Banner 468 x 60px

 

Tuesday, May 23, 2017

Menelaah Hadis-Hadis Tentang Kafirnya Paman Rasulullah; Abu Thalib

0 komentar
Menelaah Hadis-Hadis Tentang Kafirnya Paman Rasulullah; Abu Thalib

Salah satu problema umat Islam yang mendapat diskursus yang cukup menarik adalah tentang keberIslamannya paman Rasulullah, Abu Thalib, ayah dari baginda Ali bin Abi Thalib. Ada dua pandangan berbeda dalam menilai status keberIslamannya paman Rasulullah ini. Pandangan yang pro bahwa paman Rasulullah itu beriman kepada Rasulullah umumnya diwakili oleh kelompok bermazhab Syiah dan yang kontra umumnya bermazhab Sunni dan kaum yang berpaham Wahabi.
Pada dasarnya, kaum yang kontra, yang mengatakan bahwa paman Rasulullah itu tidak beriman kepada Nabi Muhammad dan risalah yang  dibawakannya berdiri di atas pijakan hadis-hadis shahih, nash-nash Alqur’an dan fakta sejarah bahwa paman Rasulullah semasa hidupnya tidak pernah mengucapkan dua kalimat syahadat; sebuah prasyarat awal keberIslaman seseorang.
Adapun hadis-hadis shahih yang menjadi landasan argumentasi ketidakberIslamannya paman Rasulullah tersebut diantaranya;
Pertama, “dari Abu Hurairah ra Rasulullah saw berkata pada pamannya; ucapkannlah laa ilaaha illallah, nanti akan kupersaksikan untukmu di hari kiamat. Abu Thalib menjawab; kalau tidak khawatir dicela oleh orang-orang Quraisyh. Mereka akan berkata, Abu thalib mengucapkan itu karena ia panik. Akan kuucapkan kalimat itu sehingga membuatmu senang. Kemudian Allah menurunkan firman-Nya (Qs Al-Qashash: 56); sesungguhnya engkau (Muhammad) tidak mampu menunjuki orang yang engkau cintai, akan tetapi Allah-lah yang menunjuki siapa yang Dia kehendaki.” (Riwayat Muslim dalam kitab al-Iman, bab Awwalul Iman Qawlu: Laa Ilaaha Illallah, 25)
Kedua, “dari Said bin al-Musayyib dari ayahnya, ia berkata; menjelang wafatnya Abu Thalib, Rasulullah saw datang menemuinya. Saat itu beliau melihat telah hadir Abu Jahal dan Abdullah bin Abi Umayyah bin al-Mughirah. Rasulullah berkata; wahai paman, ucapkanlah Laa Ilaha Illallah. Dengan kalimat ini, aku akan bela engkau nanti di sisi Allah. Abu Jahal dan Abdullah bin Abi Umayyah menanggapi; Apakah engkau membenci agamanya Abdul Muthalib? Rasulullah saw terus menawarkan kepada pamannya, namun kedua orang itu juga terus menimpalinya. Akhirnya Abu Thalib mengatakan kepada mereka; di atas agamanya Abdul Muthalib, ia enggan mengucapkan Laa Ilaha Illallah. Rasulullah saw mengatakan; demi Allah, akan kumohonkan ampun untukmu selama aku tidak dilarang. Kemudian Allah menurunkan firmannya; tidak patut bagi seorang Nabi dan orang-orang yang beriman untuk memohonkan ampun kepada orang-orang musyrik (Qs At-Taubah: 113). Allah mengisahkan ayat ini tentang Abu Thalib. Dan untuk Rasulullah saw, Allah swt berfirman (Qs Al-Qashash: 56); sesungguhnya engkau (Muhammad) tidak mampu menunjuki orang yang engkau cintai, akan tetapi Allah-lah yang menunjuki siapa yang Dia kehendaki.” (Diriwayatkan oleh Bukhari dalam kitab Tafsir Alqur’an, suratu al-Qashash, 4494 dalam Fath al-Bari).
Ketiga, “Dari Abbas bin Abdul Muthalib ra, beliau bertanya kepada Nabi saw; apakah engkau tidak bisa menolong pamanmu? Karena dia selalu melindungi kamu dan marah karena kamu. Nabi saw menjawab; dia berada di permukaan neraka. Andai bukan karena aku, niscaya dia berada di kerak neraka.” (HR. Ahmad dan Bukhari).
Keempat,  “dari Abu Said al-Khudri ra, suatu ketika ada orang yang menyebut tentang paman Nabi saw yaitu Abu Thalib di samping beliau. Lalu beliau bersabda; semoga dia mendapat syafaatku di hari kiamat, sehingga Abu Thalib diletakan di permukaan neraka yang membakar mata kakinya namun otaknya mendidih.” (HR. Bukhari, Muslim dan yang lainnya).
Pada dasarnya banyak hadis-hadis yang kemudian dijadikan sebagai argumentasi kekafiran/ketidakberIslamannya Abu Thalib, namun kita cukupkan empat hadis di atas. Karena empat hadis di atas merupakan hadis-hadis yang dianggap paling shahih di kalangan umat Islam dan yang paling sering digunakan.
Sekarang, mari kita telaah hadis-hadis di atas dengan tujuan memberikan pandangan kritis dan objektif agar kita tidak salah paham terhadap keberIslaman atau tidaknya paman Rasulullah tersebut.
Pertama, sanad pertama dari hadis pertama di atas (HR.Muslim) adalah Abu Hurairah. Kita ketahui  bersama bahwa Abu Hurairah masuk Islam di Madinah dan di akhir-akhir masa hidupnya Rasulullah. Sedangkan Abu Thalib wafat di Makkah sebelum Rasulullah hijrah. Dari hadis yang diriwayatkan di atas, seolah-olah menggambarkan bahwa Abu Hurairah hadir juga pada peristiwa wafatnya Abu Thalib sehingga tidak ada sanad pertama sebelum Abu Hurairah. Sebuah kejanggalan di sini, bagaimana orang yang tidak hadir di suatu tempat membicarakan kejadian di tempat itu seolah-olah ia menyaksikan kejadian yang terjadi di tempat itu?
Kedua, pada hadis kedua di atas yang diriwayatkan oleh Bukhari menunjukan bahwa Asbabun Nuzul Qs At-Taubah ayat 113 adalah pada saat detik-detik terakhir wafatnya Abu Thalib. Namun, di dalam Alqur’an sendiri surat At-Taubah tergolong dalam surat-surat Madaniyyah, yang artinya surat yang turun di Madinah. Sedangkan wafatnya Abu Thalib di makkah. Selain itu di dalam Alqur’an juga, surat Al-Qashash tergolong dalam surat-surat Makkiyyah, yang artinya surat ini turunnya di Makkah. Pertanyaannya, bagaimana mungkin dua surat yang turun di lain tempat dan waktu dimasukan dalam satu hadis yang seolah-olah dua surat itu turun diwaktu yang relatif bersamaan dan di tempat yang sama?
Ketiga, pada hadis ketiga dan keempat di atas disampaikan bahwa sebenarnya Abu Thalib menempati neraka paling dasar, namun berkat Rasulullah (Syafaatnya), paman Rasulullah tersebut diangkat ke neraka paling atas (permukaan neraka). Pertanyaannya, bukankah hal ini bertentangan dengan Qs At-Taubah ayat 113? Bahwa; tidak patut bagi seorang Nabi dan orang-orang yang beriman untuk memohonkan ampun kepada orang-orang musyrik. Jika memang benar paman Rasulullah tersebut Musyrik, maka tidak ada tawar-menawar ia tetap berada di neraka paling dalam. Sehingga jika hadis ketiga dan keempat di atas benar, maka ini menjadi bukti keimanan Abu Thalib. Karena syafaat Rasulullah hanya diperuntukan bagi orang-orang yang beriman.
Keempat, di dalam Qs Al-Mujaadilah ayat 22, Allah berfirman; “Kalian tidak akan mendapati kaum yang beriman pada Allah dan hari akhirat, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan RasulNya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak, atau saudara-saudara ataupun keluarga mereka. Mereka itulah orang-orang yang telah menanamkan keimanan dalam hati mereka dengan pertolongan…”
Berdasarkan catatan sejarah, kita ketahui bahwa kasih sayang Abu Thalib terhadap Rasulullah melebihi segalanya, bahkan melebihi kecintaannya terhadap anak-anaknya dan dirinya sendiri. Ia senantiasa menjadi pelindung dan pembela Rasulullah dari orang-orang Kafir Quraisy kala itu, ia rela mati demi menjaga keponakannya tersebut. Begitupun Rasulullah, Rasulullah juga sangat mencintai pamannya tersebut, berhari-hari Rasulullah bersedih atas meninggalnya paman beliau tersebut. Kasih sayang keduanya pun berlanjut dengan cara Rasulullah mengasuh Ali bin Abi Thalib, anak Abu Thalib.
Dan berdasarkan ayat 22 surat Al-Mujaadilah di atas, maka tidak mungkin Rasulullah akan saling berkasih sayang dengan pamannya jika pamannya itu seorang yang kafir, menentang Allah dan Rasul-Nya. Jika itu dilakukan maka Rasulullah telah melanggar amanah yang diberikan Allah kepadanya. Sungguh sebuah perbuatan yang tidak pernah mungkin dilakukan oleh Rasulullah.
Kelima, sebagaimana yang disampaikan oleh Zaini Dahlan; Seorang ulama terkemuka asal Makkah (1817-1886 M) dalam bab Menetapkan Keimanan (itsbat al-iman) yang ia kutip dari al-Barzanji bahwa iman ialah pembenaran hati terhadap ke-Esa-an Tuhan dan risalah Nabi Muhammad saw serta percaya bahwa semua pesan yang di bawa oleh Nabi saw adalah dari Allah.
Berdasarkan Qs Al-Mujaadilah di atas juga, Allah mengatakan “Kalian tidak akan mendapati kaum yang beriman pada Allah dan hari akhirat, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan RasulNya lanjutan dari ayat tersebut Allah mengatakan Mereka itulah orang-orang yang telah menanamkan keimanan dalam hati mereka. Bukankah ini telah menegaskan keimanan Abu Thalib?
Selain itu berkaitan dengan Abu Thalib, tidak pernah ada dalam sejarah umat yang menuliskan tentang keingkarannya terhadap Allah dan Rasul-Nya selain hadis-hadis di atas yang sudah kita bantah. Beliau tidak pernah dalam sejarah disebutkan menyembah berhala, ia mengikuti agamanya Abdul Muthalib, yaitu agama yang dibawakan Nabi Ibrahim.
Salah satu bukti sejarah yang tersirat akan pembenaran/keimanan beliau terhadap kerasulan Muhammad adalah pada saat pertemuan Abu Thalib dan pendeta Buhairah. Setelah menyaksikan tanda-tanda kenabian yang ada pada Rasulullah, pendeta Buhairah lantas menyuruh Abu Thalib membawa kembali Rasulullah ke Makkah karena takut jika terjadi sesuatu terhadap Rasulullah. Akhirnya Abu Thalib pun membatalkan perjalanan dagangnya ke Syam dan pulang ke Makkah. Jika Abu Thalib tidak percaya terhadap Kerasulan Muhammad yang disampaikan oleh pendeta Buhairah, maka pastinya ia akan tetap melanjutkan perjalanan dagangnya ke Syam.
Selanjutnya, bukankah masalah keimanan dan hati manusia adalah wilayah pengetahuannya Allah? Sebagaimana firmannya, “sesungguhnya Tuhanmulah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk (Qs An-Nahal: 125).
Read more...

Kesombongan Awal Kejatuhan

0 komentar
Kesombongan Awal Kejatuhan

“Aku lebih baik darinya, karena Engkau ciptakan aku dari api, sedangkan dia (Adam) Engkau ciptakan dari tanah”.
Kita mungkin mafhum dan sudah tidak asing lagi dengan ungkapan di atas. Yah, ungkapan di atas adalah salah satu petikan dialog antara Tuhan dan Iblis yang diabadikan dalam kitab suci Al-Qur’an sebagai pelajaran bagi umat Muhammad dan umat manusia pada umumnya. Dialog antara Tuhan dan Iblis tentang siapakah yang lebih layak dan mesti (dihadapannya) kening yang bersih ditundukkan. Pernyataan Iblis di atas kita kenal juga dengan perilaku “Sombong”, saya menyebutnya dengan pernyataan “Rasis” yang paling pertama.
Rasis atau kesombongan dengan melakukan komparasi antar ciptaan Tuhan, antara dirinya Iblis dengan Adam merupakan batu sandungan paling berbahaya dan paling kejam yang pernah ada. Sebuah awal dari siksa yang berkepanjangan dan terputusnya rahmat Tuhan atas dirinya (Iblis). Kesombongan telah menjadi awal dari kejatuhan Iblis yang semula adalah sang ahli ibadah, konon tidak ada sejengkal alam semesta yang luput dari kening Iblis untuk menyembah Allah. Kesombongan juga telah membuat Iblis terpental jauh dari Surga yang semula menjadi tempat peristirahatannya. Dan ini juga merupakan kejatuhan pertama kali yang pernah ada. Sebabnya hanya satu, Sombong.
Sejarah panjang umat manusia pun silih berganti dengan kisah yang hampir mirip dengan apa yang pernah dilakukan oleh Iblis. Bahkan ada yang melampaui perbuatan menyombongkan diri Iblis. Sebagaimana dikisahkan dalam Al-Qur’an, sosok Firaun adalah model kesombongan paling keji melebihi kesombongannya Iblis. Bagaimana tidak? Kesombongan Iblis tidak pernah membuatnya menafikan Adanya Tuhan. Sedangkan kesombongan yang dilakukan Firaun menafikan Adanya Tuhan, dengan memprakarsai (men-judge) dirinya sebagai Tuhan dan paling berkuasa. Kesombongan ini pula-lah yang membuat kedigdayaan dan seluruh keagungan Firaun roboh dan tenggelam di laut Merah.
Al-Qur’an juga telah mengkisahkan cerita lain bagaimana kesombongan menjadi lumpur hidup yang menarik manusia hingga tenggelam ke dalam bumi. Kesombongan telah menjatuhkan manusia. Kisah Qorun yang bangga dengan harta kekayaan titipan Tuhan sebagai jerih payahnya hingga enggan berzakat dan bersedekah. Bahkan ironinya, ia mengklaim bahwa seluruh kekayaan yang ada padanya atas usaha dan kerja kerasnya, Tuhan tidak pernah mencampuri jerih payahnya tersebut. Apa yang terjadi? Oleh Tuhan, ia ditenggelamkan ke dalam bumi bersama harta kekayaan yang ia bangga-banggakan dan ia agung-agungkan.
Itulah tiga kisah besar tentang akhir dari sikap sombong dengan kejatuhan mengerikan yang pernah ada. Lantas apakah hari ini kita telah bergerak dari sifat dan sikap sombong ini. Ternyata belum. Dan jika kita amati realitas obyektif yang ada di hadapan kita, bahkan tiga model kesombongan di atas masih ada.  
Rasisme masih saja terjadi di mana-mana walaupun dengan pakaian berbeda. Kesombongan dengan menganggap Agamanya yang paling benar, sukunya yang paling superior, ras-nya yang paling unggul, dirinya yang paling cantik dan lain sebagainya. Adalah model kesombongan ala Iblis yang pada awalnya dilakukan terhadap Moyang kita Adam dan hari ini terulang kembali oleh anak cucunya sendiri.
Para pemodal, pengusaha dan kapitalis yang sewenang-wenang menggunakan kekuatan modalnya menginterfensi, menekan, menindas dan menciptakan cacat hukum. Dengan harta kekayaan yang dimiliki mereka merasa mampu mengendalikan dan membeli segala hal bahkan kemanusiaan manusia itu sendiri. Merasa bangga dan berfoya-foya dengan harta kekayaan yang ada adalah model kesombongan ala Qorun.
Kesombongan ala Firaun pun sebenarnya ada. Meski di sisi lain mereka masih beragama (lembaga bagi orang-orang yang percaya pada Tuhan), sehingga kesombongannya tidak persis seperti Firaun. Akan tetapi, masih bisa dikategorikan sebagai kesombongan ala Firaun. Siapa mereka? Mereka adalah para penguasa terutama para penguasa yang diktator. Dengan kekuasaan (jabatan) yang ada di tangan mereka, mereka merasa mampu mengendalikan seluruh apa yang mereka kuasai. Dengan kekuasaan mereka memonopoli hukum, menindas, membantai dan menciptakan ketidak adilan.
Selain tiga model kesombongan di atas, masih ada kesombongan yang bagi saya tingkatannya di atas kesombongan yang dilakukan oleh Iblis itu sendiri dan setara dengan Firaun di satu sisi. Yakni kesombongan dengan merasa diri paling bertaqwa, paling shaleh, yang berhak atas surga, dan memandang orang yang tidak sejalan dengan dirinya adalah kafir (suka mengkafirkan). Kenapa saya katakan mereka yang merasa diri paling taqwa dan paling shaleh itu lebih buruk dari Iblis? Karena Iblis melakukan komparasi dengan sesuatu yang jelas terlihat dan nampak oleh mata. Sesuatu yang seyogyanya bisa dimaklumi. Alasannya sederhana, Iblis melakukan komparasi terhadap materi, sesuatu yang bisa diamati.  Sedangkan mereka yang mengklaim diri paling bertaqwa, paling shaleh dan paling lurus dari yang lainnya melakukan komparasi terhadap sesuatu yang abstrak, sesuatu yang mereka sendiri tidak mengetahui kepastian kebenaran dari komparasi yang dilakukan. Komparasi yang dilakukan pun sebenarnya bukan wilayah mereka untuk melakukannya. Karena tingkat ketaqwaan, keshalehan, masuk surga ataupun tidak, serta kafir ataupun tidaknya seseorang hanya Tuhannlah yang mengetahuinya, bukan manusia itu sendiri. Sehingga orang-orang yang demikian di satu sisi jenis kesombongannya melebihi Iblis dan di satu sisi kesombongannya seperti Firaun yang merasa diri sebagai Tuhan.
Jika kesombongan itu tidak membuat kita jatuh hari ini masih ada hari esok, jika tidak di bumi masih ada pengadilan di akhirat. Bisa saja kita seharusnya masuk ke surga akan tetapi kesombongan yang ada dalam diri kita membuat kita jatuh, sehingga surga bukan lagi tempat kembalinya kita. Oleh karena itu mari kita buang jauh-jauh sifat dan sikap sombong, kita kedepankan sifat dan sikap rendah hati. Karena sombong adalah sifat yang telah mencelakakan Iblis, Firaun, Qorun dan masih banyak lagi. Kita selamatkan diri dengan kerendahan hati dan sikap egalitarian sebagai hamba Tuhan.
Read more...

SAATNYA MEREORIENTASI ARAH PEMBANGUNAN BANGSA DEMI PERSATUAN

0 komentar
SAATNYA MEREORIENTASI ARAH PEMBANGUNAN BANGSA DEMI PERSATUAN

Jika kita melihat tujuan negara Indonesia, maka ada empat aspek yang ingin dicapai berdasarkan Pembukaan UUD 1945 alinea IV yaitu; melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
Tujuan pertama terkait erat dengan persatuan bangsa Indonesia. Tujuan ini seringkali ditafsirkan sebagai sesuatu yang hanya diperlukan pada masa-masa perjuangan saat kita memperjuangkan kemerdekaan saja. Sehingga sering dianggap tujuan ini telah tercapai pada saat Proklamasi Kemerdekaan 17 agustus 1945. Akibatnya kita mengabaikan aspek ini dalam mengisi kemerdekaan. Atau dengan kata lain kita sering melalaikan (mengesampingkan) tujuan ini pada saat kita berusaha mencapai ketiga tujuan kemerdekaan berikutnya.
Hal ini bisa kita buktikan dengan menilik sejarah pembangunan yang ada di negeri ini dari masa ke masa, kita menemukan orientasi pembangunan yang cenderung untuk memajukan kesejahteraan sosial yang pada dasarnya lebih berfokus pada daerah padat penduduk. Sehingga melupakan daerah lain yang tidak padat penduduk, padahal daerah-daerah non padat penduduk tersebut merupakan satu kesatuan integral yang membentuk NKRI. Jawa dan Sumatera adalah dua pulau yang selalu jadi anak emas pembangunan kita selama ini, karena memiliki jumlah penduduk terbesar di Indonesia.
Orientasi pembangunan seperti ini sangat jelas telah menciptakan disparitas yang begitu lebar antara pulau Jawa dan pulau Sumatera dengan pulau-pulau lain yang ada di Indonesia. Hal ini terbukti dengan realitas obyektif  yang ada saat ini. Kondisi infrastruktur bangunan, transportasi, komunikasi, pendidikan, kesehatan, dan ekonomi di daerah-daerah non Jawa dan Sumatera terutama daerah-daerah perbatasan jauh dibanding dengan yang ada di Jawa dan Sumatera. Ironisnya, daerah-daerah luar Jawa dan Sumatera tersebut memiliki kekayaan alam yang berlimpah ruah namun kondisi mereka jauh dari kata sejahtera sebagaimana yang ada di Jawa dan Sumatera. Akibatnya kecemburuan sosial menjadi hal yang tak bisa terelakkan. Kondisi ini jika terus dibiarkan berlarut-larut maka bukan hal yang tidak mungkin negara ini akan mengalami perpecahan. Kita tidak akan lagi memiliki luas wilayah NKRI dari Sabang sampai Merauke, 10, 20, 50 atau 100 tahun mendatang.
Oleh karena itu, kita mesti merubah arah pembangunan kita yang cenderung pada kesejahteraan kepada pembangunan yang berorientasi pada persatuan. Bersyukur, pemerintahan kita saat ini, pak Joko Widodo membaca ketimpangan ini dan berusaha membangun negeri ini dari pinggir. Sebuah langkah berani yang coba diambil oleh pak Presiden dan semoga menjadi tapak yang akan terus diikuti oleh para penerusnya kelak.
Namun, pertanyaannya adalah apa itu arah pembangunan berorientasi persatuan? Lantas apa bedanya dengan pembangunan berorientasi kesejahteraan? Bukankah orientasi kesejahteraan sosial adalah amanat UUD 1945 dan Pancasila? Bukankah pula kesejahteraan sosial adalah barometer keberhasilan suatu negara?
Di dalam ilmu ekonomi, kita mengenal dua metode/istilah yakni maksimalisasi produksi dan minimalisasi biaya. Jika kita terapkan/analogikan dalam dunia pembangunan, maka akan dikenal dengan maksimalisasi produksi/kesejahteraan dan minimalisasi biaya/resiko perpecahan.
Pembangunan berorientasi persatuan termasuk dalam metode pembangunan minimalisasi resiko perpecahan yaitu pembangunan yang menjadikan persatuan sebagai tujuan.  Memang benar kesejahteraan sosial merupakan amanat UUD 1945 dan Pancasila serta barometer keberhasilan suatu negara. Akan tetapi, konsep pembangunan ini memfokuskan diri pada daerah padat penduduk. Konsep pembangunan demi kesejahteraan didasari atas jumlah penduduk yang akan disejahterakan. Sehingga semakin banyak penduduk di suatu daerah maka akan semakin besar perhatian pemerintah terhadapnya. Karena ukurannya adalah kesejahteraan, maka apabila jumlah paling banyak sudah merasakan kesejahteraan itu, itu sudah cukup. Sehingga apabila jumlah yang banyak itu dipersentasekan sebagai barometer keberhasilan negara, maka akan menutupi kemiskinan/ketimpangan yang jumlahnya kecil di daerah non padat penduduk.
Jika kita menggunakan strategi maksimalisasi produksi/kesejahteraan maka konsekuensi orientasi pembangunannya adalah dengan memperhitungkan sebaran penduduk, mengingat masyarakatlah yang ingin disejahterakan. Dengan demikian perhitungan alokasi dana pemerintah pada pembangunan di suatu kawasan, seringkali berbanding lurus  dengan proposisi penduduk di kawasan tersebut relatif dibandingkan penduduk secara nasional. Artinya, daerah dengan penduduk banyak akan mendapat alokasi dana yang lebih besar daripada daerah dengan jumlah penduduk yang lebih sedikit. Hal ini bisa sangat efektif (tidak menciptakan kesenjangan) jika luas geografis negara tersebut kecil atau bukan kepulauan.
Oleh karena negara kita adalah negara kepulauan terbesar, maka strategi ini tidak akan efektif. Kita perlu strategi yang lain. Strategi minimalisir biaya. Yaitu strategi pembangunan yang dapat meminimalisir resiko terjadinya perpecahan atau dengan kata lain upaya melestarikan persatuan Indonesia.
Didasarkan pada orientasi pembangunan ini, maka pemerintah fokus pada upaya menjaga keberlanjutan persatuan Indonesia sebagai  tujuan. Berdasarkan tujuan ini, pemerintah memiliki tantangan untuk meminimalisir biaya sedemikian rupa namun tetap fokus menjaga persatuan Indonesia dalam jangka panjang.
Tentu saja paradigma yang mendasari orientasi pembangunan ini berbeda dibandingkan dengan orientasi pembangunan sebelumnya. Didasarkan pada orientasi pembangunan ini, pemerintah akan menempuh berbagai cara agar keberlangsungan persatuan Indonesia tetap terjaga dalam jangka panjang. Pemerintah tidak lagi melihat jumlah penduduk sebagai landasan dalam membangun namun pemerintah harus melihat sebaran luas wilayah sebagai landasan dalam membangun.
Sebagai konsekuensi logis dari orientasi pembangunan ini, pemerintah wajib memperioritaskan pembangunan di daerah terluar/perbatasan Indonesia dengan negara-negara tetangga. Pemerintah harus fokus pada setiap upaya untuk mencegah munculnya elemen bangsa yang memiliki cukup incentive compatibility untuk memisahkan diri dari Indonesia.
Melihat reorientasi pembangunan dari kesejahteraan ke persatuan yang dilakukan pemerintahan saat ini. Seperti tidak ada lagi kesenjangan harga (terutama BBM) antara Jawa-Sumatera dengan Papua, pembangunan ketahanan di wilayah-wilayah perbatasan dan pembangunan-pembangunan lainnya di wilayah selain Jawa-Sumatera  merupakan orientasi pembangunan demi menjaga persatuan Indonesia sebagai negara kepulauan yang berdaulat. Dan sudah semestinya dukungan penuh kita berikan kepada pemerintahan saat ini dalam melaksanakan tugasnya, membangun Indonesia dari pinggir. Dan hanya dengan orientasi pembangunan seperti inilah maka impian kita untuk tetap bersama dalam bingkai NKRI untuk 10, 20, 100 bahkan 1000 tahun lagi mungkin terjadi.
Read more...

Rapor Reformasi

0 komentar
Rapor Reformasi
(Refleksi 19 Tahun Reformasi)

Orang bijak percaya waktu adalah pendidik terbaik. Ia terus memberi pelajaran ke siapa saja yang mau dan mampu mengambil pelajaran. Ini juga berlaku untuk lingkup yang lebih luas; bangsa. Dalam setiap momennya, bangsa sebenarnya dapat menimba banyak pelajaran dan pengalaman bersama waktu yang berlalu. Bersamaan itu catatan-catatan waktu yang berlalu tersebut menjadi bahan refleksi untuk pembenahan baik itu melalui reformasi maupun revolusi. Salah satu momentum penting yang menjadi refleksi bagi perjalanan bangsa kita hari ini adalah momentum 21 Mei atau kita kenal dengan istilah Reformasi.
21 Mei adalah momentum di mana ketika pendulum kesadaran anak bangsa menemui titik baliknya. Rezim otoriter yang sudah menggurita lebih dari 30 tahun akhirnya tak kuasa melawan waktu, pun tumbang dengan gelombang kesadaran anak bangsa yang melakukan aksi perlawanan. Tahun 1998, akhirnya tidak bisa dicegah, perubahan ke arah demokrasi dan keterbukaan menjadi keniscayaan. Reformasi telah melahirkan demokrasi.
Kehidupan kebangsaan di segala lini pun akhirnya menghirup udara bebas. Seperti seekor burung yang lepas dari kungkungan sangkar yang mengurungnya selama ini. Eforia demokrasi seakan ingin terbang sekencang-kencangnya dan berteriak sekeras-kerasnya.
Namun, pasca 19 tahun reformasi kita bergulir masih begitu banyak catatan raport merah yang perlu kita telaah secara mendalam dan kritis. Bahwa, reformasi kita belumlah mampu menciptakan iklim kehidupan berbangsa yang cukup ideal. Bahkan, Buya Syafi’I Maarif pernah berkomentar kalaulah ada yang merasa puas dengan demokrasi kita hari ini berarti orang tersebut tidak normal. Begitupun oleh Komarudin Hidayat, menurutnya demokrasi kita memang sedang dalam proses bunuh diri karena tidak disertai dengan upaya penegakan hukum, etika moral, serta pemerataan pendidikan dan ekonomi.
Pada dasarnya, salah satu tujuan dari reformasi adalah mewujudkan kehidupan yang lebih demokratis. Namun, demokrasi bukanlah kehidupan yang sebebas-bebasnya tanpa batas. Demokrasi yang dewasa adalah demokrasi yang disertai dengan supremasi hukum. Demokrasi juga tidak hanya sebatas pada kebebasan mengeluarkan pendapat dan berserikat yang selama masa Orde Baru dikekang. Namun, demokrasi melingkupi segala lini, baik politik, hukum, pers, pendidikan maupun ekonomi.
Akan tetapi, demokrasi kita hari ini adalah demokrasi yang kebablasan. Democrazy, kata Sulastomo, mantan anggota MPR periode 1988-1998. Sebabnya, demokrasi yang kita lahirkan ternyata telah mengakibatkan tatanan kehidupan berbangsa dan bernegara diselimuti kegalauan yang meluas.
Demokrasi Di Tangan Kapitalisme
Demokrasi pada intinya adalah hak kedaulatan di tangan rakyat. Hal ini sejalan dengan apa yang dikatakan J.J Rosseau dalam On Social Contract bahwa kekuasaan negara ada di tangan rakyat yang memberikan kebebasan negara yang pada gilirannya adalah kehendak umum. Sejauh kepentingan manusia diarahkan pada kepentingan umum bersama satu bangsa, semua kehendak itu bersatu menjadi satu kehendak, yaitu kehendak umum. Dan jika kita sederhanakan maka demokrasi semestinya adalah demokrasi kerakyatan.
Namun demokrasi kita hari ini telah dirampok oleh para elit dan penguasa yang berselimut dengan para kapitalis/pemilik modal, atau elite dan penguasa itu sendiri yang merupakan pemilik modal. Hal ini sebenarnya bukan luka baru yang dialami bangsa ini, namun ini adalah luka lama yang belum sembuh. Dan kini menjadi kian parah.
Demokrasi dan kapitalisme sering dimitoskan sebagai dua hal yang tidak bisa dipisahkan. Padahal, kapitalisme sebenarnya merupakan pembunuh bagi demokrasi itu sendiri. Karena kapitalisme adalah sistem yang akan mengkonsentrasikan kekuasaan ekonomi ke tangan segelintir orang dan mengesampingkan banyak orang, artinya cenderung tidak demokratis.
Dan menurut data yang dilansir oleh majalah Forbes tahun 2012 kekayaan Indonesia dimiliki oleh 40 orang mencapai Rp 800 triliun. Dan berdasarkan perhitungan Perkumpulan Prakarsa, kekayaan 40 orang itu setara dengan kekayaan 15 juta keluarga atau 60 juta jiwa paling miskin. Sedangkan menurut Budiman Sudjatmiko, mengutip dari Badan Pertahanan Nasional (BPN) kepemilikan aset dalam 14 tahun reformasi meningkat; 0,2 persen penduduk menguasai 56 persen aset di tanah air; artinya aset nasional bangsa ini hanya dimiliki 440 ribu orang.
Kapitalisasi Media
Tidak hanya sampai pada kapitalisasi kekayaan alam Indonesia. Kapitalisasi juga menjalar sampai pada peran media. Untuk kapitalisasi media sendiri, Ali Sodikin menuliskan bahwa Noam Chomsky melihat media era kapitalis liberal, sarat dengan persekongkolan. Gejalanya terlihat ketika bisnis media mulai diatur oleh tokoh-tokoh yang punya kekuatan politik dan uang.
Elit kekuasaan dan elit bisnis berkolaborasi mengatur isi media. Maka kebebasan pers yang dijiwai demokrasi dan liberalisme telah disusupi corong-corong propaganda segelintir orang. Setiap keping informasi telah disusupi kepentingan tertentu. Setiap suara berita telah dimodali kekuatan politik dan bisnis.
Konglomerasi dan kapitalisasi media ini terlihat misalnya, pengusaha Chairul Tanjung memiliki bisnis media seperti Trans7, DetikCom dan kini merambah CNN Indonesia. Aburizal Bakrie dengan media TVOne, ANTV, dan VivaNews grup. Hary Tanoesoedibjo dengan MNC-nya yang di dalamnya terdapat RCTI, Global TV, TPI (MNC News), Sindo TV (INews), Koran Sindo, Radio TrijayaFM, Okezonedotcom dan lain sebaginya. Surya Paloh dengan Metro TV dan Media Indonesia-nya. Kompas Media Grup dengan Harian Kompas, Kompas TV. Dan masih banyak lagi.
Dengan demikian maka bisa dibayangkan apa jadinya jika  kekuatan media sebagai produsen budaya, produsen informasi politik, dan kekuatan ekonomi hanya terkonsentrasi pada segelintir orang. Apalagi pemiliknya pemain politik sekaligus pemain bisnis kelas kakap. Wartawan pun tidak lagi independen. Semua berita hampir bisa dipastikan terjadi politisasi dan bisnisasi di dalamnya. Wartawan/pers seakan kembali meraskan duka lama dengan gaya baru.
Pers tidak hanya mengalami politisasi dan kapitalisasi. Era demokrasi seolah ditafsirkan pers sebagai era kebebasan berusara sebebas-bebasnya tanpa batas. Akhirnya berita-berita hoax dan propaganda terus berseliweran di mana-mana mempengaruhi publik. Hal ini diperparah lagi dengan para pengguna media sosial yang asal like dan share tanpa mendalami kebenaran dan dampak dari berita-berita tersebut. Sajian-sajian media pun lebih banyak yang tidak mendidik, media hanya mengejar keuntungan ekonomi. Tanpa mempedulikan kualitas siaran/berita yang di sajikan.
Mirisnya Penegakan Hukum
19 tahun sudah kita tertati dalam reformasi, namun salah satu perubahan yang belum tersentuh dan mendesak adalah reformasi penegakan hukum atau dikenal pula dengan reformasi sistem peradilan pidana. Publik punya kepercayaan yang sangat rendah terhadap institusi penegak hukum: polisi, jaksa dan hakim. Dan sementara ketiga institusi tersebut masih melihat warga negara lebih sering sebagai klien dan konsumen dalam hubungan transaksional hukum daripada warga negara, berikut martabat kewarganegaan dan hak-haknya. Sedangkan sebab lainnya adalah ketiga institusi penegak hukum tersebut pun sering menjadi sarang pelanggaran hukum, baik korupsi maupun kriminalisasi.
Aparatur penegak hukum yang seharusnya menjadi teladan justru sebaliknya melakukan pelanggaran terhadap hukum. Semisal, Ketua Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (MK RI) Akil Mochtar yang tertangkap tangan oleh KPK di rumah dinasnya dengan dugaan menerima uang suap untuk memuluskan salah satu kandidat dalam konflik Pilkada di beberapa daerah.
Di aparatur kejaksaan, misalnya Kepala Kejaksaan Negeri Praya, Lombok Tengah, NTB yang bernama Subri. Ia ditangkap karena diduga menerima suap ratusan juta rupiah dalam perkara penanganan pemalsuan sertifikat tanah ribuan hektar di kawasan objek wisata Selong Blanak, Lombok Tengah, NTB.
Dan aparatur penegak hukum berikut yang terbilang paling buruk adalah kepolisian. Korupsi dalam lingkaran internal seperti korupsi dalam hal jual beli jabatan, dalam penerimaan anggota polisi, dalam seleksi masuk pendidikan lanjutan, dalam pendistribusian logistik dan penyaluran dana keuangan. Serta korupsi eksternal, yaitu korupsi yang melibatkan kepentingan masyarakat secara langsung. Salah satu kasus yang melibatkan seorang Perwira Tinggi Polri, Irjen Pol Joko Susilo terkait perkara korupsi pengadaan simulator SIM di kepolisian adalah kasus yang sangat mencoreng wajah dari korps Tribrata.
Di lingkaran kepolisian pelanggaran hukum tidak hanya semata terbatas pada kasus korupsi. Yang paling banyak adalah kasus pelanggaran HAM. Korban salah tangkap, kriminalisasi, penyiksaan, proses hukum di kepolisian, laporannya terus meningkat. Polisi yang harusnya mengayomi tapi kerap menghakimi dengan brutal.
Mahalnya Demokrasi
Kita ambil fakta paling mutakhir, betapa mahalnya biaya demokrasi yang ditanggung rakyat Indonesia pada pemilu 2014. Pemilu yang berlangsung dua tahap, tahap pertama adalah pemilihan anggota legislatif DPR RI, DPRD I, DPRD II dan DPD. Tahap berikutnya adalah Pilpres.
Pemilu ini memakan biaya yang begitu besar. Pesta demokrasi ini menghabiskan dana sebesar Rp 20 triliun. Dengan rincian pemilu legislatif  menghabiskan anggaran sekitar Rp 16 trilun. Dan biaya Pilpres sebesar Rp 4 triliun, dari anggaran yang sebelumnya disiapkan KPU sebesar Rp 7,9 triliun.
Itupun diluar daripada biaya yang harus dikeluarkan oleh para kandidat. Baik itu biaya untuk membuat iklan, banner, poster, kampanye, sewa ahli/konsultan, sewa lembaga survey, lobi-lobi politik hingga membeli suara rakyat. Akibatnya kejahatan korupsi tidak bisa dihindarkan, karena harus mengembalikan modal biaya saat kampanye. Padahal korupsi menjadi salah satu agenda reformasi yang harus diberangus.
Mahalnya demokrasi ini sering pula dibayar dengan legitimasi undang-undang pro kapitalis yang mendukung kemenangan para elit/penguasa tersebut. Undang-undang yang dilahirkan tidak lagi pro terhadap kepentingan rakyat melainkan untuk kepentingan segelintir orang pemilik modal/kapitalis.
Meredupnya Pancasila
Dalam buku Negara Paripurna (Yudi Latif, 2011), disebutkan Soekarno kerap menggunakan kiasan “menggali” dalam merumuskan Pancasila. Aktivitas menggali melibatkan bumi dan tubuh; Pancasila lahir dari jerih payah sejarah, dan seperti halnya hasil bumi, ia menawarkan sesuatu yang tetap bisa diolah lebih lanjut. Kenyataannya, pasca kemerdekaan bangsa ini dari penjajah, pancasila benar-benar menuntut aktualisasi dengan segala macam tantangan yang dihadapi.
Sayangnya, setelah disalahgunakan selama Orde Baru, pasca Reformasi, Pancasila hingga kini berada di titik nadir untuk tidak dikatakan hanya tinggal nama. Ideologi negara tandingan pun menjamur di mana-mana. Seiring lunturnya nilai-nilai Pancasila, konflik sosial khususnya atas nama agama mewarnai hari-hari perjalanan bangsa. Gereja dihancurkan, masjid disegel, monumen budaya dirubuhkan, hingga makam para leluhur pun tidak luput dari serangan. Ekspresi kebencian atas nama iman sangat telanjang di ruang publik yang sejatinya memiliki konstitusi ini. Selain tempat-tempat ibadah dihancurkan, rumah dibakar, ternak dan sumber penghasilan dibumi hanguskan, bahkan diusir dari tempat kelahiran mereka sendiri.
Kasus Sampang adalah salah satu kekejian yang mengatasnamakan agama dan hingga hari ini masih menjadi benang kusut yang belum bisa teruraikan. Intoleransi merebak ke hampir seluruh sendi-sendi kehidupan bangsa. Salah satu kasus yang paling menyita perhatian akibat intoleransi adalah apa yang menimpa Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaya Purnama atau Ahok.
Pelecehan Pancasila dengan sebutan bebek nungging, Pancasila ada di panatat, pengusungan ideologi semisal Khilafah dan masih banyak lagi menandakan ketidak hormatan dan kepatuhan generasi reformasi terhadap ideologi bangsanya. Pancasila yang semestinya sebagai landasan kebebasan beragama kian dilupakan. Serta pancasila yang semestinya menjadi alat pemersatu dan sumber toleransi sebagaimana semangat sila “Persatuan Indonesia” hanya dipandang sebelah mata.
Kembali Pada Pancasila
Setelah melihat rapor reformasi dengan jargon demokrasinya yang begitu kebablasan, lantas siapa yang mesti disalahkan dan apa yang mesti dilakukan? Pada dasarnya, demokrasi yang kebablasan dan segala ketimpangan di era reformasi merupakan kesalahan dan tanggung jawab kita bersama. Mengapa kita memilih demokrasi? Karena semua itu adalah pilihan sadar kita. Namun demikian, jika kita persentasekan siapa penanggung jawab kesalahan semua itu maka kita akan menemukan porsi terbanyaknya ada di tangan Penguasa dan para pimpinan partai yang mengendalikan proses legislasi dan kebijakan negara dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Selanjutnya, dengan melihat realitas obyektif yang terpampang nyata di hadapan kita saat ini sudah selayaknya menjadi refleksi kita untuk memperbaiki diri. Di sinilah diperlukan kejujuran sebagai langkah awal melakukan koreksi agar kita mampu memilih jalan yang benar dan tidak semakin terpuruk. Dan untuk itu, tidak bisa tidak, jalan keluar dari problema-problema itu adalah kembali kepada fitrah bangsa kita. Bangsa yang berketuhanan, berprikemanusiaan, berprikeadilan, berkesatuan, penuh musyawarah, toleran, dan gotongroyong/kebersamaan. Itulah nilai-nilai luhur yang menjadi fitrah bangsa kita, dan ia terangkum dalam Pancasila.
Dengan demikian, jalan kembali kita adalah pada Pancasila. Sudah saatnya kita kembali mengkaji dan mengamalkan Pancasila secara murni dan konsekuen, merujuk nilai-nilai yang substansif yang cenderung mendorong terwujudnya demokrasi yang mengedepankan konsensus, ekonomi pasar sosial, dan kebersamaan/kegotongroyongan.
Apabila hal itu bisa kita wujudkan, sebagaimana kita bisa belajar dari Jepang, China, atau negara-negara Skandinavia, kebersamaan itu justru memiliki nilai kompetitif yang lebih besar dibandingkan individualisme. Inilah yang mungkin terlupakan di era Reformasi. Sesungguhnya kita telah memiliki sistem sendiri yang lebih kompetitif, tetapi kita lebih mengadopsi sisitem lain yang bisa menyimpang dari tujuan untuk apa negara ini didirikan.
Read more...
 
ZN _ LEFOKISSU © 2017