Ilustrasi Pemilu |
Arsyilaku sayang, berikut
ini izinkan aku sekali lagi menuangkan rindu dalam keresahan lewat tulisan yang
aku beri judul sebagaimana tertulis paling awal tulisan ini. Bukan Dengan atau
Tanpa Nomor Urut dalam mencintaimu. Karena mencintaimu tidak membutuhkan anasir
pertanyaan seperti di atas. Karena mencintaimu bukanlah tentang sebuah posisi,
mencintaimu tak mengenal di mana ia ditempatkan. Tetapi ini tentang sistem
pemilihan dalam politik demokrasi bangsa kita, sayang.
Sayang, pernahkah kau
dengar tentang sistem pemilihan Dengan dan Tanpa Nomor Urut? Yah. Kamu tentu
pernah dengar/mengetahuinya atau paling tidak pernah berpartisipasi di
dalamnya. Kamu mungkin pernah mengikuti pemilihan ketua kelas, ketua kelompok,
ketua organisasi, Bupati, Gubernur, Caleg, bahkan mungkin Presiden yang dua
tahun lalu kita adakan, itu adalah bebrapa contoh pemilihan (Tanpa Nomor Urut).
Oh yah, tapi alangkah
baiknya aku akan memberikan sedikit gambaran bagimu apa itu pemilihan Dengan
Nomor Urut dan apa itu pemilihan Tanpa Nomor Urut.
Arsyilaku, dalam pemilihan
yang menggunakan sisitem nomor urut, calon yang memiliki nomor urut paling
atas/pertama sangat berpeluang besar menjadi pemenang. Walaupun dalam
pemilihannya, calon dengan nomor urut paling atas tersebut mendulang suara
kecil, dia bisa lolos dengan tambahan suara dari calon lainnya (se-parpol), bahkan
calon lain tersebut ada yang memiliki suara lebih banyak dari calon dengan
nomor urut paling atas tersebut. Sedangkan pemilihan tanpa nomor urut, meniscayakan calon yang memiliki suara
terbanyaklah yang keluar sebagai pemenangnya.
Berikut ini
keresahanku bermula, sayangku. Sebagai seorang aktivis, organisasi adalah dunia
baruku yang boleh dibilang asyik ayik tidak atau sedap sedap ngeri. Kenapa
begini? Yah, memang beginilah. Sudah menjadi sunatullah, batas dari asyik
adalah tidak asyik, batas dari cinta adalah benci. Begitu pula berlaku
sebaliknya. Tidak asyik salah satunya ialah (terkadang) sebagai junior, mau tak
mau harus turut dan patuh pada senior. Bukan apa sayang. Ini hanya karena tidak
ingin oleh senior dibilang pembangkang, kualat, tidak menghormati atau bahkan
dibilang sok pintar. Ini bukanlah idealnya seorang aktivis. Seorang aktivis
harusnya bebas berpendapat/mengkritik tanpa memandang “siapa”, karena ia
melihat “apa”. Tapi apalah daya, terkadang kami harus mencopot baju idealisme
kami hanya untuk kami bisa saling memahami.
Begitupula yang saya
alami beberapa waktu yang lalu, Asryilaku. Saya bersama teman-teman aktivis
lainnya yang tergabung dalam OKP Cipayung, juga beberapa senior melakukan
diskusi lepas, sala satu topik yang kami perbincangkan adalah tentang sisitem
pemilihan kita saat ini yang menggunakan sistem pemilihan tanpa menggunakan
nomor urut.
Gelas demi gelas kopi
diseduh oleh bibir-bibir yang kering lantaran banyak melakukan gerak,
begitupula kepulan-kepulan asap rokok memenuhi ruangan obrolan kami yang hampir
semuanya terisi dengan suara-suara penolakan terhadap pemilihan tanpa nomor
urut.
Berbagai argumen dan
retorika diluapkan. Aku pun menarik kesimpulan bahwa mereka tidak suka dengan
sistem pemilihan tanpa menggunakan nomor. Keresahan dan penolakan itu begitu
gamblang dari premis-premis yang mereka susun sehingga melahirkan sebuah
konklusi logik dan real. Juga pada nada bicara serta keseriusan raut wajah yang
tak jarang terkesan angker.
Mengapa mereka begitu
survive dan ngotot menyalahkan sistem ini, Arsyilaku? Satu jawaban yang pasti,
Kepentingan. Ia merupakan sebuah ideologi tetap dalam dunia politik, yang dapat
menceraikan hubungan persahabatan (Kawan jadi lawan) dan mempersatukan hubungan
permusuhan (Lawan jadi kawan).
Namun, di balik tirai
kepentingan, menarik untukku ceritakan argumen-argumen mereka untuk kita kaji dan
kita pelajari bersama. Juga akan kita bedah setelahnya.
Bagi mereka, sistem
ini telah membuka gerbang perpolitikan bagi kaum berduit dan kaum populer
sebutlah artis, preman, ketua ormas dlsb yang notabene belum bahkan tidak mapan
dalam segi intelektual, perpolitikan dan dunia pergerakan yang bertujuan pada
perubahan. Kehadiran pemain-pemain baru ini telah menggeser nilai tawar para
aktivis di mata masyarakat. Maklum sayangku, kami para aktivis umumnya rapuh
dalam hal ekonomi dan miskin popularitas di mata masyarakat luas. Kami biasanya
hanya menjadi artis di dunia aktivis yang tak seberapa luasnya. Sehingga ketika
kami terjun ke dunia politik yang ranahnya luas, tampang kami kalah familiar
dari artis-artis yang menjual tampang mereka di TV-TV. Atau ketua-ketua ormas
bahkan mungkin juga preman yang kesehariannya berciuman wajah secara langsung
dnegan masyarakat.
Padahal Arsyilaku,
para aktivis itu adalah mereka yang senantiasa mengikuti dialektika politik
bangsa ini. Merekalah yang paling sering lantang meneriakan kepincangan politik
dan kebijakan pemerintah. Merekalah entitas di luar sistem (pemerintahan) yang
lebih peka dan mengetahui dinamika pergolakan politik yang ada di bangsa ini.
Serta memiliki pengetahuan dan keterampilan yang mumpuni dalam mengelolah dan
menjalankan sebuah sisitem (organisasi). Merekalah yang sering berlarut-larut
dalam diskusi, menghabiskan bergelas-gelas kopi ataupun batang-batang rokok.
Terkadang tidak makan. Dalam membahas arah kapal tua yang bernama Indonesia
ini.
Inilah mengapa
kemudian mereka ingin berlaga dalam dunia perpolitikan. Mereka ingin
merealisasikan hasil-hasil diskusi mereka yang kian menumpuk dalam benak.
Karena ide tanpa aksi adalah nihil. Tidak ada gerak yang terjadi, demikian pula
perubahan.
Tapi sayang seribu
sayang Arsyilaku, ketika mereka berburu memegang kemudi nahkoda, kebanyakan
mereka terhempas keluar dari kapal tua ini. Badai uang dan gelombang
kepopuleran begitu besar dan kuat. Mereka terjatuh ke lautan lepas. Sehingga mengharuskan
mereka berlomba berenang di garba lautan mengejar kapal tua ini. Mereka
berenang (bekerja keras) mulai lagi dari nol. Meraih simpati publik kembali
(dibutuhkan bertahun-tahun) agar bisa bersaing dengan para jutawan dan kaum
populer/aktris. Dan ketika mereka telah berhasil meraih kemudi, idealisme
mereka telah luntur. Lantaran kehidupan telah menstimulus gaya materialis,
kapitalis dan pragmatis dalam benak mereka. Maka jadilah mereka seperti kawanan
musuh mereka sebelumnya.
Setelah mendengar
argumentasi-argumentasi di atas, mari kita bedah dengan pisau analisis dan
rasional.
Dalam sisitem pemilu
dengan nomor urut, jika sebuah partai mendapatkan satu kursi maka calon dengan
nomor urut satu otomatis menjadi calon terpilih, walaupun suaranya paling
sedikit. Dia terpilih karena pemimpin partai menempatkannya sebagai calon dengan
nomor urut satu. Sementara itu, calon nomor urut lima misalnya, yang
mendapatkan suara terbanyak tidak akan bisa terpilih kecuali partai tersebut
mendapatkan lima kursi. Atau jika calon nomor satu sampai sembilan mengundurkan
diri. Sesuatu yang hampir bisa dikatakan mustahil di negeri ini.
Bisakah ini disebut
sebagai keadilan, Arsyilaku? Tidak jawabku. Kenapa? Karena calon dengan nomor
urut atas bisa saja hanya duduk dan bersenang-senang/berleha-leha tidak jelas
lalu menikmati hasil kerja keras orang lain. Apakah pantas demikian? Di sisi
lain, hal semacam ini juga merupakan penghianatan terhadap kepercayaan rakyat,
suaranya tidak dihargai dan diselewengkan demi kepentingan partai.
Sistem pemilu yang
adil bagi semua adalah sistem Pemilu Proporsional Terbuka Tanpa Nomor Urut.
Yaitu, calon yang terpilih adalah calon yang mendapatkan suara terbanyak, dan
bukan berdasarkan nomor urut. Artinya, pemilih dipersilahkan memilih siapa pun
yang ingin dipilihnya di antara calon-calon (Caleg-caleg) partai pilihannya. Ia
boleh memilih calon nomor 1, 2, 3, atau berapa pun nomor urut yang ia suka dari
sebuah partai. Dan jika partai itu mendapatkan satu kursi dan calon nomor urut
5 mendapatkan suara terbanyak, maka calon nomor urut 5 adalah yang terpilih
sebagai anggota legislatif dari partai tersebut.
Dengan sistem seperti
ini, maka setiap orang memiliki peluang yang sama untuk menang dalam pemilu.
Ini juga membuka peluang yang sama bagi kaum perempuan, walaupun kuota mereka
masih 30%, yang biasanya di letakan di nomor urut paling bawah untuk menjadi
anggota legislatif. Termasuk juga dirimu Arsyilaku, jika suatu saat nanti
engkau terjun ke dunia politik.
Katanya sistem
pemilihan tanpa nomor urut telah membuka gerbang bagi kaum berduit dan artis?
Hei, bukankah hal yang sama kalaupun kita menggunakan sistem pemilihan dengan
nomor urut? Adakah yang bisa menjamin bahwa proses penetapan calon pada nomor
urut teratas itu bebas dari politk uang dan hubungan kekerabatan/kedekatan
mereka dengan pemimpin partai? Tidak ada. Jika kita telisik kembali sejarah
dunia perpolitikan negeri kita, maka akan kita temui hal semacam ini. Terutama
pada era-era orde baru.
Justru ini menjadi PR
bagi kaum aktivis yang berkualitas dan berwawasan luas untuk bagaimana bersaing
secara fair. Lebih bekerja keras lagi meraih simpati publik jika memang masalah
finansial/keuangan dirasa berat. Karena aktivis memiliki kecerdasan intelektual
dan ilmu STRATAK yang mumpuni. Semestinya ini menjadi senjata. Siapa bilang
Aktivis/kaum terpelajar itu tidak memiliki daya tawar di mata masyarakat?
Aktivis cukup, jika berlebihan kalau dibilang sangat, dihargai di masyarakat.
Tinggal bagaimana STRATAK kita mengolahnya menjadi sebuah kekuatn yang kita
miliki.
Dengan demikian, maka
antara pemilihan dengan nomor urut dan pemilihan tanpa nomor urut, pemilihan
dengan nomor urutlah yang lebih demokratis, adil dan menjunjung tinggi
sportivitas. Mungkin dalam sisitem ini lebih banyak melahirkan
pemimpin-pemimpin yang kurang baik bahkan bobrok, tidak cekatan, tidak pandai
dan berbagai stigma negative lainnya. Namun, bukan berarti sisitem ini tidak
pantas dan harus dihilangkan. Bukankah para aktivis adalah mereka-mereka yang
lidahnya seringkali kering meneriakan demokrasi? Lalu, ketika demokrasi itu
diterapkam, mengapa harus melacurinya lagi?
Sekian keluhanku
Arsyila. Ku akhiri dengan doa semoga senantiasa dirimu dalam lindungan Allah
hingga kelak kita saling mempertemukan rindu. Amin.
Januari, 2017
0 komentar:
Post a Comment