan tanpa menggunakan nomor urut.
Gelas demi gelas kopi diseduh oleh bibir-bibir yang kering lantaran banyak melakukan gerak, begitupula kepulan-kepulan asap rokok memenuhi ruangan obrolan kami yang hampir semuanya terisi dengan suara-suara penolakan terhadap pemilihan tanpa nomor urut.
Berbagai argumen dan retorika diluapkan. Aku pun menarik kesimpulan bahwa mereka tidak suka dengan sistem pemilihan tanpa menggunakan nomor. Keresahan dan penolakan itu begitu gamblang dari premis-premis yang mereka susun sehingga melahirkan sebuah konklusi logik dan real. Juga pada nada bicara serta keseriusan raut wajah yang tak jarang terkesan angker.
Mengapa mereka begitu survive dan ngotot menyalahkan sistem ini, Arsyilaku? Satu jawaban yang pasti, Kepentingan. Ia merupakan sebuah ideologi tetap dalam dunia politik, yang dapat menceraikan hubungan persahabatan (Kawan jadi lawan) dan mempersatukan hubungan permusuhan (Lawan jadi kawan).
Namun, di balik tirai kepentingan, menarik untukku ceritakan argumen-argumen mereka untuk kita kaji dan kita pelajari bersama. Juga akan kita bedah setelahnya.
Bagi mereka, sistem ini telah membuka gerbang perpolitikan bagi kaum berduit dan kaum populer sebutlah artis, preman, ketua ormas dlsb yang notabene belum bahkan tidak mapan dalam segi intelektual, perpolitikan dan dunia pergerakan yang bertujuan pada perubahan. Kehadiran pemain-pemain baru ini telah menggeser nilai tawar para aktivis di mata masyarakat. Maklum sayangku, kami para aktivis umumnya rapuh dalam hal ekonomi dan miskin popularitas di mata masyarakat luas. Kami biasanya hanya menjadi artis di dunia aktivis yang tak seberapa luasnya. Sehingga ketika kami terjun ke dunia politik yang ranahnya luas, tampang kami kalah familiar dari artis-artis yang menjual tampang mereka di TV-TV. Atau ketua-ketua ormas bahkan mungkin juga preman yang kesehariannya berciuman wajah secara langsung dnegan masyarakat.
Padahal Arsyilaku, para aktivis itu adalah mereka yang senantiasa mengikuti dialektika politik bangsa ini. Merekalah yang paling sering lantang meneriakan kepincangan politik dan kebijakan pemerintah. Merekalah entitas di luar sistem (pemerintahan) yang lebih peka dan mengetahui dinamika pergolakan politik yang ada di bangsa ini. Serta memiliki pengetahuan dan keterampilan yang mumpuni dalam mengelolah dan menjalankan sebuah sisitem (organisasi). Merekalah yang sering berlarut-larut dalam diskusi, menghabiskan bergelas-gelas kopi ataupun batang-batang rokok. Terkadang tidak makan. Dalam membahas arah kapal tua yang bernama Indonesia ini.
Inilah mengapa kemudian mereka ingin berlaga dalam dunia perpolitikan. Mereka ingin merealisasikan hasil-hasil diskusi mereka yang kian menumpuk dalam benak. Karena ide tanpa aksi adalah nihil. Tidak ada gerak yang terjadi, demikian pula perubahan.
Tapi sayang seribu sayang Arsyilaku, ketika mereka berburu memegang kemudi nahkoda, kebanyakan mereka terhempas keluar dari kapal tua ini. Badai uang dan gelombang kepopuleran begitu besar dan kuat. Mereka terjatuh ke lautan lepas. Sehingga mengharuskan mereka berlomba berenang di garba lautan mengejar kapal tua ini. Mereka berenang (bekerja keras) mulai lagi dari nol. Meraih simpati publik kembali (dibutuhkan bertahun-tahun) agar bisa bersaing dengan para jutawan dan kaum populer/aktris. Dan ketika mereka telah berhasil meraih kemudi, idealisme mereka telah luntur. Lantaran kehidupan telah menstimulus gaya materialis, kapitalis dan pragmatis dalam benak mereka. Maka jadilah mereka seperti kawanan musuh mereka sebelumnya.
Setelah mendengar argumentasi-argumentasi di atas, mari kita bedah dengan pisau analisis dan rasional.
Dalam sisitem pemilu dengan nomor urut, jika sebuah partai mendapatkan satu kursi maka calon dengan nomor urut satu otomatis menjadi calon terpilih, walaupun suaranya paling sedikit. Dia terpilih karena pemimpin partai menempatkannya sebagai calon dengan nomor urut satu. Sementara itu, calon nomor urut lima misalnya, yang mendapatkan suara terbanyak tidak akan bisa terpilih kecuali partai tersebut mendapatkan lima kursi. Atau jika calon nomor satu sampai sembilan mengundurkan diri. Sesuatu yang hampir bisa dikatakan mustahil di negeri ini.
Bisakah ini disebut sebagai keadilan, Arsyilaku? Tidak jawabku. Kenapa? Karena calon dengan nomor urut atas bisa saja hanya duduk dan bersenang-senang/berleha-leha tidak jelas lalu menikmati hasil kerja keras orang lain. Apakah pantas demikian? Di sisi lain, hal semacam ini juga merupakan penghianatan terhadap kepercayaan rakyat, suaranya tidak dihargai dan diselewengkan demi kepentingan partai.
Sistem pemilu yang adil bagi semua adalah sistem Pemilu Proporsional Terbuka Tanpa Nomor Urut. Yaitu, calon yang terpilih adalah calon yang mendapatkan suara terbanyak, dan bukan berdasarkan nomor urut. Artinya, pemilih dipersilahkan memilih siapa pun yang ingin dipilihnya di antara calon-calon (Caleg-caleg) partai pilihannya. Ia boleh memilih calon nomor 1, 2, 3, atau berapa pun nomor urut yang ia suka dari sebuah partai. Dan jika partai itu mendapatkan satu kursi dan calon nomor urut 5 mendapatkan suara terbanyak, maka calon nomor urut 5 adalah yang terpilih sebagai anggota legislatif dari partai tersebut.
Dengan sistem seperti ini, maka setiap orang memiliki peluang yang sama untuk menang dalam pemilu. Ini juga membuka peluang yang sama bagi kaum perempuan, walaupun kuota mereka masih 30%, yang biasanya di letakan di nomor urut paling bawah untuk menjadi anggota legislatif. Termasuk juga dirimu Arsyilaku, jika suatu saat nanti engkau terjun ke dunia politik.
Katanya sistem pemilihan tanpa nomor urut telah membuka gerbang bagi kaum berduit dan artis? Hei, bukankah hal yang sama kalaupun kita menggunakan sistem pemilihan dengan nomor urut? Adakah yang bisa menjamin bahwa proses penetapan calon pada nomor urut teratas itu bebas dari politk uang dan hubungan kekerabatan/kedekatan mereka dengan pemimpin partai? Tidak ada. Jika kita telisik kembali sejarah dunia perpolitikan negeri kita, maka akan kita temui hal semacam ini. Terutama pada era-era orde baru.
Justru ini menjadi PR bagi kaum aktivis yang berkualitas dan berwawasan luas untuk bagaimana bersaing secara fair. Lebih bekerja keras lagi meraih simpati publik jika memang masalah finansial/keuangan dirasa berat. Karena aktivis memiliki kecerdasan intelektual dan ilmu STRATAK yang mumpuni. Semestinya ini menjadi senjata. Siapa bilang Aktivis/kaum terpelajar itu tidak memiliki daya tawar di mata masyarakat? Aktivis cukup, jika berlebihan kalau dibilang sangat, dihargai di masyarakat. Tinggal bagaimana STRATAK kita mengolahnya menjadi sebuah kekuatn yang kita miliki.
Dengan demikian, maka antara pemilihan dengan nomor urut dan pemilihan tanpa nomor urut, pemilihan dengan nomor urutlah yang lebih demokratis, adil dan menjunjung tinggi sportivitas. Mungkin dalam sisitem ini lebih banyak melahirkan pemimpin-pemimpin yang kurang baik bahkan bobrok, tidak cekatan, tidak pandai dan berbagai stigma negative lainnya. Namun, bukan berarti sisitem ini tidak pantas dan harus dihilangkan. Bukankah para aktivis adalah mereka-mereka yang lidahnya seringkali kering meneriakan demokrasi? Lalu, ketika demokrasi itu diterapkam, mengapa harus melacurinya lagi?
Sekian keluhanku Arsyila. Ku akhiri dengan doa semoga senantiasa dirimu dalam lindungan Allah hingga kelak kita saling mempertemukan rindu. Amin.

Januari, 2017

0 komentar:

Post a Comment

 
ZN _ LEFOKISSU © 2017