Indonesia
darurat isu dan paham. Mungkin itulah yang sedang terjadi dalam negeri kita saat
ini. Kesesatan paham Syiah, isu SARA Ganyang China, serta isu kebangkitan
bangkai yang telah lama terkubur bernama PKI seperti malware yang coba diciptakan dengan maksud dan tujuan utama melemahkan
dan menghancurkan sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara di bawah
kepemimpinan pemerintahan yang sah saat ini. Kasarnya, isu, paham dan
konflik-konflik di atas, tidak lain dan tidak bukan bertujuan menciptakan mosi
tidak percaya dari rakyat kepada pemerintah sehingga memudahkan para penyebar malware ini melakukan kudeta ataupun hal
buruk lainnya. Ambil contoh yang telah ada semisal di Timur Tengah, terutama
Libya dan Suriah. Isu sektarian dimainkan dengan maksud menjatuhkan pemerintahan yang sah. Mengapa? Sebab
para pemberontak tersebut yakin pemerintahan mereka berdiri di garda terdepan melawan
segala bentuk invasi dan kebijakan Amerika beserta kroni-kroninya.
Lihat
Suriah saat ini. Presiden mereka, Basher Al Assad; diisukan membantai warga Suriah yang bermahzab Sunni karena Beliau orang Syiah
yang benci akan orang Sunni. Maka kelompok-kelompok radikal ditebar di berbagai
negeri, termasuk di Indonesia. Mulai gencar di negeri kita ini ropaganda
kesesatan dan kebiadaban Syiah. Pertanyaannya, apa benar propoganda tersebut? Jika
kita analisis realitas yang terjadi di Suriah saat ini maka jawabannya adalah
TIDAK benar. Mengapa?
Pemilihan
presiden Suriah adalah pemilihan secara langsung oleh rakyat Suriah. Tahun 2014
lalu adalah untuk yang ke-tiga kalinya Assad terpilih menjadi presiden. Ia
terpilih kembali dengan perolehan 88.7% suara rakyat, dimana 74% rakyat Suriah
adalah bermahzab Sunni. Sehingga jika kita katakan Assad membantai kaum Sunni, bagaimana
mungkin ia terpilih kembali oleh rakyat Suriah yang mayoritas Sunni? Terpilih kembalinya
Asshad adalah berangkat dari kepercayaan dan kecintaan rakyat Suriah baik dari
golongan Sunni, Syiah, atau dari latar belakang apapun terhadap Assad. Lebih
dari itu, jika benar Assad ingin membantai warga Sunni maka dia harus memiliki
rezim yang mendukungnya secara penuh untuk melancarkan aksinya tersebut, yakni
rezim yang berisikan kelompok Syiah pula. Tapi nyatanya Wakil Presiden, Wakil
Presiden 1, Perdana Menteri, Deputi Perdana Menteri, Menteri Luar Negeri,
Menteri Informasi, Menteri Dalam Negeri, Menteri Pendidikan dll Suriah diisi
oleh orang-orang Sunni. Bahkan Grand
Mufti Resmi Suriah; Syaikh Ahmad Badruddin Hassun, adalah seorang ulama besar Sunni.
Kebencian
terhadap pemerintahan yang sah ini bertambah karena dukungan dari Negara
Republik Islam Iran (NRII) yang notabene mayoritas Syiah. Serta menjadi salah
satu Negara Timur Tengah yang tidak mau menundukan kepalanya dihadapan kekuatan
AS dan Barat. Iran pun menjadi salah satu Negara yang paling ditakuti oleh AS
dan kroni-kroninya tersebut. Selain NRII, suriah pun menjalin hubungan baik
dengan Negara bekas Unisoviet yakni Rusia yang terkenal dari dulu sebagai sisi
yang bertolak belakang dengan AS dan Barat, serta menjadi Negara yang berpegang
pada paham komunis.
Jika
kita lihat polemik negeri kita hari ini maka pola yang terbentuk sama seperti
yang terjadi di Timur Tengah, terutama Suriah saat ini. Isu kesesatan Syiah bersilewaran
di mana-mana baik di media-media sosial. Termasuk pembagian pamflet yang di masjid-masjid.
Padahal isu kesesatan Syiah sudah dikaji
dan dipatahkan oleh ulama dunia lewat Konferensi Amman. Namun kedangkalan akal
dan taklid buta terhadap doktrin kebencian menyebabkan propaganda ini tumbuh
subur. Hal ini terlihat dari organisasi yang sengaja dibentuk untuk
menghancurkan kelompok Syiah yakni Aliansi Nasional Anti Syiah (ANAS).
Organisasi ini bagi saya sengaja dibentuk untuk memprovokasi perseteruan muslim
Sunni dan Syiah. Dengan mempropagandakan Syiah sesat, kaum radikal ini perlahan
menanamkan stigma Syiah menjadi kata kebencian. Ketika kebencian itu mengakar
maka mudah saja bagi mereka untuk kelak menuding siapa yang mereka suka sebagai
Syiah. Setelah Syiah, ke depan mungkin sasaran mereka adalah adalah NU, Muhammadiyah,
lalu agama lainnya. Sekarang kita bisa lihat propaganda itu menjadi lebih nyata,
di mana NU memiliki cabang baru bernama NU Garis Lurus yang sebenarnya adalah
wahabi yang tengah menyamar. Di sisi lain, bersilewaran pula propaganda
pendirian negara Indonesia dengan sistem Khilafah. Mereka ingin menghilafahkan
negeri ini dengan menyatakan bahwa Pancasila adalah thagut dan sistem kafir sehingga tidak layak dijadikan sebagai
ideologi dan sistem di Negara Indonesia. Kita tahu bersama nama organisasi yang
memperjuangkan misi khilafah ini. Beruntung pemerintah kita dengan cepat
mengambil langkah tegas untuk membubarkan organisasi yang bertentangan dan
menolak Pancasila. Tidak ketinggalan NU dengan pasukan Bansernya turut
mengamankan NKRI dari para separatis berkedok agama. Banser dengan berani
menanggalkan spanduk-spanduk mereka, membubarkan perkumpulan mereka dll.
Tak
berselang lama ketika kelompok-kelompok seperti HTI dicap sebagai kelompok separatis,
muncul bangkai yang telah lama terkubur di masanya Presiden Soeharto.
Kebangkitannya seolah mengubah arah mata angin pengkhianat. Pemerintah melalui KEMENHAM
dan POLRI tiba-tiba membahas PKI yang sebenarnya telah lama mati. PKI dianggap bangkit
dari kalang peradaban, ditandai dengan penggunaan simbol di baju, buku, dan
properti lainnya. Padahal, jika ingin fair sebenarnya paham komunis yang
menjadi ideologi PKI, di negara asalnya (China) bahkan sudah ditinggalkan.
Meski nama partainya tetap Partai Komunis China namun ekonomi mereka sudah
mengarah ke sosialis kapitalis. Selain China, negara komunis lainnya adalah Uni
Soviet. Tapi apakah Uni Soviet itu masih ada? Tidak. Mereka telah pecah menjadi
negara-negara kecil. Yang tersisa mungkin adalah Rusia. Tapi ekonomi Rusia pun
semenjak di tangan Putin mengarah ke kapitalis. Bahkan Rusia telah menggantikan
ideologi mereka menjadi nasionalis. Maka pertanyaannya, apa yang harus ditakuti
oleh paham komunis ini jika para empunya saja sudah meninggalkan paham tersebut?
Bisa
jadi isu PKI sengaja dimunculkan untuk membentuk stigma buruk seperti stigma Syiah,
atau sekadar hadir untuk mengacaukan Pemerintahan Jokowi JK saat ini yang
terlihat mulai berani mendobrak Dinasti AS dan sekutu-sekutunya dengan berusaha
menggandeng tangan China, Rusia, dan Iran; musuh AS dan kroni-kroninya.
Yah
propaganda Syiah dan PKI ini sepertinya sengaja diciptakan untuk membentuk mosi
tidak percaya terhadap Pemerintahan Jokowi JK dan Pancasila sebagai ideologi
bangsa. Mengapa pemerintahan? Karena AS sudah mulai tidak nyaman lagi dengan
Jokowi JK. Pemerintahan saat ini berani tidak memperpanjang kontrak Freeport;
perusahaan asal AS yang sudah beberapa dekade mengeruk perut bumi Indonesia
untuk keuntungan mereka, evaluasinya akan dihelat setelah 2019. Propaganda ini
bisa juga sengaja untuk membuat chaos
dalam negeri agar para investor yang ingin menanamkan saham di Indonesia tidak
lagi berminat. Kalaupun sudah sempat menanamkan saham maka mereka akan
memutuskan kontrak lewat pembatalan. Situasi ini bisa dimanfaatkan AS dan karib-kerabatnya
dengan mengirimkan agen-agennya untuk menanamkan saham sendiri di Indonesia.
Dan mereka memonopoli investasi.
Masih
banyak lagi kemungkinan yang bisa kita analisis dari berseliwerannya isu Syiah dan
PKI saat ini. Patut kita nantikan kelanjutan dari isu-isu yang kian ditebar,
serta nasib Pemerintahan Jokowi JK saat ini. Apakah mereka akan berakhir
layaknya Soekarno, atau seperti Pak Harto?
Tulisan
ini bukan dibuat untuk mengesampingkan PKI, namun sekadar ingin mengajak kita
sekalian untuk membaca peta konflik negeri ini secara lebih seksama. Agar kita
tidak melupakan hasrat para utopis khilafais yang adalah kelompok separatis sesungguhnya.
Bagi saya PKI cukup saja diawasi dan dimonitoring pergerakannya. Jika nanti kita
temukan fakta bahwa mereka mengembangkan
paham yang bertolak belakang dari NKRI dan Pancasila seperti HTI saat ini, baru
kita hancurkan. Jangan sampai kita termakan isu dan propaganda yang ingin
menghancurkan keutuhan NKRI dengan Pancasila sebagai ideologi negara.**
#Dari buku "Jalan Pulang"
0 komentar:
Post a Comment